RAJA PEDANG JILID 36

“Kau aneh sekali sih! Aku semenjak kemarin mengubur mayat-mayat orang mati kelaparan yang bergelimpangan di pinggir jalan. Tadi aku mendapatkan kau menggeletak mati disini, tidak bernapas lagi. Aku menggali lubang untuk menguburmu. Eh, tahu-tahu di dalam lubang kuburan. kau hidup lagi, makan tanah, lalu meloncat dan menyerangku. Dan sekarang, setelah muntah-muntah, kau bicara seperti orang waras. Orang dengan tubuh raksasa seperti kau, bisa mati dan hidup lagi, benar-benar bukan seperti manusia.”

Mendengar ini, Tan Hok bengong, lalu menjatuhkan diri duduk di atas tanah. Melihat pemuda raksasa itu bengong terlongong mengurut-urut dagu, Beng San juga ikut duduk di depannya. Dua orang ini duduk tak berkata-kata seperti dua buah patung batu. Akhirnya Tan Hok yang menoleh dan bertanya.

“Adik yang baik, siapa namamu? Kau anak siapa, murid siapa dan kenapa bisa sampai disini?”

Diberondong pertanyaan-pertanyaan ini Beng San tersenyum nakal, lalu menjawab secara memberondong pula. 

“Namaku Beng San, bukan anak siapa-siapa guru-guruku sudah meninggal dan bisa sampai kesini karena kedua kakiku berjalan.”

Akan tetapi agaknya Tan Hok tidak melayani sendau-guraunya, malah dengar sungguh-sungguh bertanya, 

“Kau tidak punya orang tua dan guru-gurumu sudah mati? jadi kau hidup sebatangkara di dunia ini?”

Beng San mengangguk. 
“Sejak dulu aku hidup sebatangkara.”

“Tidak punya tempat tinggal?”

Beng San menggeleng kepala

“Ah, adikku yang baik….. sama benar nasib kita…..” 

Tan Hok menubruk dan merangkul Beng San sambil menangis. Beng San bingung, lalu karena tidak tahu harus berbuat apa, iapun ikut-ikut menangis! Dua orang ini bertangis-tangisan di tengah sawah kering kerontang dan tetes-tetesan air mata mereka diisap cepat oleh tanah yang kehausan.

“Adik Beng San, aku Tan Hok, baru saja ditinggal mati guruku…..” Tan Hok menangis sambil merangkul, “dan aku,…. eh, celaka! Kau terkena racun!” Tiba-tiba dia memegang tangan Beng San dan memandang tajam. “Mukamu kehijauan, badanmu mengeluarkan hawa dingin sekali. Kau terkena hawa pukulan yang mengandung racun dingin….. celaka…..”

Beng San tersenyum. 
“Tidak, Tan-twako (Kakak Tan). Aku tidak apa-apa.”

“Betulkah? Kau tidak merasa sakit?”

“Tidak.”

“Aneh….. aneh…… kukira kau terkena racun, semacam racun ular atau…..” Tiba-tiba dia melompat dan mukanya berubah. “Ular! Ah, sekarang aku ingat. Bocah siluman ular itu yang melukaiku. Dia harus dibunuh! Celaka para petani malang itu…..”

Beng San benar-benar tidak mengerti dan terheran-heran melihat sikap raksasa yang berubah-ubah dan aneh ini. 

“Siluman ular? Dimana dia?”

“Dia seorang anak sebaya denganmu. Aku sedang memimpin para petani yang kelaparan untuk minta bantuan makanan dari hartawan Kwe yang kaya raya. Akan tetapi para petani malah diserang oleh kaki tangannya. Aku membantu dan muncullah siluman ular, mendatangkan ratusan ekor ular mengeroyok para petani, Banyak yang mati. Aku menyerang dan….. aku terluka oleh seekor ular kuning emas. Hayo, kita harus pergi kesana. Aku harus bunuh siluman itu!”

“Ratusan ekor ular! liihhhhh, menakutkan sekali!” 





Beng San bergidik dan kelihatan ngeri, lalu memandang ke kanan kiri, takut kalau-kalau ratusan ekor ular itu datang kesitu.

“Jangan takut, ada aku disini. Aku harus basmi ular-ular itu dan silumannya. Hayo, Adik Beng San, kau ikut atau tidak?” Tan Hok berdiri. “Kalau kau takut, kau tinggal saja disini, aku harus segera kembali ke dusun itu.” Tan Hok sudah mulai lari. 

“Nanti dulu, Twako. Aku ikut!” 

Beng San segera mengambil dua batang ranting yang tadi dia gunakan untuk menggali tanah, lalu ikut berlari di belakang Tan Hok.

Karena amat bernafsu untuk segera kembali ke dusun membantu para petani yang dikeroyok ular, Tan Hok mengerahkan kepandaiannya dan berlari cepat sekali. la sampai lupa bahwa di belakangnya ada Beng San, lupa bahwa kalau dia berlari secepat itu tentulah seorang anak kecil seperti Beng San akan tertinggal jauh.



Setelah berlari sampai di luar dusun barulah dia teringat dan cepat dia menengok. Alangkah herannya melihat anak itu berlari-lari kecil, seenaknya saja tapi masih berada di belakangnya.

“Eh, kau masih di belakangku?”

“Tentu saja, bukankah kau mengajakku?”

Tan Hok penuh ketegangan akan bertemu dengan siluman ular, maka dia kurang memperhatikan Beng San dan terus melanjutkan larinya memasuki dusun menuju ke gedung tempat tinggal Kwi-wangwe.

Di depan gedung Kwi-wangwe para tukang pukul sedang duduk dan sibuk membicarakan amukan para petani yang dibantu pemuda raksasa. Tentu saja mereka menjadi amat kaget ketika melihat pemuda raksasa yang kemarin telah dilukai dan diusir pergi oleh “Giam-kongcu” itu kini tiba-tiba muncul di depan mereka bersama seorang anak laki-laki bermuka hijau.



“Anjing-anjing keparat hayo lekas suruh keluar Kwi-wangwe dan siluman ular itu!” 

Tan Hok memaki sambil memegang dua orang tukang pukul dan sekali lempar dua orang itu jatuh bergulingan tiga meter lebih jauhnya. Yang lain-lain cepat mencabut senjata dan sebagian melapor ke dalam.

Sementara itu, ketika melihat para tukang pukul mencabut senjata, Tan Hok sudah bangkit amarahnya. 

“Dimana paman-paman tani semua? Kalian bunuh, ya? Awas, rasakan pembalasanku!” 

Tan Hok lalu mengamuk, menerjang para tukang pukul yang kini hanya membela diri, tidak berani menyerang karena maklum akan kelihaian Tan Hok. Sebentar saja Tan Hok sudah dikeroyok belasan orang tukang pukul dan didalam gedung terdengar ramai-ramai karena semua orang tidak tahu bahwa pemuda raksasa itu telah datang lagi mengamuk.



Mendadak terdengar tiupan suara suling yang melengking. Suling yang ditiup oleh Giam Kin, melengking tinggi dan mengalun dengan irama yang amat luar biasa. Tan Hok berdebar jantungnya, maklum apa artinya tiupan suling itu. 

Betul saja dugaannya, tak lama kemudian terdengar bunyi mendesis-desis dan banyak sekali ular menggeleser datang. Tan Hok biarpun tidak begitu cerdik, namun karena dia merasa jijik juga melihat banyak ular, lalu berkelahi dengan menyerbu ke tengah-tengah para tukang pukul. Perbuatannya ini bukan berdasarkan kecerdikan, melainkan karena takut kepada ular-ular itu akan tetapi untung baginya.



Giam Kin bingung untuk memimpin ular-ularnya karena bagaiman Ular-ularnya itu bisa disuruh menyerang seorang saja yang berada di tengah-tengah dan dikurung para tukang pukul? Baiknya setelah terjadi keributan, yaitu serbuan para petani, Kwi-wangwe mendatangkan lebih banyak tukang pukul yang pandai sehingga untuk sementara amukan Tan Hok dapat dibendung.

Sementara itu, melihat ular yang amat banyak datang melenggang-lenggok mendekatinya, Beng San menjadi jijik dan takut bukan main. la tidak takut kalau menghadapi orang, akan tetapi menghadapi ular yang banyak dan amat menjijikkan dan mengerikan itu, dia takut juga.

Ketika ular-ular itu dengan mata merah dan lidah menjilat-jilat keluar menyerbu ke arahnya, sambil berteriak teriak, 

“Ular…..! Ular…..!” tiba-tiba tubuhnya mencelat ke atas, ke tengah tengah orang yang sedang berkelahi 

Bagaikan seekor burung terbang, kakinya menginjak kepala orang-orang yang sedang mengeroyok Tan Hok, dan begitu kakinya menginjak kepala orang, dia mencolot lagi kesana kemari, melalui kepala-kepala orang itu akhirnya dia bisa meloncat ke atas genteng. Disitu dia berjongkok dengan tubuh gemetaran sambil memandang ke bawah.



Semua orang, terutama sekali Tan Hok, kaget dan heran bukan main melihat perbuatan Beng San ini. Melihat cara anak itu meloncat, jelas bahwa dia tidak mengerti ilmu meloncat tinggi. Akan tetapi mengapa tubuhnya begitu ringan sehingga seakan-akan dia dapat beterbangan di atas kepala orang-orang?

Tan Hok tidak sempat lagi memperhatikan Beng San karena pengeroyokan para tukang pukul sudah cukup membuat dia repot juga. Kali inipun Tan Hok berhasil merampas sebatang toya dan mengamuk. Sudah ada beberapa orang tukang pukul roboh oleh kemplangan toyanya.

Melihat ini, Giam Kin menjadi penasaran dan khawatir juga. Tak mungkin dia dapat menyuruh ular-ularnya menyerbu, karena sekali ular-ular itu menyerbu tentu para tukang pukul Kwi-wangwe akan digigit pula. la lalu berseru.

“Paman-paman mundur semua, biar ular-ularku menghabisinya!”



Tukang-tukang pukul itu memang kewalahan menghadapi Tan Hok. Bukan ilmu silatnya yang hebat, melainkan tenaganya yang benar-benar sukar dihadapi. Setiap kali toya di tangan pemuda raksasa itu menangkis, tentu banyak senjata terpental atau rusak. Mendengar perintah ini, mereka lalu meloncat mundur meninggalkan Tan Hok. 

Tan Hok maklum bahwa dia akan dikeroyok ular maka dia hendak mendahului menyerang Giam Kin. Celakanya, anak aneh ini sudah meniup sulingnya melengking tinggi dan ular-ular itu sudah mulai menyerbu. 

Di lain saat Tan Hok sudah dikelilingi ular-ular yang amat marah, mendesis desis dan siap menyerangnya. Tan Hok bergidik, melintangkan toyanya, bingung harus menyerang yang mana dulu karena dia telah dikurung dalam pagar ular.

“Ha-ha-ha-ha-ha, manusia sombong. Ternyata kau masih belum mampus! Sekarang aku akan melihat. Ha-ha-ha!” kata Giam Kin setelah melepaskan sulingnya. 

Kemudian dia mulai menyuling lagi, suara sulingnya melengking-lengking tinggi dan menyakitkan telinga.

Beng San yang berada di atas genteng melihat semua kejadian ini dialah yang paling sakit telinganya mendengar suara suling itu. Saking marahnya dia berteriak-teriak, 

“Siluman jahat, siluman busuk. Suara sulingmu tidak enak. Dengar, aku lebih pandai menyuling daripada suara sulingmu seperti angin kotor itu” 

Beng San meniru-niru bunyi suling dengan suaranya. Tanpa dia sadari, khi-kang di tubuhnya sudah kuat sekali maka ketika dia meniru bunyi melengking, suara suling itu kalah kuat dan kalah nyaring! 

Terdengar sekarang bunyi yang luar biasa dan aneh, suara suling bercampuran dengan suara mulut Beng San yang meniru-niru suara suling. Ketika dia mendapat kenyataan betapa setelah dia menjerit-jerit telinganya tidak terganggu lagi oleh suara suling yang kalah nyaring, dia makin bersemangat dan teriakan-teriakannya makin kuat.

Kasihan sekali ular-ular Itu. Suara suling merupakan perintah atau dorongan bagi mereka, dorongan yang tak mungkin terlawan lagi. Sekarang binatang-binatang buas ini mendengar suara suling yang tidak karuan, campur aduk bising bukan main. 

Mereka kacau, tidak tahu harus bagaimaha, apalagi perasaan mereka tidak karuan. dengan “perintah” yang kacau-balau ini.







SELANJUTNYA»»

Postingan populer dari blog ini

RAJA PEDANG (BAGIAN PERTAMA SERIAL RAJA PEDANG)

RAJAWALI EMAS (BAGIAN KE-2 SERIAL RAJA PEDANG)

JAKA LOLA (BAGIAN KE-4 SERIAL RAJA PEDANG)