RAJA PEDANG JILID 81
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Oleh
Epul Saepul Rohman
“Biasanya yang mengerjakan adalah wanita. Tentu kau menyimpan pisau dapur. Kulihat kau menyediakan tempat masak, biasanya tentu masak sendiri.”
“Aku tidak punya pisau. Hayolah, lekas kerjakan, jangan bikin aku habis-sabar!”
Beng San makin mendongkol. Gadis itu tadi memasuki kamar tanpa membawa pedangnya yang menggeletak di perahu, itu saja sudah menandakan bahwa gadis ini amat memandang rendah kepadanya. Tentu dipikirnya orang laki-laki selemah dia ini, biarpun ada pedang, akan bisa berbuat apakah terhadap dia? Dengan bersungut-sungut dia meraba pedang di lantai perahu itu. Bagaimana isinya? Apakah seindah gagang dan sarungnya? Siapa tahu? Hatinya berdebar. Jangan-jangan sebuah di antara Liong-cu Siang-kiam!
Tapi sebelum dia dapat menyentuhnya, gadis itu sudah bergerak dan tahu-tahiu pedang sudah di tangannya,
“Mau apa kau dengan pedang ini?” bentaknya.
“Pisau dapurmu memang aneh, terlalu panjang! Mau apa katamu? Tentu saja untuk membersihkan ikan dan memotong-motongnya.”
“Edan! Mana ada orang membersihkan ikan memakai pedang?”
“Habis apa gunanya benda tajam ini disini? Tentu kau pergunakan untuk alat dapur, bukan?” Beng San berpura-pura tolol.
“Bodoh! Agaknya matamu sudah penuh oleh tinta dan huruf, sampai-sampai tidak mengerti gunanya pedang.” Setelah berkata demikian gadis itu menggerakkan tangannya dan “srattt!” sebuah pedang yang putih berkilauan saking tajamnya telah tercabut dari sarungnya.
“Aduh tajamnya! Berbahaya sekali untuk pisau dapur, bisa-bisa makan jarimu yang kecil halus itu!”
Ucapan tentang jari ini sama sekali bukan dia sengaja untuk memuji, akan tetapi tiba-tiba gadis itu menjadi agak lunak sikapnya.
“Benarkah jari tanganku kecil dan halus?”
la mengulur tangan kirinya kepada Beng San. Beng San memegang tangan itu, membelai-belai jari tangannya seperti orang memeriksa dan menaksir.
“Memang kecil, halus, berkuku bagus, bersih, lunak dan hangat.”
Tiba-tiba wajah yang manis itu menjadi merah sekali dan perlahan-lahan ia menarik kembali tangannya.,
“Cih, tak tahu malu!” katanya, akan tetapi nada kata-kata ini sama sekali tidak marah, malahan bibir yang manis itu tersenyum. “Nih, kali ini boleh pakai untuk memotong ikan, biar nanti aku yang memanggangnya.”
Beng San menerima pedang itu dan dengan canggung sekali dia memegang gagangnya, lalu mengerik sisik ikan dengan hati-hati, takut kalau-kalau jari tangannya terluka oleh pedang.
Dara baju hijau itu menonton saja sambil tertawa-tawa geli melihat kecanggungan Beng San. Kadang-kadang gadis itu termenung dan menatap wajah Beng San yang tampan, seperti orang melamun.
Kalau tanpa sengaja Beng San menengok, dua pasang mata bertemu pandang. Mata gadis itu setengah dikatupkan, bibirnya merekah dan barulah dia sadar dan menjadi kemerah-merahan mukanya kalau sadar bahwa sudah lama mereka bertemu pandang, membuang muka dan pada sudut bibirnya membayangkan senyum.
Beng San juga diam saja, hatinya penuh keheranan. Tidak mengerti dia akan sikap wanita, sama sekali dia tidak dapat menerka apa gerangan yang berkecamuk dalam lubuk hati gadis baju hijau ini.
“Ampun…… ada orang begini canggungnya. Kesinikan, biar aku yang membersihkan ikan!” Akhirnya gadis itu berkata sambil menahan ketawanya.
Beng San memberikan ikan dan pedangnya. Dengan cekatan gadis baju hijau itu mengerik sisik ikan, memotong-motongnya dan membuang isi perutnya. Jari-jarinya yang kecil lentik itu cekatan sekali, membuat Beng San sekarang yang mendapat giliran menonton menjadi kagum.
“Pakaianmu basah kuyup, tidak dinginkah? Kenapa tidak bertukar pakaian?” Sambil memotong ikan itu, gadis baju hijau bertanya.
Beng San cemberut.
“Semua pakaianku basah, bagaimana bisa bertukar? Sama saja, penggantinya juga basah. Gara-gara kau….”.
Gadis itu tertawa lagi, matanya berseri-seri ketika ia mengangkat muka memandang pemuda itu.
“Kau kan sudah membalas?”
Beng San tercengang, mengira bahwa perbuatannya menyerang dengan ekor ikan tadi diketahui. Tapi dia pura-pura tidak tahu dan bertanya,
“Membalas apa? Kau majukan perahu, aku tenggelam hampir mampus!”
“Kau tadi sudah memaki-maki aku sebagai setan cilik, bukankah itu sudah merupakan balasan? Bodoh, pakaianmu basah, kenapa tidak diperas dan dijemur? Sebentar juga kering dan dapat dibuat pengganti.”
Beng San baru sadar. Benar juga, matahari sudah mulai naik, pakaian dalam buntalan itu basah semua, kalau tidak diperas dan dijemur, kapan keringnya? Tanpa menjawab, dia lalu membuka buntalan pakaiannya, memeras pakaian itu sata demi satu lalu menjemurnya di atas atap kamar perahu. Baru sekarang dia melihat pakaiannya ini yang dia terima dari orang-orang Pek-lian-pai, semua pakaian itu masih baik sekali, dari kain sutera dengan warna biru dan kuning.
“Heee, aku yang mengganti kau memotong ikan, kenapa sekarang kau tidak membantu? Hayo buat api.”
“Bagaimana? Mana batu apinya?”
Gadis itu nampak gemas.
“Benar-benar kau canggung. Lihat, pedangku tidak hanya dapat dipakai untuk memotong ikan.”
Sekali pedangnya terayun, ujungnya menyentuh sebuah batu yang sengaja ditaruh di pinggir perahu. Bunga api berpijar besar menyambar daun yang sudah diberi minyak, menyala. Beng San berseru girang dan kagum, lalu mengambil daun itu, ditaruh di dalam anglo (tempat perapian) dan membuat api unggun dengan kayu ranting dan daun kering yang juga sudah tersedia disitu, dalam sebuah keranjang.
Tak lama kemudian, bau daging ikan dipanggang menusuk hidung. Sedap dan gurih. Untungnya disitu memang sudah tersedia bumbu-bumbu, maka mudah bagi Beng San untuk membuat ikan panggang yang dibumbui lengkap. Hidung yang kecil mancung dari nona baju hijau itu berkembang-kempis.
“Aduh, bukan main sedap baunya…..”
“Itu baru baunya, belum rasanya!”. Beng San membangga. “Sekali kau mencicipi, aku khawatir takkan kebagian.”
“Idih sombongnya!”
Gadis itu sudah mulai jenaka dan Beng San girang sekali bahwa tafsirannya dalam hati tentang gadis ini ternyata cocok. la tadi sudah menduga bahwa gadis seperti ini tentulah mempunyai hati yang baik, jenaka, gembira dan kadang-kadang saja galak. Sedikit banyak dia sudah dapat menduga karena dia teringat akan watak dan sikap Kwa Hong dahulu.
Ketika panggang daging ikan matang, pakaian sutera tipis yang dijemur pun sudah kering. Beng San bingung.
“Aku hendak berganti pakaian, tapi dimana? Boleh aku memasuki kamarmu?”
“Jangan!” Gadis itu membentak. “Biar aku yang sembunyi di dalam dan kau bisa bertukar pakaian disini.”
Ketika gadis itu menyelinap masuk ke dalam kamarnya yang kecil di atas perahu, Beng San membelakangi kamar itu, lalu menanggalkan pakaiannya yang juga sudah hampir kering itu, menukarnya dengan pakaian pengganti yang sudah kering betul. Setelah menyimpan pakaian-pakaiannya, dibungkus kembali, dia berjongkok memeriksa panggang ikannya yang sudah matang.
“Heee, Nona! Keluarlah, aku sudah selesai!” teriaknya.
Akan tetapi ketika dia menengok, dia merasa betapa tiada gunanya dia berteriak-teriak memanggil karena nona itu sudah berdiri di belakangnya!
“Tak usah berteriak-teriak, aku sudah tahu!” jawab si nona.
“Bagaimana kau bisa tahu aku sudah selesai berpakaian?” tanya Beng San, pertanyaan sewajarnya tidak mengandung maksud apa-apa.
Akan tetapi nona itu menjadi merah sekali mukanya dan ia memalingkan muka ke kiri. Tanpa memandang pemuda itu ia berkata.
“Lancang! Kau kira aku………..mengintaimu?”
Beng San tertawa dan tiba-tiba mukanya sendiri menjadi merah saking jengah.
“Ah, aku sama sekali tidak menyangka yang bukan-bukan, Nona. Daging ini sudah cukup matang, boleh dimakan. Silakan.”
Nona baju hijau itu tanpa sungkan-sungkan lagi lalu duduk di atas lantai perahu menghadapi Beng San setelah mengeluarkan sebuah guci terisi air teh dan keduanya lalu makan daging yang memang sedap dan gurih itu.
Selama makan dan minum teh itu keduanya tidak berkata-kata, hanya kadang-kadang sinar mata mereka saling sambar tanpa maksud tertentu. Kenyang juga perut mereka setelah daging ikan sebesar paha itu amblas ke dalam perut, tinggal tulang-tulang ikan saja yang berserakan di lantai. Setelah mencuci bibir dan mulut, baru Beng San berkata.
“Kau baik sekali, Nona, sudah suka menolongku. Sayang kau mempunyai ganjalan hati, belum terdapat apa yang kau cari-cari. Kalau saja kau suka memberi tahu kepadaku apa atau siapa yang kau cari, aku berjanji akan membantumu.”
Tiba-tiba gadis baju hijau itu membelalakkan kedua matanya yang bagus, dan di lain saat tangannya sudah mencengkeram pundak Beng San. Cengkeraman yang amat kuat dan pemuda ini maklum bahwa seorang pemuda biasa saja tentu akan remuk tulang pundaknya kalau gadis ini menggunakan tenaganya meremas. la kagum dan juga makin kaget melihat sikap ini.
“Kau she (bernama keturunan) Bun?” Gadis itu membentak, matanya berapi.
“Bukan, aku she Tan.”
“Sayang…..”
Gadis itu melepaskan cekalannya pada pundak, meraba-raba gagang pedang dan memandang ke air di pinggir perahu seperti orang melamun. Kekecewaan dan kemurungan kembali membayang diantara seri wajahnya yang manis.
Beng San terheran, juga hatinya berdebar. Ketika gadis tadi menggerakkan tangan mencengkeram pundaknya, dia teringat bahwa dia pernah melihat gerakan ini, pernah merasai serangan seperti ini dan tiba-tiba dia teringat bahwa bayangan yang langsing malam tadi, yang menyerangnya ketika dia membawa lari Tan Hok, amat boleh jadi adalah gadis baju hijau inilah! Apakah dia tidak mengenalku? Akan tetapi dia tetap bersikap tenang, mengambil keputusan untuk terus bersandiwara, berpura-pura bodoh.
“Andaikata aku orang she Bun, mengapa?” tanyanya ingin tahu.
Gadis itu tiba-tiba mencabut pedangnya dan “Srrrattt!” pedang sudah menyambar ke permukaan air dekat perahu dan….. seekor ikan sebesar lengan yang tadi berenang di pinggir perahu telah terpotong menjadi dua, tepat diantara kepala dan badan. Dua potong tubuh ikan itu mengambang di air, hanyut perlahan terbawa saluran air.
“Kalau kau orang she Bun, akan menjadi seperti itulah…..”
Gadis itu berkata lagi tanpa menengok. Beng San memandang ke arah ikan yang terbacok tadi. Bergidik. Gadis begini manis mengapa bisa begitu kejam? Tentu mengandung penasaran yang mendalam, pikirnya. Memang aneh watak nona ini. Baik hati karena mau membawanya ke perahu, akan tetapi kadang-kadang kejam seperti tadi ketika sengaja menggerakkan perahu agar dia jatuh ke air. Tapi kembali berbaik hati karena terjun dan menyelam untuk menolongnya.
Gadis yang jenaka, lucu, manis, galak dan kadang-kadang kejam. Ada titik persamaan antara gadis baju hijau ini dengan Kwa Hong….. eh, ya. Dia kan sedang menuju ke Hoa-san? Kenapa sekarang mengobrol dengan gadis baju hijau ini? Beng San memandang ke depan dan kaget melihat bahwa tanpa dia sadar lagi perahu itu telah meluncur sejak tadi, jauh meninggalkan tempat dimana dia hendak menyeberang.
SELANJUTNYA»»
Postingan populer dari blog ini
RAJA PEDANG (BAGIAN PERTAMA SERIAL RAJA PEDANG)
Oleh
Epul Saepul Rohman
JILID 01 JILID 02 JILID 03 JILID 04 JILID 05 JILID 06 JILID 07 JILID 08 JILID 09 JILID 10 JILID 11 JILID 12 JILID 13 JILID 14 JILID 15 JILID 16 JILID 17 JILID 18 JILID 19 JILID 20 JILID 21 JILID 22 JILID 23 JILID 24 JILID 25 JILID 26 JILID 27 JILID 28 JILID 29 JILID 30 JILID 31 JILID 32 JILID 33 JILID 34 JILID 35 JILID 36 JILID 37 JILID 38 JILID 39 JILID 40 JILID 41 JILID 42 JILID 43 JILID 44 JILID 45 JILID 46 JILID 47 JILID 48 JILID 49 JILID 50 JILID 51 JILID 52 JILID 53 JILID 54 JILID 55 JILID 56 JILID 57 JILID 58 JILID 59 JILID 60 JILID 61 JILID 62 JILID 63 JILID 64 JILID 65 JILID 66 JILID 67 JILID 68 JILID 69 JILID 70 JILID 71 JILID 72 JILID 73 JILID 74 JILID 75 JILID 76 JILID 77 JILID 78 JILID 79 JILID 80 JILID 81 JILID 82 JILID 83 JILID 84 JILID 85 JILID 86 JILID 87 JILID 88 JILID 89 JILID 90 JILID 91 JILID 92 JILID 93 JILID 94 JILID 95 JILID 96 JILID 97 JILID 98 JILID 99 JILID 100 JILID 101 J
RAJAWALI EMAS (BAGIAN KE-2 SERIAL RAJA PEDANG)
Oleh
Epul Saepul Rohman
SERI SEBELUMNY JILID 001 JILID 002 JILID 003 JILID 004 JILID 005 JILID 006 JILID 007 JILID 008 JILID 009 JILID 010 JILID 011 JILID 012 JILID 013 JILID 014 JILID 015 JILID 016 JILID 017 JILID 018 JILID 019 JILID 020 JILID 021 JILID 022 JILID 023 JILID 024 JILID 025 JILID 026 JILID 027 JILID 028 JILID 029 JILID 030 JILID 031 JILID 032 JILID 033 JILID 034 JILID 035 JILID 036 JILID 037 JILID 038 JILID 039 JILID 040 JILID 041 JILID 042 JILID 043 JILID 044 JILID 045 JILID 046 JILID 047 JILID 048 JILID 049 JILID 050 JILID 051 JILID 052 JILID 053 JILID 054 JILID 055 JILID 056 JILID 057 JILID 058 JILID 059 JILID 060 JILID 061 JILID 062 JILID 063 JILID 064 JILID 065 JILID 066 JILID 067 JILID 068 JILID 069 JILID 070 JILID 071 JILID 072 JILID 073 JILID 074 JILID 075 JILID 076 JILID 077 JILID 078 JILID 079 JILID 080 JILID 081 JILID 082 JILID 083 JILID 084 JILID 085 JILID 086 JILID 087 JILID 088 JILID 089 JILI
JAKA LOLA (BAGIAN KE-4 SERIAL RAJA PEDANG)
Oleh
Epul Saepul Rohman
SERI SEBELUMNYA JILID 001 JILID 002 JILID 003 JILID 004 JILID 005 JILID 006 JILID 007 JILID 008 JILID 009 JILID 010 JILID 011 JILID 012 JILID 013 JILID 014 JILID 015 JILID 016 JILID 017 JILID 018 JILID 019 JILID 020 JILID 021 JILID 022 JILID 023 JILID 024 JILID 025 JILID 026 JILID 027 JILID 028 JILID 029 JILID 030 JILID 031 JILID 032 JILID 033 JILID 034 JILID 035 JILID 036 JILID 037 JILID 038 JILID 039 JILID 040 JILID 041 JILID 042 JILID 043 JILID 044 JILID 045 JILID 046 JILID 047 JILID 048 JILID 049 JILID 050 JILID 051 JILID 052 JILID 053 JILID 054 JILID 055 JILID 056 JILID 057 JILID 058 JILID 059 JILID 060 JILID 061 JILID 062 JILID 063 JILID 064 JILID 065 JILID 066 JILID 067 JILID 068 JILID 069 JILID 070 JILID 071 JILID 072 JILID 073 JILID 074 JILID 075 JILID 076 JILID 077 JILID 078 JILID 079 JILID 080 JILID 081 JILID 082 JILID 083 JILID 084 JILID 085 JILID 086 JILID 087 JILID 088 JILID 089 JILID 090 JILID 091 JILID 092 JILID 093 JILID 094 JILID 095 JILID 096 JILID 097 JILID 098 JILI