RAJA PEDANG JILID 91

Giam Kin merogoh saku jubahnya dan mengeluarkan dua buah tabung bambu yang tersumbat. Tercium bau yang amat amis ketika dia membuka sumbat daripada sebuah di antaranya, 

“Agar Totiang tahu apa isinya, baik saya buka dan perlihatkan.” 

la mengetuk bambu itu dan keluarlah….. seekor ular bersisik merah yang kecil dan liar. Dengan gerakan seorang ahli ditangkapnya leher ular itu dan diangkatnya ke atas, tinggi-tinggi. la berkata, jelas kata-katanya ditujukan kepada semua tamu seperti seorang penjual obat mempropagandakan obatnya.

“Harap Lian Bu totiang tidak menganggap saya memberi tanda mata yang tidak ada harganya. Sungguhpun hanya merupakan dua ekor ular kecil dalam tabung bambu, namun kurasa dibandingkan dengan semua barang sumbangan yang berada di atas meja ini, hadiahku adalah yang paling berharga. Sepasang ular ini adalah yang disebut Ngo-tok-coa (Ular Lima Racun), dapat digunakan untuk menyembuhkan lima macam bahaya akibat terkena racun. Biarpun hanya merupakan dua ekor ular kecil, namun sewaktu-waktu dapat berjasa dan menyambung nyawa, benda-benda yang lain ini hanya indah dipandang tapi tidak ada gunanya, mana dapat dibandingkan dengan ular-ular pemberianku ini?”

Dengan bangga dia menyerahkan dua tabung itu kepada Kwa Hong dan Thio Bwee seorang satu. Gerak-geriknya bebas dan tak tahu malu, akan tetapi karena dia merupakan seorang tamu yang memberi hadiah ulang tahun Hoa-san-pai terpaksa biarpun dengan muka merah dan mulut cemberut, Kwa Hong dan Thio Bwee menerimanya juga. Adapun Kwa Tin Siong mewakili suhunya menjura dan mengucapkan terima kasih.

Giam Kin lalu menoleh ke kanan kiri, agaknya mencari tempat duduk yang sudah penuh. Seorang tosu Hoa-san-pai segera menghampiri dan sambil membungkuk-bungkuk tosu itu berkata.

“Tuan muda, silakan duduk di sebelah sana masih ada tempat kosong.” 

la hendak mengantar Giam Kin duduk di ruangan sebelah kanan dimana berkumpul tamu-tamu muda. Akan tetapi Giam Kin mengerutkan hidungnya ketika melihat betapa tempat itu adalah tempat duduk orang-orang yang bukan “orang atas”. la menggelengkan kepala dan berkata sambil tertawa.

“Biarlah aku disana saja, sudah membawa tempat duduk sendiri.” la lalu melangkah lebar menuju ke ruangan tamu kehormatan!

Liu Ta pemimpin rombongan Kho-tong-pai agaknya mengenal pemuda ini karena dia segera berdiri dan tersenyum memberi hormat. Akan tetapi yang paling menyolok adalah sikap Ang Kim Seng dan Ang Kim Nio, dua orang jago Bu-eng-pai. Ang Kim Nio melirik-lirik dengan senyum genit sedangkan Ang Kim Seng bahkan cepat berdiri dan menyilakan Giam Kin menduduki tempat duduknya.



“Duduklah Ang-twako. Duduklah, biar aku duduk di tempat yang sudah kubawa sendiri.”



la lalu melepaskan lilitan ular di pinggang kemudian ular besar dan panjang itu dia gulung dan lingkar-lingkar sehingga merupakan gundukan yang lebih tinggi daripada bangku-bangku yang berada disitu. Di atas gundukan atau lingkaran tubuh ular inilah dia duduk, nampak bangga dan jelas sengaja melakukan semua ini untuk menarik perhatian dan memancing pujian!

Bukan main mendongkolnya hati orang-orang Hoa-san-pai menyaksikan sikap pemuda itu. Thio Ki dan Kui Lok sudah mengepal tinju dan mereka ini diam-diam berjanji bahwa kalau pemuda setan itu berani main gila, mereka akan menghadapinya lebih dahulu. 

Kwa Hong dan Thio Bwee juga marah sekali, dengan kerling tajam menyambar mereka diam-diam memaki pemuda itu. Namun Kwa Tin Siong dan Liem Sian Hwa kelihatan tenang-tenang saja, apalagi Lian Bu Tojin, kakek ini malah tersenyum-senyum nampak gembira.



Padahal di dalam hatinya, guru dan dua orang muridnya ini selalu terheran mengapa fihak Kun-lun-pai belum juga muncul. Tidak hanya fihak tuan rumah yang terheran, juga para tamu terheran-heran, malah para tamu rnuda menjadi kecewa sekali.

Sesungguhnya, mereka naik ke Hoa san bukan semata-mata untuk memberi penghormatan kepada Hoa-san-pai, melainkan terutama sekali tertarik akan harapan melihat pertandingan hebat antara Hoa-san-pai dan Kun lun-pai. Mereka semua sudah tahu bahwa antara dua partai persilatan ini terdapat permusuhan, maka sekali ini dalam pertemuan terbuka, tentu akan diadakan pertandingan terbuka pula untuk menentukan siapa yang lebih kuat.



Giam Kin menoleh kekanan kiri seperti orang mencari-cari. Diam-diam dia memperhatikan para tamu dan mencari seorang pemuda muka hitam. la bernapas lega ketika tidak dapat menemukan orang bermuka hitam itu, akan tetapi dia masih merasa gelisah yang ditutup-tutupinya dengan sikap yang jumawa. Sebetulnya dia merasa khawatir kalau-kalau “setan muka hitam” itu akan muncul disini.





“Ah, kenapa aku tidak melihat seorangpun dari Kun-lun-pai?” tiba-tiba Giam Kin berkata, suaranya nyaring dan terdengar banyak orang, terutama oleh para tamu kehormatan yang hadir disitu. 

Semua mata memandangnya karena memang pertanyaan ini sudah sejak tadi berada dalam benak semua tamu berikut tuan rumah, hanya tak seorangpun berani lancang mulut bertanya seperti yang dilakukan Giam Kin.

Ang Kim Seng tertawa, lalu menjawab, juga dia sengaja mengerahkan tenaga sehingga suaranya terdengar nyaring,



“Giam-taihiap, apakah kau juga ingin sekali menonton keramaian? Tentu mereka akan datang!”

“Kabarnya ketua Kun-lun-pai juga mau datang memberi selamat? Betulkah berita ini?” 

Giam Kin bertanya lagi, tidak peduli akan pandang mata tak senang dari seorang tosu yang tinggi besar dan duduk di dekatnya.

“Memang ada berita itu,” jawab Ang Kim Seng, “dan malah murid-murid Kun-lun-pai sudah memberi tahu kepadaku sendiri. Akupun sudah lama tidak berjumpa dengan Pek Gan Siansu, ingin aku menyampaikan hormat.”

“Ha-ha-ha, Ang-twako. Agaknya kau ini sahabat karib Kun-lun-pai!” Giam Kin terang-terangan menegur tertawa.

Ang Kim Seng juga tertawa. 
“Kun-lun-pai adalah partai terbesar di dunia ini, partai terbesar dan terkuat, juga terkenal sebagai tempat pendekar-pendekar gagah perkasa. Siapa orangnya yang tidak bersahabat dengan mereka?”

Sudah jelas bahwa percakapan antara Giam Kin dan Ang Kim Seng ini adalah percakapan yang menyerempet-nyerempet ketenangan dan para tamu serentak menghentikan percakapan mereka dan mendengarkan dengan hati tegang.



Kwa Tin Siong sendiri mulai melirik-lirik ke arah tempat duduk para tamu kehormatan. Adapun Thio Ki, Thio Bwee, Kui Lok, dan Kwa Hong sudah terang-terangan memandang ke arah Ang Kim Seng dengan mata tajam.

Tiba-tiba Beng Tek Cu, tosu dari Bu-tong-pai yang sejak tadi merasa muak melihat lagak Giam Kin, berdiri dari bangkunya. la memang seorang yang galak dan jujur, di dalam hatinya dia pro kepada Hoa-san-pai. Kini mendengar percakapan yang menyinggung-nyinggung urusan Kun-lun-pai, dia tak dapat menahan lagi kesabarannya. Seperti orang bicara kepada diri sendiri, tosu tinggi besar yang sudah tua tapi masih kelihatan muda ini menengadahkan kepalanya dan berkata keras.

“Siapa yang menjilat dan bermuka-muka pada yang besar dan kuat, tiada bedanya dengan kutu anjing yang hidupnya hanya mengandalkan tubuh anjing yang ditumpanginya!”

Mendengar ucapan yang keras ini, Semua tamu diam dan semua memandang ke arah ruangan tamu kehormatan itu. Tak seorangpun mengira bahwa dari ruang ini akan disulut api yang akan membakar perayaan itu. 

Giam Kin tertawa-tawa geli seakan-akan dia merasa betapa lucunya kata-kata tadi. Ang Kim Seng melompat bangun dari bangkunya, memandang ke arah Beng Tek Cu sambil bertanya.

“Kau berani menyamakan aku dengan kutu anjing?”

Beng Tek Cu menoleh kepadanya, seakan-akan tak peduli, lalu balas bertanya, 
“Kau merasa menjadi kutu anjing atau tidak?”

“Tentu saja tidak!” Ang Kim Seng marah, mukanya sudah menjadi merah sekali, matanya melotot.

“Kalau tidak ya sudah! Aku tidak memaki siapa-siapa, hanya mengatakan bahwa kalau ada yang menjilat dan bermuka-muka pada yang besar dan kuat, dia itu seperti kutu anjing. Kalau kau bukan kutu anjing, ya sudahlah, kenapa ribut-ribut?” Terdengar suara ketawa disana-sini.

“Hi-hi-hi… ” 

Kwa Hong menutupi mulutnya dengan tangan untuk menahan ketawanya. Tentu saja gadis ini sudah maklum bahwa fihak Bu-eng-pai memang selalu menangkan Kun-lun, adapun fihak Bu-tong-pai membantu fihaknya. Apalagi ia mengenal Beng Tek Cu sebagai sahabat karib ayahnya, maka ia girang dan geli melihat betapa tosu yang memang berwatak berangasan, kasar dan jujur tapi pandai berdebat itu mempermainkan Ang Kim Seng.

“Satu nol…..” kata Beng San. 

Pemuda ini sejak tadi telah memperlihatkan keringanan tangannya, tanpa diminta telah membantu kesana kesini, kadang-kadang membantu para tosu yang menghidangkan makan minum kepada para tamu, kadang-kadang membantu memberes-bereskan barang-barang sumbangan di atas meja panjang itu ketika dia mendengar Kwa Hong tertawa. Ia sendiri juga merasa geli maka tanpa disengaja dia tadi berkata, 

“Satu nol…..”

“Apanya yang satu nol?” 

Kwa Hong bertanya lirih tanpa pedulikan lirikan ayahnya yang hendak mencegah ia bicara tentang hal yang meributkan.

“Tosu hitam tinggi besar itu menang satu, si tinggi kurus itu kalah dan belum menangkan apa-apa, maka kedudukan mereka menjadi satu nol untuk si tosu tinggi besar,” jawab Beng San.

Sementara itu, mendengar ucapan Beng Tek Cu, Ang Kim Seng makin marah, akan tetapi tentu saja dia ini berada di fihak salah kalau dia mulai memaki. Ia menahan kemarahannya dan pura-pura bersikap tenang, bertanya.

“Eh, tosu yang bersikap kasar. Tidak tahu siapakah kau?”

“Ang Kim Seng sicu (orang gagah) sebagai jagoan besar Bu-eng-pai, tentu saja tidak mengenal pinto (aku) Beng Tek Cu dari Bu-tong-pai.”

Ang Kim Seng nampak kaget sekali dan dia merasa menyesal mengapa tadinya dia tidak mencari keterangan lebih dulu siapa sebenarnya tosu tinggi besar yang kasar ini. Kiranya tokoh Bu-tong-pai! 

Jawaban Beng Tek Cu tadi sekaligus memukul lawannya karena jawaban itu juga merupakan sindiran tajam sekali. Dengan mengenal nama Ang Kim Seng dan partainya merupakan tanda betapa tajam pandangan dan luas pengetahuan Beng Tek Cu, sebaliknya kalau orang sampai tidak mengenal tokoh Bu-tong-pai, hal itu boleh dikatakan keterlaluan dan picik pengetahuannya.

“Dua nol…..” kata pula Beng San, tapi sebelum Kwa Hong sempat bicara, pemuda ini sudah pergi untuk membantu para tosu mengisi lagi arak bagi para tamu.

Sementara itu, Ang Kim Seng berusaha menyembunyikan perasaan malunya.
“Ah, kiranya Bu-tong-pai…..” 

Sambil berkata demikian, diapun duduk kembali dan mengajak Giam Kin bercakap-cakap. Sikapnya ini jelas sekali hendak membalas, kelihatan memandang rendah kepada Bu-tong-pai. 

Beng Tek Cu sentu saja merasai ini, mukanya sudah merah, hatinya sudah panas, akan tetapi oleh karena tidak ada alasan, diapun tidak dapat berbuat apa-apa. Ketegangan antara dua orang ini makin terasa, dan semua orang tahu bahwa apabila ada sedikit saja dasar dan alasannya, tentu kedua orang ini akan saling tantang.

Pada saat itu, ketegangan yang ditimbulkan oleh tokoh Bu-eng-pai dan Bu-tong-pai ini seketika lenyap dengan masuknya seorang gadis berpakaian serba hijau yang cantik dan gagah. 

Dara ini masih remaja sekali, memakai pakaian serba hijau yang sederhana potongannya tapi ringkas, gagang pedang tersembul di balik punggungnya. la memasuki ruangan itu seorang diri saja dan inilah yang menarik perhatian orang, terutama sekali perhatian para tamu rnuda. Tanpa menoleh kekanan kiri gadis itu segera menghampiri Lian Bu Tojin dan memberi hormat dengan sopan.







SELANJUTNYA»»

Postingan populer dari blog ini

RAJA PEDANG (BAGIAN PERTAMA SERIAL RAJA PEDANG)

RAJAWALI EMAS (BAGIAN KE-2 SERIAL RAJA PEDANG)

JAKA LOLA (BAGIAN KE-4 SERIAL RAJA PEDANG)