RAJA PEDANG JILID 37

Makin lama makin kacau, saling terjang dan akhirnya ular ular itu menjadi marah lalu saling terkam! Mereka sama sekali tidak mau peduli lagi kepada Tan Hok, sibuk mengigit-gigit kawan-kawan sendiri yang lebih dekat.

Melihat hal ini, Giam Kin marah sekali. Dibantu oleh Kwi-wangwe sendiri, dia memberi perintah kepada para tukang pukul untuk mengeroyok lagi Tan Hok, sementara itu Giam Kin sudah melangkah maju untuk melihat bocah yang telah meniru bunyi sulingnya dan telah mengacau komandonya atas ular-ular itu. 

Akan tetapi Tan Hok yang sudah marah sekali, melihat adanya hartawan Kwi disitu, memberontak dan cepat meloncat ke arah hartawan itu dengan toya di tangannya.

“Kau hartawan pelit, rasakan ini!” 

Toyanya mengemplang kepala hartawan itu yang mundur ketakutan. Baiknya ada beberapa orang pengawal pribadinya yang menangkis toya sehingga toya itu menyeleweng, tidak mengenai kepalanya hanya menggebuk pundaknya. Namun gebukan ini cukup keras untuk membuat Kwi-wangwe meringis dan mengaduh-aduh. Sekejap kemudian Tan Hok sudah dikeroyok lagi oleh para tukang pukul.

Giam Kin sekarang dapat melihat adanya Beng San di atas genteng. Marahnya bukan main. 

“Eh, bocah dusun busuk, kau berani main-main di depan kongcumu?” la memaki sambil menuding dengan sulingnya ke arah Beng San.

Beng San pada waktu itu sudah tidak hijau lagi mukanya, sudah biasa putih dan tampan karena hawa udara tidak begitu panas lagi. Sekarang dia cengar-cengir mentertawakan Giam Kin. 

“Aku tidak main-main di depanmu, melainkan di atasmu. Kau mau apa sih?” la tidak takut kepada Giam Kin. Anak bermuka pucat itu, apanya yang harus ditakuti?

“Jembel busuk, kau makanlah ini!” 

Giam Kin menggerakkan tangannya dan sinar kuning emas menyambar ke atas, kearah Beng San yang nongkrong di atas genteng. Beng San yang sudah menyelipkan dua batang kayu ranting di ikat pinggangnya, sambil tertawa-tawa menerima sinar kuning emas ini dengan tangan kanan. 

Sinar itu mengenai tangannya dan Beng San merasa ibu jari tangan kanannya agak sakit seperti tertusuk jarum. Ketika dia melihatnya ternyata bahwa yang tadi dilemparkan adalah seekor ular kecil berwarna kuning keemasan yang sekarang menggigit ibu jarinya dan tubuh ular itu membelit tangannya. 

Diam-diam dia kaget, akan tetapi dasar dia nakal dan tidak sudi memperlihatkan rasa takut atau sakit di depan Giam Kin dia tertawa terbahak-bahak dan teringatlah dia akan pengalamannya dahulu ketika bertemu dengan Kwa Tin Siong dan Kwa Hong yang dia maki “kuntilanak”, teringat dia betapa dia ikut makan daging ular bersama ayah dan anak itu.



Sekarang, melihat tangannya dibelit ular kuning emas bersih, untuk menggoda Giam Kin, Beng San tanpa ragu-ragu lagi lalu….. menggigit leher ular itu. Sekali gigit saja putuslah leher ular.

“Kau kira aku tidak berani memakannya? Ha-ha-ha!” 

Beng San mentertawakan Giam Kin yang berdiri terlongong heran menyaksikan betapa bocah jembel itu benar-benar menggigit mati ularnya. Akan tetapi diapun segera menjadi girang karena tiba-tiba muka Beng San berubah menjadi kehijauan. 

Beng San sendiri tidak tahu akan hal ini, hanya dia merasa betapa bekas gigitan ular itu amat panasnya maka otomatis tubuhnya mengerahkan daya “Im” yarig kuat, sehingga membuat wajahnya yang putih berubah hijau.



Hal ini disalah artikan oleh Giam Kin. Biarpun anak ini maklum bahwa siapa tergigit Kim-tok-coa itu, tentu akan mati dengan tubuh hangus kemerahan seperti terbakar, namun dia anggap bahwa tanda kehijauan pada wajah anak jembel itu cukup membuktikan bahwa racun ularnya telah menjalar di tubuh anak aneh itu.

“Hi-hi-hi, kau sudah mau mampus masih banyak tingkah. Biarlah aku mempercepat kematianmu!” 





Setelah berkata demikian, Giam Kin menggenjot kedua kakinya dan tubuhnya meloncat ke atas genteng. Suling ular di tangannya bergerak menyerang ke arah Beng San, memukul kepalanya.

Beng San mencabut sepasang ranting kayu dari ikat pinggangnya, dengan masih berjongkok dia menangkis dari kanan kiri. Sepasang ranting di tangannya membuat gerakan seperti menggunting ke arah suling.

“Krakkk!”, 

Suling di tangan Giam Kin patah menjadi dua dan tubuh anak ini terlempar kembali ke bawah! Tanpa disadari, dalam kegemasannya ketika menangkis tadi Beng San menggunakan dua macam tenaga pada sepasang rantingnya, dengan pergerakan gabungan dari Im-sin-kiam dan Yang-sin-kiam. Jangankan baru suling di tangan seorang anak seperti Giam Kin, andaikata yang menyerangnya tadi seorang ahli silat yang menggunakan pedang atau toya, kiranya akan patah juga.

“Jembel busuk, pengemis bau, kau mematahkan sulingku! Awas kau….. suhu, suling teecu patah…..!” Giam Kin lari sambil menangis.



Karena dimaki-maki Beng San menjadi marah. Apalagi dia melihat bahwa anak itu ternyata tidak becus apa-apa, demikian pikirnya, baru ditangkis satu kali saja suling itu sudah patah. Tanpa pikir panjang dia lalu meloncat turun dan mengejar Giam Kin. 

Giam Kin memiliki kepandaian ilmu berlari berdasarkan ginkang yang tinggi maka larinya cepat sekali. Beng San yang belum pernah mempelajari ilmu berlari cepat, akan tetapi karena diluar kesadarannya dia telah ditempati tenaga Im dan Yang, tenaga yang amat besar mujijat, maka otomatis dia memiliki keringanan tubuh dan larinya pun cepat sekali. 

Maka kejar-kejaran ini terjadi ramai sekali dan sebentar saja dua orang anak itu telah jauh meninggalkan dusun tadi. Beberapa kali Giam Kin yang marah dan penasaran sengaja berhenti dan menyerang dengan tiba-tiba, akan tetapi setiap serangannya selalu dapat ditangkis oleh Beng San dan setiap kali lengan tangan mereka beradu, Giam Kin mengaduh dan kedua lengannya sudah bengkak-bengkak! la menjadi ketakutan dan lari makin cepat, dikejar terus oleh Beng San yang berteriak-teriak.

“Kau berlutut dulu minta ampun baru kulepas!”

“Jembel busuk, siapa sudi minta ampun? Guruku akan bikin remuk kepalamu!” jawab Giam Kin yang berlari terus.

Sampai dua puluh li mereka berkejaran, akhirnya Giam Kin tidak kuat lagi dan dia kena dipegang pundaknya oleh Beng San dari belakang. 

“Hendak lari kemana engkau, siluman ular?”

Giam Kin melawan dan memukul, akan tetapi pukulannya ditangkis dan Beng San menampar pipinya. 

“Plakkk!” 

Giam Kin roboh terguling, merasa betapa tamparan itu membuat matanya berkunang dan kepalanya pening.

“Hayo kau minta ampun dan berjanji lain kali tidak akan bermain-main dengan ular-ular jahat!” bentak Beng San sambil bertolak pinggang.

“Tidak sudi!”

“Kau memang layak dipukul!” 

Beng San marah dan memukuli kepala dan badan Giam Kin. Anak itu menjerit-jerit dan menangis.

“Suhu, tolong…… suhu, tolong…..!” 

Tiba-tiba dia mengeluarkan suara bersuit nyaring sekali. Beng San tidak peduli dan memukuli terus.

“Kau siluman kejam! Dengan ular-ularmu kau telah membunuh banyak orang. Lekas berjanji takkan main-main lagi dengan ular, atau….. kupukul kepalamu sampai remuk!” Beng San membentak-bentaknya.



“Heh, bocah kasar, jangan main pukul pada muridku!” 

Suara ini terdengar dari tempat jauh. Beng San menengok ke kanan kiri tapi tidak melihat orangnya yang berbicara. 

“Setan,” pikirnya. “Bocah siluman ular gurunya juga iblis dan setan.” Tapi dia tidak takut dan hendak memukul pula.

Angin bertiup di belakangnya dan ketika Beng San menoleh, tahu-tahu disitu telah berdiri seorang laki-laki berusia lima puluh tahun lebih. Laki-laki ini tubuhnya sedang saja, pakaiannya terlampau besar sehingga nampak lucu. Apalagi lengan bajunya amat panjang menutupi kedua tangannya. 

Mukanya nampak sabar, alisnya tebal dan sepasang matanya tajam. Beng San yang menduga bahwa orang ini tentulah guru lawannya, segera melangkah maju dan memukul. Tapi orang itu menggerakkan lengan kirinya dan tahu-tahu kedua tangan Beng San sudah terlibat ujung lengan, seperti dibelenggu tak dapat terlepas pula.

Kakek yang luar biasa ini adalah seorang sakti, seorang diantara beberapa tokoh yang dianggap merajai dunia persilatan, disebut orang Siauw-ong-kwi (Raja Iblis Kecil). Untuk daerah utara nama ini amat ditakuti orang. Memang kepandaian Raja Iblis Kecil ini hebat sekali, terutama ilmunya yang menggunakan ujung tangan bajunya yang dapat menangkap, menusuk, menyabet lebih ampuh daripada senjata-senjata pilihan.



Beng San yang masih kanak-kanak, biarpun di dalam dirinya terkandung tenaga dahsyat dan ilmu silat tinggi sekali, namun dia memiliki semua itu di luar kesadarannya sehingga dia belum dapat mengatur dan mempergunakan sebagaimana mestinya. Bagaikan sebuah intan cemerlang, Beng San adalah intan yang masih mentah, belum digosok. Maka tentu saja berhadapan dengan seorang tokoh besar seperti Siauw-ong-kwi ini, dia tidak berdaya sama sekali.

Siauw-ong-kwi menoleh kepada muridnya dan ketika mendapat kenyataan bahwa Giam Kin tidak terluka apa-apa hanya benjut-benjut saja dan benjol-benjol saja, dia bernapas lega. 

Dipandangnya Beng San sekali lagi dengan mata membayangkan kekaguman dan keheranan. Sudah sepatutnya kalau di dalam hati tokoh besar ini timbul kekaguman kepada bocah yang sekarang mukanya menjadi merah hangus kehitaman ini akibat kemarahan dalam hati Beng San sehingga mukanya merah hitam.



Muridnya, Giam Kin, kalau dibandingkan dengan bocah-bocah sepantarnya, sudah merupakan seorang anak yang luar biasa cerdik dan pandainya. Apalagi sudah memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi kalau dibandingkan dengan anak-anak sepantarnya. Mengapa sekarang Giam Kin kalah dan dipukuli oleh bocah muka hitam ini?

“Kau siapa?” tanyanya tanpa melepaskan ujung tangan baju yang mengikat dua pergelangan tangan Beng San. 

Akan tetapi ikatan itu tidak terlalu erat sehingga Beng San juga tidak mengalami rasa sakit, hanya bocah ini amat marah saja.

“Beng San!” jawabnya berani sambil menatap muka kakek itu dengan mata melotot. 

Memang menakutkan juga muka bocah ini kalau begitu. Biarpun raut wajahnya tampan, matanya lebar dan alisnya hitam berbentuk pedang, akan tetapi kalau wajah itu merah kehitaman dan matanya yang lebar dipelototkan, tentu mukanya ini akan membikin takut setiap orang di waktu malam gelap!

“Mukamu seperti iblis!” Siauw-ong-kwi tertawa mengejek.

“Memang aku iblis!” jawab Beng San, kini sambil menyeringai karena dia tidak mengucapkan kata-kata itu dengan marah, melainkan bermaksud menggoda kakek itu. 

Akan tetapi Siauw-ong-kwi tidak marah, malah tertawa bergelak dan makin kagum kepada anak ini.

“Kau anak siapa?”

Tanpa ragu-ragu Beng San menjawab, 
“Aku anak Iblis Huang-ho.” 

Siauw-ong-kwi menggeleng-geleng kepalanya. Benar-benar bocah ini aneh sekali dan luar biasa keberaniannya.

“Siapa gurumu? Tentu bukan iblis juga, kan?” tanyanya.





SELANJUTNYA»»

Postingan populer dari blog ini

RAJA PEDANG (BAGIAN PERTAMA SERIAL RAJA PEDANG)

RAJAWALI EMAS (BAGIAN KE-2 SERIAL RAJA PEDANG)

JAKA LOLA (BAGIAN KE-4 SERIAL RAJA PEDANG)