RAJA PEDANG JILID 64

Lima bulan telah lewat semenjak Kun-lun Sam-hengte berjanji hendak mengunjungi Hoa-san Sie-eng di puncak Hoa-san. Hoa-san Sie-eng sudah berkumpul di puncak Gunung Hoa-san, setiap hari menanti kedatangan tiga orang murid Kun-lun-pai, terutama Kwee Sin, dengan hati tak sabar lagi.

Kwa Tin Siong setelah melihat Beng San segera mengenalnya sebagai bocah aneh yang pernah dia jumpai dahulu di tengah hutan. la segera memberitahukan hal ini kepada adik-adik seperguruannya, juga kepada suhunya dan menyatakan kecurigaannya. 

“Sekarang ini jamannya sedang kacau-balau, banyak terjadi fitnah dan musuh rahasia mengelilingi kita. Siapa tahu kalau-kalau anak ini seorang mata-mata yang sengaja dilepas lawan untuk menyelidiki keadaan kita.” 

Demikian kata-katanya dan adik-adik seperguruannya membenarkan wawasan ini. Hanya Lian Bu Tojin yang tidak setuju di dalam hatinya karena dengan adanya surat pengenal dari Lo-tong Souw Lee. Tiba-tiba berpikir sampai disini, ketika teringat kepada Lo-tong Souw Lee, sekaligus kakek ini teringat pula kepada Souw Kian Bi. 

Dua orang she Souw itu. apakah tidak ada hubungan apa-apa? Souw Kian Bi dihormati panglima-panglima Mongol, sedangkan dia tahu benar bahwa Lo-tong Souw Lee berasal dari keluarga bangsawan Mongol pula. Ah jangan-jangan benar kecurigaan muridnya yang tertua, siapa tahu kalau-kalau antara Beng San dan Souw Kian Bi memang ada permainan sandiwara! Kakek ini mengerutkan keningnya. 

Besar sekali kemungkinannya. Beng San tidak mengerti ilmu silat, mengapa ketika dipukul oleh Souw Kian Bi tidak terluka? Bukankah itu menandakan bahwa Souw Kian Bi hanya pura-pura memukul saja? Ataukah Beng San yang tahu akan ilmu silat akan tetapi sengaja berpura-pura tidak tahu?

“Ucapanmu berdasar juga, Tin Siong. Akan tetapi tanpa bukti tak mungkin kita menuduh Beng San yang bukan-bukan. Dia hanya seorang anak kecil, kita lihat-lihat sajalah. Kalau betul dia kaki tangan orang jahat, dia bisa berbuat apa terhadap kita,” demikian kakek ketua Hoa-san-pai ini berkata. 

Selanjutnya kakek ini lalu memanggil Beng San dan memesan kepada anak itu agar supaya jangan mencampuri lagi urusan luar dan selalu berada di dalam kelenteng dan melakukan tugas pekerjaannya baik-baik.

Hari yang dinanti-nantikan dengan hati berdebar tiba juga. Pada suatu hari matahari belum naik tinggi benar, seorang tosu berlari-lari melaporkan bahwa Kun-lun Sam-hengte telah datang mendaki puncak Hoa-san! 

Karena urusan yang dihadapi adalah urusan besar dan karena tidak ingin melihat murid-muridnya berlaku lancang, Lian Bu Tojin sendiri berkenan menerima kedatangan tiga orang jago dari Kun-lun-pai itu. Liang Bu Tojin dengan diikuti empat orang muridnya melakukan penyambutan di luar tempat kediamannya, di halaman yang bersih dan luas, halaman yang dikelilingi pohon-pohon besar, amat sejuk dan enak untuk dijadikan tempat, perundingan soal yang amat pelik dan penting itu.

Kun-lun Sam-hengte datang berjalan dengan langkah tegap. Kwee Sin tampan dan mukanya putih sekali seperti pucat tampaknya, pedangnya tergantung di pinggang kiri. la berjalan di tengah-tengah diapit oleh Bun Si Teng dan Bun Si Liong. 

Bun Si Teng yang tinggi besar dan gagah itu benar-benar menarik perhatian, pedangnya di pinggang dan busurnya terselip di sebelah kanan. Bun Si Liong yang bermuka hitam itu berjalan dengan langkap tegap, mukanya berseri dan matanya yang bersinar-sinar seperti orang sedang gembira, mukanya lebih menunjukkan kegembiraan seorang yang sedang pelesir daripada kesungguhan seorang menghadapi urusan besar. Sepasang senjatanya, golok dan pedang, tergantung di kanan kiri.

Dari jauh tiga orang gagah itu sudah mengangkat tangan memberi hormat. Mereka agak tercengang, akan tetapi juga bangga melihat bahwa ketua Hoa-san-pai sendiri menyambut kedatangan mereka. 

Kwee Sin ketika bertemu pandang dengan tunangannya dan melihat sepasang mata tunangannya itu berapi-api tapi berlinangan air mata, merasa hatinya seperti tertusuk. la sudah mendengar dari para suhengnya bahwa ayah tunangannya itu terbunuh orang dan si nona menyangka bahwa dialah yang membunuhnya. Kepanasan hatinya ketika menyaksikan tunangannya menangis di dada Kwa Tin Siong dahulu itu menjadi dingin karena sekarang dia dapat menduga bahwa nona itu sedang berduka hatinya dan dihibur oleh Kwa Tin Siong.



la merasa menyesal sekali telah terburu nafsu, juga dia diam-diam merasa malu sekali kalau teringat akan hubungannya dengan Coa Kim Li si cantik jelita.



“Kami bertiga saudara jauh-jauh sengaja datang memenuhi janji kami terhadap Hoa-san Sie-eng. Tidak nyana bahwa Hoa-san-ciangbunjin (ketua) juga ikut menyambut. Sungguh membikin lelah kepada orang tua yang terhormat,” kata Bun Si Teng mewakili rombongannya.





“Kun-lun Sam-hengte datang, itulah bagus. Memang murid Pek Gan Siansu terkenal gagah dan takkan mungkir janji, juga adil dan jujur. Pinto orang tua hanya menjadi saksi saja dalam urusan ini, harap kalian bertiga berurusan dengan murid-murid pinto secara langsung.” 

Kakek ini lalu melangkah ke pinggir, membiarkan tiga orang jago Kun-lun itu menghadapi empat orang muridnya.



Kwa Tin Siong mewakili rombongannya melangkah maju dan mengangkat tangan memberi hormat. 

“Kami merasa lega sekali bahwa ternyata Kun-lun Sam-hengte memenuhi janji dan penjahat Kwee Sin sudah diajak pula datang kesini untuk menebus dosa.”

Bun Si Teng tersenyum sedangkan Kwee Sin menjadi makin pucat mukanya.


“Harap Hoa-san It-kiam suka bersabar dan jangan datang-datang suteku dijatuhi fitnah yang bukan-bukan. Sebelumnya aku sendiri sudah memeriksa Sute dan ternyata bahwa semua yang dituduhkan kepada Kwee-sute hanyalah fitnah kosong belaka. Kwee-sute tak pernah melakukan pembunuhan terhadap ayah Kiam-eng-cu Liem Sian Hwa seperti telah kalian katakan,” kata Bun Si Teng, senyumnya mengeras. Kwee Sin mengangguk-angguk membenarkan ucapan suhengnya.

“Lidah memang tak bertulang!” tiba-tiba Sian Hwa membentak, tak dapat menahan kemarahannya lagi. “Tidak ada pencuri yang mengaku, menyangkal adalah pekerjaan yang paling mudah. Akan tetapi, aku tidak sudi menjatuhkan fitnah kepada siapapun juga. Bukti-buktinya jelas bahwa ayahku telah dibunuh secara pengecut oleh pukulan Pek-lek-jiu dan paku Pek-lian-ting, di samping ini masih ada saksi utama, yaitu almarhum ayahku sendiri!”

Kwee Sin makin pucat mendengar kata-kata dan melihat sikap tunangannya itu.


“Biarlah aku bersumpah disaksikan langit dan bumi, apabila aku membunuh ayahmu, Thian semoga menghukumku dengan kematian yang mengerikan!” seru Kwee Sin dengan muka pucat dan suara lemah.

Kwa Tin Siong tertawa mengejek. 
“Urusan pembunuhan keji sebesar ini mana bisa diselesaikan dengan segala macam sumpah? Sumoi, agar persoalannya dapat dibicarakan dari awalnya, harap kau ulangi lagi ceritamu tentang kematian ayahmu.”

Dengan lantang Sian Hwa mengisahkan kembali semua yang dialami ayahnya dan dia sendiri, matanya tajam menantang Kwee Sin yang tunduk dan muka pemuda ini sebentar merah sebentar pucat. Akan tetapi ketika ia menceritakan bagian ayahnya yang terluka dan meninggalkan kesaksian terakhir bahwa yang membunuhnya adalah Kwee Sin dan perempuan Pek-lian-pai, Sian Hwa tak dapat menahan air matanya mengucur deras. Setelah selesai menuturkan semua ini, ia menggerakkan tangannya dan “sraaattt!” pedangnya yang sepasang itu sudah tercabut di kedua tangan.



“Ayah terbunuh secara keji. Kalau penasaran ini tidak dibalas, aku Liem Sian Hwa tidak mau hidup lagi di muka bumi!” 

Kwee Sin hanya mengangkat muka dan memandang sedih, tapi sama sekali dia tidak mengeluarkan pedangnya.

Bun Si Teng melangkah maju dan berkata, suaranya mengandung ejekan.
“Bagus! Apa Hoa-san-pai hendak menghukum orang tanpa memberi kesempatan membela diri dan tanpa bukti-bukti yang sah dan saksi-saksi yang masih hidup?”

“Sudah terang jahanam Kwee Sin ini pembunuh ayahku, aku harus membalas dendam!” bentak Sian Hwa.

“Enak saja orang bicara! Andaikata Kwee-sute segan melawan, apakah kami akan mendiamkan saja orang membunuh sute kami tanpa dosa?” 

Bun Si Teng meraba gagang pedangnya, siap melawan. Juga Bun Si Liong meraba gagang golok dan pedangnya. Pendeknya, kakak beradik she Bun ini tidak nanti akan membiarkan sute mereka dibunuh orang begitu saja. Mereka datang untuk membuktikan kebersihan diri Kwee Sin, bukan untuk mengantar sute mereka dihukum bunuh!

“Manusia Kun-lun sombong! Sudah terang jahanam she Kwee main gila dengan perempuan jalang dan bersekongkol membunuh ayah Sumoi, masih hendak dibela? Kalau begitu, kewajiban orang-orang gagah untuk membasmi gerombolan orang jahat!” Thio Wan It sudah mengeluarkan pedangnya dan meloncat maju.

“Keparat, siapa takut kepada Bu-eng-kiam?” bentak Bun Si Liong. 

Dengan kemarahan meluap-luap, Sian Hwa sudah berhadapan dengan Bun Si Teng, sedangkan Thio Wan It sudah saling melotot dengan Bun Si Liong. Pertempuran agak-nya takkan dapat dicegah lagi.

“Twa-suheng, Ji-suheng….. jangan….. ah, siauwte yang menjadi gara-gara semua ini…., Ji-wi Suheng, simpanlah pedangmu…..” Kwee Sin bicara dengan suara mengandung isak tertahan.

Kwa Tin Siong juga maju menahan dua orang adik seperguruannya yang hendak turun tangan itu. 

“Ji-sute, Sumoi, tahan senjata kalian! Tidak semestinya kalau urusan ini diakhiri dengan pertempuran tanpa sebab-sebab yang jelas. Kita berpegang kepada keadilan dan kebenaran! maka seharusnya kita memberi kesempatan kepada Kwee Sin untuk membela diri dan memberi keterangan-keterangan.” 

Biarpun sedang marah sekali, Thio Wan It dan Liem Sian Hwa terpaksa mundur juga ketika ditahan oleh twa-suheng mereka ini.

“Kwee Sin!” kata Kwa Tin Siong dengan suara keras dan tegas. “Sudah kau dengar baik semua keterangan sumoiku yang menuduhmu sebagai pembunuh ayahnya dan mengadakan persekongkolan dengan perempuan jahat dari Pek-lian-pai. Bagaimana jawabmu? Kalau memang kau melakukan hal itu, bagaimana tanggung jawabmu dan apabila kau tidak melakukan, bagaimana keterangan pembelaanmu? Ingat, sudah jelas bahwa sebelum meninggal dunia, ayah Sumoi terang-terangan menyatakan bahwa kau dan seorang perempuan yang menyerang dan melukainya.

Muka Kwee pucat sekali, kedua matanya agak basah dan merah menahan mengucurkan air mata. la maklum bahwa dirinya kena fitnah. Tentu saja dia percaya bahwa Hoa-san Sie-eng takkan mau memfitnahnya kalau tidak ada dasarnya. Ia tahu bahwa dia telah difitnah oleh orang-orang yang memusuhinya, entah siapa orang-orang itu. Bagaimana dia harus menjawab?

“Hoa-san Sie-eng,” katanya, tidak berani langsung kepada Sian Hwa, “apa yang harus kukatakan lagi? Aku sudah bersumpah bahwa aku sama sekali tidak merasa melakukan pembunuhan terhadap ayah Nona Liem Sian Hwa. Sebagai orang termuda dari Kun-lun Sam-hengte, aku selamanya tidak pernah membohong. Aku tidak melakukan pembunuhan itu dan kalian percaya atau tidak, terserah. Aku hanya mengharapkan kebijaksanaan dan keadilan Hoa-san-ciangbunjin.” 

la menjura ke arah Lian Bu Tojin yang semenjak tadi berdiri di pinggiran sambil menundukkan mukanya.

Hoa-san It-kiam Kwa Tin Siong tertawa lirih. 
“Ha-ha-ha, lagi-lagi Kwee Sin yang dijuluki orang Pek-lek-jiu, orang termuda dari Kun-lun Sam-hengte terkenal gagah perkasa, lari sembunyi di balik sumpah-sumpahnya. Orang she Kwee, tak perlu bersumpah keras-keras. Sebaliknya kau menjawab pertanyaan-pertanyaanku agar jelas.”

Kwee Sin sebetulnya mendongkol sekali menyaksikan sikap Hoa-san Sie-eng yang amat menghinanya. Akan tetapi dia tidak ingin melihat persoalan ini menjadi makin panas, maka dia menjawab tenang.

“Tanyalah, Hoa-san It-kiam, aku akan menjawab.”

“Mula-mula terjadi urusan ini, ayah Sumoi, Liem-lopek, melihat kau bersama seorang perempuan muda cantik berpelesir di Telaga Pok-yang, sehingga menimbulkan marahnya. Betulkah pada waktu itu kau berpelesir bersama seorang perempuan cantik dari Pek-lian-pai di Telaga Pok-yang?”

Wajah Kwee Sin menjadi merah sekali, lalu pucat dan merah lagi. la menundukkan muka menggigit-gigit bibir dan sampai lama tak dapat menjawab! Semua mata memandang kepadanya, bahkan Lian Bu Tojin yang semenjak tadi tunduk saja, sekarang juga mengerling ke arahnya. Apalagi Sian Hwa, gadis ini memandang dengan sepasang mata berapi-api.

Kwee Sin benar-benar merasa bingung. Bagaimana dia harus menjawab? Tak dapat disangkal lagi bahwa dahulu dia telah berpelesir di Telaga Pok-yang bersama Coa Kim Li! Dan tentu pada saat itu, celaka sekali baginya, ayah Liem Sian Hwa melihat dia bersama Coa Kim Li dan pulang sambil marah-marah.







SELANJUTNYA»»

Postingan populer dari blog ini

RAJA PEDANG (BAGIAN PERTAMA SERIAL RAJA PEDANG)

RAJAWALI EMAS (BAGIAN KE-2 SERIAL RAJA PEDANG)

JAKA LOLA (BAGIAN KE-4 SERIAL RAJA PEDANG)