RAJA PEDANG JILID 26

“Perampok-perampok jahat pengganggu rakyat, kalau bukan anggauta Pek-lian-pai seperti aku, siapa lagi yang akan membasminya?”

Kedua tangannya bergerak dan sinar-sinar putih berkelebatan. Terdengar jerit-jerit kesakitan ketika para perampok itu terkena oleh sambaran Pek-lian-ting (Paku Teratai Putih), kecuali Ang-bin Piauw-to dan Phang Kwi yang dapat mengelak.

Makin terkejut hati Ang-bin Piauw-to mendengar disebutnya perkumpulan Pek-lian-pai yang sedang memberontak untuk meruntuhkan pemerintah penjajah Mongol itu. Namun dia mengandalkan kepandaian sendiri, goloknya diputar cepat dan dia menyerang kakek Tan Sam. Adapun Phang Kwi maju dengan ruyungnya menyerbu Tan Hok.

Benar-benar amat mengagumkan dan mengherankan keadaan pemuda itu. Gerakan-gerakannya tidak seperti orang pandai silat, hanya memiliki langkah-langkah kaki berdasarkan ilmu silat rendahan saja. Akan tetapi tenaga pemuda ini luar biasa sekali, baik tenaga luar maupun tenaga dalamnya. Ruyung di tangan Phang Kwi yang menyambarnya, dia tangkis dengan tangan kiri sekuat tenaga dan…..ruyung itu patah! 

Saking kaget dan herannya, Phang Kwi yang lebih tinggi ilmu silatnya itu kurang cepat mengelak sehingga pukulan tangan Tan Hok yang keras seperti serudukan gajah itu menyerempet pundaknya sampai patah-patah tulangnya. Phang Kwi terlempar dan mengaduh-aduh, meringis-ringis kesakitan.

Berbeda dengan Tan Hok, kakek itu ternyata memiliki gerakan yang luar biasa gesitnya. Lebih cepat daripada sambaran golok. Sampai lenyap bayangan kakek itu dikejar sinar golok. Baru berlangsung dua puluh jurus penyerangan kepala perampok itu, terdengar suara keras, golok terlempar menancap dinding dan tubuh kepala perampok terjengkang ke belakang, mukanya pucat karena dia sudah menderita luka pada dadanya oleh tamparan kakek yang lihai ini.

Pada saat itu, tiba-tiba bertiup angin dari luar warung dan berkelebatlah bayangan yang membawa bau yang amat harum dan di lain saat Tan Sam dan Tan Hok telah berhadapan dengan seorang perempuan yang amat cantik. Mukanya putih halus dengan sepasang pipi kemerahan, mata yang mengeluarkan cahaya bening tajam membayangkan pengertian yang mendalam, bibir yang merah kadang-kadang membayangkan kekerasan penuh wibawa, akan tetapi lebih sering tersenyum penuh pikatan, pendeknya seorang wanita cantik dengan bentuk tubuh yang indah. 

Sukar menaksir berapa usianya. Melihat wajahnya yang segar dan bentuk tubuhnya yang padat, kiranya patut kalau ia ini berusia delapan belas tahun. Akan tetapi melihat sinar matanya, agaknya ia jauh lebih tua daripada itu. 

Pakaian yang menutup tubuhnya terbuat daripada sutera halus berwarna merah kuning hijau biru diselang-seling indah sekali. Sepatunya yang amat kecil berwarna merah dengan dasar dilapis besi. Sebatang golok kecil tipis tergantung di punggungnya, dari depan hanya tampak gagangnya tersembul di belakang pundak kanan, sedangkan tangan kirinya memegang sehelai selendang merah dari sutera pula. Kedatangan wanita ini amat cepatnya dan ini saja sudah menunjukkan bahwa dia adalah seorang yang berkepandaian tinggi.



Tan Hok dan Tan Sam bengong terheran-heran ketika tiba-tiba wanita cantik itu menudingkan telunjuknya yang runcing halus ke muka mereka sambil membentak.



“Orang-orang Pek-lian-pai benar sombong, mengandalkan kepandaian sendiri menghina golongan lain. Hemmm, kalau tidak diberi hajaran akan menjadi makin besar kepala!” 

Baru saja suaranya yang halus merdu berhenti, tubuhnya yang langsing sudah berkelebat ke arah Tan Sam. Dalam sejurus saja ia telah mengirim tiga macam serangan kepada kakek itu, yakni tusukan ke arah mata dengan dua jari tangan kiri disusul totokan dengan tangan kanan ke arah dada dan tendangan kaki kiri melayang pula!

Tan Sam tidak berani main-main seperti ketika menghadapi para perampok kasar tadi. Dari gerakan wanita ini maklumlah bahwa dia bertemu dengan lawan tangguh yang memiliki jurus-jurus ilmu silat yang aneh dan keji. Cepat dia bergerak mengelak dan menangkis, membuyarkan tiga macam serangan itu.



Alangkah kagetnya ketika dia merasa lengan tangannya terasa pedas dan gatal ketika dia menangkis totokan tangan kanan wanita itu. Di lain fihak, wanita cantik itu sendiripun kaget dan terheran-heran melihat tiga serangannya dapat dibuyarkan kakek ini.

“Nona, tahan dulu. Mengapa kau memusuhi orang Pek-lian-pai?” tanya Tan Sam yang merasa penasaran. 

Akan tetapi mukanya berubah pucat ketika melihat wanita itu sudah mengeluarkan sebuah benda yang ternyata adalah lima bunga teratai dengan lima warna di atas satu tangkai. Lima macam teratai ini terbuat dari logam yang keras dan tangkainya merupakan gagang senjata.





“Eh….. kiranya….. Ngo-lian-kauwcu (ketua Agama Lima Teratai)…..” hanya sampai di sini Tan Sam dapat berkata karena senjata aneh berupa lima teratai itu telah digerakkan ke arahnya. 

Tan Sam mencoba untuk mengelak, akan tetapi tiba-tiba kepalanya menjadi pening, matanya silau dan pundaknya terpukul sebuah diantara lima teratai itu. Kakek ini mengeluh dan roboh terlentang, mukanya berubah hitam dan napasnya berhenti.



Melihat gurunya tewas, Tan Hok pemuda tinggi besar itu menjadi kaget sekali. 
“Siluman betina…….. Kau bunuh orang?”

Wanita itu tersenyum dan berkilatlah deretan giginya yang putih seperti mutiara teratur. Matanya yang bening tajam itu mengerling dan bergerak cepat menjelajahi tubuh Tan Hok yang tinggi besar dan kuat berotot, kelihatan membayangkan kekaguman.

“Eh bocah raksasa, siapa namamu?” pertanyaan ini diajukan dengan suara halus dan sikap genit.

“Namaku Tan Hok dan aku harus membalas kematian…..”

“Sudahlah, kau ikut aku saja menjadi muridku. Tentu kelak kau akan menjadi jagoan besar yang tak ada bandingannya ..”

“Siluman kau!” 

Tan Hok menerjang dengan marah, kepalan tangannya yang besar itu menghantam ke arah kepala wanita itu. Akan tetapi dengan sikap tenang wanita cantik itu mengangkat tangan kiri menangkis.

Sepasang lengan bertemu. Aneh sekali kalau dilihat, lengan wanita itu kecil dan berkulit tipis halus akan tetapi begitu bertemu dengan Tan Hok yang besar dan kuat berotot seakan-akan terus menempel.



Tan Hok merasa tenaganya lenyap, dia mencoba untuk menarik kembali lengannya, namun tanpa hasil. Sebaliknya tangan wanita itu meraba dagunya yang keras, lemudian tangan kanan ini meluncur terus ke bawah. Di lain saat tubuh Tan Hok sudah roboh lemas karena jalan darahnya tertotok secara halus akan tetapi luar biasa akibatnya. 

Tan Hok berusaha menggerakan tubuh namun semua urat di tubuhnya tidak mau menuruti kehendaknya, dia tetap lemas tak berdaya. Akan tetapi mata dan mulutnya dapat dia gerakkan maka dia lalu memaki-maki tidak karuan.

Adapun para perampok ketika tadi mendengar kakek Tan Sam menyebut nama Ngo-lian-kauwcu, menjadi kaget dan Juga girang. Ang-bin Piauw-to segera memimpin anak buahnya yang sudah terluka untuk berlutut di depan wanita! cantik itu.

“Ah, kiranya Kim-thouw Thian-li (Bidadari Kepala Emas) yang menolong nyawa kami yang rendah dan bodoh. Siauwte bertujuh menghaturkan terima kasih kepada Thian-li…..”



“Sudah, cukup, jangan banyak mengobrol,” wanita itu mencegah sambil melambaikan tangan. 

Dia ini memang Kim-thouw Thian-li, ketua dari perkumpulan Ngo-lian-kauw, seorang wanita yang berkepandaian tinggi. Usianya sudah tiga puluhan, akan tetapi ia masih nampak seperti seorang gadis remaja. Sebagai murid tunggal dari Hek-hwa Kui-bo, tentu saja kepandaiannya amat hebat.

“Lebih baik kau merangket si mulut kasar ini agar dia jangan memaki-maki seperti itu,” katanya sambil menuding ke arah Tan Hok yang masih memaki-maki kepadanya.

“Baik Thian-li. Biar kubunuh si keparat ini!” kata Ang-bin Piauw-to yang cepat mencabut goloknya yang menancap pada dinding.

“Tak usah dibunuh, dirangket saja biar tidak memaki lagi. Paksa dia supaya mau menjadi muridku.”

Ang-bin Piauw-to terheran, akan tetapi tentu saja dia tak berani membantah. Diambilnya sebatang cambuk dan mulailah dia mencambuki tubuh tinggi besar yang rebah miring itu. 

Sementara itu, Kim-thouw Thian-li lalu mengambili paku-paku itu, tidak ada yang ketinggalan malah ia merampas kantong paku Pek-han-ting dari mayat Tan Sam. Sambil tersenyum puas ia menyimpan paku-paku dalam kantong itu di balik bajunya, lalu ia kembali kepada Tan Hok yang sedang digebuki. 

Makin kagumlah ketua Ngo-lian-kauw ketika melihat kepala perampok itu terengah-engah mengeluarkan keringat sedangkan cambuk itu sudah hancur, akan tetapi tubuh itu tidak terluka sama sekali, hanya Bajunya yang hancur rusak memperlihatkan tubuh yang amat kuat.

“Hemmm, tebal kulitnya, ya? Coba biarkan aku yang mencambukinya!” 

Ia menerima cambuk yang tinggal gagangnya itu dari tangan Ang-bin Piauw-to, lalu memukulkan gagang itu perlahan ke arah punggung Tan Hok. Kali ini pemuda tinggi besar itu mengaduh-aduh kesakitan.

“Kalau kau tidak mau menerima menjadi muridku, kau akan kupukul lagi sampai tidak tahan lagi sakitnya,” kata Kim-thouw Thian-li, sedangkan para perampok itu melihat dengan heran.

“Lebih baik kau bunuh. Mau bunuh lekas bunuh, kenapa masih cerewet lagi?” 

Tan Hok memaki dengan suara lemah karena dia merasakan nyeri yang hebat akan tetapi matanya masih melotot berani.

“Kurang ajar kau, minta dibunuh apa susahnya?” 

Ang-bin Piauw-to yang sudah menjadi marah sekali mengangkat goloknya hendak dibacokkan ke leher Tan Hok. Akan tetapi Kim-thouw mengibaskan selendangnya dan….. golok itu terlempar dari tangan kepala rampok.

“Jangan lancang!” 

Kim-thouw Thian-li membentak, matanya yang bening mengeluarkan cahaya berkilat. Kagetlah kepala rampok itu dan cepat dia berlutut.

“Kau dan teman-temanmu harus mentaati perintahku.

“Kami mentaati, Thian-li,” jawab kepala rampok itu. “Mulai sekarang, anggaplah kami sebagai anak buah Thian-li.

Kim-thouw Thian-ii tertawa manis. 
“Baik, aku ingin melihat apakah kalian cukup setia. Tak jauh dari sini, di puncak Gunung Hek-niauw-san, terdapat sebuah kelenteng. Hwesio-hwesio di kelenteng itu adalah anak murid Siauw-lim-pai. Kau ke sanalah dan lakukan ini…..” 

Wanita ini lalu mengajak kepala rampok menjauhi Tan Hok dan berbisik-bisik sambil menyerahkan beberapa buah Pek-lian-ting yang tadi ia kumpulkan. Kepala rampok mengangguk-angguk, kemudian bersama kawan-kawannya dia meninggalkan warung itu. Phang Kwi tidak ikut karena dia memang bukan anak buah Ang-bin Piauw-to lagi.

Kim-thouw Thian-li melirik ke arah tukang warung itu. 
“Kenapa kau masih belum pergi ikut yang lain?”

Phang Kwi cepat memberi hormat 
“Maaf, Thian-li, saya adalah pemilik warung ini, bukan anak buah Ang-bin-twako…..”

“Hemmm, kalau begitu lekas bawa mayat kakek itu. Kubur dia jauh-jauh.”

Phang Kwi mendongkol sekali, akan tetapi dia tidak berani membantah. Baiknya mayat kakek itu tidak besar dan tidak berapa berat, maka dia segera memanggulnya dibawa ke belakang. 

Setelah Phang Kwi pergi wanita itu berlutut mendekati Tan Hok. Senyumnya makin manis dan matanya bersinar-sinar aneh. Dirabanya dada Tan Hok yang bidang dan kuat.

“Orang yang kuat dan gagah,” katanya perlahan setengah berbisik. ”Tan Hok, kenapa kau berkeras kepala ? Kau ikutlah aku dan kau akan hidup penuh kesenangan. Aku kasihan kepadamu…..”

Tan Hok adalah seorang pemuda yang selain masih hijau, juga jujur dan bodoh. la tidak dapat mengerti akan maksud tersembunyi dalam kata-kata dan sikap wanita itu, dianggapnya bahwa betul-betul orang itu kasihan kepadanya. Hal ini mengingatkan keadaannya, bahwa gurunya, satu-satunya orang di dunia ini yang ada hubungannya dengan dia telah mati, maka matanya lalu basah dan dia menangis!





SELANJUTNYA»»

Postingan populer dari blog ini

RAJA PEDANG (BAGIAN PERTAMA SERIAL RAJA PEDANG)

RAJAWALI EMAS (BAGIAN KE-2 SERIAL RAJA PEDANG)

JAKA LOLA (BAGIAN KE-4 SERIAL RAJA PEDANG)