RAJA PEDANG JILID 70
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Oleh
Epul Saepul Rohman
“Bagus, kaulah anak mereka! Ha-ha-ha, tak salah lagi sekarang. Tanda tahi lalat di pundakmu itu! Betul, kaulah Beng San anak suami isteri yang sakti itu!”
Beng San menjadi bengong, lalu memakai kembali bajunya.
“Ciu-twako, apa kau bilang? Aku anak siapa? Harap kau jelaskan, jangan main-main.”
Suara Beng San terdengar serak, hampir tak dapat dia mengeluarkan suara karena rasa keharuan yang besar. Jantungnya berdetak tidak karuan mendengar bahwa dia adalah anak mereka! Mereka siapa?
“Adik Beng San, jawab dulu. Bukankah kau seorang anak yang menjadi korban banjir Sungai Huang-ho dan tidak tahu lagi siapa ayah bundamu?”
Beng San mengangguk, membasahi bibirnya dengan lidah.
“Aku….. aku sudah lupa segala….. aku terdampar ombak air bah, lalu berkeliaran dan bekerja di kelenteng….. aku tidak ingat lagi siapa ayah bundaku. Ciu-twako yang baik, lekas kau beri penjelasan, apa artinya semua ini?”
Ciu Tek memegang kedua pundak Beng San dan berkata gembira,
“Adik Beng San, kionghi (selamat)! Kau akan bertemu dengan ayah bundamu kembali. Mereka sudah lama mencari-carirnu kemana-mana. Tak nyana aku yang menemukan kau disini. Ah, girang sekali hatiku!”
Beng San hampir pingsan saking kagetnya, heran, dan gembiranya. Terlalu hebat, terlalu baik berita ini, sampai sukar untuk dapat dipercaya. Benarkah dia akan bertemu dengan ayah bundanya kembali? Bagaimanakah wajah ayah bundanya itu? la sudah lupa sama sekali. Ingatannya disapu bersih oleh air bah yang mengamuk. Bahkan she-nya sendiri saja dia sampai lupa.
“Ciu-twako…… dimana….. dimana….. mereka itu…..?”
Dengan sukar sekali Beng San mengajukan pertaryaan ini, dengan suara terputus-putus dan mata berlinangan air mata.
“Sabarlah, Adik Beng San, mereka tidak jauh dari sini. Tunggu aku memberi kabar kepada mereka dan besok pagi kau sudah akan bertemu dengan ayah bundamu itu.”
Ciu Tek memberi isyarat dengan siulan. Muncullah seorang temannya, seorang anggauta Pek-lian-pai wanita yang sigap dan bermata sipit, di punggungnya membawa pedang.
“Kui-moi, kau antarkan suratku kepada Ouw-taihiap suami isteri, malam ini juga,” kata Cin Tek yang segera mencorat-coret sehelai kertas dan memberikannya kepada wanita itu.
Wanita itu hanya mengangguk menerima surat dan tak lama kemudian dari jauh terdengar derap lari seekor kuda.
“Ciu-twako, jadi aku she….. she Ouw? Ciu-twako, ceritakanlah tentang ayah bundaku, aku sudah lupa sama sekali. Dan bagaimana aku sampai hanyut di Huang-ho? Ah, Twako yang baik, ceritakanlah, aku tak sabar menanti.”
Seperti anak kecil Beng San mengguncang-guncang lengan Ciu Tek yang tersenyum dan memandang terharu.
“Adikku yang baik, kau adalah putera tunggal sepasang suami isteri yang berkepandaian tinggi sekali. Orang tuamu adalah sepasang pendekar yang sukar dicari bandingnya untuk jaman ini. Ayahmu bernama Ouw Kiu, terkenal dengan julukannya Hui-sin-liong (Naga Sakti Terbang). Ibumu bernama Bhe Kit Nio berjuluk Bi-sin-kiam (Pedang Sakti Cantik).”
Beng San mendengarkan dengan hati berdebar bangga. Ah, kiranya orang tuanya adalah pendekar-pendekar gagah, terkenal di kalangan Pek-lian-pai pula. Alangkah akan kaget dan herannya kalau kelak Tan-twako mendengar akan hal ini, pikirnya.
Hemmm, orang tuanya tidak kalah terkenalnya oleh orang tua anak-anak Hoa-san-pai itu. Diam-diam Beng San mengangkat dada terhadap Thio Ki, Kui Lok, dan dua orang gadis cilik, Thio Bwee dan Kwa Hong. la tak merasa kalah oleh mereka itu!
“Ciu-twako,” katanya dengan Suara gemetar, “kalau ayah bundaku begitu terkenal dan lihai, kenapa aku sampai bisa hanyut terbawa air bah?”
“Ketika itu banjir besar sedang mengamuk di sepanjang Sungai Huang-ho, ayah bundamu sibuk menolong para korban. Karena kesibukannya inilah mereka menjadi lalai dan kau yang masih kecil bermain-main di dekat sungai lalu terseret banjir dan lenyap. Mereka tak dapat berbuat apa-apa karena tahu-tahu kau telah lenyap…..”
Beng San termenung. Air matanya menitik turun. la sendiri tidak ingat sama sekali akan hal semua itu. Seingatnya, dia telah menjadi kacung di Hok-thian-tong. Baginya, hidup ini dimulai dari lantai Hok-thian-tong yang dia pel (cuci) setiap hari. Ingatannya hanya bisa dia putar kembali sampai saat itu, saat ia menjadi kacung di kelenteng, diperlakukan dengan amat baik oleh para hwesio di kelenteng itu. Ia tidak dapat mengingat lagi waktu sebelum itu.
Dan sekarang kelenteng itu sudah habis dimakan api, tak seorang pun hwesio dapat dia temukan sehingga awal hidupnya yang dapat dia ingat juga habis tersapu dari kenyataan, kini bukan tersapu air, melainkan tersapu habis oleh api! Tak disangka sama sekali bahwa di tempat ini dia akan bertemu dengan ayah bundanya! Tak tertahankan lagi Beng San menutupi mukanya dan menangis tersedu-sedu.
“Tidurlah, Adik Beng San. Tidurlah nyenyak dan besok kau akan bertemu dengan ayah bundamu.”
Akan tetapi mana Beng San mau tidur? la tidak mau tidur karena takut kalau-kalau dia akan bangun dari tidur dan mendapatkan dirinya bahwa semua ini hanya mimpi belaka. Malah sekarang pun berkali-kali dia mencubit kulit lengan sendiri untuk menyatakan bahwa dia tidak sedang tidur.
Kadang-kadang dia hampir tak dapat percaya. la akan bertemu dengan ayah bundanya? Ah, terlalu baik, terlampau luar biasa baik nasibnya, sampai-sampai sukar untuk mempercayainya. Tak sabar lagi dia menanti datangnya pagi dan baru kali ini selama hidupnya Beng San tahu apa artinya menunggu. Malam itu terasa amat panjang olehnya.
Akhirnya fajar menyingsing. Suara-suara dalam hutan sudah berubah, bukan lagi suara burung malam, jengkerik diseling meraungnya binatang-binatang buas, suara yang seram menambah kegelisahan hati Beng San yang tak sabar, melainkan sudah berubah menjadl suara burung-burung pagi berkicau ramai indah, menambah kegembiraan hati Beng San yang melihat bahwa apa yang dinanti-nantikan akhirnya menjelang tiba.
Ciu Tek mengeluarkan sisa daging rusa yang masih disimpannya, lalu dipanggang dan memberi sebagian kepada Beng San. Akan tetapi dengan halus Beng San menolaknya, menyatakan bahwa dia tidak lapar. Memang, dia hanya lapar bertemu orang tuanya, yang lain-lain tidak peduli lagi.
Akhirnya, setelah matahari mulai menerobos cahayanya diantara daun-daun pohon, dari jauh terdengar derap kaki kuda dan tak lama kemudian muncullah dua orang. Seorang laki-laki tinggi tegap berusia empat puluh tahun yang bermuka pucat, bermata sipit dan dengan kumis melintang meloncat turun dari kudanya, diturut oleh seorang wanita cantik berpakaian indah, berusia kurang lebih tiga puluh tahun.
Dua orang ini sambil tersenyum-senyum menghampiri Beng San dan Ciu Tek. Beng San segera bangkit berdiri, memandang kepada dua orang itu, ganti-berganti. Lehernya terkancing, seakan-akan ada hawa menyesak dari dada memenuhi kerongkongannya.
“Adik Beng San, itulah mereka, ayah dan ibumu. Sambutlah,” kata Ciu Tek sambil tersenyum. “Baik-baiklah kau dengan ayah ibumu, aku harus pergi.”
Ciu Tek segera meninggalkan tempat itu tanpa mendapat jawaban Beng San yang seakan-akan tidak mendengarnya, karena anak ini seperti terpukau berdiri memandang dua orang yang baru datang itu.
“Beng San, ahhh….. kau sudah begini besar….. ah, sampai pangling aku….. hampir delapan tahun kau lenyap….. ah, biarkan aku melihat tanda di pundakmu, Beng San. Betulkah kau Beng San anakku? Betulkah ada tahi lalat di pundakmu?”
Wanita itu berkata dengan suara terputus-putus dan saputangannya digosok-gosokkan matanya yang bercucuran air mata.
Laki-laki itupun melangkah maju, suaranya besar parau.
“Tak salah lagi, inilah anak kita. Biar kita buktikan tandanya. Beng San, coba kau lepas bajumu…..”
Gemetar seluruh tubuh Beng San. Entah apa yang dirasanya disaat itu, dia sendiri tidak tahu. Seperti dalam mimpi tangannya membuka kancing bajunya sehingga baju itu terbuka dan tampak dada dan pundaknya. Sebuah andeng-andeng (tahi lalat) kecil menghias pundak kirinya. Melihat ini wanita itu lalu menubruk dan merangkulnya.
“Ah, kau betul Beng San anakku….”
Diciuminya pipi dan leher Beng San. Anak ini merasa jengah dan malu. Seharusnya dia tidak usah merasa malu bisik hati nuraninya, kan dia ibuku? Tapi entah, tanpa dia sengaja dia menjauhkan mukanya dan dia memandang muka cantik yang berbedak tebal dan berbau harum minyak wangi itu, memandang sepasang mata yang bergerak liar dan genit, mulut yang dilapisi cat merah, indah bentuknya dan selalu tersenyum akan tetapi agak terlampau lebar itu, giginya yang kecil-kecil meruncing tampak ketika tersenyum.
“Beng San, anakku..mari sini, Nak… biarkan ibumu memelukmu…..”
Beng San bergidik, akan tetapi dia memaksa diri melangkah maju dan membiarkan ibunya merangkul dan mendekapnya. Ketika dia merasa betapa air mata yang hangat menjatuhi pipinya, hatinya menjadi terharu dan tak terasa pula diapun menangis terisak-isak.
“Ayah….. Ibu…..??! Kenapa….. kenapa..” bibirnya berbisik, hatinya penuh keharuan ketika dia dipeluk ibunya dan kepalanya dibelai kedua tangan ayahnya yang sudah mendekat pula.
“Kenapa? Apa yang hendak kau tanyakan, Beng San…..?” Ibunya bertanya.
Sebetulnya hati Beng San berteriak-teriak kecewa, kenapa ayahnya tidak segagah ayah Kwa Hong dan kenapa ibunya begini….. pesolek, sama sekali tidak kelihatan agung seperti yang dia gambar-gambarkan semalam. Akan tetapi mulutnya tentu saja tidak berani meneriakkan suara hatinya ini dan dia hanya berbisik.
“Kenapa Ayah dan Ibu membiarkan anak terlunta-lunta sampai sembilan tahun?”
“Membiarkan terlunta-lunta? Ah, kau tidak tahu, Beng San. Kami telah mencari-carimu setengah mati, malah mengerahkan semua kawan Pek-lian-pai untuk mencarimu,” kata ibunya yang bernama Bhe Kit Nio. “Ah, pakaianmu begini kotor, sudah rombeng pula. Aku tadi membawa pakaian untukmu, anakku. Mari kugantikan kau dengan pakaian baru.”
la berlari ke arah kudanya dan mengambil satu stel pakaian dari sutera indah berwarna biru muda untuk Beng San.
Tanpa disengaja Beng San tersipu-sipu malu.
“Biarlah, Ibu, biar kupakai sendiri.”
la menerima pakaian itu dan lari sembunyi ke belakang sebatang pohon besar, cepat-cepat dia memakai pakaian itu, akan tetapi tidak membuang pakaian lamanya. la hanya merangkapkan pakaian baru di luar pakaiannya yang lama. Setelah dia muncul kembali, ibunya berkata.
“Ah, coba lihat. Alangkah tampannya anak kita…..” Sambil tertawa ibu muda ini berlari dan memeluk lagi leher Beng San.
Beng San mendapat kenyataan betapa ayahnya semenjak tadi hanya diam saja. Agaknya ayahnya memang pendiam dan tidak bisa banyak bicara. la merasa tidak enak kalau didiamkannya saja. Sejak tadi hanya ibunya yang bicara terus. Temyata ibunya memang pandai bicara. la teringat akan Kwa Hong. Memang, kalau dibandingkan, Kwa Hong jauh lebih pandai bicara daripada Kui Lok atau Thio Ki Bahkan Thio Bwee yang pendiam juga lebih pandai bicara. Apakah memang wanita sudah semestinya lebih pandai bicara daripada laki-laki?
“Ayah, aku pernah bertemu dengan Tan-twako, pemimpin Pek-lian-pai. Kenapa dia tidak tahu bahwa aku anak Ayah Ibu?”
Ayahnya nampak bingung.
“Tan-twa-ko…..? Siapa itu….. ah, ingat aku. Kau maksudkan Tan Hok?”
“Ketahuilah, Beng San,” Ibunya menyambung cepat. “Tan Hok itu adalah pemimpin Pek-lian-pai cabang selatan, jadi berpisahan dengan kami. Ayahmu dan aku mempunyai hubungan dengan Pek-lian-pai cabang utara. Memang belum lama ini kami bertemu dengan Tan Hok dan dari dialah kami mengetahui tentang kau dan timbul dugaan bahwa kau adalah putera kami. Dan ternyata betul, terima kasih kepada para sianli (dewi) di kahyangan'”
Hemmm, isinya menyatakan terima kasih kepada dewi. Agaknya ibunya ini penyembah Kwan Im Pouwsat, pikir Beng San. la masih belum biasa dengan keadaan ini, keadaan berayah ibu, maka dia merasa canggung dan masih saja dia merasa dirinya asing.
SELANJUTNYA»»
Postingan populer dari blog ini
RAJA PEDANG (BAGIAN PERTAMA SERIAL RAJA PEDANG)
Oleh
Epul Saepul Rohman
JILID 01 JILID 02 JILID 03 JILID 04 JILID 05 JILID 06 JILID 07 JILID 08 JILID 09 JILID 10 JILID 11 JILID 12 JILID 13 JILID 14 JILID 15 JILID 16 JILID 17 JILID 18 JILID 19 JILID 20 JILID 21 JILID 22 JILID 23 JILID 24 JILID 25 JILID 26 JILID 27 JILID 28 JILID 29 JILID 30 JILID 31 JILID 32 JILID 33 JILID 34 JILID 35 JILID 36 JILID 37 JILID 38 JILID 39 JILID 40 JILID 41 JILID 42 JILID 43 JILID 44 JILID 45 JILID 46 JILID 47 JILID 48 JILID 49 JILID 50 JILID 51 JILID 52 JILID 53 JILID 54 JILID 55 JILID 56 JILID 57 JILID 58 JILID 59 JILID 60 JILID 61 JILID 62 JILID 63 JILID 64 JILID 65 JILID 66 JILID 67 JILID 68 JILID 69 JILID 70 JILID 71 JILID 72 JILID 73 JILID 74 JILID 75 JILID 76 JILID 77 JILID 78 JILID 79 JILID 80 JILID 81 JILID 82 JILID 83 JILID 84 JILID 85 JILID 86 JILID 87 JILID 88 JILID 89 JILID 90 JILID 91 JILID 92 JILID 93 JILID 94 JILID 95 JILID 96 JILID 97 JILID 98 JILID 99 JILID 100 JILID 101 J
RAJAWALI EMAS (BAGIAN KE-2 SERIAL RAJA PEDANG)
Oleh
Epul Saepul Rohman
SERI SEBELUMNY JILID 001 JILID 002 JILID 003 JILID 004 JILID 005 JILID 006 JILID 007 JILID 008 JILID 009 JILID 010 JILID 011 JILID 012 JILID 013 JILID 014 JILID 015 JILID 016 JILID 017 JILID 018 JILID 019 JILID 020 JILID 021 JILID 022 JILID 023 JILID 024 JILID 025 JILID 026 JILID 027 JILID 028 JILID 029 JILID 030 JILID 031 JILID 032 JILID 033 JILID 034 JILID 035 JILID 036 JILID 037 JILID 038 JILID 039 JILID 040 JILID 041 JILID 042 JILID 043 JILID 044 JILID 045 JILID 046 JILID 047 JILID 048 JILID 049 JILID 050 JILID 051 JILID 052 JILID 053 JILID 054 JILID 055 JILID 056 JILID 057 JILID 058 JILID 059 JILID 060 JILID 061 JILID 062 JILID 063 JILID 064 JILID 065 JILID 066 JILID 067 JILID 068 JILID 069 JILID 070 JILID 071 JILID 072 JILID 073 JILID 074 JILID 075 JILID 076 JILID 077 JILID 078 JILID 079 JILID 080 JILID 081 JILID 082 JILID 083 JILID 084 JILID 085 JILID 086 JILID 087 JILID 088 JILID 089 JILI
JAKA LOLA (BAGIAN KE-4 SERIAL RAJA PEDANG)
Oleh
Epul Saepul Rohman
SERI SEBELUMNYA JILID 001 JILID 002 JILID 003 JILID 004 JILID 005 JILID 006 JILID 007 JILID 008 JILID 009 JILID 010 JILID 011 JILID 012 JILID 013 JILID 014 JILID 015 JILID 016 JILID 017 JILID 018 JILID 019 JILID 020 JILID 021 JILID 022 JILID 023 JILID 024 JILID 025 JILID 026 JILID 027 JILID 028 JILID 029 JILID 030 JILID 031 JILID 032 JILID 033 JILID 034 JILID 035 JILID 036 JILID 037 JILID 038 JILID 039 JILID 040 JILID 041 JILID 042 JILID 043 JILID 044 JILID 045 JILID 046 JILID 047 JILID 048 JILID 049 JILID 050 JILID 051 JILID 052 JILID 053 JILID 054 JILID 055 JILID 056 JILID 057 JILID 058 JILID 059 JILID 060 JILID 061 JILID 062 JILID 063 JILID 064 JILID 065 JILID 066 JILID 067 JILID 068 JILID 069 JILID 070 JILID 071 JILID 072 JILID 073 JILID 074 JILID 075 JILID 076 JILID 077 JILID 078 JILID 079 JILID 080 JILID 081 JILID 082 JILID 083 JILID 084 JILID 085 JILID 086 JILID 087 JILID 088 JILID 089 JILID 090 JILID 091 JILID 092 JILID 093 JILID 094 JILID 095 JILID 096 JILID 097 JILID 098 JILI