RAJA PEDANG JILID 94

“Lian Bu totiang,” kata tokoh Khong-tong-pai ini sambil menjura kepada ketua Hoa-san-pai. “Harap saja Totiang tidak mendengarkan omongan mereka yang memanaskan suasana. Pek Gan Siansu sudah datang membawa maksud yang amat mulia dan sikap yang sudah amat mengalah. kalau hendak bicara tentang pokok pangkal pertentangan, aku sama sekali tidak setuju kalau dalam hal ini Kun-lun-pai dipersalahkan. Boleh orang menyalahkan Kwee Sin, akan tetapi harus diingat bahwa Kwee Sin sudah tidak diakui sebagai murid Kun-lun-pai lagi oleh ketuanya. Jika diingat lagi tentang soal sakit hati, mana yang lebih sakit hatinya? Dua orang murid Kun-lun-pai terang-terangan terbunuh di Hoa-san oleh murid-murid Hoa-san-pai. Sedangkan fihak Hoa-san-pai yang tewas, apakah ada yang terbunuh oleh Kun-lun-pai? Semua ini adalah gara-gara satu orang saja, Kwee Sin yang bukan orang Kun-lun-pai. Maka, menurut pendapatku usul yang amat mulia dari Pek Gan Siansu ini sudah sewajarnya kalau diterima oleh Totiang sehingga permusuhan berakhir sampai disini saja.”

Ang Kim Seng yang memang sudah tak senang kepada Beng Tek Cu, menyambung omongan Liu Ta dengan suara keras.

“Sudah terang musuh besar Hoa-san-pai bukanlah Kun-lun-pai melainkan Kwee Sin dan Ngo-lian-kauw. Kenapa Hoa-san-pai tidak pergi menangkap sendiri Kwee Sin dan memusuhi Ngo-lian-kauw? Apakah takut karena disana ada Hek-hwa Kui-bo?” la tertawa mengejek sambil melirik ke arah Beng Tek Cu.

Beng Tek Cu adalah seorang tosu, artinya seorang yang memeluk Agama To, akan tetapi dasar dia berwatak keras, Jujur dan galak, maka mendengar omongan ini dia serentak bangun berdiri dan berkata.

“Siapa bicara tentang takut dan berani? Kalau mengira Hoa-san-pai takut, boleh dia buktikan, tak usah Hoa-san-pai, pinto saja juga tidak mengenal takut! Kita berunding tentang cengli (peraturan), bukan mau menang sendiri atau mengadu-adu golongan. Terang sudah bahwa Kwee Sin adalah orang termuda dari Kun-lun Sam-hengte, jadi terang dia murid Kun-lun-pai. Kalau dia melakukan kejahatan, biarpun dia dinyatakan bukan murid Kun-lun lagi, namun sudah sewajarnya kalau Kun-lun-pai bertanggung jawab dan menghukumnya. Ataukah barangkali Kun-lun-pai memang diam saja kalau namanya dirusak oleh seorang anak muridnya yang menyeleweng? Hemmm, kami dari Bu-tong-pai mempunyai satu peraturan khusus, yaitu apabila ada seorang anak murid yang menyeleweng dan melakukan kejahatan menodai nama baik Bu-tong-pai, tidak boleh ada orang lain bertindak, kami sendiri dari fihak pimpinan akan menghukumnya!”

“Bu-tong-pai mana bisa disejajarkan dengan Kun-lun-pai?” Liu Ta membentak sambil bangkit berdiri, matanya membelalak.

“Memang tidak bisa, apalagi dengan Khong-tong-pai dan Bu-eng-pai, kami dari Bu-tong-pai menang jauh dalam hal memegang peraturan!” Beng Tek Cu membentak sambil membusungkan dada, menantang.

“Beng Tek Cu manusia sombong! Kau kira aku takut kepada Bu-tong-pai”, bentak Liu Ta melangkah maju.

“Jagoan Khong-tong-pai adalah tukang pukul, mana kenal takut? Baru takut kalau sudah kalah!” Beng Tek Cu mengejek.

“Wakil Bu-tong-pai sombong! Hal ini lebih baik diselesaikan di ujung pedang!” 

Ang Kim Seng dan Ang Kim Nio berteriak sambil berdiri dan meraba gagang pedangnya. Keadaan sudah menjadi tegang sekali, bahkan kini para pengikut masing-masing fihak sudah siap untuk bertempur begitu mendapat perintah pimpinan masing-masing. 

Pek Gan Siansu dan Lian Bu Tojin memandang penuh kekhawatiran. Di lubuk hati dua orang kakek ini sebetulnya sama sekali tidak menghendaki permusuhan yang makin hebat berlarut-larut. Mereka adalah orang-orang yang selain memiliki ilmu silat tinggi, juga memiliki ilmu batin yang kuat, maka tentu saja lebih luas pandangan dan tidak menyukai dipergunakannya kekerasan, apalagi sampai menyangkut dan menyeret golongan-golongan lain.

Tiba-tiba terdengar suara ketawa keras sekali. Yang tertawa ini adalah Giam Kin. Pemuda ini sudah berdiri, ular yang tadi didudukinya sekarang merayap dan melingkar-lingkar di tubuhnya 

“Ha-ha-ha-ha-ha, memang bagus begitu! Belum pernah aku melihat partai persliatan mengadakan perayaan tanpa pertunjukan silat! Lian Bu totiang dan Pek Gan Sian-su! Kita adalah laki-laki gagah, tidak seperti perempuan, tidak pandai banyak bicara, lebih pandai menggunakan kepalan dan pedang. Ada urusan? Tak perlu bicara bertele-tele, tarik pedang gunakan kepalan mencari keputusan siapa yang menang, siapa yang kaiah. Yang menang dialah yang benar, yang kalah tentu saja salah! Ha-ha-ha!”.

Souw Kian Bi, Pangeran Mongol yang pesolek tampan.itu, juga berdiri dan bertepuk-tepuk tangan. 





“Tepat sekali! Ucapan Giam-taihiap adalah ucapan seorang jantan. Memang lebih baik diadakan pertandingan, ruangan cukup lebar! Semua dibagi menjadi dua golongan, fihak Hoa-san-pai dan fihak Kun-lun-pai. Masing-masing mengeluarkan seorang jago secara bergiliran, lalu diadakan pertandingan. Yang kalah harus mengakui kesalahannya. Bukankah ini tepat sekali bagi kita orang-orang yang biasa membawa pedang?”

Sebagian besar orang-orang muda yang hadir disitu menjadi gembira dan tentu saja mereka setuju jika diadakan pibu (adu kepandaian), maka dari sana-sini terdengar sorakan tanda setuju. 

Bagi orang-orang yang sudah biasa bermain pedang untuk menyelesaikan sesuatu urusan, tentu saja mereka tidak suka mendengarkan banyak kata-kata yang muluk-muluk. Apalagi di waktu keadaan negara sekacau itu, dimana hukum seakan-akan tidak berlaku lagi dan hukum yang mereka kenal hanyalah siapa menang dia benar, siapa kalah dia salah. Hukum rimba selalu berkuasa di dalam kekacauan.

Pek Gan Siansu dan Lian Bu Tojin menjadi serba salah. Mereka juga adalah ketua-ketua dari partai persilatan yang besar. Tentu saja merekapun sukar untuk melangkah mundur, sukar untuk menyatakan sikap ragu-ragu menghadapi perlombaan adu kepandaian. 

Di dalam dunia kang-ouw sudah jelas bahwa siapa mundur dalam menghadapi pibu, dia dianggap takut dan pengecut! Apalagi sekarang Thio Ki dan Kui Lok sudah melompat maju dengan tangan meraba gagang pedang, keduanya berlumba berkata, 

“Akulah jago pertama yang maju membela nama baik Hoa-san-pai!” 

Dan Bun Lim Kwi yang tadinya bermuka muram, sekarang nampak berseri-seri mukanya, matanya yang lebar itu bersinar-sinar dan dia memandang kepada suhunya dengan pandang mata penuh permohonan supaya diberi ijin untuk mempertahankan nama baik Kun-lu-pai! Agaknya pertandingan sebagai gantinya perjodohan untuk menyelesaikan perkara itu tak dapat dihindarkan lagi.

Tiba-tiba seorang pemuda berlari-lari keluar dari kelompok pengikut yang berada paling belakang. Pemuda ini bukan lain adalah Beng San. Melihat keadaan demikian gawat, pemuda ini tak dapat menyembunyikan dirinya lagi. Ia tidak peduli akan pandangan orang banyak kepadanya, juga dia menahan hatinya untuk tidak menengok ke arah dua orang yang pada saat itu mengeluarkan seruan heran. Yang seorang adalah Thio Eng.

Begitu gadis baju hijau ini melihai Beng San berlari-lari menghampiri dua orang ketua yang sedang bersitegang gadis ini berseru.

“Saudara Tan…..”. Ia dapat segera menahan keheranannya dan tidak melanjutkan kata-katanya, hanya memandang dengan mata terbuka lebar ke arah Beng San yang tersaruk-saruk lari mendekati dua orang kakek ketua itu.

Orang kedua yang berseru heran tertahan adalah pemuda teman Souw Kian Bi. Pemuda ini sampai bangkit dari bangkunya ketika memandang Beng San. Tentu saja perbuatan dua orang ini tidak menyolok benar karena pada saat itu, semua tamu juga memperhatikan Beng San, apalagi setelah pemuda ini berteriak-teriak.

“Ji-wi Locianpwe (kedua orang tua gagah), harap tahan dulu! Saya mempunyai dua benda untuk diberikan kepada Ji-wi (tuan berdua)!” 

Beng San yang masih hendak menyembunyikan kepandaiannya, sengaja lari tersaruk-saruk dan terengah-engah.

Pek Gan Siansu memandang heran, dan Lian Bu Tojin tersenyum, berkata halus.
“Beng San, kau hendak memberi apakah kepada kami?”

Sementara itu, para tamu saling pandang dan saling bertanya. Siapakah pemuda berpakaian sastrawan itu? Apa maunya bocah ketolol-tololan itu? Beng San dengan gugup merogoh-rogoh saku dalam bajunya dan mengeluarkan dua lipat kertas. 

Pemuda ini cukup cerdik untuk tidak mau menyebut-nyebut nama Ciu Goan Ciang. la maklum bahwa disitu banyak mata-mata pemerintah dan dia ingat pula bahwa Souw Kian Bi adalah seorang Pangeran Mongol, maka katanya.

“Ji-wi Locianpwe, ketika saya hendak naik ke Hoa-san, di tengah jalan saya dititipi dua pucuk surat ini untuk Ji-wi dari seorang gagah. Pesannya agar supaya saya memberikan surat ini kepada Ji-wi untuk mencegah terjadinya pertempuran dan permusuhah. Silakan Jiwi menerima dan membacanya.” ia menyerahkan sebuah surat kepada Lian Bu Tojin dan sebuah lagi kepada Pek Gan Siansu. 

Tentu saja dua orang tua itu menjadi heran sekali, namun mereka dengan tenang menerima surat-surat itu. Bahkan Lian Bu Tojin sendiri juga amat terheran karena belum pernah Beng San menyebut-nyebut tentang surat ini.

Wajah mereka yang tadinya terheran itu menjadi makin heran dan berubah merah ketika mereka sudah membuka lipatan surat-surat itu. Pek Gan Siansu menujukan matanya yang putih itu kepada Beng San sambil berkata. 

“Orang muda, apa maksudmu dengan kelakar ini?”

Juga Lian Bu Tojin menjadi heran sekali setelah membuka surat, malah segera menegur, 

“Beng San, mengapa kau mempermainkan kami seperti ini? Katakanlah, apa maksudmu dengan main-main ini?”

Beng San terkejut sekali, lebih-lebih lagi kagetnya ketika dia melihat dua orang kakek itu membalikkan surat kepadanya dan setelah dia memandangnya, ternyata bahwa yang dipegang oleh dua orang kakek itu adalah sehelai kertas yang tidak ada tulisannya lagi! 

Hanya ada bekas-bekas tulisan-tulisan yang sudah tak dapat terbaca karena tulisan-tulisan tinta itu telah lenyap tersapu air menjadi sehelai kertas kosong! Otaknya yang cerdik cepat bekerja dan tahulah dia sekarang bahwa ini adalah gara-gara pertemuannya dengan gadis baju hijau! la pernah terjatuh ke dalam air dan tentu saja, ah, alangkah bodohnya, surat itu telah basah oleh air dan tintanya tersapu hilang! 

Kalau orang lain yang berada dalam keadaan seperti Beng San, kiranya dia akan kehabisan akal dan menjadi bingung. Akan tetapi, tidak demikian dengan pemuda ini. Sedetik kemudian dia telah dapat mengatasi keadaannya dan dapat mencari akal. Melihat dua orang ketua itu memandangnya dengan penuh penasaran dan pertanyaan, dia malah tertawa lebar.

“Ji-wi Locianpwe tentu menghendaki penjelasan, bukan?”

“Jelaskanlah maksudmu main-main ini!” Pek Gan Siansu menegur.

“Beng San, kau bicaralah,” kata Lian Bu Tojin.

Kembali Beng San tertawa. 
“Ji-wi? (kalian berdua) adalah ahli-ahli kebatinan, masa tidak tahu akan maksud orang gagah yang memberi surat? Kertas itu kosong dan bersih? Apa yang lebih sempurna daripada kosong dan sempurna? Kalau Ji-wi dapat rnengosongkan hati dan membersihkan pikiran, kiranya segala keruwetan dunia-akan dapat dipecahkan dengan mudah. Bukankah Nabi Locu dan Nabi Khong-cu sama-sama menganjurkan agar kita dalam menghadapi segala hal dapat mengosongkan hati dan pikiran?”

Pek Gan Siansu dan Lian Bu Tojin saling pandang, lalu mengangguk-angguk. Mereka seperti terbuka mata hati masing-masing. Memang tadi mereka terlalu menurutkan perasaan hati dan jalannya pikiran maka hampir saja keduanya tak dapat menguasai keadaan. Keduanya kini serentak lalu mengangkat tangan kearah pengikut dan pembela masing-masing sambil berkata.

“Biarkan orang muda ini bicara sampai habis!” 

Perbuatan mereka ini adalah karena disana-sini terdengar suara ejekan dan celaan terhadap Beng San yang dianggap orang gila.

Beng San menjadi lega. Langkah pertama sudah dia ambil dan agaknya berhasil. Kemudian dia berkata lagi, suaranya lantang,






SELANJUTNYA»»

Postingan populer dari blog ini

RAJA PEDANG (BAGIAN PERTAMA SERIAL RAJA PEDANG)

RAJAWALI EMAS (BAGIAN KE-2 SERIAL RAJA PEDANG)

JAKA LOLA (BAGIAN KE-4 SERIAL RAJA PEDANG)