RAJA PEDANG JILID 89

Beng San tersenyum geli dan juga kagum disertai terima kasih. Betapapun galaknya, gadis ini ternyata berhati baik terhadapnya. Seorang diri hendak menghadapi harimau, sedangkan dia disuruh menyelamatkan diri di atas pohon! Gadis mana segagah ini?

Karena Kwa Hong sedang mencurahkan perhatiannya ke arah gerombolan alang-alang, gadis ini tidak melihat betapa dengan amat mudahnya, sambil membawa kelinci itu, Beng San sebentar saja sudah duduk diatas dahan pohon yang tinggi.

Dugaan Kwa Hong terbukti. Seekor harimau muncul perlahan-lahan dari gerombolan alang-alang itu. Beng San sampai kaget melihatnya. Harimau yang besar sekali, sebesar anak sapi Kepalanya besar, matanya sipit berkilauan, taringnya diperlihatkan dan kulitnya loreng-loreng agak putih.

“Hati-hatilah kau…… Hong-moi (adik Hong)…..!” kata-kata ini keluar dari hati Beng San. 

Pemuda ini belum pernah menghadapi seekor harimau yang kelihatan demikian mengerikan, tentu saja dia menjadi gelisah sekali. Biarpun dia sudah maklum bahwa dirinya memiliki bekal ilmu yang tinggi dan tenaga yang hebat, namun karena belum pernah berhadapan dengan binatang buas sebesar itu, dia merasa khawatir akan keselamatan Kwa Hong.

Kwa Hong mengangkat tangan kiri ke arah Beng San dengan maksud supaya pemuda itu tenang dan jangan khawatir. Hatinya lega mendengar suara Beng San dari atas, tanda bahwa pemuda itu sudah berada di atas pohon. 

Akan tetapi, agaknya gerakan tangan kirinya itu menjadi isyarat bagi sang harimau untuk bergerak. Dengan suara geraman hebat, tubuhnya yang tadi agak mendekam sekarang meloncat tinggi menerkam ke arah Kwa Hong dengan tenaga yang dasyat.

“Awas …..!” 

Beng San berseru, seluruh urat di tubuhnya menegang dan dia sudah siap dengan kelinci di tangan untuk turun tangan menolong seandainya gadis itu terancam bahaya. Akan tetapi, lega hatinya ketika dia melihat betapa dengan gerakan yang amat lincah gadis itu telah dapat meloncat kesisi dan tubuh harimau yang besar itu lewat cepat menubruk tempat kosong. Pedang gadis itu berkelebat, tapi meleset tak dapat menusuk perut harimau karena ekor harimau yang panjang itu menyabet dan menangkis!

Dengan geraman mengerikan harimau itu sudah membalik dan menubruk lagi, lebih dahsyat daripada tadi. Akan tetapi, begitu melihat gerakan Kwa Hong tadi, Beng San lenyap kekhawatirannya. Sekarang dia malah memandang kagum. la mendapat kenyataan bahwa gerakan gadis ini benar-benar lincah dan cepat sekali dan dari gerakan-gerakan itu dia bisa mendapat kenyataan bahwa kepandaian Kwa Hong tidak kalah oleh Thio Bwee maupun Kui Lok dan Thio Ki.



Namun, setelah diserang empat lima kali, belum juga Kwa Hong dapat menusuk harimau itu, selalu tusukannya meleset saking cepatnya harimau itu mengelak, atau menangkis dengan cakar dan ekornya.

“Bacok kaki belakangnya…..!” Beng San yang mulai khawatir lagi memberi nasihat.



Harimau melompat lagi, gadis itu yang agaknya sadar akan akal yang diteriakkan Beng San, tidak meloncat ke pinggir untuk mengelak seperti tadi, malah menerobos ke depan, kebawah tubuh harimau yang sedang melompat tinggi menubruknya. 

Kemudian, sebelum tubuh harimau tiba di tanah, gadis ini sudah menggerakkan kaki membalik, pedangnya berkelebat dan….. harimau itu roboh dengan paha belakang sebelah kanan robek oleh sabetan pedang! 

la menggereng, mencoba untuk menyerang lagi namun karena luka itu gerakannya menjadi kurang cepat. Dengan mudah Kwa Hong mengelak dan mengirim bacokan-bacokan bertubi-tubi ke arah kedua kaki belakang.



Setelah binatang buas itu roboh tak berdaya karena kedua kaki belakangnya hampir putus, dengan mudahnya Kwa Hong menusuk leher dan perutnya. Harimau itu mengeluarkan auman terakhir, tubuhnya berkelojotan lalu diam tak bergerak lagi. la mati mandi darah di depan kedua kaki dara perkasa itu!





Beng San melorot turun, lalu bertepuk tangan. 
“Hebat….. hebat….. kau gagah sekali, Hong Hong…..”




“Kau tadi menyebutku Hong-moi…..”

Beng San mengingat-ingat. Betul saja, dalam kekhawatirannya tadi dia menyebut adik Hong kepada gadis itu. Wajahnya memerah.

“Memang aku lebih tua, sudah pantas menyebutmu Hong-moi. Boleh, kan?”

“Tentu saja boleh. Kau malah berjasa. Kalau tidak kau ingatkan untuk menyerang kaki belakangnya, agaknya akan lama untuk dapat merobohkannya. Eh, mana kelinci tadi?”

Beng San mengambil kelinci yang tadi dikempit diantara kedua pahanya ketika dia bertepuk tangan. Gadis itu tertawa dan membersihkan pedang pada bulu harimau. 

“Hayo kita pulang, sudah hampir gelap dan perutku makin lapar saja oleh perkelahian tadi.”

“Bangkai harimau itu….. kan dagingnya enak dan dapat menambah kuat tubuh. Pula, kulitnya juga indah sekali, sayang kalau dibiarkan saja membusuk disini.”

“Bawalah kalau kau mau. Tapi….. terlalu banyak daging itu, tidak akan habis. Kalau sukong melihatnya, bukankah akan terbuka rahasiaku?”

“Jangan khawatir, kau yang membunuhnya karena diserang harimau, aku yang makan dagingnya.”

“Dan aku akan mendapat bagian dengan diam-diam.” Kwa Hong tertawa-tawa. “Kau cerdik sekali, Beng San….. eh, tak enak juga kalau kau menyebutku adik tapi aku menyebut namamu begitu saja. Kau bilang leblh tua, sebetulnya berapa sih usiamu? Aku sudah delapan belas tahun!”

Beng San tertawa. 
“Sedikitnya aku dua tahun lebih tua dari padamu. Kau seharusnya menyebut kakak kepadaku.”

“Hemmm, San-ko (kakak San)….. hemmm, enak juga terdengarnya. Baiklah Beng San koko, kau bawa bangkai harimau itu. Tapi dagingnya terlalu banyak, takan termakan habis olehmu dibantu olehku secara diam-diam.”

“Jangan khawatir, selebihnya dapat kubuat dendeng. Kau punya banyak garam, kan?”

“Bisa kucuri dari dapur para supek tukang masak!” Kwa Hong tertawa nakal.

“Aha, kulihat kau hanya maju dalam ilmu silat, Agaknya segala petuah sukongmu tentang kebajikan tak pernah kau taati, buktinya kau mau nyolong garam.” 

Keduanya tertawa lagi dan Beng San segera memanggul bangkai harimau setelah menyerahkan kelinci kepada Kwa Hong.

“Eh, tak kusangka. Kau kuat juga, Bangkai harimau ini sedikitnya ada lima puluh kilo!”

Kwa Hong memandang kagum. Beng San terhuyung-huyung, kelihatan berat Baru teringat bahwa dia hendak menyembunyikan kepandaian. Hampir saja dia lupa kalau Kwa Hong tidak memujinya. la cepat-cepat beraksi dan kelihatan amat berat menggendong bangkai itu.

“Wah, berat sekali…..”

Kwa Hong tersenyum, 
“Tapi kau kuat menggendongnya. Hemmm, kiranya kau tidak begitu lemah seperti yang kukira. Sayang kau tidak belajar ilmu silat.”

“Tadi kau bilang lebih baik aku tidak bisa silat,” Beng San memperingatkan.

Kwa Hong mengangkat kedua pundaknya, gerakan yang manis dipandang.
“Bukan begitu maksudku….. entahlah, yang tak kusuka adalah sikap angkuh dan jumawa, menganggap diri sendiri paling pandai dan kuat. Sikap inilah yang tak kusuka, sikap yang banyak terdapat di kalangan orang kang-ouw.”

“Kau benar,” Beng San nnengangguk-angguk, “dan kiranya sikap yang demikian itu pula, sikap mau menang sendiri dan tidak mau mengalah sedikitpun juga, yang menimbulkan keributan-keributan dan permusuhan-permusuhan diantara golongan yang satu dengan golongan yang lainnya.”

Dua orang muda itu makin lama merasa makin cocok. Watak Beng San yang sederhana, jujur, sabar dan kadang-kadang dapat pula lincah jenaka dapat mengimbangi watak Kwa Hong yang lincah, gembira dan ada kalanya keras ada kalanya halus lembut penuh kemesraan. 

Tak mengherankan bahwa dalam beberapa hari itu mereka nampak makin akrab dalam pergaulan. Kwa Hong yang mempunyai hati terbuka, secara terang-terangan memperlihatkan kesukaannya bergaul dengan Beng San sehingga tentu saja dua orang pemuda Hoa-san-pai, Kui Lok dan Thio Ki, merasa dada mereka seperti mau meledak saking panas hatinya. 

Akan tetapi, Beng San adalah seorang tamu Hoa-san-pai, agaknya sukong mereka suka kepada Beng San, juga Kwa Hong selalu “melindunginya”. Di lain fihak, Thio Bwee bernapas lega melihat bahwa Kwa Hong teryata tidak menaruh perhatian kepada Kui Lok, pemuda idaman hatinya itu.


********






SELANJUTNYA»»

Postingan populer dari blog ini

RAJA PEDANG (BAGIAN PERTAMA SERIAL RAJA PEDANG)

RAJAWALI EMAS (BAGIAN KE-2 SERIAL RAJA PEDANG)

JAKA LOLA (BAGIAN KE-4 SERIAL RAJA PEDANG)