RAJA PEDANG JILID 14

Setelah dapat melakukan jurus pertama dengan baik, dia mendapat petunjuk cara bernapas dalam melakukan jurus ini dan cara menyimpan hawa dalam tubuh. Kemudian dia diberi pelajaran jurus kedua yang disebut Khong-ji-twi-san (Hawa kosong mendorong bukit). Jurus ketiga disebut Khong-ji-lo-hai (Hawa kosong mengacau lautan). Untuk mempelajari tiga jurus ini dengan baik mereka telah berlatih sehari penuh.

“Phoa Ti, mana jago mudamu?” berkali-kali suara di seberang lain bertanya.

“Orang she The, ajalmu sudah dekat. Tunggulah sampai besok pagi, pasti kau beres oleh tiga jurusku dari Khong-ji-ciang.”

Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Beng San sudah diberi makan oleh Phoa Ti. Apa makannya? Hanya tiga helai daun muda! Akan tetapi anehnya, begitu makan daun-daun itu, Beng San merasa perutnya kenyang dan tenaganya penuh, membuat dia makin kagum. Ternyata kakek ini membawa bekal banyak daun semacam ini.

“Anak baik, sekarang kau pergilah ke seberang sana dan kau boleh perlihatkan tiga jurus penyerangan ini. kalau dia tidak mampu memecahkannya satu saja dari yang tiga jurus ini, berarti dia kalah.” 

Beng San mengangguk dan hendak memanjat tebing akan tetapi tiba-tiba kakek itu memegang lengannya dan berkata.

“Terlalu lambat…….terlalu lambat….bersiaplah!” sekali tangannya mendorong tubuh Beng San melayang melewati jalan kecil dan meluncur ke dalam jurang di sebelah kiri.

“The Bok Nam, terimalah kedatangan penguji kita.”

Ketika Beng San merasa betapa tubuhnya ditahan dua buah tangan, dia mulai merasakan tubuhnya ringan dan enak, rasa panas di tubuhnya yang selalu mengganggunya agak berkurang. Maka dia menjadi gembira dan begitu dia dilepaskan dan berdiri di depan kakek tinggi besar yang duduk bersimpuh itu, dia berkata.

“Kakek yang baik, apa betul kata kakek Phoa Ti itu bahwa kau sudah hampir tewas?”

Kakek tinggi besar yang suaranya melengking itu mendelik matanya dan membentak, 
“Kalau betul begitu, bukan aku sendiri yang mati, dia pun sudah hampir mati!”

“Kau betul, karena itu aku hendak mengajukan sebuah usul padamu?”

“Hemmm, apa maksudmu?”

“Kalau kalian berdua sudah mendekati mati, kenapa tidak melakukan perbuatan baik yang terakhir? Kakek Phoa Ti itu menghendaki supaya kau mengaku kalah. Lakukanlah itu, kau mengalah saja, mengaku kalah dan membiarkan aku keluar dan pergi dari sini. Bukankah dengan begitu sedikit banyak kau telah meringankan dosamu?” memang aneh mendengar seorang anak berusia sepuluh tahun bicara seperti ini, akan tetapi tidak aneh lagi kalau diketahui bahwa dia besar di dalam kelenteng, dari usia lima sampai sembilan tahun.

Tentu saja bagi kakek The Bok Nam yang tidak mengetahui asal usul anak ini, menjadi melongo mendengar ucapan ini. namun hanya sebentar dia tertegun, lalu dia tertawa melengking dan tahu-tahu dia telah mencengkeram baju Beng San di bagian dada. 

“Apa katamu? Jangan mencoba untuk membujuk dan menipuku. Aku tidak mau mati sebelum menundukkan kakek tua bangka she Phoa itu! Hayo kau keluarkan tiga jurus ilmu cakar bebek itu, hendak kulihat bagaimana buruknya!”

Mendongkol juga hati Beng San. Karena kakek tinggi besar ini memperlihatkan sikap kasar, berbeda dengan Phoa Ti yang menangis minta bantuannya, sekaligus dia lalu berpihak kepada kakek Phoa Ti. 

Dengan penuh semangat dia lalu mengeluarkan jurus-jurus itu satu demi satu dengan gerakan sebaik mungkin. Anehnya, kali ini tiap kali bergerak dia merasa dadanya tidak begitu tertekan lagi oleh gangguan hawa panas di tubuhnya yang timbul setelah dahulu dia melatih diri selama tiga bulan dengan ilmu silat yang dia pelajari dari Hek hwa Kui bo. 

Maka dia menjadi makin bersemangat dan melanjutkan tiga jurus itu sampai habis. Setelah selesai mainkan tiga jurus yang dia latih sehari semalam itu, dia lalu berkata dengan wajah puas karena melihat muka The Bok Nam nampak kaget dan kagum.

“Ha, mana bisa kau memecahkan tiga jurus serangan lihai ini dari kakek Phoa Ti. Sudahlah, lebih baik mengaku kalah.” 





Perlu diketahui bahwa gerakan tiga jurus ini memang hebat dan anehnya ketika mainkan tiga jurus ilmu silat ini, Beng San hanya menggunakan sebelah tangan kanan saja sedangkan tangan kirinya dia selipkan di antara tali pinggangnya. 

Hal ini adalah karena yang mengajarkan hanya memiliki sebelah tangan kanan dan ketika kemarin melatih ilmu silat ini, Beng San selalu salah gerak dan canggung karena tidak boleh menggunakan tangan kirinya.

Akan tetapi Phoa Ti yang memberi nasehat supaya dia menyelipkan tangan kirinya di ikat pinggangnya agar tidak menjadi pengganggu kesempurnaan gerakannya. Justru tidak adanya tangan kiri inilah yang menjadi inti kelihaian ilmu silat Phoa Ti, karena orang atau lawan dibikin bingung oleh tangan kanan yang bergerak seperti dua tangan, kadang-kadang seperti tangan kanan akan tetapi ada kalanya menggantikan kedudukan tangan kiri. Dan ini pula mengapa diberi nama Khong-ji-ciang (Ilmu Silat Hawa Kosong), karena memang di dalam “kekosongan” tangan kiri itulah terletak kelihaiannya.

Sampai beberapa lama The Bok Nam tidak berkata apa-apa, matanya mendelik tanpa berkedip tetapi otaknya diputar-putar, mencari kelemahan dalam tiga jurus tadi. Akhirnya dia tertawa melengking.

“Ho, ho, ho, tua bangka Phoa Ti. Segala ilmu cakar bebek ini mana bisa dipergunakan untuk menggertakku? Mudah cara memecahkannya. Nah, kau lihat baik-baik bocah tolol. Jurus pertama kuhancurkan dengan gerakan ini!” kakek itu tangannya tepat menghadapi gerak serangan pertama dari Khong-ji-ciang, malah sambil membalas dengan gerak memunahkan dan mematikan.

“Kau mengerti?”

Tentu saja Beng San tidak mengerti! Ia menggeleng dan matanya yang lebar itu menjadi makin lebar.

“Ah, memang kau tolol. Hayo perhatikan baik-baik dan ikuti kedua tanganku.”

“Mana bisa dengan duduk bersimpuh menghadapi serangan orang hanya dengan menggerak-gerakkan kedua tangan?” Beng San membantah.

“Tolol!”

“Tolol, tolol, kau memaki siapa? Enak saja memaki anak orang!” Beng San marah-marah.

Tiba-tiba kakek itu mencengkeram pundaknya. Beng San merasa seakan-akan tulang pundaknya hendak remuk dan sakit menembus sampai ke jantungnya. Akan tetapi dia mempertahankan dan berkata mengejek.

“Sekali kau bunuh aku, berarti kau kalah oleh kakek Phoa Ti dan karena kalah maka kau bunuh aku.”

Cengkeraman itu dilepas lagi. 
“Memang kau tolol. Tentu saja disertai gerakan kedua kaki. Nah, lihat garis-garis ini!” dengan telunjuknya The Bok Nam menggurat-gurat tanah sambil menerangkan letak kedua kaki dan gerakan-gerakannya dalam jurus itu. “Jurus pertama untuk melawan jurus pertama dari ilmu silat cakar bebek ini namanya….”

“Jurus cakar ayam kurus!” sambung Beng San mengejek.

“Namanya jurus Nam-hong-jip-te (Angin selatan masuk bumi),” kata The Bok Nam tanpa menghiraukan ejekan itu. “Hayo kau pelajari baik-baik dan nanti perlihatkan kepada kakek mau mampus she Phoa, suruh dia memecahkannya kembali.”

Demikianlah, terpaksa sekali dan dengan hati mendongkol Beng San mulai mempelajari jurus Nam-hong-jip-te itu. Setelah hafal betul, dia disuruh mempelajari dan melatih gerakan jurus kedua yang diberi nama Tung-hong-tong-hwa (Angin timur menggetarkan bunga) dan jurus ketiga See-hong-cam-liong (Angin barat membunuh naga).

Yang membuat Beng San merasa gembira dan bersemangat adalah betapa gerakan-gerakan inipun membuat rasa sakit di dadanya berkurang banyak dan kini dia mendapat kenyataan betapa makin lama serasa makin mudah melatih dengan jurus-jurus yang sukar ini seperti halnya Phoa Ti, kakek tinggi besar ini pun kagum sekali melihat cara Beng San melatih diri.

“Bocah tolol, tulangmu bersih, bakatmu besar, sayang otakmu tolol!”

Tiga macam jurus yang memecahkan tiga jurus serangan Phoa Ti sekaligus membalas ini juga makan waktu sehari penuh ditambah setengah malam barulah Beng San dapat menggerakkan dengan baik.

“Aku lapar!” menjelang tengah malam dia berhenti dan merebahkan diri diatas tanah, perutnya perih dan lapar. 

Ia tidak minta makanan, seperti biasa dia tidak sudi minta-minta. Celakanya tidak seperti kakek Phoa Ti, kakek tinggi besar ini diam saja, juga Beng San tidak melihat kakek ini makan apa-apa, maka dia pun diam saja menahan lapar.

Pada keesokan harinya, hari ketiga kembali dia dilemparkan keluar oleh The Bok Nam dan diterima oleh kakek Phoa Ti.

“Bagaimana….?” Kakek kurus itu bertanya penuh gairah. “Bisakah dia memecahkan tiga seranganku?”

Beng San hanya mengangguk, tubuhnya lemas.

“Kenapa kau?”

“Lapar …” jawab Beng San menelan ludahnya.

“Manusia tak berjantung si tua bangka itu! Phoa Ti memaki. “Masa menyuruh anak berlatih silat tanpa diberi makan.”

“Dia sendiri pun tidak makan,” 

Beng San membela, lalu menerima beberapa helai daun dan memakannya. Setelah kenyang dia lalu berkata.

“Kakek The Bok Nam itu melawan tiga jurusmu dengan tiga jurus pula yang sekaligus memecahkan jurusmu dan berbalik menjadi serangan tiga kali.”

Phoa Ti mengerutkan kening. 
“Begitu cepat?” ia menggeleng-geleng kepala tidak percaya. “Coba kau mainkan jurus-jurusnya.”

Beng San lalu menggerakkan tiga jurus yang baru dia pelajari itu dengan gerakan-gerakan yang sudah cepat dan baik sekali, malah tiap kali dia melakukan gerakan-gerakan itu dia merasa tubuhnya ringan dan enak. 



Setelah dia selesai bersilat dan duduk diatas rumput dia melihat Phoa Ti berkali-kali menarik napas panjang dan menggeleng-geleng kepalanya. 

“Hebat…, hebat tua bangka itu….”

Sampai matahari sudah naik tinggi, Phoa Ti duduk termenung saja dan berkali-kali menarik napas panjang.

“Bagaimanakah? Apakah kau tidak bisa memecahkan tiga serangannya?” 

Beng San yang merasa kasihan bertanya. Melihat keadaan kakek ini seperti terdesak, timbul keinginannya hendak membantu, maka dia juga mencurahkan pikiran dan ingatannya, menghafal lagi enam macam jurus yang dia pelajari dari dua orang kakek itu. Namun, karena dia tidak memiliki kepandaian dasar, tentu saja dia tidak melihat bagaimana tiga jurus kakek Phoa Ti itu sampai dikalahkan oleh tiga jurus kakek The Bok Nam.





SELANJUTNYA»

Postingan populer dari blog ini

RAJA PEDANG (BAGIAN PERTAMA SERIAL RAJA PEDANG)

RAJAWALI EMAS (BAGIAN KE-2 SERIAL RAJA PEDANG)

JAKA LOLA (BAGIAN KE-4 SERIAL RAJA PEDANG)