PENDEKAR BUTA JILID 108

“Untung Iweekangmu sudah kuat sekali,” akhirnya Kun Hong berkata sambil melepaskan kedua tangannya, “sehingga pukulah itu dapat tertahan olehmu.” Dia bangkit berdiri dan menarik napas panjang.

Bun Wan juga berdiri dan selagi dia hendak menghaturkan terima kasih sambil bertanya tentang munculnya Kun Hong, Pendekar Buta itu sudah mendahului berkata. 

“Bun Wan, kaukah orang yang diutus Raja Muda Yung Lo untuk menerima surat rahasia peninggalan mendiang kaisar tua?”

Bun Wan kaget. Sebelum pertemuannya dengan Kun Hong sekarang ini, kalau dia ditanya demikian, sudah tentu dia akan menyangkal keras. Akan tetapi tadi dia sudah mengaku, maka dia menjawab tanpa ragu lagi, 

“Betul,”

Kun Hong tersenyum. 
“Lama sekali aku mencari-cari orangnya, mengharapkan kedatangannya, kiranya engkau malah orang itu. Jangan kau khawatir, Bun Wan. Surat itu selama ini berada di tanganku dan sekarang sudah diantarkan kepada Raja Muda Yung Lo.”

Kaget dan herannya Bun Wan tidak kepalang besarnya sampai dia melongo,
“Apa kau bilang? Kau tahu surat wasiat itu ?”

“Tentu saja aku tahu. Paman Tan Hok sendiri yang berkata kepadaku sebelum beliau meninggal. Surat itu disimpan secara rahasia di dalam mahkota kuno dan…”

“Tetapi mahkota itu terampas oleh nona Loan Ki…….”

“Heee? Kau bilang Loan Ki?” 

Kini Kun Hong yang terheran-heran. Bun Wan lalu menceriterakan perebutan mahkota itu antara dia dan Loan Ki yang dibantu oleh seorang pemuda aneh dan kemudian dibantu pula oleh Hui Kauw sehingga terpaksa dia meninggalkan mahkota itu kepada mereka.

Kun Hong tersenyum girang, mengangguk-angguk. 
“Bagus, Loan Ki tidak seperti ayahnya, ada juga jiwa pahlawan di dalam dadanya, ha-ha ! Lucunya, kau dan mereka itu memperebutkan mahkota dengan tujuan yang sama, karena mereka pun tidak rela kalau surat itu terjatuh ke tangan kaisar yang sekarang. Dan lebih lucu lagi, kalian semua memperebutkan mahkota yang kosong karena surat itu telah berada padaku. Sekarang telah dibawa oleh Sin Lee dan isterinya ke utara.”

Bukan main girangnya hati Bun Wan dan di samping kegirangan yang luar biasa karena surat rahasia penting itu telah diselamatkan dan dapat dikirimkan ke utara, juga dia menjadi kagum dan terharu terhadap Kun Hong. Siapa kira, Kun Hong yang buta dan yang dahulu dia pandang rendah ini tidak saja menjadi penolongnya, malah telah berjasa menyelamatkan surat wasiat itu ! 

Kekagumannya yang memuncak membuat dia merasa betapa jahat dan rendahnya sikapnya terhadap Kun Hong, betapa besarnya dosanya terhadap orang buta itu. Penyesalan yang luar biasa menyelubungi hati Bun Wan. Dia berdiri tegak, tetasan air mata masih membasahi pipinya, dengan perasaan menyesal dia memandang Kun Hong yang masih tersenyum-senyum di depannya itu. 

Dalam pandangannya, senyum di wajah yang tidak berbiji mata itu mendatangkan perasaan yang menusuk-nusuk jantungnya, menimbulkan iba yang menjadi-jadi. Dia teringat akan Kun Hong sebelum buta, seorang pemuda tampan dan halus, seorang pemuda yang dengan gagah berani menghadapi lawan-lawan berat di puncak Thai-san (baca Rajawali Emas). Dan karena dia tidak mau mengalah, karena dia membeber rahasia di depan orang banyak, Kun Hong yang tampan dan bermata tajam seperti mata burung rajawali emas itu kini menjadi buta! Bun Wan merasa betapa dadanya perih seperti ditusuk pisau.

“Saudara Kun Hong, kiranya kau seorang pendekar besar yang patut kusembah dan kujunjung tinggi. Ah, selama ini aku benar-benar telah buta. Kedua mataku tidak ada gunanya sama sekali, tidak dapat melihat siapa adanya engkau ini. Apalagi kalau aku ingat bahwa kebutaan kedua matamu adalah karena aku……. ah, dan kau sudah menolong keselamatan nyawaku dan nyawa Hui Siang……. dan kau sudah menyelamatkan surat wasiat……. benar-benar aku menyesal. Tidak patut aku menjadi keturunan Kun-lun-pai !” Suara terakhir ini mengandung isak tertahan.





“Hussshhhhh, jangan bicara seperti itu, Saudara Bun Wan. Tidak perlu kau membongkar-bongkat peristiwa lama. Kebutaanku adalah sudah dikehendaki Thian Yang Maha Kuasa, tidak perlu siapapun menyesalkan. Kau seorang pendekar, seorang keturunan pahlawan, kau patut menjadi tokoh Kun-lun-pai.”

“Ah, ucapanmu ini menunjukkan kebersihan hatimu, bahwa kau tidak pernah mendendam, dan aku selama ini……. ah, Saudara Kun Hong, selama hidupku aku akan terus menyesal dan penyesalanku tidak akan pernah berakhir tanpa pengorbanan!”

“Saudara Bun Wan, jangan…….!”

Kun Hong hanya dapat menduga dengan perasaannya yang halus saja bahwa pemuda Kun-lun yang berhati keras itu akan melakukan sesuatu yang “gila”, akan tetapi karena matanya buta, tidaklah dia dapat melihat apa yang akan dilakukannya itu, maka dia hanya dapat mencegah dengan mulut.

Terdengar gerakan cepat disusul pekik Hui Siang, 
“Wan-koko……. ! Ah, Wan-koko…… kenapa kau lakukan ini…….??” Gadis itu menangis.

Kun Hong hanya berdiri pucat, tidak tahu bahwa dengan nekat untuk menyatakan penyesalan hatinya, Bun Wan telah menggunakan jari tangannya mencokel keluar sebuah biji matanya sebelah kanan! Darah keluar dari lubang mata kanannya itu, akan tetapi pemuda itu dengan tegak masih berdiri, ditangisi oleh Hui Siang yang menjadi kebingungan tidak karuan.

“Ha-ha-ha, Saudara Kun Hong. Puaslah hatiku sekarang. Untuk membutakan kedua mataku seperti yang telah kau lakukan, aku tidak sanggup karena ilmu kepandaianku tidak mungkin setinggi tingkatmu. Aku masih membutuhkan mataku yang sebelah lagi demi…… demi……. Hui Siang…….”

“Ahhh……. !” 

Pucat wajah Kun Hong dan sekali berkelebat dia sudah berada di depan Bun Wan, tangannya meraba muka pemuda Kun-lun-pai itu dan tahulah dia kini bahwa pemuda itu benar-benar telah melakukan perbuatan gila, telah membutakan mata kanannya sendiri! 

“Kau gila…….! Bun Wan, mengapa kau lakukan ini???”

Dengan suara gemetar Bun Wan berkata, 
“Kaupun telah membutakan kedua matamu, karena aku! Dan kau berani membutakan mata biarpun kau seorang yang tidak bersalah dan kau masih dapat menjalani hidup ini dengan gagah perkasa, malah masih dapat menolong kami yang bermata! Kalau kau berani sehebat itu, apa artinya aku yang hanya berani membutakan sebelah mata karena penyesalanku dan karena dosa-dosaku…….?”

“Gila…….! Bocah gila…….!” 

Kun Hong cepat menotok jalan darah di tengkuk Bun Wan, kemudian dia menggunakan tongkatnya untuk mencoret beberapa huruf di dekat kakinya sambil menahan keharuan hatinya. Dengan suara serak dia berkata, 

“Kau carilah obat yang kutulis ini, kau pakai mengobati matamu……. ah, tidak kusangka akan begini……. Bun Wan, Hui Siang, selamat tinggal…….”

Cepat-cepat Kun Hong membalikkan tubuh dan pergi dari situ agar tidak tampak oleh dua orang itu betapa dua titik air mata menetes turun dari pelupuk matanya yang sudah kosong. 

Burung rajawali emas mengeluarkan suara merintih panjang, terbang di atasnya dan mengikutinya pergi dari situ, dipandang oleh Bun Wan yang masih berdiri tegak dan yang ditangisi Hui Siang yang memeluknya. 

Di bawah, depan kaki pemuda Kun-lun-pai itu, diatas batu yang keras, terdapat huruf-huruf coretan dalam, tadi dibuat oleh tongkat Kun Hong, menggores dalam seperti dipahat saja !


********






109

Postingan populer dari blog ini

RAJA PEDANG (BAGIAN PERTAMA SERIAL RAJA PEDANG)

RAJAWALI EMAS (BAGIAN KE-2 SERIAL RAJA PEDANG)

JAKA LOLA (BAGIAN KE-4 SERIAL RAJA PEDANG)