PENDEKAR BUTA JILID 122
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Oleh
Epul Saepul Rohman
“Kun Hong, tolong…….!”
Jeritan Hui Kauw ini seperti menyendal semangat Kun Hong. Kaget dan khawatir sekali hatinya. Seperti kilat cepatnya tubuhnya melompat kearah suara dan ternyata di sebelah kanan pondok itu telah berdiri Ang-hwa Sam-ci-moi dengan pedang di tangan. Kui Siauw, orang termuda dari Ang-hwa Sam-ci-moi memegang lengan Hui Kauw yang tidak berdaya lagi karena sudah ditotok jalan darahnya.
“Hui Kauw, kau dimana? Apa yang terjadi……??” Kun Hong berteriak dan berdiri bingung.
“Kun Hong, aku……. tertawan Ang-hwa Sam-ci-moi…….” kata Hui Kauw lemah.
Kun Hong menggerakkan tongkatnya mengancam,
“Lepaskan dia!” suaranya mengguntur.
Kui Ciauw dan Kui Biauw tertawa mengejek, kemudian Kui Ciauw berkata,
“Pemberontak buta. Lebih baik kau menyerahkan diri saja sebelum kekasihmu ini kami bunuh!”
Kun Hong ragu-ragu. Dia maklum bahwa kalau dia bergerak, biarpun akhirnya dia akan menang, Hui Kauw tentu akan terbunuh lebih dulu.
“Kun Hong, serang mereka. Jangan perdulikan aku!” ucapan Hui Kauw ini membangkitkan semangat Kun Hong, akan tetapi cepat Kui Ciauw berseru,
“Kau benar-benar ingin dia mampus?”
”Lepaskan dia!!”
Kun Hong melompat dan tongkatnya menerjang Kui Siauw karena dari suara Hui Kauw dia tahu siapa yang harus dia serang lebih dulu untuk menolong kekasihnya.
“Plak-plak-plak!”
Kun Hong terhuyung mundur. Tongkatnya sampai tiga kali bertemu dengan senjata lunak namun kuat bukan main, disertai tenaga sakti yang mampu melawan tenaga dan tongkatnya.
“Ha-ha-ha, Kwa Kun Hong. Lebih baik kau menyerah kalau kau menghendaki nona itu dan kau sendiri selamat.”
“Bhok Hwesio!!” Kun Hong berteriak marah. “Kalau kalian memusuhi aku, itu sudah sepatutnya karena kau dan teman-temanmu adalah anjing-anjing penjaga istana yang menganggap aku telah memberontak. Akan tetapi apa salahnya Hui Kauw? Kau lepaskan dia dan mari kita bertanding seribu jurus sebagai laki-laki!”
“Hemm, bocah buta yang sombong. Apa kau kira pinceng takut kepadamu? Soal nona itu, tidak usah dibicarakan lagi, tentang kepandaian, kalau memang kau merasa jagoan, majulah biar pinceng layani.”
Kun Hong sudah marah sekali, tongkat di tangannya tergetar. Akan tetapi sebelum dia sempat bergerak, terdengar suara halus di belakangnya.
“Omitohud, semoga Tuhan mengampuni kesalahan hambaNya…….”
Suara itu sedemikian halusnya, namun pengaruhnya membuat Kun Hong seketika lemas dan lenyap kemarahannya. Dia terheran-heran dan menanti dengan telinga dibuka lebar-lebar untuk mengetahui siapakah gerangan orang yang memiliki suara demikian berpengaruh.
Adapun Hui Kauw yang berada dalam tawanan Kui Siauw juga memandang penuh perhatian. Tadinya ia terbelalak penuh kekhawatiran terhadap diri Kun Hong ketika disitu tiba-tiba muncul Bhok Hwesio. Tadinya ia menonton perlawanan Kun Hong terhadap Bhewakala dan It-to-kiam Gui Hwa dari samping pondok.
Tiba-tiba dari arah belakangnya berkelebat tiga bayangan yang cepat sekali gerakannya. Hui Kauw hendak melawan, namun ia kalah jauh oleh Ang-hwa Sam ci-moi sehingga dalam beberapa jurus saja ia telah tertotok dan tertawan. Ia tidak takut mati, juga tidak takut melihat Kun Hong menghadapi Ang-hwa Sam-ci-moi karena ia memang sudah nekat untuk mati bersama.
Akan tetapi tidak tega juga hatinya melihat kekasihnya yang buta itu akan dikeroyok oleh orang-orang sakti, maka munculnya Bhok Hwesio yang amat sakti itu menggelisahkan hatinya. Kini ia terbelalak memandang tiga orang yang datang dengan langkah lambat dan ringan. Mereka ini adalah tiga orang hwesio tua yang jalan berjajar.
Yang kanan dan kiri serupa benar bentuk badan dan muka, seperti hwesio tua yang kembar, bertubuh kurus pendek. Yang berada di tengah adalah seorang hwesio tinggi kurus berusia sedikitnya delapan puluh tahun dan hwesio inilah tadi yang mengeluarkan kata-kata.
Besar keheranan hati Hui Kauw ketika melihat betapa Bhok Hwesio menjadi berubah mukanya, malah dengan sikap menghormat Bhok Hwesio kini melangkah maju dan menjura sampai badannya yang tinggi besar itu hampir berlipat menjadi dua, mulutnya berkata,
“Thian Ki suheng, ji-suheng dan sam-suheng, siauwte menghaturkan hormat.”
Kedua hwesio kembar itu hanya mengangguk, dan hwesio ditengah yang disebut Thian Ki suheng oleh Bhok Hwesio itu, memandang sejenak, kemudian mulutnya bergerak mengeluarkan ucapan yang halus tapi penuh teguran,
“Bhok-sute, sejak kapankah murid Siauw-lim-pai mencampuri urusan kerajaan? Sejak kapan murid Siauw-lim-pai tamak akan harta benda atau kemuliaan duniawi?”
Suaranya penuh wibawa dan sampai lama Bhok Hwesio tidak dapat menjawab. Adapun Kun Hong dan Hui Kauw yang pernah mendengar nama Thian Ki Losu pendeta Siauw-lim-pai yang amat terkenal kesaktiannya itu, menjadi terkejut. Thian Ki Losu terkenal sebagai seorang diantara para tokoh tua Siauw-lim-pai yang tidak pernah muncul, akan tetapi yang kabarnya memiliki kepandaian seperti dewa. Oleh karena itu, Kun Hong diam saja, hanya mendengarkan penuh perhatian dan menanti perkembangannya lebih jauh sambil bersiap siaga.
Akan tetapi, Ang-hwa Sam-ci-moi yang sejak mudanya merantau ke dunia barat, tidak mengenal nama Thian Ki Losu, maka mereka tidak perduli sama sekali. Apalagi ketika Kui Siauw melihat betapa sinar mata dan muka Hui Kauw berseri-seri seakan-akan mengharapkan bantuan, ia menjadi marah dan berkata,
“Kwa Kun Hong, kalau kau tidak lekas berlutut dan menyerah, sekarang juga aku membunuh kekasihmu!”
Hui Kauw benar-benar tidak berdaya. Kui Siauw yang galak itu sudah mencengkeram batang lehernya dan sekali menggerakkan tangan, tentu jalan darah yang menuju ke otak akan dihancurkan dan ia akan tewas dalam sekejap mata. Kun Hong sudah menggigil kedua kakinya, siap melompati penawan Hui Kauw itu dan kalau perlu mengadu nyawa.
“Omitohud, sesama manusia mana berhak saling bunuh? Ada pinceng disini, tidak boleh orang berlaku keji!”
Inilah suara Thian Ki Losu dan tahu-tahu tubuhnya sudah melayang seperti kapas tertiup angin kearah Kui Siauw. Orang termuda dari Ang-hwa Sam-ci-moi ini marah dan membentak,
“Hwesio tua, kau mau apa?”
Berkata demikian, ia memukul dengan tangan kanan sambil mengerahkan tenaga sedangkan tangan kirinya tetap mencengkeram tengkuk Hui Kauw.
“Omitohud, keji sekali…….”
Thian Ki Losu berseru, lengan bajunya dikebutkan berkibar-kibar menerima pukulan sedangkan lengan baju yang lain juga bergerak kearah Hui Kauw. Entah bagaimana, tahu-tahu tubuh Kui Siauw seperti dilemparkan tenaga raksasa, melayang sampai lima meter lebih jauhnya dan cengkeramannya pada tengkuk Hui Kauw tadi seketika terlepas.
Lebih hebat lagi, tanpa kelihatan kapan bergeraknya, tubuh Hui Kauw sudah terbebas daripada totokan dan gadis itu cepat berlari kearah Kun Hong, berdiri di samping Kun Hong, sedangkan Thian Ki Losu sudah kembali berdiri diantara kedua orang adik seperguruannya seperti tidak pernah terjadi sesuatu!
Kui Ciauw dan Kui Biauw mencabut pedang masing-masing namun tidak berani sembarangan bergerak, apalagi melihat bahwa sumoi mereka tidak terluka. Juga Kui Siauw sudah mencabut pedangnya, akan tetapi tidak berani sembarangan bergerak karena maklum bahwa hwesio tua renta itu benar-benar seorang sakti yang tidak boleh dibuat sembrono.
Bhok Hwesio melihat kejadian itu, mengerutkan keningnya dan berkata menegur,
“Suheng berat sebelah. Bocah buta itu adalah seorang pemberontak, juga gadis itu. Mereka harus ditawan.”
“Bhok-sute,” suara Thian Ki Losu tetap tenang dan sabar, “hal itu bukan urusan kita. Sebelum berlarut-larut kau terbelit oleh urusan kerajaan, mari kau ikut pinceng kembali, semoga Buddha mengampunimu.”
“Tidak, Suheng. Siauwte sudah berjanji akan membantu menghancurkan pemberontak. Suheng pulanglah dulu, kelak siauwte akan pulang dan mohon ampun kepada Suheng bahwa hari ini siauwte berani membantah perintah Suheng.”
“Bhok-sute, kau tahu apa hukumannya murid yang murtad? Sekali lagi, mari pulang bersama kami, kalau tidak, terpaksa pinceng akan melaksanakan hukuman disini juga.”
“Thian Ki suheng, kau terlalu! Di depan banyak orang merendahkan aku seperti ini, kalau aku tidak mau ikut pulang, kau mau apa?”
“Omitohud, terpaksa pinceng melakukan hal yang berlawanan dengan hati!”
Hwesio tua itu berseru dan tiba-tiba dia menggerakkan kedua lengannya mendorong ke depan. Terdengar suara berciutan dan seketika tubuh Bhok Hwesio bergoyang-goyang. Bhok Hwesio tentu saja mengenal kelihaian kakak seperguruannya ini, maka diapun bergerak dan mendorong.
Kakak beradik seperguruan ini berdiri dalam jarak antara dua meter, karena mereka masing-masing mengulurkan lengan, maka telapak tangan mereka saling mendekati, hanya terpisah satu meter. Namun, biar telapak tangan mereka tidak saling sentuh namun jangan kira bahwa mereka itu tidak saling serang. Hawa sakti yang keluar dari telapak tangan masing-masing saling dorong dan dua tenaga sakti yang dahsyat bertemu di udara.
Mereka berdiri tidak bergerak, dan hanya satu menit Bhok Hwesio kuat bertahan. Mukanya tiba-tiba pucat dan dia mengeluh perlahan, tubuhnya terjengkang. Thian Ki Losu melangkah tiga tindak dan kembali dia menggerakkan tangannya cepat sekali kearah pundak. Di lain saat Bhok Hwesio sudah menjadi pingsan dan digotong oleh dua orang hwesio kembar, seorang memegangi pundak dan seorang memegangi betis.
Thian Ti Losu memandang sekeliling, dan pada saat itu terdengar suara hiruk-pikuk tidak jauh dari situ, lalu tampak api mengebul dibarengi sorak-sorai dan suara tambur perang. Kakek itu menggeleng-geleng kepalanya.
“Omitohud, perang……. perang……. sekali lagi perang. Manusia saling bunuh, buta karena kemuliaan dunia. Bilakah semua ini berakhir?”
Lama dia memandang kepada Kun Hong, menggeleng-geleng kepala dan berkata lagi.
”Sayang……. sayang …….”
Kemudian kakek ini mengajak dua orang sutenya pergi dari tempat itu, membawa tubuh Bhok Hwesio yang sudah pingsan.
Ang-Hwa Sam-ci-moi tadi tidak berani bergerak. Setelah, hwesio-hwesio itu pergi, mereka serentak mengurung Kun Hong yang juga sudah siap. Suara gaduh makin menghebat dan sambil bersiaga Kun Hong bertanya,
“Hui Kauw, suara apakah itu? Apakah……. mereka sudah datang……?”
“Agaknya perang sudah dimulai!” jawab Hui Kauw penuh semangat.
Kun Hong girang. Tahulah dia sekarang bahwa saat itu orang-orang Pek-lian-pai dan Hwa I Kai-pang, mungkin dengan pasukan dari utara, sudah menyerbu dan bertanding melawan pasukan pengawal dan para anggauta Ngo-lian-kauw. Benar saja dugaannya, datang berlarian dua orang wanita yang terengah-engah melapor dari jauh.
“Kauwsu (ketua)…….. musuh menyerbu……. semua dibakar…….!”
Mendengar ini, Ang-hwa Sam-ci-moi makin marah dan serentak mereka menerjang Kun Hong.
“Hui Kauw, mundur…….!”
Kun Hong cepat menggerakkan tongkatnya menangkis dan diam-diam dia harus mengakui bahwa tiga orang lawannya ini hebat sekali ilmu pedangnya. Menangkis yang satu datang yang kedua menyambar, disusul yang ketiga.
Terus-menerus mereka itu mendesak dengan penyerangan bertubi-tubi, amat teratur seakan-akan barisan yang sudah diatur terlebih dahulu. Juga tenaga mereka itu rata-rata amat kuat. Kun Hong mengeluh. Benar-benar hari ini dia harus menghadapi banyak orang pandai.
123
Postingan populer dari blog ini
RAJA PEDANG (BAGIAN PERTAMA SERIAL RAJA PEDANG)
Oleh
Epul Saepul Rohman
JILID 01 JILID 02 JILID 03 JILID 04 JILID 05 JILID 06 JILID 07 JILID 08 JILID 09 JILID 10 JILID 11 JILID 12 JILID 13 JILID 14 JILID 15 JILID 16 JILID 17 JILID 18 JILID 19 JILID 20 JILID 21 JILID 22 JILID 23 JILID 24 JILID 25 JILID 26 JILID 27 JILID 28 JILID 29 JILID 30 JILID 31 JILID 32 JILID 33 JILID 34 JILID 35 JILID 36 JILID 37 JILID 38 JILID 39 JILID 40 JILID 41 JILID 42 JILID 43 JILID 44 JILID 45 JILID 46 JILID 47 JILID 48 JILID 49 JILID 50 JILID 51 JILID 52 JILID 53 JILID 54 JILID 55 JILID 56 JILID 57 JILID 58 JILID 59 JILID 60 JILID 61 JILID 62 JILID 63 JILID 64 JILID 65 JILID 66 JILID 67 JILID 68 JILID 69 JILID 70 JILID 71 JILID 72 JILID 73 JILID 74 JILID 75 JILID 76 JILID 77 JILID 78 JILID 79 JILID 80 JILID 81 JILID 82 JILID 83 JILID 84 JILID 85 JILID 86 JILID 87 JILID 88 JILID 89 JILID 90 JILID 91 JILID 92 JILID 93 JILID 94 JILID 95 JILID 96 JILID 97 JILID 98 JILID 99 JILID 100 JILID 101 J
RAJAWALI EMAS (BAGIAN KE-2 SERIAL RAJA PEDANG)
Oleh
Epul Saepul Rohman
SERI SEBELUMNY JILID 001 JILID 002 JILID 003 JILID 004 JILID 005 JILID 006 JILID 007 JILID 008 JILID 009 JILID 010 JILID 011 JILID 012 JILID 013 JILID 014 JILID 015 JILID 016 JILID 017 JILID 018 JILID 019 JILID 020 JILID 021 JILID 022 JILID 023 JILID 024 JILID 025 JILID 026 JILID 027 JILID 028 JILID 029 JILID 030 JILID 031 JILID 032 JILID 033 JILID 034 JILID 035 JILID 036 JILID 037 JILID 038 JILID 039 JILID 040 JILID 041 JILID 042 JILID 043 JILID 044 JILID 045 JILID 046 JILID 047 JILID 048 JILID 049 JILID 050 JILID 051 JILID 052 JILID 053 JILID 054 JILID 055 JILID 056 JILID 057 JILID 058 JILID 059 JILID 060 JILID 061 JILID 062 JILID 063 JILID 064 JILID 065 JILID 066 JILID 067 JILID 068 JILID 069 JILID 070 JILID 071 JILID 072 JILID 073 JILID 074 JILID 075 JILID 076 JILID 077 JILID 078 JILID 079 JILID 080 JILID 081 JILID 082 JILID 083 JILID 084 JILID 085 JILID 086 JILID 087 JILID 088 JILID 089 JILI
JAKA LOLA (BAGIAN KE-4 SERIAL RAJA PEDANG)
Oleh
Epul Saepul Rohman
SERI SEBELUMNYA JILID 001 JILID 002 JILID 003 JILID 004 JILID 005 JILID 006 JILID 007 JILID 008 JILID 009 JILID 010 JILID 011 JILID 012 JILID 013 JILID 014 JILID 015 JILID 016 JILID 017 JILID 018 JILID 019 JILID 020 JILID 021 JILID 022 JILID 023 JILID 024 JILID 025 JILID 026 JILID 027 JILID 028 JILID 029 JILID 030 JILID 031 JILID 032 JILID 033 JILID 034 JILID 035 JILID 036 JILID 037 JILID 038 JILID 039 JILID 040 JILID 041 JILID 042 JILID 043 JILID 044 JILID 045 JILID 046 JILID 047 JILID 048 JILID 049 JILID 050 JILID 051 JILID 052 JILID 053 JILID 054 JILID 055 JILID 056 JILID 057 JILID 058 JILID 059 JILID 060 JILID 061 JILID 062 JILID 063 JILID 064 JILID 065 JILID 066 JILID 067 JILID 068 JILID 069 JILID 070 JILID 071 JILID 072 JILID 073 JILID 074 JILID 075 JILID 076 JILID 077 JILID 078 JILID 079 JILID 080 JILID 081 JILID 082 JILID 083 JILID 084 JILID 085 JILID 086 JILID 087 JILID 088 JILID 089 JILID 090 JILID 091 JILID 092 JILID 093 JILID 094 JILID 095 JILID 096 JILID 097 JILID 098 JILI