RAJA PEDANG JILID 34

“Aku Tan Hok tak kenal takut. Mendiang suhu bilang bahwa orang tak perlu takut jika membela si lemah dan menegakkan keadilan. Orang she Kwi itu gandumnya berlebihan, kalian sebaliknya kelaparan, ini tidak adil namanya. Mari, antarkan aku!”

Sikap dan ucapan Tan Hok membangkitkan semangat orang-orang yang kelaparan itu dan rombongan ini lalu menuju ke rumah Kwi-wangwe. Di sepanjang jalan yang sunyi rombongan ini bertambah besar dan akhirnya semua sisa penduduk dusun itu yang berjumlah dua puluh orang lebih ikut dalam rombongan. 

Orang-orang yang tadinya berputus harapan ini timbul keberaniannya setelah mereka dibela oleh pendekar muda Tan Hok. Betapapun juga, setelah mereka tiba di depan gedung besar milik Kwi-wangwe, gedung dan pagar tembok tinggi tebal dan melihat empat orang tukang pukul menjaga di depan pintu pagar tembok, keberanian mereka lenyap dan orang-orang ini bersembunyi di belakang Tan Hok.

Melihat sikap pengecut ini, lenyap kesabaran Tan Hok. 
“Hayo kalian maju dan nyatakan kehendak hati kalian. Takut apa?” serunya. 

Kakek tadi bersama dua orang temannya memberanikan diri mendekati pintu pagar tembok.

“Anjing-anjing kelaparan, kalian mau apa ribut-ribut disini?” seorang tukang pukul membentak sambil melintangkan toyanya, sikapnya mengancam dan sombong sekali.

“Kami hampir mati kelaparan…..” kata kakek itu merendah, “Kami hendak mohon belas kasihan Kwi-wangwe, mohon bantuan sedikit gandum untuk penyambung nyawa…..”

“Pengemis-pengemis kelaparan, pergi kalian! Kwi-wangwe mana ada waktu untuk melayani kalian? Sedang ada tamu agung dan sibuk. Pergi!”



“Kasihanilah kami….. biarlah kami diberi pinjaman gandum, kelak tentu kami bayar dengan tenaga…..” Kakek itu mendesak. 

“Setan, tidak lekas pergi?” empat orang tukang pukul itu menjadi marah sekali dan serentak mereka menggerakkan toya menerjang maju.



Segera terdengar suara bak-bik-buk disusul pekik kesakitan ketika para petani itu dipukul. Percuma saja mereka mencoba melawan karena mereka yang di waktu sehat saja tidak mampu melawan tukang-tukang pukul ini, apalagi sekarang dalam keadaan hampir mati kelaparan.

“Kejam sekali! Anjing-anjing penjaga, jangan gigit orang.” 

Tan Hok melompat ke depan dan sekali dia menggerakkan kedua kaki tangannya, empat orang tukang pukul itu roboh, toya mereka ada yang patah ada yang terlempar jauh. Bukan main kaget hati mereka. Apalagi ketika mereka melihat bahwa yang merobohkan mereka begitu mudahnya hanyalah seorang pemuda yang tubuhnya seperti raksasa.



“Tolong….. ada pengacau…..!” Mereka berteriak-teriak ke dalam sambil merayap bangun.

Berbondong-bondong dari dalam gedung keluar belasan orang tukang pukul, malah diantara mereka ada yang berpakaian seperti serdadu pemerintah Goan. Mereka ini ada yang membawa golok, toya, atau pedang dan dengan sikap mengancam mereka menyerbu keluar. 

Para petani yang tadinya berbesar hati melihat betapa dengan mudah Tan Hok merobohkan empat orang tukang pukul yang melabrak mereka tadi, sekarang berbalik menjadi ketakutan dan menjauhkan diri.



Tan Hok sendiri sama sekali tidak merasa takut. Malah dia menyambut mereka dengan suaranya yang keras, 

“Kalau tidak mau memberi gandum kepada mereka yang kelaparan, kupukul mampus kalian anjing-anjing penjaga!”

Tentu saja para tukang pukul dan serdadu penjaga itu memandang rendah kepada Tan Hok. Sambil berteriak-teriak memaki mereka menerjang. Hujan senjata menyambar ke arah tubuh tinggi besar itu, 

Namun segera terdengar teriakan-teriakan mengaduh-aduh dan keadaan menjadi kacau-balau. Para pengeroyoknya sibuk menyerangnya dari empat penjuru, namun pemuda gagah perkasa ini selalu dapat melindungi tubuhnya daripada ancaman senjata dengan jalan menangkis atau mengelak. 

Malah dia cepat secara kontan mengirim pukulan-pukulan balasan yang membuat beberapa orang menggeletak pingsan. Melihat makin banyak tukang pukul berlarian dari dalam, Tan Hok merampas sebatang toya dan mengamuk dengan senjata ini. Makin ramailah pertempuran di depan gedung Kwi-wangwe itu.





“Saudara-saudara, Tan-enghiong itu dikeroyok dalam pembelaannya terhadap kita. Bagaimana kita bisa tinggal diam saja? Hayo bantu!” 

Kakek petani berseru keras. Memang para petani itu mulai timbul keberanian mereka melihat betapa gagahnya Tan Hok melawan tukang pukul.

“Betul….. betul….. hayo bantu Tan-enghiong…..!”

Puluhan orang petani yang kurus-kurus itu dengan semangat menyala lalu menyerbu para tukang pukul yang mengeroyok Tan Hok. Mereka tidak peduli lagi akan keselamatan diri sendiri. Yang dipukul jatuh, bangkit lagi dan melawan penuh kenekatan. Tentu saja mendapat bantuan ini, Tan Hok menjadi makin bersemangat. Toyanya mengamuk dan satu demi satu para tukang pukul dapat robohkan.

Pada saat itu, dari sebelah dalam gedung terdengar suara orang berseru,


“Mundur semua, biarkan Giam-siauwya (Tuan Muda Giam) mengusir para pengacau!”

Itulah suaranya Kwi-wangwe. Mendengar perintah ini, para tukang pukul lalu mengundurkan diri sambil menyereti tubuh teman-teman mereka yang terluka. Semua orang termasuk Tan Hok memandang ke dalam. Mereka melihat Kwi-wangwe yang sudah setengah tua, seorang bertubuh tinggi kecil yang berpakaian mewah sekali, tangan kiri mengisap huncwe berujung emas, berdiri di anak tangga sambil memandang ke luar. 

Di sebelahnya berdiri seorang pemuda yang aneh. Muka pemuda ini pucat putih, matanya liar tajam, hidungnya mancung. Akan tetapi wajah yang tampan ini nampaknya aneh dan mengandung sesuatu yang mengerikan, terutama pada matanya. Pakaiannya serba kuning dan tangan kanannya memegang sebuah suling ular. Pada saat itu, pemuda yang usianya antara dua belas tahun ini berkata sambil tertawa.



“Kwi-wangwe, biarlah aku mengadakan sedikit pertunjukan yang menarik hati.”

Bocah laki-taki belasan tahun itu lalu mengangkat sulingnya, ditiupnya suling itu. Terdengar suara melengking yang aneh, naik turun seperti gelombang samudera, makin lama makin tinggi dan nyaring menusuk anak telinga. 

Tan Hok yang sudah mempelajari ilmu silat tinggi, kaget sekali karena tahu bahwa suling itu ditiup dengan kekuatan khikang yang hebat!

“Ular…..! Ular…..!” 

Para petani berteriak-teriak ketakutan. Tan Hok kaget dan cepat memutar tubuh memandang. Ia bergidik melihat banyak sekali ular merayap cepat menuju ke tempat itu, besar kecil dan datang dari semua jurusan. Tadinya hanya beberapa ekor saja, mungkin ular-ular yang terdekat di tempat itu, akan tetapi sebentar kemudian menjadi puluhan dan akhirnya ratusan ekor ular datang dan dari jauh masih kelihatan banyak lagi mendatangi.

Ketika ular-ular yang amat banyak itu sudah berkumpul dan menggeliat-geliat sambil menujukan mata ke arah si penyuling cilik yang sudah berjalan keluar dari pintu pagar tembok, suara suling tiba-tiba berubah menjadi kacau balau dan….. secara tiba-tiba ular-ular itu mendesis-desis dan nampak marah lalu menyerang para petani! 

Segera terdengar jerit-jerit kesakitan bercampur dengan teriakan ketakutan. Para petani mencoba melawan, namun sia-sia karena ular terlampau banyak. Melihat ini Tan Hok marah sekali. Sambil mengeluarkan gerengan seperti harimau terluka orang muda ini menyambar sebatang toya dan menerjang rombongan ular itu. la, menggebuk dan memukul, menghancurkan banyak kepala ular. 

Akan tetapi ular itu terlampau banyak dan tak mungkin dia dapat melindungi dua puluh lebih orang bernasib malang yang diserbu ular-ular itu. Apalagi diantara ular-ular itu, banyak terdapat ular-ular kecil berbisa yang amat gesit. Sekali pagut saja ular ular seperti ini mematikan korbannya.

Melihat betapa para petani itu roboh binasa, Tan Hok menjadi ngeri dan dengan amarah meluap-luap dia melihat betapa makin banyak dia membunuh ular, makin ganaslah ular-ular yang lain dan dalam sekejap mata saja para petani itu sudah roboh semua. Tak seorang pun tinggal hidup lagi.

“Iblis kecil berhati keji!” 

Tan Hok membalik dan melompat dengan toya di tangan, menyerang bocah kecil penyuling yang aneh itu. Sama sekali dia tidak tahu bahwa bocah itu bukanlah sembarang bocah. Dia ini bukan lain adalah Giam Kin, murid Siauw-ong-kwi tokoh besar dari utara yang amat jahat.

Serangan dengan toya yang dilakukan oleh Tan Hok amat dahsyat. Akan tetapi tiba-tiba Giam Kin menggerakkan tangan kirinya dan sinar keemasan menyambar ke arah muka Tan Hok. 

Terkejut raksasa muda ini. Cepat dia menggunakan tangan kiri menyampok sinar keemasan tanpa membatalkan serangannya dengan toya yang dipegang tangan kanan. Akan tetapi sebelum toyanya mendekati tubuh Giam Kin, dia menjerit kesakitan dan toyanya dilempar, kemudian tangan kanannya merenggut ular kuning emas yang sudah menggigit tangan kirinya. 

Rasa sakit, panas dan gatal-gatal menyerang seluruh tubuhnya. Sekali remas saja hancur luluhlah kepala dan tubuh ular kecil itu, akan tetapi rasa sakit yang menguasai tubuhnya tak tertahankan lagi. Sambii memekik-mekik Tan Hok memutar tubuh dan pergi secepatnya dari tempat itu.

“Ha-ha-ha-ha-ha, orang sombong itu takkan waras lagi otaknya, terkena racun Kim-tok-coa (Ular Racun Emas)!” 

Giam Kin tertawa bergelak sambil meniup sulingnya lagi. Ular-ular yang tadinya berpesta-pora menggigiti mayat para petani itu sekarang lari ketakutan mendengar suara suling sehingga sebentar saja disitu tidak ada seekor pun ular, kecuali bangkai-bangkai ular yang dibunuh Tan Hok tadi dan mayat para petani yang malang melintang. 

Kwi-wangwe dan kaki tangannya yang sudah kerap kali menyaksikan pembunuhan terhadap orang-orang miskin itu, sekarang bergidik juga menyaksikan kejadian yang menyeramkan ini. Dengan penuh hormat Kwi-wangwe mempersilakan Giam Kin masuk kedalam gedungnya lagi dan memerintahkan kepada orang-orangnya untuk membersihan halaman itu, membawa pergi bangkai-bangkai ular dan mayat para petani.

Tan Hok berlari-lari terus secepatnya. Tubuhnya memang luar biasa kuatnya sehingga biarpun dia sudah terkena gigitan ular berbisa yang amat berbahaya, dia masih dapat berlari cepat sampai puluhan li jauhnya. 

Akan tetapi akhirnya dia terguling roboh di tengah sawah yang tanahnya kering merekah, pingsan. Matahari dengan cahayanya yang penuh menyinari tubuh Tan Hok yang menggeletak tak berdaya itu seakan-akan hendak membakarnya. Ternyata bahwa racun ular kuning keemasan itu mengandung hawa yang amat panas sehingga seluruh tubuh Tan Hok menjadi merah kehitaman, apalagi di bagian tangan yang tergigit sampai menjadi hitam seperti hangus terbakar.

Pada saat itu, dari jurusan selatan, di atas jalan kecil yang kering kerontang dan sunyi, terdengar suara orang bernyanyi! Benar-benar amat ganjil mendengar orang bernyanyi di tempat yang diliputi hawa maut kering ini. 

Setelah kelihatan orangnya, dia itu adalah seorang anak laki-laki yang baru belasan tahun usianya. Pakaiannya compang-camping, lebih patut pakaian seorang jembel yang terlantar. 

Akan tetapi lengan dan kakinya berkulit bersih. Betapapun juga, jelas bahwa dia itu bukan bocah biasa. Hal ini terlihat dari mukanya yang berkulit aneh, yaitu kulitnya kehijauan seperti hijaunya daun muda. 

Sepasang matanya juga bukan mata manusia biasa karena mengandung sinar yang amat tajam, malah terlalu tajam sehingga seperti tidak normal lagi. Wajah yang berwarna kehijauan dengan mata setajam itu benar-benar akan membikin orang bergidik ketakutan dan mengira bahwa dia ini tentu bukan manusia. 

Apalagi kalau mendengar kata-kata dalam nyanyiannya. Aneh. Nyanyiannya saja sudah tidak karuan iramanya bukan nyanyian, lebih pantas disebut gila atau orang mengigau akibat sakit demam. Dan kata-katanya, dengarkan saja dia bernyanyi.

“Heh perut berhentilah merengek!
Tidak malukah kau kepada kaki?
Yang bekerja keras tak pernah mengeluh ”
”Kau tiada guna, tak pernah bekerja,
Kerjamu hanya merengek minta diisi”


********




SELANJUTNYA»»

Postingan populer dari blog ini

RAJA PEDANG (BAGIAN PERTAMA SERIAL RAJA PEDANG)

RAJAWALI EMAS (BAGIAN KE-2 SERIAL RAJA PEDANG)

JAKA LOLA (BAGIAN KE-4 SERIAL RAJA PEDANG)