RAJA PEDANG JILID 92
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Oleh
Epul Saepul Rohman
“Totiang yang mulia, teecu mewakili suhu Swi Lek Hosiang mengucapkan selamat kepada Hoa-san-pai dan menyampaikan tanda mata ini.”
Ternyata gadis itu membawa barang sumbangan berupa sebuah mainan burung dara terbuat daripada perak yang diukir indah sekali, bermata kumala.
Lian Bu Tojin tersenyum lebar, nampak gembira sekali dan menerima benda sumbangan itu.
“Ha-ha-ha, benar-benar pinto yang sudah tua ini menerima penghormatan besar yang amat membanggakan hati. Thai-lek-sin Swi Lek Hosiang sampai sudi mengingat hari ulang tahun Hoa-san-pai, benar-benar menggirangkan sekali. Terima kasih, anak yang baik. Bahagialah Swi Lek Hosiang mempunyai murid seperti engkau. Hong Hong dan Bwee-ji, ajak nona ini duduk bersama.”
Sebagai murid Swi Lek Hosiang, kiranya sudah sepantasnya kalau nona ini diberi tempat duduk bagian tamu kehormatan, akan tetapi Lian Bu Tojin melihat betapa tak pantasnya kalau nona muda jelita ini harus duduk dalam satu ruangan dengan orang-orang laki-laki terutama disitu terdapat Giam Kin. Oleh karena inilah maka dia sengaja menyuruh Kwa Hong dan Thio Bwee mengajak nona itu duduk bersama, dengan demikian dia dapat menjaga nama besar Thai-lek-sin Swi, Lek Hosiang, juga di samping itu dapat menjaga nona muda ini dari pandang mata atau ucapan yang kasar mengandung kekurangajaran. Diam-diam kakek ini sudah dapat menilai watak daripada orang muda semacam Giam Kin.
Kwa Hong dan Thio Bwee sudah pernah mendengar nama besar Thai-lek-sin Swi Lek Hosiang, maka sekarang bertemu dengan muridnya yang begini cantik dan sebaya dengan mereka, tentu saja mereka dapat menerimanya dengan girang dan sebentar saja tiga orang nona ini bercakap-cakap dengan ramah dan akrab.
Hanya menjadi keheranan hati dua orang nona Hoa-san-pai itu ketika melihat betapa nona berbaju hijau ini sering kali memandang ke arah para tamu, sinar matanya menyambar-nyambar penuh selidik seakan-akan dia mencari seseorang antara para tamu.
Mendadak terdengar teriakan tosu penjaga pintu gerbang depan.
“Pek Gan Siansu dari Kun-lun-pai datang…..!”
Serentak suara berisik dari para tamu terhenti. Muka-muka menjadi tegang, mata menatap keluar penuh perhatian, dada berdebar-debar. Terutama sekali murid-murid Hoa-san-pai, mereka siap untuk menghadapi segala kemungkinan. Mereka mengira bahwa tentu Pek Gan Siansu, ketua Kun-lun-pai ini datang membawa banyak anak muridnya dari Kun-lun-pai.
Akan tetapi mereka semua itu kecele ketika melihat bahwa yang muncul hanya seorang kakek tua sekali, usianya hampir delapan puluh tahun, jenggotnya putih panjang sampai ke perut, sepasang matanya juga kelihatan putihnya saja seperti mata yang sudah lamur, tubuhnya tinggi kurus, mulutnya tersungging senyuman ramah dan tenang, tangan kanannya membawa sebatang tongkat bambu yang panjang.
Di belakangnya, sambil menundukkan mukanya, berjalan seorang pemuda bertubuh tinggi tegap, bermuka tampan gagah. Usia pemuda ini takkan lebih dari dua puluh empat tahun. la berjalan di belakang kakek itu membawa sebatang pedang yang diletakkan di atas kedua lengannya yang ditelentangkan, seperti orang membawa baki, Di pinggangnya sendiri tergantung puja sebatang pedang. Dapat diduga bahwa pedang yang dibawanya itu tentulah pedang pusaka Kun-lun-pai, dan agaknya kakek tua itu sudah menyuruh pemuda ini sebagai tukang membawanya.
Dengan sikap yang amat manis, Pek Gan Siansu berjalan mernasuki ruangan itu, mengangguk ke kanan kiri kepada tokoh-tokoh yang dia kenal, kemudian dengan langkah halus dia terus masuk menghampiri Lian Bu Tojin yang siang-siang sudah berdiri dari tempat duduknya, berdiri tegak menyambut, sikapnya halus wajahnya berseri ramah akan tetapi sepasang matanya memandang penuh keangkeran seorang ketua partai besar.
“Pek Gan Siansu, selamat datang di Hoa-san-pai. Kedatanganmu benar-benar amat melegakan hati pinto,” kata Lian Bu Tojin sambil mengangkat kedua tangan ke dada dan membungkuk.
“Ah, kau baik sekali, Lian Bu toyu,” kata kakek tua itu sambil tersenyum dan balas memberi hormat. “Tidak hanya engkau, akupun merasa lapang dadaku dapat bertemu muka dengan ketua Hoa-san-pai. Perkenankanlah aku mengucapkan selamat kepada Hoa-san-pai.”
“Terima kasih…… terima kasih….. dan silakan duduk, Siansu. Silakan duduk dan pengiringmu itu juga. Dan suruhlah anak-anak muridmu masuk semua, pinto persilakan mereka duduk dan menerima jamuan sederhana dan seadanya dari Hoa-san-pai.”
Akan tetapi, biarpun masih tersenyum-senyum kakek Kun-lun-pai itu tidak mau duduk, tetap berdiri disitu dan pemuda yang gagah tampan tadi masih berdiri pula di belakangnya, tunduk membawa pedang pusaka.
“Terima kasih, Lian Bu toyu. Aku datang hanya dengan muridku yang paling muda ini. Aku datang tidak membawa maksud buruk, mengapa harus datang membawa anak-anak Kun-lun-pai? Lian Bu toyu, sudah terlalu lama kau dan aku diam-diam saja melihat kebodohan anak-anak kita. Kurasa sekaranglah saatnya kita harus bertindak.”
Kembali suasana menjadi tegang, orang-orang diam tak bergerak, tak bersuara, semua perhatian dicurahkan kepada dua orang kakek tua yang kini berdiri saling berhadapan itu. Lian Bu Tojin masih tersenyum, akan tetapi keningnya bergerak-gerak.
“Pek Gan Siansu, tindakan apa gerangan yang hendak kau lakukan?”
Pek Gan Siansu menoleh ke kanah kiri, jenggotnya yang panjang itu bergerak-gerak.
“Toyu (sahabat dalam To), lajimnya urusan seperti yang hendak kubicarakan ini dilakukan di dalam sebuah kamar tertutup atau di lingkungan keluarga saja. Akan tetapi melihat keadaan kedua partai kita yang selama ini telah terjadi kesalah fahaman dan bentrokan-bentrokan, maka kurasa malah ada baiknya kalau pembicaraan ini disaksikan oleh para orang gagah yang hadir disini. Justeru memerlukan saksi-saksi inilah maka aku sengaja memilih hari baik ini.”
“Katakanlah maksudmu, pinto mendengarkan penuh perhatian,” Lian Bu Tojin berkata ketika melihat kakek tua itu berhenti sejenak.
Pek Gan Siansu menarik napas panjang.
“Lian Bu toyu, berpuluh tahun kau dan aku menjadi sahabat karib sampai-sampai dahulu kita pernah mempererat hubungan dengan menjodohkan murid-murid kita satu dengan yang lain.”
“Celakanya, justeru perjodohan itulah yang menyebabkan semua keributan,” Lian Bu Tojin menceta sambil menarik napas panjang penuh penyesalan.
“Segala sesuatu memang sudah ditentukan oleh Thian Yang Maha Kuasa,” Pek Gan Siansu menghibur. “Tapi bagi orang-orang yang sudah banyak makan asam garam kehidupan seperti kita ini, kiranya mengingatkan hal-hal lama bukanlah perbuatan yang benar. Lebih baik kita memandang ke depan daripada menengok ke belakang. Tidakkah kau pikir demikian juga, Toyu?”.
Tiba-tiba tosu penjaga di pintu gerbang berkata keras.
“Souw-kongcu (tuan muda Souw) dan Tan-kongcu datang…..’
Lian Bu Tojin mengangkat muka memandang, juga semua tamu. Yang masuk adalah dua orang laki-laki muda yang berpakaian indah dan bersikap gagah. Seorang diantaranya adalah Souw Kian Bi, Pangeran Mongol yang pernah menggoda Liem Sian Hwa dahulu, kemudian menculik Thio Bwee dan Kwa Hong, kemudian dapat membujuk Lian Bu Tojin memberikan janjinya untuk tidak membantu pemberontak Pek-lian-pai.
Hal ini telah dituturkan di bagian depan, yaitu terjadi hampir sepuluh tahun yang lalu. Biarpun semenjak itu tidak ada lagi hubungan antara Hoa-san-pai dengan Pangeran Mongol ini, namun tidak mengherankan apabila Souw Kian Bi datang pula untuk menghadiri perayaan Hoa-san-pai.
Melihat orang yang pernah menculiknya, Kwa Hong dan Thio Bwee menjadi merah mukanya, marah sekali. Juga Liem Sian Hwa memandang dengan sinar mata penuh kebencian.
Begitu masuk, Souw Kian Bi segera menujukan pandang matanya ke dalam, ke arah wanita-wanita cantik itu. Mulutnya tersenyum-senyum dan matanya liar memandang. Tiba-tiba dia melihat gadis baju hijau yang duduk bersama Kwa Hong dan Thio Bwee, dia nampak kaget lalu berseru gembira.
“Heeeee….. Nona Thio Eng! Kau disini juga…..?”
Bagi orang-orang Hoa-san-pai, bukanlah aneh kalau Souw Kian Bi mengenal nona baju hijau yang sekarang baru mereka ketahui bernama Thio Eng itu. Bukankah dahulu juga Souw Kian Bi berada di markas Mongol bersama dengan Thai-lek-sin Swi Lek Hosiang guru nona itu?
Thio Eng, nona baju hijau yang pernah kita kenal ketika ia bertemu dengan Beng San dan mengaku bernama Eng, hanya mengangguk kaku ke arah Souw Kian Bi dan berkata,
“Aku mewakili suhu.”
“Ah, suhumu dimana sekarang? Bertahun-tahun hwesio tua itu tidak pernah muncul. Dan kau….. hemmm, sudah besar sekarang dan….. cantik….”
Terdengar suara orang tertawa disana-sini dan Souw Kian Bi menjadi merah mukanya, sadar dia bahwa di depan banyak orang itu dia telah bersikap terlalu bebas dan mungkin agak ceriwis! Cepat-cepat dia menarik tangan temannya diajak menghampiri Lian Bu Tojin, menjura dan menghaturkan selamat.
Lian Bu Tojin mengucapkan terima kasih, lalu Kwa Tin Siong yang mempersilakan dua orang muda itu mengambil tempat duduk. Karena maklum bahwa Souw Kian Bi seakan-akan mewakili Pemerintah Mongol, maka Kwa Tin Siong memberinya tempat duduk selayaknya, di dekat ruang tamu kehormatan.
Kwa Hong duduk di bangkunya dengan bengong. Sepasang matanya tiada hentinya menatap wajah pemuda yang menjadi teman Souw Kian Bi. Orang itu benar-benar mirip Beng San, pikirnya terheran-heran. Ingin ia bicarakan hal ini dengan Thio Bwee, akan tepat ia melihat Thio Bwee memeluk lengan gadis baju hijau sambil berkata.
“Eh, Cici Eng yang baik, kiranya kita masih satu keturunan! Jadi kau juga bernama keturunan Thio?”
Akan tetapi gadis baju hijau itu, Thio Eng, tidak menyambut sikap Thio Bwee dengan gembira, sebaliknya ia hanya menundukkan muka dan mengerutkan kening.
“Enci Eng, siapakah ayahmu…..?” Thio Bwee dalam kegembiraannya mendesak.
“Ayah….. ayah sudah meninggal dunia, juga ibu, aku yatim piatu.” .
Thio Bwee terharu dan memeluk pinggang gadis itu.
“Ah, kasihan kau, Enci Eng. Ayahku juga sudah meninggal dunia, tapi ibuku masih ada, di Gi-nam…..”
Kwa Hong yang tak jadi mengajak Thio Bwee bicara tentang orang muda teman Souw Kian Bi yang ia anggap mirip Beng San, segera memutar leher mencari-cari Beng San dengan matanya. Tapi kemanapun ia mencari dengan pandang matanya, disitu tidak kelihatan adanya Beng San.
Kemanakah perginya pemuda ini?. Memang Beng San pergi bersembunyi! Pemuda ini mengalami hal-hal yang mengguncangkan hatinya. Pertama-tama melihat munculnya Thio Eng yang dia kenal sebagai nona Eng berperahu, dia sudah cepat menyingkirkan diri agar jangan terlihat oleh nona itu. Pengalamannya dengan Thio Eng membuat dia terharu dan juga merasa malu untuk bertemu muka di tempat umum seperti itu.
Kemudian munculnya Pek Gan Siansu dengan orang muda yang membawa pedang pusaka, membuat hatinya cukup merasai ketegangan hebat. Inilah tugasnya dan inilah mengapa dia datang ke tempat ini. la harus menjaga agar Hoa-san-pai jangan sampai bentrok lebih hebat dengan Kun-lun-pai, dan ini pula sebabnya mengapa pemimpin para pemberontak, Ciu Goan Ciang, menitipkan dua pucuk surat untuk ketua masing-masing partai, untuk mendamaikan. Sekarang kedua orang ketua itu sudah saling berhadapan, kata-kata sudah mulai menyinggung-nyinggung persoalan.
Beng San biarpun menyembunyikan diri di belakang orang-orang lain, dia memasang telinga mendengarkan penuh perhatian dan siap untuk bertindak sebagai penengah apabila keadaan menjadi panas.
Kemudian muncullah Souw Kian Bi itu. Hatinya ikut panas melihat Souw Kian Bi yang sudah pernah dikenalnya, dan melihat sikap yang kurang ajar dari laki-laki ceriwis dan mata keranjang ini.
Akan tetapi segera jantungnya serasa berhenti berdetak ketika dia melihat orang muda yang menjadi teman Souw Kian Bi. la menggosok-gosok kedua matanya dan wajahnya perlahan-lahan menjadi pucat dan tentu akan berubah hijau sekali kalau saja dia tidak lekas-lekas mengerahkan tenaga dalamnya untuk melawan hawa yang menjalar ke mukanya.
“Ya Tuhan…..” bisiknya dalam batin.
Tak salahkah ingatannya! Itulah wajah Kui-ko (kakak Kui), wajah Tan Beng Kui kakaknya, kakak kandungnya…..! Dan tadi tosu penyambut juga meneriakkan nama Tan-kongcu untuk orang itu. Betulkah? Beng San menjadi pusing.
SELANJUTNYA»»
Postingan populer dari blog ini
RAJA PEDANG (BAGIAN PERTAMA SERIAL RAJA PEDANG)
Oleh
Epul Saepul Rohman
JILID 01 JILID 02 JILID 03 JILID 04 JILID 05 JILID 06 JILID 07 JILID 08 JILID 09 JILID 10 JILID 11 JILID 12 JILID 13 JILID 14 JILID 15 JILID 16 JILID 17 JILID 18 JILID 19 JILID 20 JILID 21 JILID 22 JILID 23 JILID 24 JILID 25 JILID 26 JILID 27 JILID 28 JILID 29 JILID 30 JILID 31 JILID 32 JILID 33 JILID 34 JILID 35 JILID 36 JILID 37 JILID 38 JILID 39 JILID 40 JILID 41 JILID 42 JILID 43 JILID 44 JILID 45 JILID 46 JILID 47 JILID 48 JILID 49 JILID 50 JILID 51 JILID 52 JILID 53 JILID 54 JILID 55 JILID 56 JILID 57 JILID 58 JILID 59 JILID 60 JILID 61 JILID 62 JILID 63 JILID 64 JILID 65 JILID 66 JILID 67 JILID 68 JILID 69 JILID 70 JILID 71 JILID 72 JILID 73 JILID 74 JILID 75 JILID 76 JILID 77 JILID 78 JILID 79 JILID 80 JILID 81 JILID 82 JILID 83 JILID 84 JILID 85 JILID 86 JILID 87 JILID 88 JILID 89 JILID 90 JILID 91 JILID 92 JILID 93 JILID 94 JILID 95 JILID 96 JILID 97 JILID 98 JILID 99 JILID 100 JILID 101 J
RAJAWALI EMAS (BAGIAN KE-2 SERIAL RAJA PEDANG)
Oleh
Epul Saepul Rohman
SERI SEBELUMNY JILID 001 JILID 002 JILID 003 JILID 004 JILID 005 JILID 006 JILID 007 JILID 008 JILID 009 JILID 010 JILID 011 JILID 012 JILID 013 JILID 014 JILID 015 JILID 016 JILID 017 JILID 018 JILID 019 JILID 020 JILID 021 JILID 022 JILID 023 JILID 024 JILID 025 JILID 026 JILID 027 JILID 028 JILID 029 JILID 030 JILID 031 JILID 032 JILID 033 JILID 034 JILID 035 JILID 036 JILID 037 JILID 038 JILID 039 JILID 040 JILID 041 JILID 042 JILID 043 JILID 044 JILID 045 JILID 046 JILID 047 JILID 048 JILID 049 JILID 050 JILID 051 JILID 052 JILID 053 JILID 054 JILID 055 JILID 056 JILID 057 JILID 058 JILID 059 JILID 060 JILID 061 JILID 062 JILID 063 JILID 064 JILID 065 JILID 066 JILID 067 JILID 068 JILID 069 JILID 070 JILID 071 JILID 072 JILID 073 JILID 074 JILID 075 JILID 076 JILID 077 JILID 078 JILID 079 JILID 080 JILID 081 JILID 082 JILID 083 JILID 084 JILID 085 JILID 086 JILID 087 JILID 088 JILID 089 JILI
JAKA LOLA (BAGIAN KE-4 SERIAL RAJA PEDANG)
Oleh
Epul Saepul Rohman
SERI SEBELUMNYA JILID 001 JILID 002 JILID 003 JILID 004 JILID 005 JILID 006 JILID 007 JILID 008 JILID 009 JILID 010 JILID 011 JILID 012 JILID 013 JILID 014 JILID 015 JILID 016 JILID 017 JILID 018 JILID 019 JILID 020 JILID 021 JILID 022 JILID 023 JILID 024 JILID 025 JILID 026 JILID 027 JILID 028 JILID 029 JILID 030 JILID 031 JILID 032 JILID 033 JILID 034 JILID 035 JILID 036 JILID 037 JILID 038 JILID 039 JILID 040 JILID 041 JILID 042 JILID 043 JILID 044 JILID 045 JILID 046 JILID 047 JILID 048 JILID 049 JILID 050 JILID 051 JILID 052 JILID 053 JILID 054 JILID 055 JILID 056 JILID 057 JILID 058 JILID 059 JILID 060 JILID 061 JILID 062 JILID 063 JILID 064 JILID 065 JILID 066 JILID 067 JILID 068 JILID 069 JILID 070 JILID 071 JILID 072 JILID 073 JILID 074 JILID 075 JILID 076 JILID 077 JILID 078 JILID 079 JILID 080 JILID 081 JILID 082 JILID 083 JILID 084 JILID 085 JILID 086 JILID 087 JILID 088 JILID 089 JILID 090 JILID 091 JILID 092 JILID 093 JILID 094 JILID 095 JILID 096 JILID 097 JILID 098 JILI