RAJA PEDANG JILID 05

Kwa Tin Siong tersenyum dan berkata kepada Beng San,
“Anak baik, apakah kau lapar?”

Beng san berwatak angkuh tapi jujur. Ia mengangguk mendengar pertanyaan yang dikeluarkan dengan sikap ramah dan halus itu.

“Kau mau mengemis daging ular?” Kwa Hong mengejek.

“Tidak!” Beng San membentak dan membalikkan mukanya lagi.

Kwa Tin Siong diam-diam kagum juga melihat anak jembel yang berwatak angkuh itu. Itulah sikap jantan yang jarang terdapat pada diri anak-anak, apalagi anak jembel. Dengan halus ia bertanya.

“Anak baik, apakah kau mau minta daging ular?”

Beng San menoleh sebentar dan dengan mengeraskan hatinya ia menjawab, halus tidak membentak seperti ketika menjawab Kwa Hong tadi.

“Tidak, lopek (paman tua), aku tidak minta.”

Kembali Kwa Tin Siong tertegun. Jawaban kali ini adalah jawaban seorang anak baik-baik yang mengerti akan tata susila dan kesopanan. Ia dapat menjenguk isi hati anak itu yang agaknya memiliki keangkuhan besar, biarpun hampir kelaparan tidak mau minta-minta. Anak luar biasa, pikirnya.

“Anak baik, boleh aku mengetahui namamu?”

“Namaku Beng San, anak korban banjir, tiada orang tua, tidak tahu lagi she apa.” Sekaligus ia menjawab karena tidak suka kalau dihujani pertanyaan selanjutnya. 

Kembali Kwa Tin Siong tertegun. Kasihan sekali anak ini, agaknya semenjak kecil terpaksa harus hidup terlunta-lunta seorang diri.

“Beng San, aku Kwa Tin Siong dan ini anakku Kwa Hong. Kau tidak minta makanan, akan tetapi aku memberi kepadamu, kau mau, bukan ?” orang tua itu mengambil dua potong panggang daging ular dan memberikannya kepada Beng San. 

Anak itu menerima tanpa menyatakan terima kasihnya karena ia melihat Kwa Hong memandang dengan senyum mengejek. Begitu menerimanya ia mengembalikannya kepada Kwa Hong.

“Tak pernah aku menerima pemberian yang tak rela,” katanya singkat.

“Hong ji” Kwa Tin Siong membentak anaknya. “Jangan kau kurang ajar. Daging ini ayah yang dapat, bukan kau!” ia membujuk supaya Beng San suka menerimanya dan Kwa Hong tidak berani lagi senyum-senyum mengejek seperti tadi.

Setelah yakin bahwa pemberian itu rela, Beng San segera makan daging ular itu. Aduh lezatnya, sedapnya, gurihnya. Dengan lahap Beng san makan dan sekejap mata saja habislah dua potong daging itu. 

Kwa Tin Siong yang diam-diam melirik menjadi terharu. Ia tahu bahwa kalau ia memberi terus menerus, anak itu akan tersinggung kehormatannya, maka karena ia dan Kwa Hong sudah merasa kenyang, ia lalu berdiri dan berkata kepada Kwa Hong.

“Hong ji, mari kita lanjutkan perjalanan. Kita harus mencari kudaku yang tadi melarikan diri.” Kemudian kepada Beng San ia berkata.

“Beng San, karena kami sudah tidak memerlukan lagi daging ular, maka kuberikan sisa daging ular ini kepadamu, juga sisa garam dan bumbu ini. kau pangganglah sendiri. Nah, selamat tinggal anak baik.”

Melihat sikap ini Beng San segera menjatuhkan diri berlutut. 
“Kwa Tin Siong lopek , kau benar-benar seorang mulia. Aku Beng San tak kan mudah melupakan kau dan mudah-mudahan saja kelak aku mendapatkan kesempatan untuk membalas kebaikanmu ini.”



Sekali lagi Kwa Tin Siong terkesiap. Bukan main anak ini, memiliki pribudi pula. Ia mengangguk angguk dan diam-diam ia mencatat nama Beng San di dalam hatinya. Dan sebelum mereka berpisah antara Beng San dan Kwa Hong kembali terjadi “adu sinar mata” keduanya berapi dan gemas.!

Setelah ayah dan anak itu pergi, Beng San berpesta pora. Ia memanggang daging ular sebanyaknya dan masih panas-panas dia sudah tak sabar menanti, terus saja dimakannya. Sambil makan ia tersenyum-senyum kalau teringat akan kebaikan sikap Kwa Tin Siong, akan tetapi ia menggerutu kalau teringat akan Kwa Hong.





“Kui bo … ” makinya keras-keras. “Kuntilanak …. Cantik manis, genit dan galak. Kui bo, Kui Bo, Kui boo! Nah, kumaki kau sampai puas, mau apa sekarang Kui bo!”

Tiba-tiba dari atas puncak pohon besar terdengar suara orang perempuan tertawa mengikik, 

“Hi hi hi hi!”

Beng San meloncat berdiri, menoleh ke kanan kiri. Disangkanya Kwa Hong datang kembali. Akan tetapi ia tidak melihat bayangan orang. Ia menjadi gemas, dikiranya Kwa Hong datang lagi dan mengganggunya atau bersembunyi.

“Kuntilanak kau! Kui bo, perlu apa datang menggangguku?”



Kembali terdengar suara ketawa seperti tadi, kini tepat diatas kepala BengSan. Anak itu cepat mendongak, memandang ke pohon diatasnya, diantara daun-daun dan cabang-cabang pohon. Namun, seekor burungpun tak tampak dan suara ketawa itu masih terdengar disitu. Tiba-tiba suara itu pindah ke lain pohon, juga terdengar di puncak sambung menyambung, 

“Hi hi hi hi!”

Beng San adalah seorang anak pemberani. Akan tetapi setidaknya ia pernah tinggal di kelenteng dan pernah mendengar cerita-cerita tahyul dari beberapa orang hwesio, maka sekarang ia mulai merasa bulu tengkuknya meremeng. Betapapun juga, ia mengeraskan hatinya. Masa di siang hari terang benderang ada setan? Kata seorang hwesio, kuntilanak hanya muncul di waktu malam!.

“Hi hi hi hi hi!” dan kini Beng San betul-betul tersentak kaget karena tiba-tiba saja di depannya berdiri seorang perempuan yang cantik. 

Wanita ini tertawa-tawa, kelihatan giginya yang putih rapi. Pakaiannya seperti pakaian gambar dewi di tembok kelenteng, serba sutera dan indah. Ia memegang sebuah sapu tangan sutera yang panjang, mukanya manis dan matanya liar galak serta mengandung sinar yang aneh menyeramkan, seperti bukan mata orang yang sehat otaknya. Inikah kuntilanak?

Wanita itu tertawa-tawa lagi lalu bertanya. 
“Anak bagus, kau suka kepada Kui bo (kuntilanak)? Betulkah katamu tadi bahwa Kui bo cantik manis, genit dan galak?

Suara wanita itu halus tapi matanya betul-betul menyeramkan, membuat Beng San makin ketakutan anak ini memberanikan hatinya dan bertanya.

“Kau … kau sipakah ..?”

“He he he, anak bagus, dari tadi kau menyebut-nyebut Kui bo. Akulah Kui bo dan namaku ini” 

Wanita itu seperti seorang tukang sulap tahu-tahu sudah memegang setangkai bunga hitam di tangannya.

“Namamu … kembang hitam itu …?”

Beng San melongo melihat wanita itu menancapkan tangkai bunga itu pada rambutnya. Karena bunga itu hitam dan rambutnya juga hitam, maka hiasan rambut ini tidak begitu kentara.

“Ya, akulah Hek-hwa Kui-bo (Kuntilanak Bunga Hitam). Kau bilang dia si gadis cilik yang mungil itu seperti aku ? Hi hi hi hi, kau baik sekali, anak bagus …”



wanita itu tertawa-tawa lagi, nampaknya girang. Sebaliknya Beng San terkejut. Bagaimana wanita ini bisa mengetahui semua ucapannya kepada Kwa Hong?

“Aku tidak percaya,” katanya. “Menurut kata orang, kuntilanak itu biarpun cantik suka makan ..” sampai disini Beng San menjadi pucat. 

Mengapa ia begini goblok menyebut-nyebut tentang itu? Bagaimana kalau ini kuntilanak tulen dan dagingnya akan dimakan?

“Tepat sekali, memang aku suka makan daging mentah, terutama daging ular …” saputangan sutera yang panjang itu dikebutkan dan … ujung saputangan itu telah menarik keluar sepotong daging dari tubuh ular, dan langsung potongan daging ini ditarik dan diterima oleh mulutnya yang berbibir merah, lalu dikunyahnya dengan enak dan dimakan! 

Beng San sampai melotot ngeri menyaksikan wanita itu makan daging ular yang masih mentah, masih ada darahnya.

“Kau percaya sekarang? Aku Hek-hwa Kui-bo, sama cantik dengan anak perempuan tadi, bukan? sama baiknya …”

Beng San teringat akan Kwa Hong dan cemberut. Anak perempuan itu telah menghinanya. 

“Kalau sama dengan dia aku tak suka,” katanya setengah melamun, “Anak itu galak dan menghinaku. Kalau kau sama dengan dia, pergilah saja jangan dekat denganku.”



Sejenak wanita itu tertegun. Apa yang keluar dari mulut anak ini adalah kata-kata baru baginya, kata-kata yang tidak biasa ia dengar. Biasanya setiap orang tidak ada yang bersikap kasar, apalagi berkata kasar kepadanya, selalu bermuka-muka, selalu bermanis-manis. Dan anak ini berani mengusirnya! Hal ini menggirangkan hatinya, dan ia tertawa-tawa lagi.

“Kau dihina oleh anak itu? Biar kubawa dia kesini agar kau boleh membalasnya!” tiba-tiba tubuh wanita itu lenyap dari situ. 

Entah bagaimana caranya, tidak terlihat oleh Beng San. Ia makin ketakutan, bulu tengkuknya berdiri semua. Sekarang ia baru mau percaya yang dihadapinya tadi betul-betul seekor siluman kuntilanak.

“Aduh, celaka… jangan-jangan dia kembali .. ” demikian ia berkata seorang diri dan rasa ketakutan ini membuat pengaruh racun hijau dan hawa Im di tubuhnya meningkat, membuat dia menjadi kedinginan dan kehijauan mukanya. 

Rasa takut membuat Beng San segera lari tunggang langgang meninggalkan tempat itu. Akan tetapi kemana ia harus pergi menyembunyikan diri? Hutan itu besar sekali, dimana-mana pohon belaka. Ia tidak tahu kemana jalan keluar.

Tak lama kemudian selagi berlari-lari, ia mendengar suara ketawa yang tadi, 
“Hi hi hi hi hi!”.

Beng San menelusup kedalam semak-semak, bersembunyi. Akan tetapi percuma saja, tahu-tahu wanita yang tadi sudah berada di depan semak-semak berkata,

“Anak bagus, hayo keluar. Ini orang yang menghinamu sudah kubawa kesini.”

Beng San merangkak keluar dan…. ia melihat Kwa Hong sudah berada disitu. Anak perempuan itu kebingungan, kini memandang wanita tadi dan berkata gugup, 

“Ba… bagaimana kau bisa membawaku kesini?”

Wanita itu hanya tertawa, mengelus pipi kh yang halus kemerahan. 
“Kau cantik, aku juga sama dengan kau, kata anak bagus itu …”

Kwa Hong marah. Tadi ia sedang naik kuda bersama ayahnya dengan cepat. Tahu-tahu ada bayangan berkelebat, terdengar ayahnya berteriak dan ia merasa matanya pedas dan tahu-tahu sekarang ia sudah berada di dalam hutan berhadapan dengan seorang wanita cantik dengan Beng San. 

Mengira bahwa tentu wanita ini guru Beng San yang hendak menuntut balas, Kwa Hong memperlihatkan keberaniannya. Cepat bagaikan kilat tangannya yang kecil sudah mencabut pedangnya dan menusuk kearah dada wanita itu! Anehnya yang ditusuk tidak bergerak sedikitpun juga hanya memandang sambil tersenyum-senyum.

“Krakkk!” tiba-tiba pedang di tangan Kwa Hong itu patah menjadi dua dan gadis kecil itu sendiri melepaskan gagang pedang karena merasa telapak tangannya serasa hendak pecah. 

Ia meloncat mundur dan memandang dengan mata terbelalak. Ia melihat betul bahwa pedangnya tadi belum juga menyentuh tubuh perempuan itu, karena tiba-tiba bisa patah sendiri?

“Kuntilanak dia, jangan lawan, kau takkan menang melawan Kui bo!” kata Beng San. 

Kh marah sekali. Ia mengira bahwa Beng San bicara kepada wanita itu dan memaki dia sebagai kuntilanak lagi.

“Anak jembel! Kau mendatangkan siluman untuk membalas!” bentaknya.





****SELANJUTNYA****

Postingan populer dari blog ini

RAJA PEDANG (BAGIAN PERTAMA SERIAL RAJA PEDANG)

RAJAWALI EMAS (BAGIAN KE-2 SERIAL RAJA PEDANG)

JAKA LOLA (BAGIAN KE-4 SERIAL RAJA PEDANG)