RAJA PEDANG JILID 18

Seorang gadis cantik yang bepakaian sederhana duduk seorang diri pada malam hari terang bulan di belakang sebuah losmen. Taman bunga kecil milik losmen itu lumayan juga dan keadaan tentu akan amat menyenangkan dan indah apabila orang tidak mendengar isak tangis perlahan, isak tangis tertahan-tahan. 

Gadis yang menangis perlahan itu bukan lain adalah Liem Sian Hwa, orang termuda dari empat orang gagah dari Hoa-san-pai. Memang aneh kalau melihat gadis perkasa ini menangis. Sebagai seorang pendekar wanita yang amat terkenal namanya, biarpun seorang wanita, tangis merupakan sebuah hal yang dipantangnya, amat memalukan baginya.

Oleh karena itulah, semua kedukaan hatinya ditahan-tahan selama ia melakukan perjalanan bersama twa suhengnya, yaitu Kwa Tin Siong. Baru pada malam hari ini, ketika mereka bermalam di losmen kecil di kota Leng ki ini, ia mendapat kesempatan pada malam hari itu keluar losmen duduk di taman bunga yang sunyi meratapi nasibnya yang buruk. 

Siapakah orang takkan merasa berduka? Ayahnya dibunuh orang dan menurut bukti-bukti, pembunuhnya itu bukan orang lain adalah tunangannya sendiri, bersama seorang perempuan kekasih tunangannya itu! 

Tunangannya itu adalah pilihan gurunya dan ayahnya, maka tentu saja ia sudah menganggapnya sebagai seorang yang akan menjadi pelindung atau kawan hidup selamanya. Siapa duga, orang itu pula yang membunuh ayahnya. Sekaligus ia kehilangan ayah dan calon suami, dan sebagai gantinya ia mendapatkan seorang musuh besar yang lihai, yaitu Kwee Sin jago muda dari Kun-lun-pai itu. 

Ia tidak gentar menghadapi Kwee Sin atau siapapun juga untuk membalas sakit hatinya, akan tetapi mengingat betapa justru tunangannya sendiri yang menjadi musuh besarnya, yang membubuh ayahnya, sekaligus berantakanlah mimpi muluk-muluk yang selama ini memenuhi tidurnya. Hancur hati gadis cantik itu dan di dalam taman yang sunyi ia dapat menuangkan semua kesedihannya melalui air matanya yang bercucuran deras seperti air sungai yang meluap-luap.

Sunyi disekeliling tempat itu. Sian hwa demikian terbenam dalam tangis dan kesedihannya sehingga ia tidak melihat atau mendengar datangnya Kwa Tin Siong ke dalam taman. Pendekar ini mendekati sumoinya dan menegur halus

“Sumoi, harap kau suka menenangkan pikiranmu. Tiada gunanya ditangisi dan disedihi, paling perlu kau harus dapat menjernihkan kekeruhan itu. Dan percayalah kau, sumoi. Aku senantiasa menyediakan tenaga dan nyawa untuk membantumu. Pasti kita berdua akan dapat membongkar rahasia kematian ayahmu dan membalas dendam ini.”



Sian Hwa terisak-isak, hatinya makin perih dan terharu dan dengan sedu-sedan ia menubruk kakak seperguruannya.

“Twa-suheng…., ah …., alangkah buruk nasibku, suheng…”



Sian Hwa menangis sedih di dada Kwa Tin Siong yang memeluk pundaknya dan menghiburnya.

“Sudahlah sumoi, mari kita masuk ke dalam. Kalau terlihat orang lain kau menangis seorang diri disini bisa menimbulkan dugaan yang bukan-bukan.”

Tiba-tiba Kwa Tin Siong mendorong tubuh adik seperguruannya kesamping dan tangannya menyambar kedepan. 

“Keparat pengecut!” bentaknya sambil melompat ke depan. 

Sian Hwa yang tadi dikuasai kesedihannya kurang waspada dan tidak mendengar dan melihat menyambarnya benda itu, kini ia maklum bahwa ada orang jahat, cepat ia melompat mengejar suhengnya.

Akan tetapi Kwa Tin Siong sudah kembali lagi. 
“Dia menghilang dalam gelap,” katanya “Mari kita masuk, sumoi. Entah benda apa yang dilemparkan kearah kita tadi.”

Di dalam ruangan losmen, dibawah penerangan lampu, mereka berdua melihat benda itu. Sian Hwa mengeluarkan seruan kaget. Benda itu adalah sebuah sisir rambut dari perak. Sisir rambutnya sendiri yang dulu dipergunakan sebagai tanda pengikat perjodohannya dengan Kwee Sin! Sekarang sisir rambut itu dikembalikan dengan tambahan sedikit tulisan pada kertas yang membungkus sisir. 

Putus karena berlaku serong.





Wajah Sian Hwa menjadi merah sekali, merah karena jengah dan merah karena kemarahannya yang memuncak. Sudah jelas sekarang bahwa yang menyambit dengan sisir peraknya tadi adalah Kwee Sin, tunangannya yang melihat dia menangis dalam pelukan Kwa Tin Siong! Dan tunangannya itu, yang membunuh ayahnya, yang bermain gila dengan perempuan Pek-lian-kauw, sekarang malah menuduh dia bermain gila dengan suhengnya sendiri.

Dengan isak ditahan-tahan Sian Hwa lari masuk ke dalam kamarnya, meninggalkan Kwa Tin Siong yang berdiri terlongong di ruangan itu. Pendekar ini menarik napas berulang kali, hatinya berdebar-debar tidak karuan, pikirannya kusut.



Baru kali ini semenjak dia ditinggal mati istrinya, hati dan pikirannya digoda oleh persoalan wanita, dan wanita itu adalah sumoinya sendiri. Kemudian dia teringat akan puterinya, Kwa Hong. Diam-diam di dalam hati ayah ini pun timbul kekhawatiran besar, bukan hanya kekhawatiran memikirkan anaknya itu sekarang pergi bersama seorang aneh seperti Koai Atong, juga khawatir akan nasib anak perempuannya itu kelak. 

Sudah ada rencana dalam hatinya untuk mengikat tali perjodohan antara anak perempuannya itu dengan putera sulung sutenya, Thio Wan It. Akan tetapi setelah sekarang dia menghadapi kenyataan pahit dalam ikatan jodoh sumoinya, dia merasa berkhawatir. Khawatir kalau-kalau kelak anaknya juga menghadapi kekecewaan dalam pertunangan seperti sumoinya itu.



Semalam itu Kwa Tin Siong tak dapat tidur dan ketika pada keesokan harinya dia bertemu dengan Sian Hwa, dia melihat sumoinya itupun merah kedua matanya, tanda bahwa sumoinya inipun tidak tidur dan banyak menangis. 

Mereka tidak dapat mengeluarkan kata-kata karena peristiwa malam tadi masih menggores hati dan perasaan mereka. Dengan cepat setelah sarapan mereka melanjutkan perjalanan ke Hoa-san yang tidak jauh lagi letaknya, hanya perjalanan setengah hari.

Lian Bu Tojin, ketua Hoa san pai yang sudah berusia enam puluh tahun ini, seorang kakek tinggi kurus berjenggot panjang bertongkat bambu, duduk diatas bangku sambil mengusap-usap jenggotnya dan memandang murid bungsunya yang berlutut di depan kakinya. Beberapa lama dia membiarkan muridnya itu menangis tersedu-sedu. Setelah melihat agak reda tangis Sian Hwa barulah dia berkata dengan suaranya yang halus dan sabar.

“Sian hwa, kau tenangkanlah hatimu dan pergunakanlah pikiranmu. Dalam menghadapi segala macam peristiwa, baik yang menyenangkan maupun yang menyedihkan, kau harus dapat mempergunakan pikiranmu. Terlampau menuruti perasaan dapat menggelapkan pikiran. Hati boleh sepanas-panasnya akan tetapi kepala harus dingin sehingga pikiran tidak dikuasai hati dan dapat mempertimbangkan segala sesuatu dengan sebaiknya.”



“Teecu menurut petuah suhu, akan tetapi, suhu…… manusia she Kwee itu betul-betul keji. Hanya karena ayah teecu melihat perbuatannya yang tidak tahu malu itu, kenapa dia sampai hati membunuh ayah? Ah, …., teecu mohon perkenan suhu untuk mencarinya dan membalas dendam ini.”

Lian Bu Tojin tersenyum dan mengangguk-angguk. 
“Darah muda……, darah muda…..! Sian Hwa, persoalanmu ini mengandung rahasia yang meragukan. Pula, tidak percuma kau menjadi muridku. Bukankah dahulu sudah sering kuajarkan kepadamu bahwa di balik segala peristiwa yang terjadi di dunia ini, terdapat kekuasaan tertinggi yang mengatur segalanya? Apa yang terjadi pada diri ayahmu sekalipun adalah hal yang sudah semestinya begitu, tepat menurut kehendak kekuasaan itu, manusia yang melakukannya hanyalah menjadi lantaran belaka. Karena itu tugasmu memang harus memegang kebenaran, menegakkan keadilan, memberantas kejahatan dan penyelewengan, akan tetapi jangan sekali-kali dipengaruhi dan ditunggangi oleh nafsu kebencian, nafsu membalas dendam, karena kalau terjadi hal demikian, sudah bukan penegak keadilan dan pemberantas kejahatan lagi namanya, melainkan menjadi budak nafsu sendiri yang termasuk kejahatan pula.”

“Teecu menyerahkan urusan ini kepada suhu….” 

Kata Sian Hwa lemah, terpukul oleh petuah suhunya yang tentu saja sudah dimengertinya baik-baik itu.

“Sekarang biarlah suhengmu yang menuturkan apa yang telah terjadi semua.”



Kwa Tin Siong lalu menceritakan kepada suhunya tentang semua pengalamannya semenjak dia berniat membantu Pek-lian-pai untuk menentang pemerintah penjajah, betapa dia bertemu dengan Koai Atong yang membawa pergi anaknya dan tentang penyerangan orang-orang yang mengaku anggota Pek-lian-kauw terhadap dia dan Sian Hwa. 

Sebagai penutup dia kemukakan bahwa keadaan Kwee Sin memang mencurigakan sekali, dan sangat boleh jadi Kun-lun Sam-hengte, yaitu Bun Si Teng, Bun Si Liong, dan Kwee Sin sudah pula mengadakan hubungan dengan kaum Pek-lian-pai.

“Hanya sebuah hal yang teecu tidak mengerti, yaitu tentang hubungan saudara Kwee Sin dengan wanita Pek-lian-pai yang amat mencurigakan itu, benar-benar teecu tidak mengerti….” 

Demikian Kwa Tin Siong menutup penuturannya. Dalam penuturannya tadi, dia sengaja tidak menceritakan tentang kejadian di taman bunga belakang losmen. Kwa Tin Siong adalah seorang gagah yang sudah banyak pengalaman, maka mendengar bahwa tadi sumoinya pun tidak bercerita tentang hal ini, dia tidak mau menyebut-nyebutnya pula karena dia tidak ingin menyinggung perasaan Sian Hwa.

Ketua Hoa san pai mengangguk-angguk lalu berkata. 
“Memang mencurigakan sekali keadaan Kwee Sin itu. Sekarang begini saja baiknya Kwa Tin Siong dan Sian Hwa. Segala urusan yang menyangkut diri sahabat-sahabat, harus diselesaikan secara musyawarah, secara damai dan seadil-adilnya. Tunggulah sampai Wan It dan Kui Keng datang, dan kalian boleh pergi mengunjungi Kun-lun Sam-hengte untuk minta penjelasan langsung dari Kwee Sin. Dengan demikian, maka segala hal akan dapat diselesaikan.” 

Setelah berkata demikian, ketua Hoa san pai ini bertanya lebih lanjut tentang Kwa Hong yang pergi bersama Koai Atong.

“Itulah Suhu, yang amat menggelisahkan hati teecu, Koai Atong adalah seorang yang amat aneh kelakuannya, seperti anak kecil atau seperti orang yang miring otaknya. Teecu tidak tahu kemana anak teecu itu dibawa pergi.”

Lian Bu Tojin tersenyum. 
“Tak usah, khawatir. Kalau Koai Atong sudah berkeliaran disini, berarti bahwa gurunya, Ban-tok-sian Giam Kong sudah meninggalkan Tibet pula dan berada disini. Asal saja anakmu itu mengaku bahwa dia cucu murid Hoa-san-pai, kiranya dia takkan mendapat kesukaran karena Ban-tok-sim Giam Kong tentu memandang muka pinto.”

Tidak lama Kwa Tin Siong dan Sian Hwa menanti di Hoa-san. Empat hari kemudian berturut-turut datanglah Bu-eng-kiam Thio Wan It bersama dua orang anaknya, yaitu yang sulung Thio Ki, anak laki-laki berusia dua belas tahun dan yang ke dua Thio Bwee, anak perempuan berusia sepuluh tahun dan Toat-beng-kiam Kui Keng yang juga datang bersama anaknya laki-laki bernama Kui Lok berusia sebelas tahun. 

Dua orang pendekar Hoa-san ini sengaja datang bersama anak-anak mereka untuk menghadap Lian Bu Tojin sekalian memperkenalkan anak-anak itu dan memberi tambahan pengalaman kepada anak-anak mereka yang mereka harapkan kelak akan menjadi pendekar-pendekar Hoa-san pengganti mereka.

Pertemuan antara empat Hoa-san Sie-eng itu tentu akan menggembirakan sekali kalau saja yang baru datang tidak mendengar tentang peristiwa kemalangan yang menimpa diri Liem Sian Hwa dan Kwa Tin Siong. Sian Hwa kematian ayahnya dan Tin Siong kehilangan anak perempuannya. Dua orang pendekar Hoa-san itu, Thio Wan It dan Kui Keng, menyambut berita duka ini sesuai dengan watak masing-masing.

Thio Wan It dengan julukannya Bu-eng-kiam (Pedang Tanpa Bayangan) ini berwatak pendiam dan berangasan mudah marah, akan tetapi jujur dan keras, berlawanan dengan perawakannya yang pendek dan gemuk muka bundar, bajunya selalu serba hitam. Dengan kedua tangan terkepal dia berkata.

“Mari kita pergi mencari Kwee Sin, ingin aku menghajar bocah kejam kurang ajar itu!”

Kui Keng si Pedang Pencabut Nyawa, wajahnya tampan tubuhnya kecil, sikapnya selalu gembira dan pakaiannya serba putih. la menyambut berita itu sambil tertawa, 

“Urusan Sumoi perlahan-lahan dapat diurus, kurasa yang lebih penting mencari puteri Twa-suheng, siapa tahu anak nakal gila itu akan mengganggu Hong-ji. Urusan dengan Kwee Sin itu berbelit-belit, mungkin ada hubungannya dengan Pek-lian-pai, harus diselidiki dengan seksama”.

Sian Hwa yang mencoba untuk menghibur kesedihannya, menyerahkan perundingan itu kepada tiga orang suhengnya, dia sendiri lalu menggandeng Thio Bwee, Thio Ki, dan Kui Lok diajak ke lian-bu-thia (ruangan belajar silat) sambil berkata.

“Mari anak-anak, hendak Bibi lihat sampai dimana kemajuan kalian di bawah asuhan ayah-ayah kalian.”

Memang terhibur juga hati Sian Hwa bertemu dengan keponakan-keponakannya yang menyenangkan itu. Thio Ki berwajah bundar seperti ayahnya, tampan dan sikapnya sudah membayangkan kegagahan biarpun dia baru berusia dua belas tahun, pendiam dan dadanya selalu terangkat.





SELANJUTNYA»»

Postingan populer dari blog ini

RAJA PEDANG (BAGIAN PERTAMA SERIAL RAJA PEDANG)

RAJAWALI EMAS (BAGIAN KE-2 SERIAL RAJA PEDANG)

JAKA LOLA (BAGIAN KE-4 SERIAL RAJA PEDANG)