RAJA PEDANG JILID 102
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Oleh
Epul Saepul Rohman
“Hi-hi-hik, belum pernah ada orang kusembuhkan lalu kubiarkan hidup. Tidak terkecuali dia ini.”
“Janganlah, Locianpwe. Biarlah aku yang menjadi penggantinya. Jangan kau bunuh dia.”
“Hi-hi-hik! Aneh, aneh….. tapi kebetulan. Aku membutuhkan jantung orang, dan jantung dia ini kurang bersih setelah tadi terserang racun. Jantungmu lebih bersih dan baik, bagus! Boleh diganti, boleh ditukar. Dia boleh hidup, kau penggantinya dan harus kau berikan kepadaku. Eh, orang muda, selama hidupku belum pernah aku mendengar orang mau menukar diri mewakili orang mati. Apakah betul-betul kau mau menggantikan orang ini untuk kuambil jantungnya?” Ujung pedang itu sudah menodong dada Beng San.
Beng San tenang-tenang saja, tersenyum berkata,
“Ucapan seorang laki-laki tidak akan ditarik kembali, Locian-pwe. Aku sudah bersusah payah berusaha menolong dia ini, maka takkan kulakukan setengah-setengah. Kalau memang kau membutuhkan jantung, biarlah aku mewakilinya. Kau harus berjanji akan melepaskan dan tidak mengganggu orang ini dan kau boleh mengambil jantungku, yaitu kalau kau bisa.”
Ucapan terakhir dari Beng San ni rupanya tidak diperhatikan oleh kakek yang sudah terheran-heran dan juga kegirangan itu.
“Baik, boleh….. aku berjanji takkan mengganggu orang ini. Nah, bersiaplah kau menghadiahkan jantungmu yang segar kepadaku!”
“Kau ambillah sendiri kalau dapat!” jawab Beng San, seluruh urat syaraf di tubuhnya sudah menegang, siap untuk melawan kakek ini dengan seluruh tenaga dan kemampuannya.
“Hi-hi-hik, orang muda yang aneh, yang sinting…..”
Pedangnya diayun-ayun ke atas seperti orang menakut-nakuti. Tiba-tiba Bun Lim Kwi meloncat dari dipan itu dan menyerang kakek bongkok dengan pukulan-pukulan hebat.
“Siluman tua! Tak boleh kau membunuh penolongku!”
Ternyata dari gerakan-gerakannya pemuda Kun-lun-pai ini sudah sembuh sama sekali. Serangannya hebat bukan main dan terpaksa kakek bongkok itu meloncat mundur sambil terkekeh-kekeh tertawa.
“Hi-hi-hik, bukankah manjur sekali pengobatanku?”
“Saudara Bun, jangan serang dia. Dia adalah penolongmu, sudah mengobatimu tadi,” kata Beng San mencegah.
“Aku tahu, tapi dia siluman jahat, hendak membunuhmu. Tidak bisa aku berpeluk tangan saja!”
“Hi-hi-hik, anak Kun-lun-pai, hi-hi-hik. Biarlah aku mencoba sampai dimana kehebatan latihan dari Pek Gan Sian-su si mata putih!”
Sambil berkata demikian kakek ini menyimpan pedangnya dan melompat keluar.
“Mari, mari sini orang muda Kun-lun-pai, boleh kau coba-coba, hi-hi-hik!”
Bun Lim Kwi yang tadi telah sadar dan melihat betapa kakek ini hendak membunuh Beng San, segera turun tangan menolong. Sekarang dia melompat keluar untuk melayani kakek aneh itu. Beng San berdebar dan ikut lari keluar.
“Siluman jahat, aku tidak rela diwakili oleh saudara ini. Kalau kau hendak membunuh dan mengambil jantungku, kau cobalah. Mati dalam pertempuran bukanlah apa-apa dan kau baru gagah kalau membunuh seorang yang dapat melawanmu. Saudara ini tidak pandai silat, bagaimana kau punya muka untuk membunuhnya begitu saja?”
“Hi-hi-hik, orang muda. Kau seperti orok kemarin sore yang masih merah berani mencoba aku? Hi-hi-hik, kau sambutlah ini.”
Biarpun bongkok dan gerak-geriknya seperti orang tua lemah, akan tetapi tiba-tiba kakek itu sudah mengirim serangan yang luar biasa cepatnya. Lim Kwi kaget, akan tetapi sebagai murid Kun-lun yang sudah matang kepandaiannya, dia cepat mengelak dan membalas dengan serangan yang tak kalah dasyatnya.
Beng San memandang cemas. la maklum bahwa biarpun Lim Kwi cukup pandai, namun kiranya takkan mungkin dapat menangkan kakek itu yang ternyata adalah seorang ahli Iweekeh dan ahli totok yang lihai sekali. la sendiri merasa sangsi dan ragu-ragu apakah dia harus membantu Lim Kwi ataukah tidak.
Bingung dia menghadapi peristiwa ini dan tidak dapat cepat-cepat mengambil keputusan bagaimanakah dia harus bertindak. la memang harus menolong Lim Kwi seperti pernah dulu dipesankan oleh mendiang ayah pemuda itu, akan tetapi dengan melawan kakek bongkok ini, bukankah hal itu merupakan suatu perbuatan yang tidak bijaksana?
Kakek itu betapapun juga sudah menolong Lim Kwi, tanpa ragu lagi dia mau mengakui bahwa kakek itu telah merenggut nyawa Lim Kwi daripada cengkeraman maut. Kalau sekarang mereka melawan kakek itu, bukankah itu berarti seorang rendah budi yang tidak ingat akan budi kebaikan orang?
Tapi sebaliknya kalau dipikirkan lagi, kakek itu hendak membunuhnya dan Lim Kwi melawan untuk menolongnya, apakah sekarang dia harus diam saja melihat Lim Kwi terdesak? Benar-benar Beng San menjadi bingung sekali dan pemuda ini mengambil keputusan untuk menolong Lim Kwi apabila keselamatan pemuda itu terancam.
Bun Lim Kwi benar-benar sudah bertekad bulat untuk membela Beng San dengan pertaruhan nyawanya. Tadi ketika dia sadar dari pingsan, dia mendengar semua pembelaan Beng San kepadanya dan diapun segera dapat menarik kesimpulan bahwa setelah dia roboh dalam pertandingan dengan Thio Eng di dalam hutan, tentu telah ditolong oleh Beng San dan dibawa ke rumah tabib setan ini.
la merasa amat terharu mendengar betapa Beng San rela mewakilinya untuk mati di tangan kakek setan itu dan diam-diam Lim Kwi kagum akan pandangan gurunya yang tepat tentang diri Beng San. Memang pemuda luar biasa. Biarpun tidak memiliki kepandaian silat, namun nyalinya besar dan budinya luhur.
Maka sekarang dia hendak membalas budi itu, kalau perlu dia rela berkorban, mati dalam tangan kakek bongkok untuk menolong Beng San. Lim Kwi maklum bahwa lawannya ini tangguh bukan main, memiliki tenaga Iweekang yang luar biasa besarnya sedangkan ilmu silatnya juga amat aneh.
Pertempuran berlangsung makin hebat. Kakek itu tertawa-tawa selalu dan seakan-akan mempermainkan Lim Kwi. Dengan penasaran pemuda ini lalu mengeluarkan pukulan-pukulan Pek-lek-jiu (Tangan Kilat) yang dia warisi dari gurunya. Kedua tangannya menyambar-nyambar, tulangnya berkerotokan dan angin pukulannya terasa panas!
“Hi-hi-hik! Inikah Pek-Iek-ciang-hoat dari Kun-lun-pai?”
Kakek itu tertawa mengejek dan memapaki pukulan kedua tangan Lim Kwi dengan tangan terbuka. Dua pasang tangan bertemu dan saling tempel, tak dapat dilepaskan lagi. Dua orang itu, seorang pemuda dan seorang kakek bongkok, kini mengadu tenaga Iweekang.
Sebentar saja Lim Kwi merasa betapa telapak tangannya tergetar dan makin lama makin dingin. Tenaga Pek-lek-ciang-hoat yang dia miliki makin lemah dan hampir buyar. Keadaannya amat berbahaya karena sebagai seorang ahli, pemuda ini maklum bahwa setelah tenaganya habis, dia akan terluka hebat di dalam tubuhnya, luka yang mungkin akan merenggut nyawanya. Akan tetap dia mengerahkan seluruh tenaganya dan berlaku nekat.
“Yok-mo, jangan bunuh dia…..!”
Beng San menghampiri dua orang yang sedang adu tenaga secara mati-matian itu, kemudian menepuk pundak Lim Kwi dua kali sambil berkata,
“Saudara Bun, dia penolongmu, jangan serang dia!”
Biarpun hanya merupakan dua tepukan perlahan, namun sebenarnya Beng San mengerahkan hawa tenaga Yang dari tubuhnya. Tenaga yang maha dahsyat ini tersalur melalui pundak Lim Kwi, terus ke arah kedua lengannya.
Akibatnya hebat sekali. Dua pasang lengan yang saling tempel itu terlepas seperti direnggutkan tenaga yang tak tampak. Lim Kwi tak dapat mempertahankan diri dan roboh terguling diatas lantai, pingsan!
Tadi dia mengerahkan tenaga Iweekang seluruhnya dan setelah tiba-tiba tenaganya tidak mendapatkan sasaran, dia kehabisan tenaga dan pingsan. Adapun kakek bongkok itu terdorong mundur terhuyung-huyung.
“Ayaaa…..!” seru kakek itu terheran-heran dan kaget bukan main.
Pada saat itu terdengar bunyi lengking tinggi dan tiba-tiba berkelebat bayangan putih yang menyambar ke arah Toat-beng Yok-mo! Bayangan itu ternyata adalah bayangan seorang gadis remaja berpakaian serba putih yang menggunakan sebatang pedang mengkilap langsung menyerang kakek bongkok.
Toat-beng Yok-mo mengeluarkan suara menggereng keras dan hanya dengan menggulingkan tubuh diatas tanah dia dapat menyelamatkan diri dari serangan yang luar biasa hebatnya dari gadis itu.
Gadis itu melanjutkan serangannya yang membuat Beng San berdiri melongo karena gerakan-gerakan itu adalah Yang-sin Kiam-sut yang dimainkan dengan amat hebat dan mendekati kesempurnaannya!
Adapun Toat-beng Yok-mo yang tadi belum hilang kagetnya karena serangan tenaga yang luar biasa, sekarang makin kaget lagi menyaksikan ilmu pedang gadis ini. la memang mempunyai musuh yang amat dibencinya sejak dulu, yaitu Song-bun-kwi dan sekarang melihat gadis yang menyerangnya, dia maklum bahwa kalau Song-bun-kwi muncul dia bisa celaka. Sambil berseru keras seperti binatang liar, kakek ini meloncat jauh lalu pergi dengan amat cepatnya.
Gadis itu berdiri tegak, tidak mengejar, menyimpan pedangnya kembali lalu membalikkan tubuh memandang ke arah Beng San. Juga pemuda ini berdiri terpaku memandang gadis baju putih itu.
Keduanya seperti terpesona. Tadi Beng San tidak mengenal gadis ini karena pakaiannya yang serba putih. Sekarang setelah mereka berhadapan, dengan jelas dia melihat sepasang mata itu, sepasang mata yang takkan pernah terlupa olehnya selama dia hidup. Hidung itu, mulut itu… Bi Goat, si bocah gagu!
“Bi Goat…..??” Beng San setengah berlari menghampiri.
Gadis itu yang tadinya masih agak ragu-ragu setelah mendengar suara ini lalu lari pula menghampiri Beng San. Kini mereka berhadapan, Beng San yang merasa terharu dan bahagia memegang kedua pundak gadis itu.
“Bi Goat….. benar kau Bi Goat ” katanya dengan napas memburu.
Gadis itu tersenyum, nampak giginya yang berderet rapi dan berkilauan, tapi kedua mata yang indah itu bercucuran air mata. Kemudian Bi Goat menubruk dan merangkul leher Beng San sambil menangis di atas dada pemuda itu!
“Bi Goat…… ah, tak dinyana kita bertemu disini….. kenapa kau begini sedih? Kenapa? Dan kau….. kau berkabung? Bi Goat, apa yang terjadi…..?”
Beng San bertanya dengan suara gemetar. Inilah orang yang selama ini menjadi kembang mimpi, yang tak pernah lepas dari ingatannya, orang yang sejak kecilnya sudah mau berkorban untuknya. Melihat gadis ini menangis terisak-isak sehingga baju di bagian dadanya basah oleh air mata gadis itu, Beng San terharu sekali dan tak dapat menahan turunnya dua butir air mata.
“Bi Goat…… anak baik, sayang….. jangan menangis…..”
Beng San makin terharu ketika mengingat bahwa gadis ini tidak dapat bicara, maka dia lalu mengelus-elus rambut yang hitam panjang itu. Tidak karuan rasa hati Beng San. la menduga bahwa tentu terjadi sesuatu yang hebat maka gadis ini memakai pakaian berkabung.
Seingatnya, Bi Goat paiing suka mengenakan pakaian berwarna merah, kenapa sekarang berpakaian serba putih? Apakah ayahnya, Song-bun-kwi telah mati? Teringat akan ini, makin sedih dan terharu hatinya dan dipeluknya gadis itu penuh kasih sayang.
Bi Goat mereda tangisnya, lalu diambilnya sehelai saputangan putih dari saku baju sebelah dalam dan diberikanya saputangan sutera putih itu kepada Beng San. Di atas saputangan sutera putih ternyata ada tulisan, huruf-huruf memakai benang hitam yang disulam indah dan berbunyi :
Kau hanyut …….
sungai membawamu pergi jauh,
entah mati ataukah masih hidup.
Aku berkabung untukmu…..
sampai kita bertemu kembali,
entah di dunia ataukah di akherat.
SELANJUTNYA»»
Postingan populer dari blog ini
RAJA PEDANG (BAGIAN PERTAMA SERIAL RAJA PEDANG)
Oleh
Epul Saepul Rohman
JILID 01 JILID 02 JILID 03 JILID 04 JILID 05 JILID 06 JILID 07 JILID 08 JILID 09 JILID 10 JILID 11 JILID 12 JILID 13 JILID 14 JILID 15 JILID 16 JILID 17 JILID 18 JILID 19 JILID 20 JILID 21 JILID 22 JILID 23 JILID 24 JILID 25 JILID 26 JILID 27 JILID 28 JILID 29 JILID 30 JILID 31 JILID 32 JILID 33 JILID 34 JILID 35 JILID 36 JILID 37 JILID 38 JILID 39 JILID 40 JILID 41 JILID 42 JILID 43 JILID 44 JILID 45 JILID 46 JILID 47 JILID 48 JILID 49 JILID 50 JILID 51 JILID 52 JILID 53 JILID 54 JILID 55 JILID 56 JILID 57 JILID 58 JILID 59 JILID 60 JILID 61 JILID 62 JILID 63 JILID 64 JILID 65 JILID 66 JILID 67 JILID 68 JILID 69 JILID 70 JILID 71 JILID 72 JILID 73 JILID 74 JILID 75 JILID 76 JILID 77 JILID 78 JILID 79 JILID 80 JILID 81 JILID 82 JILID 83 JILID 84 JILID 85 JILID 86 JILID 87 JILID 88 JILID 89 JILID 90 JILID 91 JILID 92 JILID 93 JILID 94 JILID 95 JILID 96 JILID 97 JILID 98 JILID 99 JILID 100 JILID 101 J
RAJAWALI EMAS (BAGIAN KE-2 SERIAL RAJA PEDANG)
Oleh
Epul Saepul Rohman
SERI SEBELUMNY JILID 001 JILID 002 JILID 003 JILID 004 JILID 005 JILID 006 JILID 007 JILID 008 JILID 009 JILID 010 JILID 011 JILID 012 JILID 013 JILID 014 JILID 015 JILID 016 JILID 017 JILID 018 JILID 019 JILID 020 JILID 021 JILID 022 JILID 023 JILID 024 JILID 025 JILID 026 JILID 027 JILID 028 JILID 029 JILID 030 JILID 031 JILID 032 JILID 033 JILID 034 JILID 035 JILID 036 JILID 037 JILID 038 JILID 039 JILID 040 JILID 041 JILID 042 JILID 043 JILID 044 JILID 045 JILID 046 JILID 047 JILID 048 JILID 049 JILID 050 JILID 051 JILID 052 JILID 053 JILID 054 JILID 055 JILID 056 JILID 057 JILID 058 JILID 059 JILID 060 JILID 061 JILID 062 JILID 063 JILID 064 JILID 065 JILID 066 JILID 067 JILID 068 JILID 069 JILID 070 JILID 071 JILID 072 JILID 073 JILID 074 JILID 075 JILID 076 JILID 077 JILID 078 JILID 079 JILID 080 JILID 081 JILID 082 JILID 083 JILID 084 JILID 085 JILID 086 JILID 087 JILID 088 JILID 089 JILI
JAKA LOLA (BAGIAN KE-4 SERIAL RAJA PEDANG)
Oleh
Epul Saepul Rohman
SERI SEBELUMNYA JILID 001 JILID 002 JILID 003 JILID 004 JILID 005 JILID 006 JILID 007 JILID 008 JILID 009 JILID 010 JILID 011 JILID 012 JILID 013 JILID 014 JILID 015 JILID 016 JILID 017 JILID 018 JILID 019 JILID 020 JILID 021 JILID 022 JILID 023 JILID 024 JILID 025 JILID 026 JILID 027 JILID 028 JILID 029 JILID 030 JILID 031 JILID 032 JILID 033 JILID 034 JILID 035 JILID 036 JILID 037 JILID 038 JILID 039 JILID 040 JILID 041 JILID 042 JILID 043 JILID 044 JILID 045 JILID 046 JILID 047 JILID 048 JILID 049 JILID 050 JILID 051 JILID 052 JILID 053 JILID 054 JILID 055 JILID 056 JILID 057 JILID 058 JILID 059 JILID 060 JILID 061 JILID 062 JILID 063 JILID 064 JILID 065 JILID 066 JILID 067 JILID 068 JILID 069 JILID 070 JILID 071 JILID 072 JILID 073 JILID 074 JILID 075 JILID 076 JILID 077 JILID 078 JILID 079 JILID 080 JILID 081 JILID 082 JILID 083 JILID 084 JILID 085 JILID 086 JILID 087 JILID 088 JILID 089 JILID 090 JILID 091 JILID 092 JILID 093 JILID 094 JILID 095 JILID 096 JILID 097 JILID 098 JILI