RAJA PEDANG JILID 81

“Biasanya yang mengerjakan adalah wanita. Tentu kau menyimpan pisau dapur. Kulihat kau menyediakan tempat masak, biasanya tentu masak sendiri.”

“Aku tidak punya pisau. Hayolah, lekas kerjakan, jangan bikin aku habis-sabar!”

Beng San makin mendongkol. Gadis itu tadi memasuki kamar tanpa membawa pedangnya yang menggeletak di perahu, itu saja sudah menandakan bahwa gadis ini amat memandang rendah kepadanya. Tentu dipikirnya orang laki-laki selemah dia ini, biarpun ada pedang, akan bisa berbuat apakah terhadap dia? Dengan bersungut-sungut dia meraba pedang di lantai perahu itu. Bagaimana isinya? Apakah seindah gagang dan sarungnya? Siapa tahu? Hatinya berdebar. Jangan-jangan sebuah di antara Liong-cu Siang-kiam!

Tapi sebelum dia dapat menyentuhnya, gadis itu sudah bergerak dan tahu-tahiu pedang sudah di tangannya, 

“Mau apa kau dengan pedang ini?” bentaknya.

“Pisau dapurmu memang aneh, terlalu panjang! Mau apa katamu? Tentu saja untuk membersihkan ikan dan memotong-motongnya.”

“Edan! Mana ada orang membersihkan ikan memakai pedang?”

“Habis apa gunanya benda tajam ini disini? Tentu kau pergunakan untuk alat dapur, bukan?” Beng San berpura-pura tolol.

“Bodoh! Agaknya matamu sudah penuh oleh tinta dan huruf, sampai-sampai tidak mengerti gunanya pedang.” Setelah berkata demikian gadis itu menggerakkan tangannya dan “srattt!” sebuah pedang yang putih berkilauan saking tajamnya telah tercabut dari sarungnya.

“Aduh tajamnya! Berbahaya sekali untuk pisau dapur, bisa-bisa makan jarimu yang kecil halus itu!” 

Ucapan tentang jari ini sama sekali bukan dia sengaja untuk memuji, akan tetapi tiba-tiba gadis itu menjadi agak lunak sikapnya.

“Benarkah jari tanganku kecil dan halus?” 

la mengulur tangan kirinya kepada Beng San. Beng San memegang tangan itu, membelai-belai jari tangannya seperti orang memeriksa dan menaksir.

“Memang kecil, halus, berkuku bagus, bersih, lunak dan hangat.”

Tiba-tiba wajah yang manis itu menjadi merah sekali dan perlahan-lahan ia menarik kembali tangannya.,



“Cih, tak tahu malu!” katanya, akan tetapi nada kata-kata ini sama sekali tidak marah, malahan bibir yang manis itu tersenyum. “Nih, kali ini boleh pakai untuk memotong ikan, biar nanti aku yang memanggangnya.”



Beng San menerima pedang itu dan dengan canggung sekali dia memegang gagangnya, lalu mengerik sisik ikan dengan hati-hati, takut kalau-kalau jari tangannya terluka oleh pedang. 

Dara baju hijau itu menonton saja sambil tertawa-tawa geli melihat kecanggungan Beng San. Kadang-kadang gadis itu termenung dan menatap wajah Beng San yang tampan, seperti orang melamun. 

Kalau tanpa sengaja Beng San menengok, dua pasang mata bertemu pandang. Mata gadis itu setengah dikatupkan, bibirnya merekah dan barulah dia sadar dan menjadi kemerah-merahan mukanya kalau sadar bahwa sudah lama mereka bertemu pandang, membuang muka dan pada sudut bibirnya membayangkan senyum.



Beng San juga diam saja, hatinya penuh keheranan. Tidak mengerti dia akan sikap wanita, sama sekali dia tidak dapat menerka apa gerangan yang berkecamuk dalam lubuk hati gadis baju hijau ini.

“Ampun…… ada orang begini canggungnya. Kesinikan, biar aku yang membersihkan ikan!” Akhirnya gadis itu berkata sambil menahan ketawanya.

Beng San memberikan ikan dan pedangnya. Dengan cekatan gadis baju hijau itu mengerik sisik ikan, memotong-motongnya dan membuang isi perutnya. Jari-jarinya yang kecil lentik itu cekatan sekali, membuat Beng San sekarang yang mendapat giliran menonton menjadi kagum.



“Pakaianmu basah kuyup, tidak dinginkah? Kenapa tidak bertukar pakaian?” Sambil memotong ikan itu, gadis baju hijau bertanya.





Beng San cemberut. 
“Semua pakaianku basah, bagaimana bisa bertukar? Sama saja, penggantinya juga basah. Gara-gara kau….”.

Gadis itu tertawa lagi, matanya berseri-seri ketika ia mengangkat muka memandang pemuda itu. 

“Kau kan sudah membalas?”

Beng San tercengang, mengira bahwa perbuatannya menyerang dengan ekor ikan tadi diketahui. Tapi dia pura-pura tidak tahu dan bertanya, 

“Membalas apa? Kau majukan perahu, aku tenggelam hampir mampus!”



“Kau tadi sudah memaki-maki aku sebagai setan cilik, bukankah itu sudah merupakan balasan? Bodoh, pakaianmu basah, kenapa tidak diperas dan dijemur? Sebentar juga kering dan dapat dibuat pengganti.”

Beng San baru sadar. Benar juga, matahari sudah mulai naik, pakaian dalam buntalan itu basah semua, kalau tidak diperas dan dijemur, kapan keringnya? Tanpa menjawab, dia lalu membuka buntalan pakaiannya, memeras pakaian itu sata demi satu lalu menjemurnya di atas atap kamar perahu. Baru sekarang dia melihat pakaiannya ini yang dia terima dari orang-orang Pek-lian-pai, semua pakaian itu masih baik sekali, dari kain sutera dengan warna biru dan kuning.

“Heee, aku yang mengganti kau memotong ikan, kenapa sekarang kau tidak membantu? Hayo buat api.”

“Bagaimana? Mana batu apinya?”

Gadis itu nampak gemas. 
“Benar-benar kau canggung. Lihat, pedangku tidak hanya dapat dipakai untuk memotong ikan.” 

Sekali pedangnya terayun, ujungnya menyentuh sebuah batu yang sengaja ditaruh di pinggir perahu. Bunga api berpijar besar menyambar daun yang sudah diberi minyak, menyala. Beng San berseru girang dan kagum, lalu mengambil daun itu, ditaruh di dalam anglo (tempat perapian) dan membuat api unggun dengan kayu ranting dan daun kering yang juga sudah tersedia disitu, dalam sebuah keranjang.



Tak lama kemudian, bau daging ikan dipanggang menusuk hidung. Sedap dan gurih. Untungnya disitu memang sudah tersedia bumbu-bumbu, maka mudah bagi Beng San untuk membuat ikan panggang yang dibumbui lengkap. Hidung yang kecil mancung dari nona baju hijau itu berkembang-kempis.

“Aduh, bukan main sedap baunya…..”

“Itu baru baunya, belum rasanya!”. Beng San membangga. “Sekali kau mencicipi, aku khawatir takkan kebagian.”

“Idih sombongnya!” 

Gadis itu sudah mulai jenaka dan Beng San girang sekali bahwa tafsirannya dalam hati tentang gadis ini ternyata cocok. la tadi sudah menduga bahwa gadis seperti ini tentulah mempunyai hati yang baik, jenaka, gembira dan kadang-kadang saja galak. Sedikit banyak dia sudah dapat menduga karena dia teringat akan watak dan sikap Kwa Hong dahulu.

Ketika panggang daging ikan matang, pakaian sutera tipis yang dijemur pun sudah kering. Beng San bingung. 

“Aku hendak berganti pakaian, tapi dimana? Boleh aku memasuki kamarmu?”

“Jangan!” Gadis itu membentak. “Biar aku yang sembunyi di dalam dan kau bisa bertukar pakaian disini.”

Ketika gadis itu menyelinap masuk ke dalam kamarnya yang kecil di atas perahu, Beng San membelakangi kamar itu, lalu menanggalkan pakaiannya yang juga sudah hampir kering itu, menukarnya dengan pakaian pengganti yang sudah kering betul. Setelah menyimpan pakaian-pakaiannya, dibungkus kembali, dia berjongkok memeriksa panggang ikannya yang sudah matang.

“Heee, Nona! Keluarlah, aku sudah selesai!” teriaknya. 

Akan tetapi ketika dia menengok, dia merasa betapa tiada gunanya dia berteriak-teriak memanggil karena nona itu sudah berdiri di belakangnya!

“Tak usah berteriak-teriak, aku sudah tahu!” jawab si nona.

“Bagaimana kau bisa tahu aku sudah selesai berpakaian?” tanya Beng San, pertanyaan sewajarnya tidak mengandung maksud apa-apa. 

Akan tetapi nona itu menjadi merah sekali mukanya dan ia memalingkan muka ke kiri. Tanpa memandang pemuda itu ia berkata.

“Lancang! Kau kira aku………..mengintaimu?”

Beng San tertawa dan tiba-tiba mukanya sendiri menjadi merah saking jengah. 
“Ah, aku sama sekali tidak menyangka yang bukan-bukan, Nona. Daging ini sudah cukup matang, boleh dimakan. Silakan.”

Nona baju hijau itu tanpa sungkan-sungkan lagi lalu duduk di atas lantai perahu menghadapi Beng San setelah mengeluarkan sebuah guci terisi air teh dan keduanya lalu makan daging yang memang sedap dan gurih itu. 

Selama makan dan minum teh itu keduanya tidak berkata-kata, hanya kadang-kadang sinar mata mereka saling sambar tanpa maksud tertentu. Kenyang juga perut mereka setelah daging ikan sebesar paha itu amblas ke dalam perut, tinggal tulang-tulang ikan saja yang berserakan di lantai. Setelah mencuci bibir dan mulut, baru Beng San berkata.

“Kau baik sekali, Nona, sudah suka menolongku. Sayang kau mempunyai ganjalan hati, belum terdapat apa yang kau cari-cari. Kalau saja kau suka memberi tahu kepadaku apa atau siapa yang kau cari, aku berjanji akan membantumu.”

Tiba-tiba gadis baju hijau itu membelalakkan kedua matanya yang bagus, dan di lain saat tangannya sudah mencengkeram pundak Beng San. Cengkeraman yang amat kuat dan pemuda ini maklum bahwa seorang pemuda biasa saja tentu akan remuk tulang pundaknya kalau gadis ini menggunakan tenaganya meremas. la kagum dan juga makin kaget melihat sikap ini.

“Kau she (bernama keturunan) Bun?” Gadis itu membentak, matanya berapi.

“Bukan, aku she Tan.”

“Sayang…..” 

Gadis itu melepaskan cekalannya pada pundak, meraba-raba gagang pedang dan memandang ke air di pinggir perahu seperti orang melamun. Kekecewaan dan kemurungan kembali membayang diantara seri wajahnya yang manis.

Beng San terheran, juga hatinya berdebar. Ketika gadis tadi menggerakkan tangan mencengkeram pundaknya, dia teringat bahwa dia pernah melihat gerakan ini, pernah merasai serangan seperti ini dan tiba-tiba dia teringat bahwa bayangan yang langsing malam tadi, yang menyerangnya ketika dia membawa lari Tan Hok, amat boleh jadi adalah gadis baju hijau inilah! Apakah dia tidak mengenalku? Akan tetapi dia tetap bersikap tenang, mengambil keputusan untuk terus bersandiwara, berpura-pura bodoh.

“Andaikata aku orang she Bun, mengapa?” tanyanya ingin tahu. 

Gadis itu tiba-tiba mencabut pedangnya dan “Srrrattt!” pedang sudah menyambar ke permukaan air dekat perahu dan….. seekor ikan sebesar lengan yang tadi berenang di pinggir perahu telah terpotong menjadi dua, tepat diantara kepala dan badan. Dua potong tubuh ikan itu mengambang di air, hanyut perlahan terbawa saluran air.

“Kalau kau orang she Bun, akan menjadi seperti itulah…..” 

Gadis itu berkata lagi tanpa menengok. Beng San memandang ke arah ikan yang terbacok tadi. Bergidik. Gadis begini manis mengapa bisa begitu kejam? Tentu mengandung penasaran yang mendalam, pikirnya. Memang aneh watak nona ini. Baik hati karena mau membawanya ke perahu, akan tetapi kadang-kadang kejam seperti tadi ketika sengaja menggerakkan perahu agar dia jatuh ke air. Tapi kembali berbaik hati karena terjun dan menyelam untuk menolongnya. 

Gadis yang jenaka, lucu, manis, galak dan kadang-kadang kejam. Ada titik persamaan antara gadis baju hijau ini dengan Kwa Hong….. eh, ya. Dia kan sedang menuju ke Hoa-san? Kenapa sekarang mengobrol dengan gadis baju hijau ini? Beng San memandang ke depan dan kaget melihat bahwa tanpa dia sadar lagi perahu itu telah meluncur sejak tadi, jauh meninggalkan tempat dimana dia hendak menyeberang.







SELANJUTNYA»»

Postingan populer dari blog ini

RAJA PEDANG (BAGIAN PERTAMA SERIAL RAJA PEDANG)

RAJAWALI EMAS (BAGIAN KE-2 SERIAL RAJA PEDANG)

JAKA LOLA (BAGIAN KE-4 SERIAL RAJA PEDANG)