RAJA PEDANG JILID 21
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Oleh
Epul Saepul Rohman
Pertempuran berjalan seru sekali. Ternyata kepandaian dua orang tosu itupun lihai bukan main. Gerakan joan-pian mereka amat hebat, seperti dua ekor ular yang menggeliat-geliat dan menyambar-nyambar.
Namun semua serangan mereka dapat dihindarkan oleh Koai Atong dengan mudah. Sebaliknya, dengan anak panahnya itu pun Koai Atong tidak mampu mendesak dua orang lawannya, malah nampaknya Koai Atong dalam gerakan-gerakannya terlampau lemah sedangkari dua orang lawannya itu makin cepat dan kuat daya serangannya.
Hal ini tidak aneh karena dua orang itu rnenggunakan ilmu silat yang mengandung tenaga Yang, sebaliknya Koai Atong memang memiliki kepandaian yang berdasarkan tenaga Im yang lebih halus dan lemas. Namun hanya tampaknya saja dia kalah cepat dan kalah kuat, padahal sesungguhnya tidak demikian karena dengan tenaga lemas dia dapat mempergunakan tenaga lawan untuk balas menyerang.
Pada jurus ke lima puluh, tiba-tiba dua orang tosu itu mengeluarkan bunyi aneh melengking tinggi dan serentak mereka menggerakkan tangan kirinya ke depan. Hanya tampak sinar beraneka warna menyambar ke arah Koai Atong.
Orang aneh ini tampak kebingungan, cepat dia memutar anak panahnya sambil mengibaskan tangan kirinya seperti orang menghadapi sambaran banyak senjata rahasia yang kecil. Akan tetapi tetap saja dia mengaduh ketika terasa pundak kirinya gatal-gatal.
“Aduh, curang….. auh, curang…”
Dan orang tinggi besar yang berjiwa anak-anak ini lalu menangis! Akan tetapi sambil menangis dia menyerang ! Lebih hebat sehingga kedua lawannya terpaksa banyak main mundur saja karena memang bukan main berbahayanya sepak terjang Koai Atong yang seperti seorang anak-anak sedang marah itu.
Kwa Hong khawatir sekali melihat bahwa temannya menangis dan agaknya kesakitan.
“Tosu-tosu bau! Kakek-kakek mau mampus! Tak tahu malu, cih, tak tahu malu. Sudah main keroyokan masih berlaku curang!” Kwa Hong memaki-maki sehingga kedua orang tosu itu rnenjadi merah mukanya.
“Diam, anak setan!” bentak kakek yang bertahi lalat pipinya
”Kau yang diam, tosu bau! Ahhh, kalau aku sudah besar, kucongkel tahi lalatmu di pipi itu, kuganti dengan tahi kerbau!”
Kwa Hong memaki dan makian ini membuat Koai Atong yang tadi menangis menjadi tertawa terbahak-bahak.
“Ha-ha-ha, betul-betul! Ganti dengan tahi orang, lebih bau lagi!”
Akan tetapi setelah dia tertawa, penyerangannya kurang kuat dan dia kena didesak mundur lagi. Kwa Hong melihat ini menjadi makin khawatir. Koai Atong boleh jadi lihai, akan tetapi dia kurang siasat dan seperti anak kecil saja, pula kedua orang lawannya itu ternyata amat lihai.
Pada saat itu, si penculik diam-diam mendekati Kwa Hong. la menganggap anak ini mengganggu kedua orang susioknya, pula melihat orang aneh itu terdesak, dia mendapat kesempatan untuk menangkap Kwa Hong.
Setelah dekat dia menubruk anak itu. Kwa Hong yang sudah banyak belajar ilmu silat, cepat membanting diri ke belakang sehingga tubrukan itu meleset dan….. tiba-tiba Koai Atong menggerakkan tangan kirinya dari jauh dengan cara mendorong. Tanpa dapat dicegah lagi tubuh penculik itu terlempar masuk ke dalam air telaga!
Koai Atong tertawa cekakakan, dan Kwa Hong mau tak mau tertawa geli juga melihat betapa si penculik yang sial itu sekali lagi menyumpah-nyumpah sambil berenang ke pinggir dan merayap naik dengan pakaian basah kuyup. Akan tetapi Kwa Hong yang agaknya lebih cerdik daripada Koai Atong, segera teringat akan gerakan tangan kiri orang aneh itu.
“Koai Atong, gunakan tangan kirimu, putar-putar dan pukul…..”
la teringat betapa lihainya tangan kiri Koai Atong yang pernah memukul mundur rombongan penculik, juga tadi baru saja diperlihatkan lagi ketika mendorong tubuh si penculik ke dalam telaga.
Seperti orang baru teringat, Koai Atong menghentikan suara ketawanya dan berkata,
“Wah, iya, aku sampai lupa. Eh, Ini rasakan pukulanku, tosu-tosu hidung kerbau!”
la memutar-mutar tangan kirinya dengan gerakan lucu seperti orang….. menyelinger mobil, lalu mendorong dua kali ke depan.
Dua orang tosu itu masih belum menduga bahwa gerakan yang aneh dan lucu ini adalah gerakan pukulan Jing-tok-ciang, maka begitu mereka terdorong, mereka mengeluarkan teriakan kaget, mundur terhuyung-huyung dengan muka pucat dan napas sesak.
“Celaka…..!”
Mereka berteriak dan cepat mereka melarikan diri seperti dikejar setan. Padahal yang mengejar mereka bukan lain adalah si penculik yang lebih ketakutan lagi melihat susiok-susioknya melarikan diri.
“Kejar, Koai Atong. Tangkap!” seru Kwa Hong berkali-kali.
Akan tetapi Koai Atong hanya tertawa-tawa, lalu berjingkrakan sambil bertepuk-tepuk tangan kegirangan, seperti seorang anak-anak bergirang karena menang dalam permainan.
“Bagus, ya? Bagus, ya?” katanya kepada Kwa Hong. “Sayang ikan-ikan itu dimakan monyet tadi. Ikan-ikan sisik kuning emas tulen tadi.”
“Sudahlah, aku sudah bosan. Aku mau kembali kepada ayah, Hayo antarkan aku”.
“Kenapa kembali? Habis aku bagaimana? Eh, Enci….. siapa namamu?”
Geli juga hati Kwa Hong mendengar orang itu menyebutnya enci (kakak perempuan), orang setua ayahnya kok menyebut enci. Benar-benar gila
“Namaku Hong, she Kwa.”
“Jangan kembali dulu, Enci Hong. Aku masih senang bermain-main dengan kau. Mari kuperlihatkan puncak yang ada bunga cengger ayam. Bagus sekali.” Koai Atong membujuk-bujuk seperti anak merengek-rengek.
“Tidak, aku sudah lama pergi, takut ayah mengharap-harap kembaliku.”
“Kau takut dimarahi ayahmu? Jangan takut. Kalau dia berani marah, kupukul dia!”
Tiba-tiba Kwa Hong memandang kepada Koai Atong dengan muka beringas dan mata berapi.
“Apa katamu? Kau mau pukul ayah? Kau berani pukul dia? Kubunuh kau!”
Koai Atong nampak kaget dan cepat dia berkata halus,
“Ah, tidak….. ,tidak, Enci Hong….. aku tidak berani…..”
Kwa Hong biarpun masih kecil sekarang mengerti bahwa orang ini memang tidak normal, merasa seperti seorang anak yang kecil, lebih kecil dari dia sendiri. Maka ia lalu berkata dengan suara marah, menakut-nakuti.
“Kalau begitu, lekas antar aku kembali kepada ayah. Kalau kau tidak mau, aku tidak suka lagi menjadi temanmu.”
“Oh, baik, baik, Enci Hong, baik. Marilah…..”
Koai Atong memegang lengan tangan Kwa Hong dan seperti tadi, dia berlari cepat sekali kembali ke dalam hutan dimana tadi mereka menihggalkan Kwa Tin Siong dan Sian Hwa. Akan tetapi, setelah tiba di tempat itu, mereka tidak dapat menemui dua orang itu yang sudah lama pergi. Hari telah menjadi senja dan Kwa Hong gelisah bukan main.
“Kau yang salah! Kenapa kau ajak aku pergi? Sekarang bagaimana? Kemana aku harus mencari ayah?”
Gadis cilik ini rnembanting-banting kakinya sehingga Koai Atong juga ikut bingung dan ketakutan.
“Habis bagaimana baiknya? Salahnya ayahmu yang tidak mau menunggu disini,” ia membela diri.
“Kau persalahkan ayah? Lekas sekarang kita menyusul. Kau harus dapat membawa aku bertemu dengan ayah, kalau tidak, awas kau…..!”
Koai Atong mengangguk-angguk.
“Baiklah…… mari kita susul ayahmu.”
Mereka keluar dari hutan itu, akan tetapi terpaksa mereka berhenti karena malam telah tiba. Kwa Hong meraba bingung dan gelisah sekali, ingin menangis, akan tetapi ia maklum bahwa kalau dia menangis, maka hal itu bahkan akan membuat Koai Atong menjadi bingung, ia menahan perasaannya dan bersikap seolah-olah ia menjadi kakak yang memimpin sedangkan Koai Atong seperti adiknya.
“Aku mau mengaso dan tidur di bawah pohon sini, kau buatkan api unggun dan menjaga disini,” katanya.
Akan tetapi Koai Atong begitu bodohnya, sehingga membuat api unggun saja tidak becus. Kwa Hong terpaksa memberi petunjuk cara membuat api dari dua kayu yang digosok secara keras. Tentu saja dengan tenaga Iweekangnya yang tinggi, beberapa kali gosok saja Koai Atong sudah berhasil menimbulkan api.
Orang aneh ini bersorak-sorak girang melihat api dan sekiranya dia tidak bersama Kwa Hong yang mencegahnya, tentu dia akan membuat api yang amat besar yang akan membakar seluruh hutan!
Dengan Koai Atong menjaga di dekatnya Kwa Hong merasa aman dan anak ini segera tertidur. Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Kwa Hong sudah sadar karena merasa amat dingin. Ketika ia melihat, ternyata orang aneh itupun sudah tertidur mengorok sambil duduk bersandar pohon.
Seketika Kwa Hong merasa ketakutan karena di dalam tidurnya, lenyaplah sifat kanak-kanak pada diri orang aneh itu, kelihatan seperti seorang laki-laki yang setengah tua dan menakutkan. Rasa takut membuat KwaHong segera bangkit lalu berjalan perlahan meninggalkah Koai Atong yang masih tertidur.
Bagaimanapun juga, dia belum mengenal watak orang aneh ini sebenarnya dan makin lama kelakuan Koai Atong makin aneh menakutkan. Siapa tahu kalau-kalau akan timbul sifat jahatnya, demikian Kwa Hong berpikir sambil pergi meninggalkan orang itu dengan maksud mencari sendiri ayahnya.
Lama ia berjalan sampai ia tiba di luar sebuah dusun ketika matahari telah mulai naik. Kwa Hong mulai merasa lapar perutnya. Aduh, bagaimana ia harus mencari makan? Rasa lapar hampir tak tertahankan di waktu pagi itu, perutnya melilit-lilit dan terasa perih. Hampir ia menangis. Mulai ia merasa menyesal mengapa ia meninggalkan Koai Atong. Sekiranya ada orang aneh itu, tentu dapat ia suruh mencari makanan.
Tiba-tiba Kwa Hong terkejut ketika mendengar suara tinggi melengking yang amat aneh. la menoleh ketakutan kekanan kiri, akan tetapi tidak melihat sesuatu. Suara melengking itu makin lama makin dekat dan akhirnya ia melihat seorang anak laki-laki berwajah putih pucat datang berjalan perlahan sambil meniup sebuah suling yang bentuknya seperti ular.
Anak itu pakaiannya berwarna kuning, bajunya terlalu panjang pada lengannya dan belakangnya sampai hampir menyentuh tanah. Wajahnya tampan, matanya berkilat, alisnya hitam, menambah wajah yang pucat itu menjadi makin pucat.
Kwa Hong tertegun melihat anak yang aneh itu. Tadinya ia tidak melihat sesuatu ketika anak itu masih jauh, akan tetapi setelah anak itu datang makin dekat, Kwa Hong hampir menjerit karena ngerinya.
Di belakang anak itu berjalan ratusan ekor ular besar kecil yang agaknya teratur sekali. Tidak seekor pun menyeleweng jalannya, semua mengikuti jejak pemuda itu, ada yang kepalanya menyusur tanah, ada yang mengangkat kepala dan berlenggang-lenggok, akan tetapi kesemuanya mengikuti pemuda yang menyuling tadi seakan-akan dikomandani oleh suara suling!
Kwa Hong merasa ngeri bukan hanya karena melihat ular demikian banyaknya, akan tetapi terutama sekali karena ia melihat betapa pemuda itu seakan-akan tidak tahu bahwa di belakangnya ada ratusan ular yang mengikutinya, masih melangkah enak-enakan sambil menyuling.
“Lari…..! Lekas kau lari…… di belakangmu banyak ular…..!”
Kwa Hong berteriak-teriak sedangkan anak ini sendiri lalu meloncat ke arah sebatang pohon besar dan memanjat pohon dengan ketakutan. Di atas pohon ia masih berteriak-teriak menyuruh anak laki-laki itu segera lari.
Akan tetapi anak itu bukannya lari malah dengan perlahan sekarang dia memutar arahnya menuju ke arah pohon itu! Ular-ular itu pun terus mengikutinya dan kini semua binatang yang menjijikkan ini telah berkumpul di bawah pohon.
SELANJUTNYA»»
Postingan populer dari blog ini
RAJA PEDANG (BAGIAN PERTAMA SERIAL RAJA PEDANG)
Oleh
Epul Saepul Rohman
JILID 01 JILID 02 JILID 03 JILID 04 JILID 05 JILID 06 JILID 07 JILID 08 JILID 09 JILID 10 JILID 11 JILID 12 JILID 13 JILID 14 JILID 15 JILID 16 JILID 17 JILID 18 JILID 19 JILID 20 JILID 21 JILID 22 JILID 23 JILID 24 JILID 25 JILID 26 JILID 27 JILID 28 JILID 29 JILID 30 JILID 31 JILID 32 JILID 33 JILID 34 JILID 35 JILID 36 JILID 37 JILID 38 JILID 39 JILID 40 JILID 41 JILID 42 JILID 43 JILID 44 JILID 45 JILID 46 JILID 47 JILID 48 JILID 49 JILID 50 JILID 51 JILID 52 JILID 53 JILID 54 JILID 55 JILID 56 JILID 57 JILID 58 JILID 59 JILID 60 JILID 61 JILID 62 JILID 63 JILID 64 JILID 65 JILID 66 JILID 67 JILID 68 JILID 69 JILID 70 JILID 71 JILID 72 JILID 73 JILID 74 JILID 75 JILID 76 JILID 77 JILID 78 JILID 79 JILID 80 JILID 81 JILID 82 JILID 83 JILID 84 JILID 85 JILID 86 JILID 87 JILID 88 JILID 89 JILID 90 JILID 91 JILID 92 JILID 93 JILID 94 JILID 95 JILID 96 JILID 97 JILID 98 JILID 99 JILID 100 JILID 101 J
RAJAWALI EMAS (BAGIAN KE-2 SERIAL RAJA PEDANG)
Oleh
Epul Saepul Rohman
SERI SEBELUMNY JILID 001 JILID 002 JILID 003 JILID 004 JILID 005 JILID 006 JILID 007 JILID 008 JILID 009 JILID 010 JILID 011 JILID 012 JILID 013 JILID 014 JILID 015 JILID 016 JILID 017 JILID 018 JILID 019 JILID 020 JILID 021 JILID 022 JILID 023 JILID 024 JILID 025 JILID 026 JILID 027 JILID 028 JILID 029 JILID 030 JILID 031 JILID 032 JILID 033 JILID 034 JILID 035 JILID 036 JILID 037 JILID 038 JILID 039 JILID 040 JILID 041 JILID 042 JILID 043 JILID 044 JILID 045 JILID 046 JILID 047 JILID 048 JILID 049 JILID 050 JILID 051 JILID 052 JILID 053 JILID 054 JILID 055 JILID 056 JILID 057 JILID 058 JILID 059 JILID 060 JILID 061 JILID 062 JILID 063 JILID 064 JILID 065 JILID 066 JILID 067 JILID 068 JILID 069 JILID 070 JILID 071 JILID 072 JILID 073 JILID 074 JILID 075 JILID 076 JILID 077 JILID 078 JILID 079 JILID 080 JILID 081 JILID 082 JILID 083 JILID 084 JILID 085 JILID 086 JILID 087 JILID 088 JILID 089 JILI
JAKA LOLA (BAGIAN KE-4 SERIAL RAJA PEDANG)
Oleh
Epul Saepul Rohman
SERI SEBELUMNYA JILID 001 JILID 002 JILID 003 JILID 004 JILID 005 JILID 006 JILID 007 JILID 008 JILID 009 JILID 010 JILID 011 JILID 012 JILID 013 JILID 014 JILID 015 JILID 016 JILID 017 JILID 018 JILID 019 JILID 020 JILID 021 JILID 022 JILID 023 JILID 024 JILID 025 JILID 026 JILID 027 JILID 028 JILID 029 JILID 030 JILID 031 JILID 032 JILID 033 JILID 034 JILID 035 JILID 036 JILID 037 JILID 038 JILID 039 JILID 040 JILID 041 JILID 042 JILID 043 JILID 044 JILID 045 JILID 046 JILID 047 JILID 048 JILID 049 JILID 050 JILID 051 JILID 052 JILID 053 JILID 054 JILID 055 JILID 056 JILID 057 JILID 058 JILID 059 JILID 060 JILID 061 JILID 062 JILID 063 JILID 064 JILID 065 JILID 066 JILID 067 JILID 068 JILID 069 JILID 070 JILID 071 JILID 072 JILID 073 JILID 074 JILID 075 JILID 076 JILID 077 JILID 078 JILID 079 JILID 080 JILID 081 JILID 082 JILID 083 JILID 084 JILID 085 JILID 086 JILID 087 JILID 088 JILID 089 JILID 090 JILID 091 JILID 092 JILID 093 JILID 094 JILID 095 JILID 096 JILID 097 JILID 098 JILI