RAJA PEDANG JILID 52

Sudah amat lama kita meninggalkan Kwa Hong, gadis cilik putera tunggal Kwa Tin Siong, bocah mungil yang lincah gembira itu. Seperti telah diceritakan di bagian depan, Kwa Hong diantar oleh Koai Atong menuju ke Hoa-san-pai menyusul ayahnya. 

Koai Atong biarpun usianya sudah sebaya dengan Kwa Tin Siong, kurang lebih empat puluh tahun, namun orang ini memang tidak norrnal jiwanya dan wataknya kadang-kadang atau sering kali seperti seorang kanak-kanak sebaya Kwa Hong. Oleh karena wataknya inilah maka Kwa Hong merasa senang sekali melakukan perjalanan bersama seorang teman yang cocok dan baik lagi lucu. Di samping ini, juga kelihaian Koai Atong merupakan jaminan bagi keselamatannya.

Seperti juga di partai-partai persilatan besar seperti Kun-lun-pai, Go-bi-pai, Siauw-lim-pai dan lain-lain, juga di puncak Hoa-san ini Hoa-san-pai merupakan pusat yang ditempati oleh banyak anak murid Hoa-san-pai. 

Mereka ini adalah tosu-tosu yang selain mempelajari ilmu silat sekedarnya, terutama sekali mempelajari ilmu kebatinan yang diturunkan oleh Nabi Locu. Di bawah bimbingan Lian Bu Tojin ketua Hoa-san-pai, para tosu ini rata-rata memiliki kesabaran besar dan dapat menjaga nama baik Hoa-san-pai sebagai orang-orang beribadat.

Kedatangan Kwa Hong menggirangkan para tosu yang menjaga di luar. Mereka ini tentu saja mengenal baik puteri tunggal Kwa Tin Siong yang seringkali mengajak anaknya mengunjungi Hoa-san. Akan tetapi para tosu ini pun terheran-heran melihat orang yang datang bersama Kwa Hong, seorang laki-laki tinggi besar berusia empat puluh tahun akan tetapi cengar-cengir dan ikut berlari-larian di samping Kwa Hong seorang anak kecil!

“Supek (Uwa Guru) sekalian! Aku datang menyusul ayah. Dimana ayah dan bibi guru?” Datang-datang Kwa Hong berteriak-teriak kepada para tosu itu.

Tiga orang tua menghampiri Kwa Hong sambil tersenyum, 
“Ayahmu dan bibi gurumu tidak berada disini, belum kembali. Kau baik segera pergi menghadap kakek gurumu, Hong Hong.” 

Para tosu itu biasa memanggil Kwa Hong dengan sebutan Hong Hong dan mereka amat menyayang bocah yang mungil dan selalu gembira ini. Memang, diantara para cucu murid Lian Bu Tojin, hanya Kwa Hong yang paling sering berdiam di puncak itu karena ia amat dimanja ayahnya dan sering kali ikut pergi mengembara dengan ayahnya. Sambil berlari dan tertawa-tawa Kwa Hong hendak memasuki bangunan besar yang berbentuk kelenteng untuk menghadap sukongnya (kakek gurunya).

“Enci Hong, jangan tinggalkan aku! Aku ikut!” Koai Atong juga lari mengejar.

“Hong Hong, kenapa kau bawa-bawa orang tolol ini? Eh, orang gila, jangan kurang ajar kau. Tidak boleh masuk!” 

Tiga orang tosu itu tentu saja hendak melarang Koai Atong yang seenaknya saja hendak memasuki kelenteng itu. Mereka melangkah maju menghadang dan membentangkan kedua lengan menghalanginya.

“Aku mau ikut Enci Hong….. melihat-lihat kelenteng!” 

Koai Atong membantah dan lari terus. Tiga orang tosu itu menggerakkan tangan untuk memegangnya. Koai Atong bergerak aneh dan….. tahu-tahu dia telah dapat menyelinap masuk, lolos dari tangkapan tiga orang tosu itu. Tentu saja tiga orang tosu ini saling pandang dengan mulut melongo. 

Mereka tidak dapat mengikuti gerakan Koai Atong, tidak tahu bagaimana orang itu dapat meluputkan diri dari cengkeraman tiga orang dan tahu-tahu sudah menyelonong masuk. Dari heran mereka menjadi malu dan marah.

“Otak miring, perlahan jalan. Kau tidak boleh masuk!” bentak mereka sambil lari mengejar. 

Sekarang mereka mengambil keputusan untuk tidak bersikap lemah lagi, kalau perlu orang gila itu harus dipukul. Akan tetapi ketika mereka maju untuk mencengkeram dan memukul, tanpa menoleh Koai Atong menggerakan kedua lengannya ke belakang. Sekaligus dia menangkis tangan tiga orang tosu itu dan….. tiga orang tosu itu terjengkang dan roboh! 

Hal ini terlihat oleh beberapa orang tosu lain. Mereka menjadi marah dan bersama tiga orang tosu pertama yang sudah bangun lagi, sekarang ada tujuh orang tosu mengejar Koai Atong dengan marah-marah.

Tosu-tosu ini serentak berhenti mengejar ketika mendengar suara halus dari dalam kelenteng, 

“Jangan ganggu dia. Biarkan Koai Atong masuk ke dalam!”





Itulah suara Lian Bu Tojin ketua Hoa-san-pai. Tentu saja para tosu itu tak berani membantah, apalagi setelah mendengar bahwa orang tua yang seperti berotak miring itu adalah Koai Atong seorang kang-ouw yang sudah pernah mereka dengar namanya sebagai seorang yang berilmu tinggi akan tetapi yang berwatak seperti bocah! 

Mereka hanya menggeleng-gelengkan kepala sambil menghela napas ketika Koai Atong yang mendengar suara Lian Bu Tojin itu kini menoleh kepada mereka, menyeringai dan meleletkan lidah seperti seorang anak nakal mengejek anak-anak lain!

Satu-satunya orang yang agak ditakuti oleh Kwa Hong adalah Lian Bu Tojin. Kakek gurunya ini orangnya sabar sekali, bicaranya halus dan tidak pernah bersikap galak. Akan tetapi bagi Kwa Hong, pandang mata kakek gurunya itu amat tajam dan langsung menjenguk isi hati orang, kadang-kadang berkilat dan membuat hatinya mengkeret. Maka sekarang ia berlutut dengan hormat di depan kakek gurunya yang duduk bersila di atas lantai bertilam kasur tipis. 

Koai Atong yang memasuki ruangan itu sambil celingukan dan pringas-pringis, setelah melihat kakek yang berjenggot panjang itu, segera pula menjatuhkan diri berlutut di sebelah Kwa Hong.

Lian Bu Tojin mengelus-elus jenggotnya yang panjang, tubuhnya yang tinggi kurus itu duduk bersila tegak, tongkat bambunya yang membuat namanya amat terkenal itu terletak di sebelah kirinya. Bibirnya tersenyum dan dia mengangguk-angguk senang.

“Bagus, Hong Hong, kau Sudah datang. Eh, Koai Atong, terima kasih atas jerih payahmu mengantar dia kesini. Bagaimana dengan gurumu?”

Koai Atong mengangkat muka memandang. 
“Suhu….. entah dimana sekarang. Teecu mohon Totiang suka mintakan maaf kepada suhu kalau kelak suhu marah dan menghajar teecu. Tidak mestinya teecu sampai ke Hoa-san.”

Dengan sabar Lian Bu Tojih mengangguk-angguk. 
“Tentu saja, jangan kau khawatir. Gurumu Giam Kong Hwesio takkan marah apabila dia tahu bahwa kau mengantar cucu muridku kesini, Kalau kau kembali dan bertemu padanya, sampaikan salamku kepadanya.” 

Koai Atong hanya mengangguk-angguk. Kwa Hong ingin sekali bertanya tentang ayahnya kepada kakek gurunya itu, akan tetapi di depan kakek itu, entah mengapa, mulutnya sukar dibuka. Kakek yang sudah kenyang makan asam garam penghidupan itu, sekali pandang saja dapat menduga apa yang dipikirkan Kwa Hong.

“Hong Hong, ayahmu bersama kedua susiok dan sukouwmu pergi turun gunung. Kurasa tak lama lagi, dalam beberapa hari ini akan datang. Di belakang sana ada seorang saudara-saudaramu, anak-anak dari kedua susiokmu. Kau ke sanalah bermain dengan mereka.”

Wajah Kwa Hong tiba-tiba berseri gembira. 
“Enci Bwee disitu?” 

Ketika kakek itu mengangguk, Kwa Hong lalu bangkit dan lari ke belakang melalui pintu samping. Koai Atong yang masih berlutut, memandang ke arah larinya Kwa Hong, kemudian ia berkata.

“Totiang, perkenankan teecu bermain-main disini selama beberapa hari dengan Enci Hong.”

Lian Bu Tojin tersenyum akan tetapi suaranya tegas ketika berkata.
”Atong, kau boleh bermain-main dengan anak-anak itu disini selama tiga hari. Tak boleh lebih dari tiga hari. Suhumu tentu akan menanti-nanti kembalimu.”

Sambil mengangguk-angguk Koai Atong lalu berlari gembira mengejar Kwa Hong yang pergi menuju ke taman bunga di belakang kelenteng. Setibanya di taman bunga yang luas dan indah itu, Koai Atong melihat Kwa Hong sedang bercakap-cakap gembira dengan tiga orang anak lain, yaitu dua orang anak laki-laki yang tampan dan seorang anak perempuan yang cantik seperti Kwa Hong. 

Biarpun Kwa Hong tampak yang paling muda diantara mereka, namun jelas bahwa tiga orang anak-anak lain itu mengagumi dan menghormatnya, terlihat dari cara mereka itu mendengarkan kata-kata Kwa Hong yang sedang menyombongkan semua pengalamannya yang hebat-hebat, tentu saja dengan tambahan disana-sini, agar lebih serem dan menarik.

Seperti kita telah ketahui, tiga orang anak itu bukan lain adalah Thio Ki dan Thio Bwee, putera-puteri Thio Wan It, dan yang seorang lagi adalah Kui Lok putera tunggal Kui Teng. 

Tiga orang anak itu masih berada di Hoa-san menanti orang tua mereka sambil memperdalam ilmu silat di bawah asuhan Lian Bu Tojin sendiri. Oleh karena Kwa Hong adalah puteri dari orang pertama dari Hoa-san Sie-eng, apalagi karena memang Kwa Hong lebih sering dan lebih banyak merantau daripada mereka, ditambah lagi sifat yang lincah gembira, membuat tiga orang anak itu amat mengagumi Kwa Hong.

Tiba-tiba Kui Lok menudingkan telunjuknya ke arah seorang yang berlari-lari memasuki taman. 

“Eh, dari mana datangnya orang gila?” 

Semua anak menoleh dan melihat seorang laki-laki tinggi besar berlari datang sambil tertawa-tawa. Pakaian dan sepatu laki-laki tinggi besar ini berkembang-kembang seperti yang biasa dipakai wanita. Tentu saja dia ini adalah Koai Atong yang amat gembira mellhat taman bunga begitu indah dan disitu terdapat banyak teman bermain pula.

Kwa Hong tertawa. 
“Dia bukan orang gila. Dia itulah Koai Atong yang baru saja kuceritakan tadi. Dia lihai bukan main, orangnya lucu dan pandai bermain-main. He, Koai Atong, kesinilah. Banyak teman disini!”

Sambil berloncat-loncatan Koai Atong mempercepat larinya, congklang seperti seekor kuda besar. 

“Wah, Enci Hong. Aku senang disini, banyak bunga indah. Tosu tua itu sudah memberi ijin kepadaku tinggal disini selama tiga hari. Hore, kita bisa bermain-main sepuasnya!”

Thio Ki dan Kui Lok memandang dengan kening berkerut, sedangkan Thio Bwee memandang dengan perasaan agak ngeri dan jijik. Bagaimana mereka bisa bermain-main dengan seorang gila seperti ini?

Tanpa mempedulikan sikap tiga orang anak yang lain itu, Kwa Hong berkata gembira kepada Koai Atong, 

“Eh, Atong, kau berkenalan dulu dengan teman-teman ini yang semua adalah orang-orang sendiri.” 

Dia menyebut nama tiga orang anak itu seorang demi seorang. Dengan sepasang matanya yang berputaran, Koai Atong memandang tiga orang anak itu seorang demi seorang. Thio Bwee sampai melangkah mundur setindak saking ngerinya.

“Masa orang tua bermain-main dengan anak-anak?” 

Thio Ki mencela sambil memandang tajam kepada Koai Atong. la tidak percaya kepada orang tinggi besar ini yang menurut pandangannya tentu bukan orang baik-baik.

“Benar, Ki-ko (Kakak Ki). Aku pun tidak sudi bermain-main dengan dia. Iiihhh, kakek-kakek mau bermain dengan anak kecil!” Thio Bwee memperkuat pendapat kakaknya.

Akan tetapi Kui Lok tiba-tiba berkata Sambil memandang Kwa Hong, 
“Kalau Adik Hong sudah menjadi temannya, mengapa kita tidak? Koai Atong, aku suka bermain-main denganmu.”

Thio Bwee menoleh kepada Kui Lok. Sepasang matanya berapi. Biasanya anak ini pendiam, akan tetapi entah mengapa, ia agaknya marah sekali kepada Kui Lok.

”Kau memang selalu lain daripada orang lain. Tidak hanya tangan, juga pikiranmu!”

Wajah Kui Lok menjadi merah mendengar sindiran ini. la maklum bahwa Thio Bwee menyindir tangannya yang kidal.

Kwa Hong tertawa, sama sekali tidak marah karena temannya dicela. 
“Dulu pun aku tidak suka, akan tetapi setelah melihat betapa lihainya Koai Atong, dan betapa dia baik hati dan penurut, aku menjadi suka padanya. Hemmm, kalian ini bertiga menghadapi tangan kirinya saja takkan mampu mengalahkannya. Dia lihai sekali, mungkin tidak kalah oleh ayah kalian.”





SELANJUTNYA»»

Postingan populer dari blog ini

RAJA PEDANG (BAGIAN PERTAMA SERIAL RAJA PEDANG)

RAJAWALI EMAS (BAGIAN KE-2 SERIAL RAJA PEDANG)

JAKA LOLA (BAGIAN KE-4 SERIAL RAJA PEDANG)