RAJA PEDANG JILID 88

Kadang-kadang kalau Beng San berada di taman, empat orang murid Hoa-san-pai ini berlatih silat dengan sungguh-sungguh. Memang hebat ilmu pedang mereka, masing-masing memiliki gaya tersendiri dan memiliki keampuhan sendiri. Agaknya mereka sengaja memamerkan kepandaian mereka di depan Beng San dan pemuda ini cukup cerdik untuk memperlihatkan muka kagum. Malah pada suatu hari, setelah melihat Thio Ki dan Kui Lok bermain pedang, dia berkata.

“Aduh….. aduh, sampai silau mataku, pening kepalaku….. hebat sekali tarian pedang saudara Thio dan saudara Kui! Hebat, seperti kilat menyambar-nyambar!”

Thio Ki dan Kui Lok girang juga mendengar pujian ini. Biarpun mereka kadang-kadang masih merasa iri hati dan cemburu melihat sikap Kwa Hong yang manis terhadap Beng San, namun mereka tidak berani memukuli lagi karena Kwa Hong mengancam demikian.

“Kalau kalian berani mengganggu Beng San, aku akan melaporkan kepada sukong. Kalian tahu, sukong amat sayang kepadanya!”

Bangunan darurat yang didirikan oleh para tosu Hoa-san-pai sudah hampir selesai. Waktu yang ditentukan kurang dua hari lagi. Beng San selalu turun tangan membantu para tosu sehingga para tosu juga merasa suka kepada pemuda yang sopan, merendah dan ringan tangan ini. 

Sore hari itu sebelum gelap bulan sudah muncul, merupakan bola merah yang amat besar dan indah. Beng San baru saja mandi setelah sehari sibuk membantu para tosu menghias halaman depan.

“Beng San, kenapa kau sembunyi saja?” tiba-tiba dia mendengar suara.

Ternyata Kwa Hong yang datang, lalu gadis ini bisik-bisik, 
“Dimana sukong?” Gadis ini memang paling takut terhadap Lian Bu Tojin.

“Totiang berada di dalam, sedang siulian,” bisik Beng San kembali.

Kwa Hong menaruh jari di depan bibir, lalu memberi isyarat supaya Beng San keluar. Setibanya di luar ia berkata, 

“Beng San, semenjak datang kau sibuk dengan sukong atau dengan para supek menghias puncak. Kau sama sekali tidak peduli kepadaku. Kenapa?”

Beng San tersenyum. la menatap wajah yang hebat itu, wajah yang sekarang agak cemberut memandang kepadanya, sepasang mata yang bening bercahaya memandang penuh selidik.

“Nona Hong…..”

“Apa itu nona-nonaan segala? Sudah kukatakan beberapa kali, aku memanggil kau Beng San saja, kaupun tidak boleh pakai nona-nonaan segala macam!”

“Habis, bagaimana?”

“Semua orang memanggil aku Hong Hong, kau pun harus begitu.”

“Baiklah Hong Hong…… tentang pertanyaanmu tadi, sebagai tamu tentu saja aku harus melayani totiang dan membantu para tosu disini. Tentang kau….. bukankah kau sudah ada tiga orang teman baik? Aku….. aku bodoh dan lemah, mana kau suka bicara dengan aku?”



“Rendah hati! Selalu rendah hati, kemana kenakalanmu yang dulu? Aku lebih suka kau seperti dulu. Berani dan sombong! Eh, Beng San, tahukah kau?” Gadis itu mendekat dan bicaranya bisik-bisik, “Menghadapi perayaan seratus tahunan ini, sukong dan ayah menganjurkan kami semua ciak-jai (makan sayur pantang barang berjiwa). Wah, setengah mati aku. Harus satu bulan penuh ciak-jai, mana aku kuat? Tadi aku melihat disana….. ada kelinci gemuk sekali. Hayo kau temani aku kesana, aku tangkap kelinci, kau yang memanggangnya, aku yang makan.”



Menghadapi seorang dara seperti ini, mana bisa orang bersikap dingin dan pendiam? Demikian pun Beng San. Timbul kenakalannya yang dulu. Kalau dituruti saja gadis ini, bisa-bisa dia disuruh menggunduli kepalanya sendiri!

“Enaknya kau ini! Kalau kau ingin makan daging, pergi kau tangkap sendiri, kau masak sendiri. Setelah matang, baru kau panggil aku dan beri bagian. Sebagai tamu sudah sepantasnya aku menerima jamuanmu.”

“Eh, banyak bantahan, bodoh kau! Bukannya karena aku tidak bisa memanggang sendiri. Aku minta bantuanmu karena kalau sampai ketahuan sukong, aku tldak akan mendapat marah. Bukankah kau yang memanggang daging dan bukan aku? Kau tolonglah aku, aku sudah kemecer (ingin sekali)…..!”





Beng San tersenyum menggoda 
“Kalau aku tidak mau…..?”

Mulut yang manis itu cemberut. 
“Kalau tak mau, aku akan maki kau…..bung…..” 

la berhenti dan tidak melanjutkan makiannya. Beng San tahu bahwa dia akan dimaki bunglon, maka dia tertawa.

“Nona….. eh, Adik Hong. Kau ini aneh. Punya teman baik tiga orang disini, kenapa tidak mengajak mereka? Kenapa kau mengajak aku bersekongkol. Ajaklah mereka bertiga itu.”



“Huh, kau tahu apa? Mereka bertiga itu tidak mempunyai nyali.”

“Tidak punya nyali? Apa maksudmu?”

“Mana mereka berani melanggar larangan sukong? Hayolah, jangan putar-putar omongan. Kau mau atau tidak?”

Tentu saja tidak mungkin bilang “tidak mau” terhadap desakan seorang dara seperti Kwa Hong. 

“Baiklah….. baiklah…..” 

Beng San berkata dan serentak Kwa Hong memegang lengannya terus menariknya mengajaknya lari cepat sekali.

“Eh….. eh….. bagaimana ini….. ih, Nona….. eh, Hong Hong, aku jatuh nanti…..” Beng San berteriak-tenak lirih.



“Cepat sedikit kenapa sih? Kau ini laki-laki atau perempuan?”

Jantung Beng San berdebar. Teringat dia akan gadis baju hijau bernama Eng. Kenapa sama benar pendapat Eng dan Hong? Eng dahulu juga bertanya seperti itu.

“Kau lihat saja sendiri. Aku ini laki-laki atau perempuan?” balasnya seperti dulu pula ketika dia menjawab pertanyaan Eng. 

Gadis baju hijau itu dahulu mengatakan bahwa dia bukan laki-laki bukan perempuan, tapi banci. Apa yang akan dikatakan Kwa Hong?

Kwa Hong tertawa, lalu membetot lagi tangan Beng San diajak lari melalui tempat yang tersembunyi. 

“Tentu saja kau laki-laki, tapi laki-laki yang lemah melebihi perempuan.”



“Kau tidak suka? Kau kecewa melihat aku lemah seperti perempuan?”

“Tidak…… tidak…..! Aku malah suka melihat kau lemah seperti ini. Laki-laki yang berkepandaian selalu bertingkah, berlagak pandai dan gagah sendiri. Cih, menjemukan malah. Kalau kau berkepandaian tentu kaupun akan berubah tingkahmu, tentu berlagak dan sombong seperti….. seperti…..”

“Seperti Kui Lok dan Thio Ki?” Beng San menyambung.

Kwa Hong melepaskan tangannya. Mereka berdiri berhadapan di bawah sinar bulan purnama, saling pandang.

“Kenapa kau berkata begitu?” tuntut Kwa Hong.

“Mudah saja. Kau hanya melihat dua orang itu disini, tentu merekalah yang kau jadikan perbandingan. Akan tetapi kau keliru, Adik Hong yang manis. Banyak di dunia ini laki-laki berkepandaian yang tidak sombong seperti mereka.”

“Coba ulangi lagi…..”

“Ulangi apa?”

“Sebutanmu terhadapku tadi…..”

“Adik Hong yang manis?”

Kwa Hong tertawa girang, matanya berseri memandang kepada Beng San. Pemuda ini merasa kagum dan heran akan kepolosan hati gadis ini. Masih seperti kanak-kanak saja, begitu girang kalau dipuji. Ia tidak ingat sama sekali betapa Kwa Hong tidak senang, malah nampak marah dan bosan ketika dipuji-puji oleh Kui Lok dan Thio Ki. Kini gadis itu tertawa-tawa memandang kepadanya, mukanya menjadi merah dan matanya bersinar-sinar.

“Beng San, tidak bohongkah kau?”

“Bohong tentang apa?”

“Bahwa aku manis….. betulkah itu?”

Beng San merasa geli. Aneh memang wanita, kadang-kadang seperti kanak-kanak, sewaktu-waktu malah seperti ibu. 

“Tentu saja kau manis, kau cantik sekali, Hong Hong. Ketika melihatmu, hampir aku tidak mengenalmu lagi.”

“Kau dulu bilang aku seperti kuntilanak ……….”

Beng San tertawa ditahan. 
“Habis, kaupun memaki aku seperti bunglon sih. Apa mukaku benar-benar seperti bunglon? Hayo katakan!”

Kwa Hong berhenti melangkah, menoleh dan memandang kepada Beng San.


“Tidak, dulu memang kau buruk sekali, lebih buruk daripada seekor bunglon! Tapi sekarang….. hemmm, kalau saja kau pandai silat, kiranya kau lebih gagah dan ganteng daripada Lok-ko atau pun Ki-ko”.

Muka Beng San menjadi merah juga menerima pujian yang begini terus terang dari Kwa Hong. Gadis ini memang heran dan jujur bukan main. Mereka berlari lagi.

“Hayo cepatan sedikit, takut kemalaman” kata Kwa Hong sambil mempercepat larinya.

“Nah, itu dia….” 

Mata Kwa Hong yang tajam sudah melihat beberapa ekor kelinci berlari-larian menyusup rumpun ilalang. Cepat ia mengejar. Akan tetapi binatang-binatang itu biarpun pendek pendek kakinya, ternyata dapat berlari cepat dan gesit sekali. Ditubruk sana menyusup sini, dicegat sini lari kesana. Kwa Hong sambil tertawa-tawa seperti anak kecil mengejar-ngejar kelinci memilih yang paling gemuk.

Beng San menjadi gembira juga melihat ini. Timbul sifat kanak-kanaknya dan diapun ikut tertawa-tawa dan mengejar kesana-sini. Tapi kelinci yang paling gemuk lari ketengah hutan, dikejar kwa Hong. Beng San juga mengejarnya. Kelinci itu memang amat gemuk lagi pula masih muda dan bulunya putih bersih. Tentu enak lunak dan sedap dagingnya.

Di bawah sebatang pohon besar Kwa Hone berhasil menangkap kelinci, dipegang pada dua telinganya. Gadis itu tertawa-tawa gembira, sambil memegangi binatang yang meronta-ronta itu.

“Nah, dapat yang gemuk ini. Beng San, nih kau bawa dan kau yang bertugas menyembelih dan memanggangnya!”

Sambil tertawa Beng San menenma kelinci itu. Tiba-tiba terdengar auman keras sekali sampai bumi yang mereka Pijak seakan-akan tergetar, daun-daun Pohon bergoyang-goyang dan yang kering rontok berhamburan. Kwa Hong menjadl pucat dan mencabut pedangnya.

“Beng San….. cepat, kau panjat pohon ini'” la mendorong-dorong tubuh Beng San kearah batang pohon, dia sendiri menjaga keselamatan Beng San dengan pedang di tangan.

“Kenapa aku mesti memanjat pohon?”

“Rewel kau! Ada harimau….. biar aku melawannya, tetapi kau….. kau harus memanjat pohon. Susah kalau melawan dan sekaligus melindungimu…..” 

Gadis itu berbisik, matanya tetap memandang ke arah gerombolan alang-alang yang sudah mulai bergerak-gerak.







SELANJUTNYA»»

Postingan populer dari blog ini

RAJA PEDANG (BAGIAN PERTAMA SERIAL RAJA PEDANG)

RAJAWALI EMAS (BAGIAN KE-2 SERIAL RAJA PEDANG)

JAKA LOLA (BAGIAN KE-4 SERIAL RAJA PEDANG)