RAJA PEDANG JILID 68

Bi Goat mengangguk, meloncat ke dekat sungai yang ada pasirnya, lalu ujung sepatunya bergerak-gerak seperti menari. Beng San memandang dan alangkah herannya ketika dia melihat huruf-huruf besar yang indah dibuat oleh gerakan ujung sepatu itu. Huruf-huruf itu berbunyi: Harus sampai di kelenteng sebelum matahari terbit.

Beng San memegang kedua pundak Bi Goat, dipandangnya wajah itu penuh kekaguman. 

“Kau hebat! Biar gagu, kau pandai menulis dengan kaki malah! He-bat, Bi Goat, kau hebat…..!”

Gadis cilik itu hanya tersenyum, lalu menggandeng tangan Beng San diajak lari cepat. Di waktu dua orang anak ini berlari, Beng San merasa betapa dinginnya telapak tangan Bi Goat dan anak itu nampak kedinginan betul. Tidak heran karena pakaian basah kuyup ditambah berlari-larian di dalam udara yang begitu dinginnya lewat tengah malam itu. 

Beng San mendapat akal. Dia sendiri tidak bisa menderita dingin karena dengan hawa ditubuhnya dia bisa menyalurkan hawa panas membuat tubuhnya hangat. Diam-diam dia mengerahkan tenaga dalamnya, melalui telapak tangan Bi Goat dia menyalurkan hawa panas ke tubuh Bi Goat untuk mengusir hawa dingin.

Mendadak Bi Goat mengeluarkan suara “Uhhh!” dan melepaskan pegangannya, malah meloncat mundur dengan muka kaget. Melihat gerak kaki tangannya, gadis cilik ini sudah siap menghadapi pertempuran, matanya yang bening menatap wajah Beng San penuh kecurigaan. 

Beng San maklum bahwa gadis cilik ini salah sangka. Diam-diam dia kagum sekali. Ternyata penyaluran hawa panas tadi terasa pula oleh Bi Goat. Ternyata bocah ini sudah mahir tentang hawa di dalam tubuh, dapat merasai serangan tenaga dalam!

“Bi Goat, aku tidak apa-apa, hanya ingin membantumu menghangatkan tubuh,” 

Beng San berkata. Bi Goat memandang terus, mengangguk-angguk dan nampaknya kagum sekali. Agaknya baru sekarang gadis cilik ini mendapat kenyataan bahwa Beng San memiliki ilmu kepandaian. la lalu menggandeng tangan Beng San lagi dan sama sekali tidak melawan ketika pemuda itu sambil berjalan menyalurkan hawa panas yang diterimanya dengan gembira karena tak lama kemudian gadis cilik itu merasa hangat tubuhnya, tidak menderita kedinginan lagi.

Hari telah menjadi terang ketika dua orang anak ini sambil bergandengan tangan tiba di perbatasan Shan-si. Kelenteng Hok-thian-tong berdiri di luar sebuah dusun, hanya dua li jauhnya dari Sungai Huang-ho. Dengan gembira dan penuh harapan Beng San mengajak Bi Goat lari menuju ke tempat itu.



Betapa kagetnya ketika akhirnya sampai di tempat yang dituju, ia melihat bahwa apa yang dulunya merupakan bangunan-bangunan kelenteng yang besar, tua dan kuat, sekarang hanya tinggal tumpukan puing-puing belaka.



Bangunan-bangunan itu ternyata telah menjadi abu, telah habis dimakan api! Sekelilingnya sunyi, tak kelihatan seorang pun manusia. Melihat keadaan tempat itu, agaknya baru beberapa pekan saja Kelenteng Hok-thian-tong kebakaran. Beng San berdiri bengong.

Bi Goat yang semenjak tadi sudah nampak gelisah karena belum juga mereka mendapatkan tempat berlindung, kini memandang kepada Beng San yang kelihatan sedih. la segera menarik-narik tangan Beng San dan menunjuk ke arah puing, seolah-olah bertanya.

“Celaka sekali, Bi Goat,” kata Beng San perlahan. “Agaknya terjadi sesuatu yang hebat dengan Kelenteng Hok-thian-tong. Ah, bagaimana nasibnya para hwesio dan kemana perginya mereka itu?”



Dasar Beng San memang seorang yang memiliki hati penuh pribudi, sebentar saja dia sudah lupa akan keadaan diri sendiri, lupa akan ancaman yang mengelilingi dirinya dan menaruh kasihan serta memperhatikan nasib lain orang.

Dengan suara ah-ah-uh-uh-uh, Bi Goat menudingkan telunjuknya ke arah dada Beng San dan dada sendiri, lalu menuding ke arah belakang. Jelas ia kelihatan memperingatkan Beng San akan bahaya yang mengancam mereka. Barulah dia sadar akan ancaman bahaya hebat berupa Song-bun-kwi yang setelah malam terganti pagi tentu akan lebih memudahkan kakek itu mencari mereka.



la ingat bahwa tak jauh dari kelenteng itu terdapat sebuah dusun dan dia sudah kenal dengan beberapa orang tua di dusun itu yaitu ketika dia dahulu menjadi kacung Kelenteng Hok-thian-tong. Tentu mereka itu akan suka memberi tempat kepadanya untuk bersembunyi. Setelah berpikir demikian Beng San lalu menarik tangan Bl Goat, diajak berlari menuju ke dusun itu.





Hari masih pagi dan dusun itu sunyi sekali. Hal ini mengherankan hati Beng San karena dahulu para petani di dusun itu sudah pada bangun, malah sudah berangkat ke sawah sebelum matahari terbit. Sekarang kenapa sebuah rumahpun belum membuka pintunya? 

Sambil menggandeng tangan Bi Goat, Beng San berlari-lari di sepanjang jalan kampung yang sunyi itu. Jangankan manusia, seekor anjingpun tak tampak disitu. Keadaan sunyi menyeramkan. Beng San seperti mendapat firasat bahwa tentu terjadi hal-hal yang mengerikan di dusun ini, seperti yang telah menimpa Kelenteng Hok-thian-tong.



la segera menuju ke rumah kakek Sam, pemilik warung kecil di sudut kampung yang sudah dikenalnya. Kakek Sam seorang duda tua, amat peramah dan baik kepadanya. la dapat mempercayai penuh kakek itu dan kiranya tidak ada tempat persembunyian yang lebih baik dan aman kecuali rumah kakek Sam itu.

Diketuknya pintu rumah yang masih tertutup itu. Biasanya pagi-pagi sekali kakek Sam sudah membuka warungnya, sekarang pintu rumahnya pun masih tertutup. Beng San tak sabar lagi, ingin dia segera bertemu dengan kakek Sam untuk minta keterangan tentang keadaan kampung yang sunyi ini, dan tentang kebakaran Kelenteng Hok-thian-tong.

“Tok-tok-tok!” Untuk ke empat kalinya dia mengetuk, kini agak keras

Belum juga ada jawaban dari dalam dan tiba-tiba terdengar lengking tinggi dari jauh, Beng San menjadi pucat mukanya, Bi Goat memegang tangannya dan cepat dia mendorong pergi Beng San sehingga anak ini terhuyung.



Bi Goat dengan muka gelisah menuding-nudingkan telunjuknya seperti mengusir pergi Beng San dan pada saat itu pintu rumah terbuka dan….. Beng San meloncat mundur dengan mata terbelalak. Ratusan ekor ular menyerbu keluar dari pintu rumah yang baru terbuka itu!




“Celaka! Bi Goat, mundur…..” teriaknya sambil meloncat lagi menjauhkan diri.

Pengalaman dengan ular-ular ini pernah dia alami bersama Tan Hok dahulu ini dan dia masih bergidik kalau mengenangkannya. Sekarang kembali dia berhadapan dengan ratusan ekor ular yang menjijikkan.

Bi Goat membalikkan tubuh, sama sekali tidak kelihatan takut kepada barisan ular itu. la mengeluarkan suara ah-uh-ah-uh-ah dan menudingkan telunjuknya kepada Beng San, lalu ke arah belakangnya dari mana masih terdengar lengking tangis sayup sampai.

Celaka betul, pikir Beng San. Dari belakang mengejar Song-bun-kwi, dari depan menghadang barisan ular ini. Bagaimana dia bisa lari lagi pergi meninggalkan Bi Goat? Mungkin Bi Goat takkan diganggu Song-bun-kwi, akan tetapi ular-ular ini? 

Sekali lagi Bi Goat memberi isyarat supaya dia bersembunyi dan gadis ini mengeluarkan sesuatu dari balik bajunya. Dengan benda yang diambilnya itu di tangan, Bi Goat melangkah maju dan….. dengan enaknya ia berjalan diantara barisan ular itu yang begitu gadis ini mendekat lalu diam tak bergerak, malah yang di depan cepat-cepat menyingkir, agaknya merasa takut sekali. 

Beng San terheran-heran dan dia hanya melihat sebuah benda mengkilap di tangan Bi Goat. Agaknya benda itulah yang membikin takut barisan ular itu.

Suara lengking tinggi makin jelas terdengar dan kini Beng San tak perlu mengkhawatirkan diri Bi Goat lagi. Selain gadis cilik itu memiliki benda yang melindunginya dari ular-ular itu, juga Bi Goat memiliki kepandaian yang cukup tinggi sehingga tak usah khawatir akan dicelakai orang. Apalagi Song-bun-kwi sudah datang dekat, siapa berani mengganggunya? Berpikir demikian, Beng San lalu berkata.

“Bi Goat, selamat tinggal!” 

Dan dia lalu lari terus ke utara menjauhkan diri dari tempat itu. Setelah keluar dari dusun itu, dia melihat beberapa orang serdadu Mongol di belakang rumah yang paling pinggir. Anehnya, serdadu itu segera menyelinap dan menyembunyikan diri ketika melihat Beng San lari lewat. Beng San tidak peduli dan lari terus Sampai ke pinggir Sungai Huang-ho, kemudian lari di sepanjang tepi sungai menuju ke barat.

Setelah dia berlari belasan li jauhnya dan mulai mengendorkan larinya karena mengira bahwa dia sudah selamat terhindar daripada ancaman Song-bun-kwi, tiba-tiba dia mendengar lengking itu sudah dekat di belakangnya! 

Beng San menjadi kaget setengah mati dan dia mempercepat lagi larinya. Napasnya sampai hampir putus dan dia terengah-engah ketika di sebuah tikungan dia melihat iringan-iringan gerobak. Ada tujuh buah gerobak banyaknya. gerobak mengangkut karung-karung gandum. 

Iring-inngan gerobak gandum ini adalah gandum-gandum yang merupakan “pajak” dari para petani, dipungut oleh pembesar setempat untuk dikirimkan ke kota, disetorkan kepada pembesar atasan. Para petani bisanya menangis apabila melihat pawai gerobak ini karena di situlah adanya hasil jerih payah mereka selama setengah tahun, hasil cucuran keringat mereka setiap hari. Boleh dibilang mereka tidak kebagian apa-apa lagi kecuali sedikit yang mereka makan untuk menyambung hidup.

Beng San melihat belasan orang tentara Mongol mengawal tujuh gerobak gandum ini dan disetiap gerobak terdapat seorang kusirnya. Karena lengking tangis di belakangnya sudah makin keras tanda bahwa Song bun-kwi makin dekat Beng San tidak berpikir panjang lagi. 

Diam diam dia menyelinap di antara gerobak-gerobak itu dan tanpa diketahui para pengawal, dia meloncat ke dalam gerobak bersembunyi diantara karung-karung gandum yang hampir sebesar dia, penuh dengan gandum yang baik dan bersih. Ia mengintai dari dalam gerobak dan melihat bahwa gerobak itu dikusiri seorang bocah seumur dengannya, yang memakai caping (topi tani) lebar menutupi mukanya. 

Bocah ini nampak melenggut saking ngantuknya. Memang mudah untuk mengusiri gerobaknya karena gerobak yang dikusirinya ini adalah gerobak ke tiga sehingga kuda yang menarik gerobak itu tak usah dikendalikan lagi, hanya tinggal mengikuti yang depan.

Tiba-tiba setelah iring-iringan ini berjalan dua tiga li jauhnya, terdengar bentakan-bentakan di luar dan gerobak-gerobak itu berhenti. Terdengar suara Song-bun-kwi yang galak berpengaruh.

“Aku mencari seorang anak laki-laki bermuka hitam, kadang-kadang putih, kadang-kadang hijau, Apakah dia turut dengan kalian?”

Terdengar suara makian kotor sebagai jawaban dan seorang diantara para pengawal membentak, 

“Tua bangka gila, hayo pergi jangan ganggu kami'”

Akan tetapi ucapan ini disusul pekik mengerikan, disusul pekik ke dua dan ke tiga. Kemudian terdengar orang-orang minta ampun disusul suara ketawa kakek Song-bun-kwi, ketawa yang seperti orang menangis.

“Anjing-anjing Mongol berani kurang ajar terhadapku? Mau tahu siapa aku? Song-bun-kwi inilah aku!” Kembali terdengar seruan-seruan ketakutan dan minta ampun.

“Ampun, Locianpwe, ampunkan kami….. disini tidak ada anak laki-laki yang Locianpwe maksudkan tadi…..”

“Hah, siapa percaya mulut anjlng Mongol? Biar kuperiksa sendiri!” 

Song-bun-kwi menyingkap tenda gerobak satu demi satu, tapi tidak melihat adanya Beng San. Tujuh buah gerobak itu hanya berisi gandum belaka berkarung-karung banyaknya, bertumpuk-tumpuk memenuhi gerobak-gerobak itu. Dengan marah dan kecewa Song-bun-kwi pergi dari situ sambil mengeluarkan bunyi lengkingnya yang meninggi seperti orang menangis.







SELANJUTNYA»»

Postingan populer dari blog ini

RAJA PEDANG (BAGIAN PERTAMA SERIAL RAJA PEDANG)

RAJAWALI EMAS (BAGIAN KE-2 SERIAL RAJA PEDANG)

JAKA LOLA (BAGIAN KE-4 SERIAL RAJA PEDANG)