RAJA PEDANG JILID 47

Di lain fihak, Bun Si Liong murid ke dua dari Kun-lun-pai. Tentu saja kepandaiannya sudah mencapai tingkat yang tinggi pula. Seperti juga dengan Hoa-san-pai, Kun-lun-pai juga amat terkenal dengan ilmu pedangnya. Maka yang berhadapan dan bertanding sekarang ini adalah dua orang jago pedang dari dua partai yang mewakili Hoa-san-pai dan Kun-lun-pai. 

Thio Wan It hanya mempergunakan sebuah pedang saja, pedang panjang tipis yang dapat melengkung ketika digerakkan secara cepat dan kuat. Adapun Bun Si Liong bersenjata pasangan, yaitu sebatang pedang dan sebatang golok. Inilah keistimewaan Bun Si Liong. Dua buah senjata yang berlainan itu akan membuat lawan menjadi bingung, seakan-akan dikeroyok oleh dua orang yang tidak sama senjatanya.

Thio Wan It itu cepat dan lincah, pedangnya menyambar-nyambar. Bun Si Liong tenang dan kokoh kuat kedudukannya seperti seekor banteng sakti yang siap menanti serangan lawan untuk ditangkis dan dibalas dengan serangan-serangan yang tak kalah ampuhnya. 

Pedang di tangan Thio Wan It mengancam semua bagian tubuh. Namun sepasang senjata Bun Si Liong yang jarang bergerak itu selalu dapat menangkis, kemudian kalau ada saat baik membalas dengan tusukan atau bacokan. Dilihat sekelebatan, Thio Wan It seperti menari-nari mengelilingi Bun Si Liong yang berdiri teguh dan menggeser-geser kakinya untuk mengikuti pergerakan lawan yang amat lincahnya itu.

Pertempuran yang sengit dan seru itu ditonton oleh semua orang dengan hati berdebar. Pertempuran seimbang seperti ini tak mungkin berakhir tanpa membawa korban di satu fihak, hanya dapat diputuskan dengan menggeletaknya salah seorang. Padahal dalam urusan ini, baik Thio Wan It maupun Bun Si Liong tidak ada sangkutan apa-apa, tidak ada kesalahan apa-apa. Orang yang langsung tersangkut, Kwee Sin, belum diajak bicara, tapi keduanya sudah main hantam sendiri. Hal ini tidak betul. Demikianlah jalan pikiran Kwa Tin Siong dan juga Bun Si Teng.

“Urusan gelap belum dibikin terang, tidak perlu ditambah keruh dengan lain pertumpahan darah,” kata Kwa Tin Siong sambil memandang kepada Bun Si Teng.

Orang tertua Kun-lun Sam-heng-te ini mengangguk. 
“Betul. Urusan ini harus diselidiki, takkan beres kalau menurutkan nafsu dan sakit hati.”

Dua orang itu seperti telah bermufakat, meloncat maju dan menahan adik masing-masing. Dua orang jago yang sedang bertanding itu terpaksa mundur dengan dada turun naik, mata melotot lebar dan sikap menantang.

“Aku masih belum kalah!” Thio Wan It berkata penasaran.

“Aku juga belum kalah,” kata Bun Si Liong.

“Kalau begitu hayo teruskan sampai salah seorang diantara kita mampus!”. kata pula Thio Wan It.

“Hayo, majulah!” tantang Bun Si Liongi

Kwa Tin Siong dan Bun Si Teng sibuk mencegah dua orang jago yang sudah panas perutnya itu bertanding lagi. 

“Yang menjadi pokok persoalan ini adalah Kwee Sin, sebelum dia ditemukan dan ditanya, amatlah jelek kalau kita menyerang orang-orang lain,” kata Kwa Tin Siong kepada sutenya sambil menyabarkan dan memaksa sutenya menyimpan kembali pedangnya.

“Liong-te, sabarlah,” kata Bun Si Teng kepada adiknya. “Simpan kembali senjatanya. Urusan ini tidak bisa dibereskan hanya dengan mengangkat senjata Diri Kwee-sute ternyata telah terkena fitnah yang hebat dan hal ini harus kita bersihkan.” la lalu membalik dan menghadapi Kwa Tin Siong.





“Hoa-san It-kiam, terus terang saja, aku tidak akan meragukan semua ceritamu tadi. Hanya yang kuragukan bahkan tak dapat kuterima adalah bahwa suteku melakukan semua perbuatan itu. Hal itu tidak mungkin sekali.”

“Hemmm, saudara Bun. Urusan sumoiku yang ayahnya dibunuh mati orang ini kiranya takkan puas kalau hanya kau beri keyakinan bahwa sutemu tidak mungkin melakukannya. Habis, karena hal ini menyangkut nama baik sutemu, apa yang hendak kau lakukan selanjutnya? Kami masih memandang muka Kun-lun Sam-hengte, memandang muka Kun-lun-pai ciangbunjin (ketua Kun-lun-pai) maka kami tidak tergesa-gesa dan secara sembrono mencari dan mengadili sendiri kepada Kwee Sin.”

Bun Si Teng mengangguk-angguk. 
“Baiklah. Kami akan mencari Kwee-sute dan dalam waktu lima bulan kami bertiga Kun-lun Sam-hengte akan menghadap ke Hoa-san. Kami harus membersihkan nama baik Kwee-sute di depan ketua Hoa-san-pai sendiri.”

“Bagus. Lima bulan sesudah hari ini, Hoa-san Sie-eng akan menanti kedatangan Kun-lun Sam-hengte di puncak Hoa-san,” kata Kwa Tin Siong yang segera mengajak pergi tiga orang adik seperguruannya, meninggalkan tempat itu.

Bun Si Teng dan Bun Si Liong setelah ditinggal pergi para tamunya, duduk dengan hati berat. 

“Heran sekali mengapa ada peristiwa seperti ini,” kata Bun Si Teng. “Kita harus menyusul Kwee-sute ke Kun-lun.”

“Memang urusan ini harus dibikin terang, karena menyangkut nama dan kehormatan Kwee Sin,” kata Bun Si Liong, mukanya yang hitam makin hitam karena kemarahannya.

“Kau tinggallah di rumah mengurus pekerjaan kita, Liong-te. Biar aku yang pergi ke Kun-lun. Lim Kwi akan kuajak agar anak itu berdiam dan belajar disana, dipimpin langsung oleh suhu. Aku akan segera kembali bersama Kwee-sute.”

Demikianlah, pada keesokan harinya, Bun Si Teng dan puteranya, Bun Lim Kwi, berangkat ke Kun-lun-san untuk mencari Kwee Sin dan menitipkan Lim Kwi di Kun-lun-san supaya menerima gemblengan ilmu silat dari ketua Kun-lun-pai sendiri, yaitu Pek Gan Siansu.


********





SELANJUTNYA»»

Postingan populer dari blog ini

RAJA PEDANG (BAGIAN PERTAMA SERIAL RAJA PEDANG)

RAJAWALI EMAS (BAGIAN KE-2 SERIAL RAJA PEDANG)

JAKA LOLA (BAGIAN KE-4 SERIAL RAJA PEDANG)