RAJA PEDANG JILID 115
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Oleh
Epul Saepul Rohman
Sementara itu, Pek Gan Siansu dan Lian Bu Tojin terbangun semangat mereka setelah mendengar dan melihat sendiri kenyataan bahwa Kwee Sin benar-benar seorang pemimpin pejuang, ditambah oleh sikap Lee Giok yang gagah perkasa dan patriotik.
Dua orang kakek ini begitu bertukar pandang sudah nengambil keputusan yang sama, yaitu membela Lee Giok demi penghargaan mereka terhadap perjuangan Kwee Sin. Sekarang melihat bahwa Sian Hwa telah bertempur melawan Kim-thouw Thian-li dan hal ini tak mungkin mereka hentikan atau cegah mengingat bahwa Sian Hwa tentu akan nekat membalas dendam, melihat pula bahwa bentrokan antara mereka dan fihak pemerintah tak dapat dicegah lagi, lalu keduanya melangkah maju, siap menghadapi segala kemungkinan. Thio Ki dan Kui Lok juga meloncat maju membantu bibi guru mereka.
“Siluman Ngo-lian-kauw, kau pembunuh ayah kami!” teriak mereka sambil menerjang maju.
Kim-thouw Thian-li masih tertawa-tawa dan menghadapi tiga orang itu dengan mainkan goloknya.
“Lian Bu Totiang, apa kau membiarkan saja anak-anak muridmu memberontak?”
Hek-hwa Kui-bo meloncat maju ke depan ketua Hoa-san-pai. Loncatannya luar biasa sekali, seperti tidak bergerak kedua kakinya tapi tahu-tahu tubuhnya sudah berkelebat ke depan kakek Hoa-san-pai itu.
Semua orang yang melihat ini menjadi kagum dan juga keder. Akan tetapi Lian Bu Tojin dengan sikapnya yang keren dan pedang pusaka yang tadi dipergunakan Kwee Sin membunuh diri di tangan kanannya, memandang nenek yang kelihatannya muda itu sambil berkata.
“Hek-hwa Kui-bo, enak saja kau memutar-balikkan fakta. Adalah kau yang membiarkan muridmu Kim-thouw Thian-li itu untuk melakukan perbuatan fitnah dan mengadu domba antara Kun-lun-pai dan Hoa-san-pai, membiarkan muridmu membunuh murid-murid Hoa-san-pai dan kau selalu malah membantunya. Sekarang kau datang pura-pura mencela kepada pinto. Heh, biarpun kau lihai, namun kejahatanmu pasti takkan membawa kau kepada kebahagiaan dan keselamatan.”
“Hi-hi-hi, tosu bau. Kaulah yang akan mampus, masih banyak tingkah lagi.”
Dengan mengeluarkan suara melengking aneh, Hek-hwa Kui-bo menggerakkan tangan. Tahu-tahu sebatang pedang telah berada di tangannya dan cepat ia menyerang ketua Hoa-san-pai itu.
Lian Bu Tojin maklum akan kelihaian wanita ini, maka dia tidak berani berayal, cepat-cepat menangkis dan balas menyerang. Seperti juga ketika ketua Hoa-san-pai ini mengejar Hek-hwa Kui-bo pada waktu nenek ini menculik Kwee Sin, sekarang Lian Bun Tojin mendapat kenyataan bahwa ilmu pedang dari nenek ini hebat bukan main, kelihatan tidak mengandung tenaga besar akan tetapi hawa pedangnya dingin dan cepat.
Inilah Ilmu Pedang Im-sin-kiam yang dipelajari nenek ini dari kitab yang ia curi atau rampas dari Phoa Ti. Biarpun Lian Bu Tojin sudah mengeluarkan seluruh ilmu pedangnya, namun tetap saja semua kekuatan Ilmu Pedang Hoa-san Kiam-sut seakan-akan ditelan oleh hawa dingin ilmu pedang Hek-hwa Kui-bo.
Betapapun juga, Lian Bu Tojin adalah seorang pendeta yang mengutamakan kehidupan suci dan bersih, maka daya tahan dalam tubuhnya amat kuat dan tidak mudah bagi Hek-hwa Kui-bo untuk merobohkannya secara cepat.
“Heh-heh-heh, nona-nona manis, mari kita main-main sebentar!”
Giam Kin ternyata sudah melompat maju dan dengan sikap ceriwis sekali mengulur kedua tangannya untuk menangkap Kwa Hong dan Thio Bwee. Dua orang gadis ini membentak dan memaki, sambil mengelak dan mencabut pedang lalu dengan gemas mereka mengeroyok Giam Kin.
Sementara itu, Bun Lim Kwi sejak tadi memandang ke arah Giam Kin, maka ketika mendengar Kwa Hong dan Thio Bwee memaki-maki dan menyebut nama pemuda muka pucat itu, darahnya segera naik. Jadi inikah orang yang bernama Giam Kin, yang secara pengecut pernah menyerang dan merobohkannya ketika dia bertempur melawan Thio Eng dahulu itu? Hampir saja nyawanya melayang karena pemuda muka pucat yang jahat itu.
“Suhu, dialah orangnya yang hampir saja menewaskan teecu dengan penyerangannya yang curang. Teecu hendak membalas,” bisiknya kepada Pek Gan Siansu
Ketua Kun-lun-pai ini mengangguk, berkata perlahan.
“Sudah sepatutnya sekarang kita membantu Hoa-san-pai menghadapi orang-orang jahat itu.”
Dengan girang Bun Lim Kwi mencabut pedangnya dan menerjang Giam Kin yang sedang melayani dua orang gadis Hoa-san-pai dengan enak sambil menggoda mereka dengan omongan kasar dan kotor itu.
“Nona berdua harap mundur, biarkan aku memberi hajaran kepada manusia bermulut kotor ini!” bentak Bun Lim Kwi sambil memutar pedangnya.
Akan tetapi karena amat marah kepada Giam Kin, Kwa Hong dan Thio Bwee mana mau meninggalkannya? Dengan demikian Giam Kin segera terkepung dan dikeroyok tiga. Giam Kin sibuk sekali. Biarpun dia amat lihai namun dikeroyok oleh tiga orang ini, apalagi ilmu silat Bun Lim Kwi memang hebat, segera dia terdesak dan sibuk menangkis kesana kemari.
“Hemmm, curang….. curang…..! Kulihat ilmu pedang Kun-lun-pai ikut membela Hoa-san-pai?”
Suara ini keluar dari mulut Siauw-ong-kwi yang melangkah maju hendak menolong muridnya. Akan tetapi tiba-tiba bayangan putih berkelebat dan Pek Gan Siansu sudah berdiri di depannya dengan pedang pusaka Kun-lun-pai di tangan.
“Perlahan dulu, Siauw-ong-kwi. Biarkan bocah sama bocah, tua bangka seperti kau lawannya juga tua bangka seperti aku!”
Siauw-ong-kwi membelalakkan matanya dan tertawa.
“Ha-ha-ha, sejak kapan Kun-lun-pai menjadi pembantu para pemberontak?”
“Sejak orang-orang seperti engkau membantu penjajah menindas rakyat,” jawab ketua Kun-lun-pai tenang.
“Ho-ho, Pek Gan Siansu, artinya kau menantang Siauw-ong-kwi?”
“Pinto tidak menantang siapapun suga. Akan tetapi, Siauw-ong-kwi, sejak dulu pinto mengenal nama Siauw-ong-kwi sebagai seorang aneh yang tidak suka melanggar kepantasan, seorang tokoh utama di utara yang tidak berlepotan lumpur kejahatan. Kiranya sekarang kau terseret ke dalam perangkap penjajah, malah kau membiarkan muridmu berlaku keji dan jahat tanpa menghukumnya. Muridmu secara curang pernah berusaha membunuh muridku, sekarang kau hendak membantunya pula. Mana pinto dapat diamkan saja?”
“Bagus Pek Gan Siansu, antara kita terdapat perbedaan faham, kau sebagai antek pemberontak dan aku sebagai antek pemerintah. Mari, mari….. kita bermain-main sebentar, sudah lama tanganku gatal-gatal untuk merasai lihainya pedang Kun-lun-pai!”
Dua orang ini segera bergerak dan bertandinglah keduanya. Pedang Pek Gan Siansu tak usah disangsikan lagi amat hebat gerakannya, kuat dan biarpun digerakkan secara lambat, namun sinar pedangnya saja cukup untuk merobohkan lawan yang kuat.
Dilain fihak, Siauw-ong-kwi adalah seorang tokoh paling lihai dari utara. Ilmu silatnya aneh, berinti ilmu tangkap yang, menjadi dasar ilmu gulat Mongol, sekarang dia mainkan dengan kedua ujung tangan bajunya yang panjang sehingga sekelebatan tampaknya seolah-olah Siauw-ong-kwi mainkan sepasang pedang.
Jangan dipandang rendah sepasang ujung lengan baju ini. Biarpun terbuat daripada kain lemas biasa, namun mengandung tenaga Iweekang yang hebat, kuat untuk menangkis pedang, kadang-kadang lemas mengancam lawan dengan jeratan maut, kadang-kadang kaku seperti pedang baja atau seperti toya besi!
Kim-thouw Thian-li yang melihat betapa kedua fihak sudah saling gempur segera bersuit keras dan pasukan pemerintah itu serentak bergerak menyerbu keatas sambil berteriak-teriak hiruk-pikuk.
Para tosu Hoa-san-pai melihat hal ini tanpa menanti perintah lagi segera memapaki dan terjadilah perang kecil yang cukup hebat di puncak Hoa-san-pai itu. Akan tetapi ternyata keadaan amat tidak menguntungkan fihak Hoa-san-pai. Jumlah pasukan pemerintah tidak saja lebih besar, juga mereka ini memang pasukan pilihan yang sengaja dikirim oleh Pangeran Souw Kian Bi, pasukan yang terdiri dari serdadu-serdadu yang kosen dan ahli golok, lebih terkenal disebut Barisan Golok Maut. Sebentar saja belasan orang tosu Hoa-san-pai roboh terbacok golok dan keadaannya amat terdesak.
Keadaan pertempuran yang dihadapi para jago Hoa-san-pai dan Kun-lun-pai itu juga amat buruk. Menghadapi Sian Hwa yang dibantu dua orang murid keponakannya, Thio Ki dan Kui Lok, ketua Ngo-lian-kauw, Kim-thouw Thian-Ii ternyata jauh lebih lihai. Permainan goloknya biarpun lihai dan aneh, masih belum mampu menindih ilmu pedang tiga orang murid Hoa-san-pai ini, akan tetapi setelah Kim-thouw Thian-li mengeluarkan selendang merahnya yang mengandung hawa beracun, pada saat yang amat tak terduga-duga ia mengebutkan selendang merah.
Bau harum semerbak menyambar. Thio Ki dan Kui Lok yang masih kurang pengalaman, kurang cepat menghindar dan robohlah mereka bergulingan dalam keadaan pingsan.
Liem Sian Hwa yang menjadi marah sekali mempergunakan kesempatan itu, selagi Kim-thouw Thian-li tertawa-tawa kegirangan dan memerintahkan beberapa serdadu untuk menawan dua orang pemuda ini, cepat melompat tinggi setelah tadi berhasil menggulingkan tubuh menghindarkan hawa beracun, kemudian dari atas ia menggunakan gerak tipu Hui-liong-jip-hai (Naga Terbang Memasuki Lautan), pedangnya bergerak cepat menyerang lawannya.
Tidak percuma nona ini dijuluki Kiam-eng-cu (Bayangan Pedang), gerakannya cepat sekali, sehingga bayangan tubuhnya dan sinar pedang menjadi satu. Kim-thouw Thian-li kaget bukan main, cepat menangkis dengan golok dan miringkan tubuh berusaha menyelamatkan diri.
Akan tetapi tetap saja ujung pedang Sian Hwa secara kilat sudah menyerempet pundaknya sehingga baju di bagian pundak terbabat robek berikut kulitnya yang putih halus? dan darah bercucuran keluar.
“Keparat, rasakan pembalasanku!”
Kim-thouw Thian-li berseru keras, cepat memberi bubuk obat kepada pundaknya yang terluka, kemudian dengan kemarahan yang meluap-luap ia menerjang Liem Sian Hwa dengan nafsu membunuh.
Sian Hwa memutar pedang mempertahankan diri, namun maklum bahwa ia kalah tenaga dan bingung menghadapi ilmu golok yang aneh dan ganas itu. Betapapun juga, dengan mengertakkan giginya nona pendekar ini melakukan perlawanan nekat. Hatinya gelisah sekali melihat betapa dua orang murid keponakannya, Thio Ki dan Kui Lok, sudah menjadi orang-orang tawanan, diikat kaki tangan mereka dan dibawa mundur oleh beberapa orang serdadu musuh.
Kwa Tin Siong juga melihat betapa dua orang murid keponakannya ini tertawan. Akan tetapi diapun hanya dapat bergelisah saja karena semenjak pertempuran hebat itu dimulai, Hoa-san It-kiam Kwa tin Siong ini sudah menerjang maju dan dikeroyok oleh lima orang perwira pasukan musuh secara berganti-ganti.
Sudah banyak lawan roboh oleh pedangnya yang lihai, namun dikeroyok begitu banyak lawan tangguh, dia menjadi terdesak juga dan tidak berdaya menolong dua orang keponakan yang tertawan itu.
Kini melihat betapa sumoinya didesak hebat oleh Kim-thouw Thian-li yang ganas, dia berkhawatir sekali. Sambil berseru keras pedangnya diputar seperti ombak menggelora, dua orang pengeroyoknya roboh dan yang lain terpaksa mundur dengan gentar. Kesempatan ini dipergunakan oleh Kwa Tin Siong untuk melompat dan menerjang Kim-thouw Thian-li.
“Sumoi, jangan khawatir, mari kita bunuh siluman betina ini!” serunya dan pedangnya yang masih berlepotan darah itu menerjang kuat.
“Hi-hi-hi, seorang sumoi dan suhengnya yang tak bermalu!” Sambil menangkis Kim-thouw Thian-li mentertawakan mereka. “Di luar mengaku sumoi dan suheng, di mulut memaki-maki Kwee Sin yang serong, tapi ini bagaimana? Ha-ha-hi-hi-hi, tak bermalu, muka tebal? Siapa tidak tahu bahwa kalian sudah bertahun-tahun main gila? Di depan guru bersikap alim, katanya saudara seperguruan, tapi di belakang guru? Hi-hi-hi, hanya kamar kosong menjadi saksi percintaan kotor sumoi dan suheng!”
Kata-kata yang dikeluarkan Kim-thouw Thian-li ini keras dan nyaring sehingga terdengar oleh semua orang disitu. Wajah Kwa Tin Siong dan Liem Sian Hwa menjadi pucat saking marah mereka.
Liem Sian Hwa hampir pingsan saking marahnya sehingga gerakan pedangnya malah menjadi lambat dan akhirnya ia terhuyung-huyung dan roboh pingsan, Kwa Tin Siong membentak,
“Siluman betina, mampuslah!”
Pedangnya menyambar, akan tetapi dengan enak Kim-thouw Thian-li dapat menangkisnya.
SELANJUTNYA»»
Postingan populer dari blog ini
RAJA PEDANG (BAGIAN PERTAMA SERIAL RAJA PEDANG)
Oleh
Epul Saepul Rohman
JILID 01 JILID 02 JILID 03 JILID 04 JILID 05 JILID 06 JILID 07 JILID 08 JILID 09 JILID 10 JILID 11 JILID 12 JILID 13 JILID 14 JILID 15 JILID 16 JILID 17 JILID 18 JILID 19 JILID 20 JILID 21 JILID 22 JILID 23 JILID 24 JILID 25 JILID 26 JILID 27 JILID 28 JILID 29 JILID 30 JILID 31 JILID 32 JILID 33 JILID 34 JILID 35 JILID 36 JILID 37 JILID 38 JILID 39 JILID 40 JILID 41 JILID 42 JILID 43 JILID 44 JILID 45 JILID 46 JILID 47 JILID 48 JILID 49 JILID 50 JILID 51 JILID 52 JILID 53 JILID 54 JILID 55 JILID 56 JILID 57 JILID 58 JILID 59 JILID 60 JILID 61 JILID 62 JILID 63 JILID 64 JILID 65 JILID 66 JILID 67 JILID 68 JILID 69 JILID 70 JILID 71 JILID 72 JILID 73 JILID 74 JILID 75 JILID 76 JILID 77 JILID 78 JILID 79 JILID 80 JILID 81 JILID 82 JILID 83 JILID 84 JILID 85 JILID 86 JILID 87 JILID 88 JILID 89 JILID 90 JILID 91 JILID 92 JILID 93 JILID 94 JILID 95 JILID 96 JILID 97 JILID 98 JILID 99 JILID 100 JILID 101 J
RAJAWALI EMAS (BAGIAN KE-2 SERIAL RAJA PEDANG)
Oleh
Epul Saepul Rohman
SERI SEBELUMNY JILID 001 JILID 002 JILID 003 JILID 004 JILID 005 JILID 006 JILID 007 JILID 008 JILID 009 JILID 010 JILID 011 JILID 012 JILID 013 JILID 014 JILID 015 JILID 016 JILID 017 JILID 018 JILID 019 JILID 020 JILID 021 JILID 022 JILID 023 JILID 024 JILID 025 JILID 026 JILID 027 JILID 028 JILID 029 JILID 030 JILID 031 JILID 032 JILID 033 JILID 034 JILID 035 JILID 036 JILID 037 JILID 038 JILID 039 JILID 040 JILID 041 JILID 042 JILID 043 JILID 044 JILID 045 JILID 046 JILID 047 JILID 048 JILID 049 JILID 050 JILID 051 JILID 052 JILID 053 JILID 054 JILID 055 JILID 056 JILID 057 JILID 058 JILID 059 JILID 060 JILID 061 JILID 062 JILID 063 JILID 064 JILID 065 JILID 066 JILID 067 JILID 068 JILID 069 JILID 070 JILID 071 JILID 072 JILID 073 JILID 074 JILID 075 JILID 076 JILID 077 JILID 078 JILID 079 JILID 080 JILID 081 JILID 082 JILID 083 JILID 084 JILID 085 JILID 086 JILID 087 JILID 088 JILID 089 JILI
JAKA LOLA (BAGIAN KE-4 SERIAL RAJA PEDANG)
Oleh
Epul Saepul Rohman
SERI SEBELUMNYA JILID 001 JILID 002 JILID 003 JILID 004 JILID 005 JILID 006 JILID 007 JILID 008 JILID 009 JILID 010 JILID 011 JILID 012 JILID 013 JILID 014 JILID 015 JILID 016 JILID 017 JILID 018 JILID 019 JILID 020 JILID 021 JILID 022 JILID 023 JILID 024 JILID 025 JILID 026 JILID 027 JILID 028 JILID 029 JILID 030 JILID 031 JILID 032 JILID 033 JILID 034 JILID 035 JILID 036 JILID 037 JILID 038 JILID 039 JILID 040 JILID 041 JILID 042 JILID 043 JILID 044 JILID 045 JILID 046 JILID 047 JILID 048 JILID 049 JILID 050 JILID 051 JILID 052 JILID 053 JILID 054 JILID 055 JILID 056 JILID 057 JILID 058 JILID 059 JILID 060 JILID 061 JILID 062 JILID 063 JILID 064 JILID 065 JILID 066 JILID 067 JILID 068 JILID 069 JILID 070 JILID 071 JILID 072 JILID 073 JILID 074 JILID 075 JILID 076 JILID 077 JILID 078 JILID 079 JILID 080 JILID 081 JILID 082 JILID 083 JILID 084 JILID 085 JILID 086 JILID 087 JILID 088 JILID 089 JILID 090 JILID 091 JILID 092 JILID 093 JILID 094 JILID 095 JILID 096 JILID 097 JILID 098 JILI