RAJA PEDANG JILID 69

Buru-buru para pengawal gerobak-gerobak gandum ini menolong tiga orang teman mereka yang mati oleh pukulan Song-bun-kwi, dimasukkan ke dalam gerobak dan iring-iringan itu segera melanjutkan perjalanannya. 

Kemanakah perginya Beng San? Bagaimana Song-bun-kwi tidak bisa menemukannya? Kalau saja Song-bun-kwi tidak begitu tergesa-gesa, kiranya di gerobak ke tiga dia akan melihat sebuah karung gandum yang agak lain daripada yang lain karena di dalam karung ini bukan berisi gandum, melainkan berisi seorang manusia, Beng San! 

Anak yang amat cerdik ini telah lebih dulu bersembunyi. Ia mendapatkan karung kosong disitu, maka segera dimasukinya dan ditutup dari dalam. Diantara puluhan karung gandum itu sepintas lalu memang takkan dapat terlihat perbedaannya. la bernapas lega ketika Song-bun-kwi sudah pergi dan gerobak-gerobak itu sudah berjalan kembali. 

Akan tetapi dia tidak berani segera meninggalkan rombongan ini, maklum bahwa watak Song-bun-kwi takkan putus asa begitu saja. la segera mencari akal dan keluar dari karung gandum.

Benar saja dugaan Beng San. Belum tiga li gerobak-gerobak itu berjalan, mendadak terdengar lagi lengking tangis, dan tak lama kemudian rombongan ini berhenti.

“Apakah yang dapat kami lakukan untuk Locianpwe? Ada keperluan apa gerangan Locianpwe kembali?” terdengar kepala penjaga bertanya dengan suara gemetar.

“Buka semua tenda gerobak, hendak kuperiksa lagi!”

Para pengawal sibuk membukai tenda gerobak. Song-bun-kwi meneliti dengan penuh perhatian. Di gerobak ketiga dia berhenti dan tiba-tiba dia menyambar sebuah karung gandum. Begitu dia mengangkat karung gandum ini, jelas kelihatan bahwa di dalam karung bukanlah gandum, melainkan seorang manusia yang bergerak-gerak!

“Ha-ha-ha-hi-hi! Beng San bocah setan, kau hendak lari kemana?”

Sambil tertawa-tawa gembira Song-bun-kwi menggendong karung berisi manusia itu dan berlari cepat sekali seperti terbang meninggalkan rombongan itu.

Para pengawal saling pandang dengan heran. Bagaimana diantara gandum berkarung-karung itu terdapat manusianya? Tergesa-gesa mereka melanjutkan perjalanan dan sebentar-sebentar para pengawal menengok ke belakang dengan perasaan ngeri dan takut. Nama besar Song-bun-kwi memang membikin takut semua orang dari golongan manapun juga.



Tiba-tiba gerobak ke tiga menyeleweng dari iring-iringan. Kudanya membelok ke kiri dan melintang di tengah jalan.

“Keparat, kusirnya tertidur agaknya!” bentak kepala pengawal sambil berlari menghampiri dan menahan kuda yang hendak binal ini.



Ketika dia memandang, dia kaget sekali melihat bahwa gerobak ke tiga ini memang tidak ada kusirnya! Kemana perginya kusir yang masih muda itu? Tadi masih nampak melenggut, melindungi mukanya dari sinar matahari.

Semua pengawal menjadi bingung dan bertanya-tanya, kemudian mereka menjadi pucat ketika kepala pengawal berseru, 

“Celaka, jangan-jangan yang dibawa pergi Song-bun-kwi adalah dia!”

Kekhawatiran mereka terbukti. Pada saat itu terdengar lengking panjang. Sebelum mereka sempat berunding apa yang harus mereka lakukan, Song-bun-kwi sudah datang membawa karung yang tadi, dilemparkannya karung yang sekarang berisi mayat manusia itu ke arah para pengawal, kemudian tubuh Song-bun-kwi berkelebatan kesana kemari.



Beberapa belas menit kemudian ketika kakek ini pergi, disitu sudah tidak ada lagi manusia hidup. Semua pengawal dan kusir, bahkan semua kuda yang menarik gerobak, rebah tak bernyawa lagi. Beginilah kejamnya hati Song-bun-kwi si Iblis Berkabung!

Apakah yang terjadi? Kemana perginya Beng San? Kalau saja Beng San tahu apalagi melihat apa yang menjadi akibat daripada perbuatannya, kiranya dia takkan suka melakukan akalnya itu. 





Tadi setelah selamat tidak dapat ditemukan Song-bun-kwi ketika dia bersembunyi di dalam karung gandum, dia merasa pasti bahwa kakek iblis itu akan kembali. Maka cepat dia mengambil keputusan menggunakan siasat. Dari dalam gerobak dia merayap ke depan dan sekali terkam dia dapat menangkap kusir gerobak yang masih muda itu, menyumpal mulutnya dan mengikat kaki tangannya. 

Kemudian dia memasukkan kusir ini ke dalam karung dan dia sendiri duduk di tempat kusir, memakai topi caping lebar menutupi mukanya. Dengan hati berdebar tidak karuan Beng San menyaksikan sendiri dari balik topinya ketika Song-bun-kwi datang lagi dan membawa pergi karung gandum berisi kusir tadi. la merasa beruntung sekali bahwa kakek iblis itu tidak membuka karung di tempat itu. Setelah kakek itu pergi, cepat Beng San mencari kesempatan dan diam-diam menyelinap turun dari gerobak, lalu lari memasuki sebuah hutan yang lebat dan liar di tepi Sungai Huang-ho.



Karena takut kalau-kalau dapat dikejar dan ditangkap Song-bun-kwi, Beng San berlari terus menyusup-nyusup hutan liar itu. Setelah hari menjadi sore, barulah dia berhenti. la lelah sekali, lelah dan lapar. Agaknya malapetaka masih banyak mengelilingi dirinya. 

Baru saja dia terlelap hendak tidur, dia mendengar suara berisik dan ketika dia membuka matanya, dia telah dikurung oleh belasan orang laki-laki tinggi besar yang kelihatan bengis dan jahat. Semua orang itu memegang golok yang besar dan tajam berkilau!

“Eh, eh….. ada apa….. mau apa…..?”! Beng San berseru gagap dan merayap hendak bangun.

“Heh-heh-heh!” 

Seorang diantara mereka, yang bermulut lebar dan berkumis lebat, tertawa bergelak, dari mulutnya menitik keluar air liur, menjijikkan sekali. 

“Kawan-kawan, daging bocah kurus ini kiranya lumayan juga untuk teman gandum dan arak. Heh-heh-heh!”



“Apa…..??” Beng San meloncat ke belakang, mukanya pucat. “Kalian ini manusia hendak makan daging manusia? Apakah kalian ini iblis?”

“Sekarang ini jamannya orang makan orang, heh-heh-heh, apa anehnya kalau kami hendak makan engkau, bocah? setiap hari di kota, di dusun, kau melihat, orang makan orang, ha-ha-ha, orang digerogoti habis dagingnya oleh orang lain. Heh-heh-heh!”

Para pengurung itu yang wajahnya liar dan bengis-bengis merapat maju. Beng San menengok ke kanan kiri dan mendapatkan dirinya sudah terkurung betul-betul, tidak ada jalan keluar atau lari lagi. la menjadi bingung dan akhirnya timbul amarahnya. Masa dia harus menyerah mentah-mentah saja untuk dijadikan mangsa orang-orang liar ini? Tidak, dia harus melawan! 

Latihannya ilmu silat telah banyak maju, setiap saat terluang tak pernah dia lupa melatih diri. Kiranya sekarang inilah ujian baginya apakah dia selama ini melatih diri cukup keras atau tidak.



Mendadak terdengar bentakan-bentakan keras. Sinar putih berkelebatan dari kanan kiri. Diantara orang-orang liar itu ada beberapa orang terjungkal dan beberapa batang senjata rahasia menancap pada batang pohon.

“Ah, Pek-lian-pai yang datang…..! Kawan-kawan, lari…..!” seru kepala gerombolan liar itu. 

Mereka lari cerai-berai sambil menyeret mereka yang tadi terjungkal roboh. Sebentar saja disitu tidak kelihatan lagi seorang pun orang jahat, hanya disana-sini kelihatan paku-paku yang kepalanya berbentuk bunga teratai putih. Itulah Pek-lian-ting (Paku Teratai Putih), senjata rahasia dan tanda anggauta perkumpulan Pek-lian-pai. 

Beng San girang sekali. Tentu Tan Hok dan teman-temannya yang datang menolongnya. la celingukan ke kanan kiri, lalu memanggil.

“Tan-twako…., aku Beng San disini…..!”

Dari dalam hutan yang sudah mulai gelap itu bermunculan belasan orang. Ada laki-laki, ada pula wanita dan pakaian mereka serba ringkas. Yang laki-laki kelihatan gagah, ada juga yang menakutkan. Tiga orang wanita diantara mereka cantik dan gagah, sudah setengah tua akan tetapi masih cantik dan gesit gerak-geriknya. Mereka ini segera mendekati Beng San, seorang diantaranya bertanya ramah.

“Kau tadi memanggil Tan-twako, siapakah yang kau maksudkan?”

Beng San melihat bahwa penanyanya seorang laki-laki berusia empat puluh tahun, gagah dan keren. 

“Kumaksudkan pemimpin rombongan Pek-lian-pai yang bernama Tan Hok, dia adalah sahabat baikku.”

Terdengar seruan-seruan heran dan kaget diantara belasan orang Pek-lian-pai itu. Si pemimpin sendiri segera mengeluarkan seruan girang. 

“Aha, kiranya kau yang bernama Beng San? Tentu saja kami mengenal baik Tan Hok yang memimpin rombongan Pek-lian-pai dari selatan itu. Sudah kuduga bahwa kau tentu Beng San seperti pernah diceritakan oleh saudara Tan Hok, maka tadi kami tidak ragu-ragu untuk mengusir perampok-perampok pemakan manusia itu”.

Beng San segera mernberi hormat dan berkata, 
“Banyak terima kasih kuucapkan kepada kakak-kakak yang gagah perkasa. Makin yakinlah hatiku sekarang bahwa Pek-lian-pai memang perkumpulan orang-orang gagah. Akan tetapi, Twako, kenapa kalian yang belum mengenalku telah menolongku dan begini baik kepadaku?” 

Beng San merasa sungkan sekali karena beberapa orang Pek-lian-pai itu sudah mengeluarkan roti dan air minum untuknya.

“Kau makanlah dulu, nanti akan kami ceritakan sejelasnya. Bukan hanya karena kau kenalan saudara Tan Hok saja mengapa kami menolongmu, akan tetapi ada hal yang lebih penting lagi. Makanlah dulu, Adik Beng San.”

Karena perutnya memang lapar sekali, Beng San tanpa malu-malu lagi lalu makan hidangan itu dengan lahapnya. Setelah berada di tengah-tengah mereka ini, orang-orang gagah Pek-lian-pai, dia merasa aman dan tidak takut akan ancaman Song-bun-kwi. 

Akan tetapi setelah mengambil paku-paku Pek-lian-pai dari tempat itu, para anggauta Pek-lian-pai itu seorang demi seorang pergi dari tempat itu seperti setan-setan saja. Gerakan mereka cepat dan tidak mengeluarkan suara sehingga rombongan seperti ini dalam pertempuran dapat melayani musuh yang jauh lebih banyak jumlahnya. Kini hanya tinggal pemimpin pasukan yang tadi bicara dengan Beng San, yang masih duduk menghadapi anak itu.

“Kemana perginya teman-teman tadi?” 

Beng San bertanya sehabis makan, karena kesunyian tempat itu betul-betul menyeramkan, apalagi setelah keadaan menjadi makin gelap.

“Ah, sudah menjadi kebiasaan kita tidak berkelompok, selalu siap untuk menggempur musuh, pasukan-pasukan Mongol yang lewat dekat daerah ini,” pemimpin Pek-Lian-pai itu berkata.

Beng San mengangguk-angguk dan mengangsurkan kembali tempat air dan tempat roti yang sudah kosong. 

“Sekali lagi terima kasih, Twako….. eh, siapakah nama Twako?”

“Namaku Ciu Tek,” jawab orang itu, singkat.

“She Ciu…..? kalau begitu Twako ini masih terhitung keluarga dengan pemimpin yang terkenal Ciu Goan Ciang?”

Orang itu nampak gugup, tapi karena keadaan gelap, sukar bagi Beng San untuk memperhatikan mukanya. 

“Aaahhh….. orang seperti aku ini, mana bisa disejajarkan dengan Ciu Goan Ciang? Eh, Adik Beng San, kau sudah tahu akan Ciu Goan Ciang, apakah kau pernah bertemu dengannya dan dimana dia sekarang?”

“Semua orang, dari pedagang sampai petani, memuji-muji nama besar Ciu Goan Ciang. Tentu saja aku pernah mendengar nama itu disebut-sebut orang. Akan tetapi belum pernah aku bertemu muka dengannya dan tentu saja aku tidak tahu dimana tempatnya. Ciu-twako, kau tadi bilang bahwa ada hal yang amat penting yang menjadi alasan kau dan teman-teman tadi menolongku. Hal apakah yang amat penting itu?”

“Amat penting bagimu, Adik Beng San. Akan tetapi sebelum aku memberi penjelasan, aku ingin mendapat kepastian lebih dulu agar jangan mengecewakan dua orang sakti itu. Adikku yang baik, coba kau buka baju atasmu,” membantu Beng San melepas bajunya yang sudah rombeng itu, yang dilakukannya karena dia ingin segera mendengar apa yang akan diceritakan oleh pemimpin Pek-lian-pai itu.





SELANJUTNYA»»

Postingan populer dari blog ini

RAJA PEDANG (BAGIAN PERTAMA SERIAL RAJA PEDANG)

RAJAWALI EMAS (BAGIAN KE-2 SERIAL RAJA PEDANG)

JAKA LOLA (BAGIAN KE-4 SERIAL RAJA PEDANG)