RAJA PEDANG JILID 39

Di puncak Tai-hang-san terdapat sebuah dataran yang luas. Tanahnya subur akan tetapi seperti dibuat oleh manusia, daratan itu tidak ditumbuhi pohon, melainkan diselimuti rumput-rumput pendek yang hijau dan segar. Di atas rumput inilah Beng San diturunkan oleh Song-bun-kwi setelah melalui perjalanan ratusan li jauhnya.

“Kakek Song-bun-kwi, aku bukan muridmu dan aku mengaku di depan Siauw-ong-kwi hanya untuk menakut-nakuti dia. Apakah kesalahan begitu saja membuat kau bingung tidak tahu harus berbuat apa terhadap diriku?” 

Beng San mencela kakek itu dengan suara kesal. Memang hatinya mengkal dan dia kesal melihat kakek itu di sepanjang jalan diam saja dan tidak memberi tahu mengapa dia dibawa ke tempat sejauh itu.

Untuk beberapa lamanya kakek baju putih itu memandangnya dengan mata liar berputaran, mata orang yang tidak waras otaknya. Tiba-tiba dia tertawa derngan suara menangis. 

“Hi-hi-hi, kau takut aku membunuhmu?”

Dengan suara tetap Beng San menjawab,
”Tidak! Mengapa aku harus takut? Kau takkan membunuhku!”

Mata Song-bun-kwi melotot lebar penuh ancaman. 
“Bocah! Jangan kau main-main di depan Song-bun-kwi. Nyawa manusia bagiku tidak ada bedanya dengan nyawa semut, apalagi nyawamu…..!”

“Hanya nyawa seekor semut kecil, bukan? Terima kasih!” ejek Beng San dengan berani. “Akan tetapi aku tidak main-main. Kau sendiri yang memberitahu bahwa kau takkan membunuhku.”

“Apa? Aku yang memberi tahu? Setan, bilanglah dengan jelas, jangan main teka-teki.”

Beng San tetap tertawa menggoda. 
“Ini bukan teka-teki. Kau mau mencoba menebaknya? Tak mungkin bisa. Hayo tebak, ada orang yang segala-galanya besar sendiri, siapa itu?”

Karena terbawa hanyut oleh kegembiraan Beng San, atau mungkin karena Song-bun-kwi sudah terlalu tua sehingga cocok dengan kata-kata orang bahwa orang yang sudah terlalu tua kembali seperti kanak-kanak, Song-bun-kwi bersorak, 

“Ah, gampang saja itu. Orang yang besar sendiri adalah raksasa. Hayo, betul tidak?”

Beng San meruncingkan bibirnya. 
“Uuuhhh, salah sama sekali! Bukan begitu jawabnya.”

“Ah, kalau begitu orang utara. Tubuhnya besar-besar melebihi orang selatan.”

Beng San tetap menggeleng kepalanya.

“Orang dari Shan-tung! Tinggi-tinggi!” kata pula Song-bun-kwi. Akan tetap Beng San menggeleng lagi.

“Habis orang apa? Terima kalah aku.”

“Orang yang besar sendiri?” kata Beng San. “Kau inilah, atau aku, pendek nya setiap orang!”

Song-bun-kwi melongo, lalu marah 
“Jangan main-main kau, jangan tipu aku.”

“Siapa main-main? Kaulah orang yang besar sendiri, juga aku dan setiap orang tentu besar sendiri. Kalau kau tidak besar sendiri, siapa yang membesarkanmu? Apa ada yang meniup lubang hidungmu sambil menyumpal lain lubang di tubuhmu supaya kau melembung dan membesar?” 

Beng San tertawa terkekeh-kekeh dan Song-bun-kwi tiba-tiba tertawa pula sambil mengangguk-anggukkan kepalanya.



“Sekarang lain lagi. Thian (Tuhan) membuat seluruh anggauta tubuh kita dengan sempurna. Akan tetapi mengapa Thian membuat hidung kita dengan dua lubangnya menghadap ke bawah. Hayo kalau kau memang pintar, jawablah!”





Song-bun-kwi mengerutkan keningnya. Wah, soal pelik nih, pikirnya. Sampai membawa-bawa nama Thian. Setelah memutar otak, akhirnya dia menjawab dengan suara sungguh-sungguh. 

“Hidung mempunyai dua lubang, kiranya Thian berkehendak demikian untuk membuat keseimbangan, ada yang kiri tentu ada yang kanan sebagai wakil daripada Im dan Yang. Dengan menghadap kebawah lubangnya, maka manusia dapat mempergunakannya lebih baik untuk mencium, karena kalau lubangnya tidak di bawah, tentu sukar dipergunakan untuk memperbedakan bau.” la berhenti dan berpikir lagi, tapi tak dapat melanjutkan.



“Hanya begitu?” Beng San mendesak, senyumnya tidak rnembesarkan hati si penebak.

“Ya, habis apa lagi? Tebakanku kan betul kali ini, bukan?” tanya Song-bun-kwi penuh harap.

“Betul apanya? Kau ngawur!”

Song-bun-kwi melengak, kecewa. 
“Jadi salah lagi? Habis, bagaimana jawabannya?”

“Dengarlah baik-baik,” kata Beng San dengan lagak seorang dewasa memberi tahu seorang anak-anak. “Thian memberi hidung dengan dua lubangnya menghadap ke bawah dengan maksud yang amat baik. jika hidungmu diberi lubang yang menghadap ke atas, di waktu hari hujan dan kau kehujanan, bukankah air hujan akan membanjiri lubang hidungmu membuat kau tersedak berbangkis dan pilek terus-terusan? Nah, itulah sebabnya makanya lubang hidungmu dihadapkan ke bawah.

Beng San tertawa dan Song-bun-kwi setelah membayangkan orang dengan lubang hidung menghadap ke atas kehujanan, lalu tertawa juga terkekeh-kekeh sambil berkata, 

“Kau benar….. kau benar…..”

“Sekarang sebuah lagi yang amat gawat,” kata Beng San, wajahnya bersungguh-sungguh, wajahnya yang kini sudah putih lagi itu berseru, sepasang matanya memancarkan kenakalan tapi keningnya berkerut. “Sebuah teka-teki yang menyangkut rahasia Thian!”

Song-bun-kwi terkejut dan memandang heran, tak percaya,


“Bocah, anak manusia bernama Beng San, jangan kau keluarkan omongan gila. Aku sendiri tidak berani mengutik-utik rahasia Thian.”

“Aku bersungguh-sungguh, Song-bun-kwi. Kalau kau bisa menjawab teka-teki yang satu ini berarti kau telah bertemu dengan rahasia Thian!”

“Eh, bocah aneh. Lekas keluarkan teka-tekimu yang hebat itu.”

“Kakek Song-bun-kwi, kau sendiri sudah tua bangka dan tak lama lagi tentu akan mengalami hal yang sama, yaitu kematian. Sebagai Song-bun-kwi (Setan Berkabung), kau tentu sudah tahu apa artinya orang mati, dan sudah sering kali melihat keluarga yang kematian. Nah, sekarang teka-tekinya begini. Apa sebabnya orang mati sebelum dimasukkan peti mati selalu dimandikan lebih dahulu! Nah, pikirlah baik-baik, karena kau sendiri kelak juga akan mati dan dimandikan orang.”



Song-bun-kwi sekarang betul-betul mengerahkan otaknya untuk mencari jawaban teka-teki yang terdengar amat pelik. la menghubung-hubungkan jawaban dan teka-teki ini dengan Agama Buddha, dengan ajaran Nabi Locu dan Nabi Khong-cu. Setelah mengumpulkan bahan-bahan yang dia ingat, dia lalu menjawab.

“Pertama, badan manusia yang mati ditinggalkan rohnya dan agar roh itu dapat memasuki nirwana dengan baik, badannya harus pula dibersihkan dari segala kotoran. Kedua, badan manusia kalau mati berarti kembali ke asalnya, karena ketika dilahirkan dari tempat asal badan manusia bersih maka kembalinya harus pula bersih. Ketiga, badan manusia mati dimandikan sampai bersih sebagai tanda bahwa si mati dibersihkan daripada segala dosa dan kesalahan. Keempat, mayat manusia dimandikan sampai bersih untuk memberi penghormatan kepada Dewa Bumi yang akan menerima mayat itu. Ke lima, mayat dimandikan sampai bersih untuk mengusir semua hawa busuk dan penyakit agar tidak sampai menular kepada orang-orang yang masih hidup. Keenam, mayat itu dimandikan untuk menyatakan bahwa betul-betul dia telah mati, karena kalau belum, terkena siraman air tentu akan siuman kembali. Ke tujuh, memang semenjak dahulu mayat dimandikan sampai bersih sebelum dimasukkan peti dan dikubur, oleh karena itu sampai sekarang orang harus melanjutkan kebiasaan itu dan inilah yang dinamakan mentaati peraturan.”



Sampai disini Song-bun-kwi berhenti karena sudah habis semua pengertiannya, dikuras untuk menjawab teka-teki itu.

Mendengarkan jawaban ini, makin lama makin bersinar mata Beng San, nampaknya girang sekali. Ketika kakek itu berhenti, dia mendesak. 

“Hanya tujuh jawabnya? Apakah masih ada lagi? Boleh tambah kalau masih ada!”

“Sudah habis. Tentu salah satu dari tujuh jawabanku itu benar. Hayo, katakan apakah jawaban-jawaban itu ada yang cocok!”

Beng San tertawa. 
“Benar kata kitab kuno bahwa mencari sesuatu haruslah dicari di tempat yang dekat-dekat dulu, baru mencari ke tempat yang jauh. Kalau tidak demikian dan langsung mencari di tempat jauh padahal yang dicari itu dekat saja, kau akan tersasar makin jauh daripada yang kau cari. Nah, kau juga begitu, Kakek Song-bun-kwi. Jawaban itu dekat dan sederhana, akan tetapi kau melantur sampai jauh dan memberi jawaban bertele-tele.”

“Apa tidak ada yang cocok?” tanya Song-bun-kwi cemas.



“Bukan tidak cocok saja, malah menyeleweng jauh daripada jawaban teka-teki yang dimaksudkan. Semua salah!” .

Agak berubah wajah Song-bun-kwi, kini penuh penasaran. 
“Betulkah semua salah? Bocah siluman, kalau begitu hayo katakan apa jawabnya yang betul. Kalau kau menipu, sekali tampar otakmu akan hancur cerai-berai!”

“Siapa sudi menipumu? Dengarkan baik-baik, Song-bun-kwi. Teka-teki itu bunyinya begini: Apa sebabnya orang mati sebelum dimasukkan peti mati selalu dimandikan lebih dulu? Nah, sekarang jawabannya, sederhana saja, begini: Orang mati. sebelum dimasukkan petl mati selalu dimandikan lebih dahulu karena DIA TIDAK BISA MANDI SENDIRI! Kalau dia bisa mandi sendiri, tentu tidak dimandikan orang dan dengan begitu dia belum mati. Nah, betul tidak?”

Song-bun-kwi menjadi pucat mukanya yang merah itu, tangannya diangkat hendak menampar kepala Beng San, akan tetapi tiba-tiba tangannya itu dia selewengkan, tidak memukul kepala Beng San, melainkan memukul sebuah batu di dekat Beng San. Batu itu meledak dan hancur. Beng San tidak takut, hanya kaget dan kagum.

“Anak setan, anak iblis, anak siluman'” Song-bun-kwi memaki, lalu tertawa terbahak-bahak sambil memegangi perutnya. “Beng San, kau tadi bilang bahwa kau tahu aku takkan membunuhmu. Malah kau bilang aku sendiri yang memberitahumu. Nah, sekarang teka-teki dariku, kaujawablah. Mengapa kau kubawa kesini? Hayo jawab, taruhannya kepalamu!”

“Kau menculikku sampai kesini karena kau menghendaki sesuatu dari aku, menghendaki sesuatu yang ada hubungannya dengan kitab Yang-sin-kiam yang kau rampas dari suhu The Bok Nam.”

Mendengar jawaban ini, Song-bun-kwi mencelat sampai beberapa meter jauhnya saking herannya. Kemudian dia mendekat lagi, wajahnya membayangkan keheranannya. 

“Bocah siluman, bagaimana kau bisa tahu?”

“Kau sendiri yang memberi tahu, Kakek, bukan melalui mulutmu akan tetapi melalui perbuatanmu. Orang macam kau ini, kalau mau membunuhku mengapa harus susah payah, jauh-jauh membawaku kesini? Kalau mau membunuhku tentu aku sudah kau bunuh begitu saling bertemu. Nah, karena kau belum juga membunuhku, malah membawaku jauh-jauh ke tempat ini, sama saja dengan kau memberitahu kepadaku bahwa kau takkan membunuhku, akan tetapi menghendaki sesuatu dari aku. Mengingat bahwa aku Beng San selama hidupku tidak pernah ada urusan denganmu, kecuali pertemuan kita ketika kau merampas kitab Yang-sin-kiam dulu, sudah tentu sekali bahwa kau membawaku ini ada hubungannya dengan kitab itu.”

Song-bun-kwi memandang kagum. 
“Kau bocah luar biasa. Kau cerdik sekali. Bicara dengan kau sama saja dengan bicara kepada orang tua. Baiklah aku berterus terang kepadamu. Di dalam dunia kang-ouw terkenal adanya sepasang ilmu pedang yang disebut Im-yang Sin-kiam. Ilmu pedang Im dan Yang ini adalah ciptaan Pendekar Sakti Bu Pun Su ratusan tahun yang lalu sebagai pecahan dari Ilmu Im-yang Bu-tek Cin-keng. Sudah tentu saja Im-yang Sin-kiam menarik perhatian semua tokoh persilatan yang berusaha mendapatkannya. Akhirnya aku mengetahui bahwa sepasang kitab itu berada di tangan Phoa Ti dan The Bok Nam yang terkenal dengan julukan Thian-te Siang-hiap. Aku tahu bahwa pada akhir-akhir ini mereka saling berlawanan sendiri, maka aku mempergunakan kesempatan itu untuk mencari mereka. Akhirnya aku berhasil merampas Yang-sin-kiam dari The Bok Nam seperti yang telah kau saksikan pada waktu itu. Celakanya sebelum aku sempat mendapatkan Im-sin-kiam dari tangan Phoa Ti, aku telah didahului oleh Hek-hwa Kui-bo yang telah memukul Phoa Ti dan merampas kitabnya.” Sampai disini Song-bun-kwi menarik napas panjang, nampak kecewa dan menyesal.

Beng San mengangguk-angguk.





SELANJUTNYA»»

Postingan populer dari blog ini

RAJA PEDANG (BAGIAN PERTAMA SERIAL RAJA PEDANG)

RAJAWALI EMAS (BAGIAN KE-2 SERIAL RAJA PEDANG)

JAKA LOLA (BAGIAN KE-4 SERIAL RAJA PEDANG)