RAJAWALI EMAS JILID 016

Tadinya Kwa Hong dan Koai Atong kaget dan jerih, akan tetapi setelah melihat kakek itu memuntahkan darah dan tahu bahwa dia itu luka hebat, mereka tidak takut lagi. Malah Koai Atong lalu menuding sambil memaki.

“Kakek tua bangka bikin kaget orang saja. Kukira kau tadi setan! Mau apa kau datang kesini?” Lalu ia menuding ke arah mayat lima orang tosu Bu-tong-pai tadi. “Apa kau datang mau membeli bangkai-bangkai ini?”

Kwa Hong segera membentak, 
“Atong, jangan main-main!” 

Kwa Hong lebih tajam pandang matanya dan ia dapat menduga bahwa orang ini tentulah seorang sakti, ia malah setengah menduga bahwa kakek ini agaknya “orang aneh” dari Lembah Akhirat.

“Aku mau bertemu dengan Ketua Hoa-san-pai. Mana dia?” 

Lian Ti Tojin berkata sambil memandang Kwa Hong dengan sinar mata yang membuat Kwa Hong merasa ngeri, Akan tetapi Kwa Hong sekarang berbeda jauh dengan Kwa Hong dahulu. Setelah merobohkan banyak jago-jago terkenal, ia memandang rendah kepada orang lain dan mempunyai keyakinan penuh akan kelihaian diri sendiri ditambah bantuan Koai Atong dan burung rajawali emas. Dengan mengangkat dada dan mengedikkan kepalanya ia menjawab gagah.

“Orang tua, akulah Ketua Hoa-san-pai. Kau siapakah dan apa keperluanmu datang kesini?”

Kakek itu tertegun. Diam-diam Lian Ti Tojin memang terheran sekali. Benar-benar gadis cantik jelita dan muda belia inikah yang telah mengacau Hoa-san-pai? Benarkah gadis ini yang sudah membunuh sutenya, Lian Bu Tojin? Sukar untuk dapat dipercaya.

“Kau Ketua Hoa-san-pai? Apa buktinya?” tanyanya memancing karena masih ragu-ragu. 

Tadi ia hanya dari jauh, malah mendengar pula betapa dua orang ini menewaskan lima tosu itu, maka biarpun ia yakin bahwa dua orang ini pengacaunya, namun sama sekali tak pernah ia sangka bahwa wanitanya demikian muda belia, masih seperti kanak-kanak! Maka setelah berhadapan muka ia malah menjadi ragu-ragu. 

Kwa Hong mengeluarkan suara ketawa mengejek, tangannya bergerak dan tahu-tahu pedang pusaka Hoa-san Po-kiam telah dihunusnya. 

“Inilah tandanya bahwa aku Ketua Hoa-san-pai!”

Wajah kakek yang seperti mayat itu menjadi makin mengerikan ketika ia berdongak dan mengeluarkan keluhan panjang. 

“Aahhh… hukum karma… inilah hukum karma….! Kwa Hong, kau murid Hoa-san-pai murtad, membunuh guru merampas pedang menduduki kursi Ketua dan aku… ha-ha-ha, akulah yang harus membasmi! Hukum karma….! Dahulu akupun melakukan perbuatan dosa seperti yang kau lakukan. Aku menyeleweng, menurutkan nafsu, mengganggu anak bini orang, membunuh jago-jago ternama. Ketika guru menegur, malah kulawan dan kubunuh, ha-ha-ha….! Aku berdosa besar… aku menyesal… kuserahkan kedudukan ketua kepada sute Lian Bu Tojin. Aku menghukum diri di Im-kan-kok, puluhan tahun menyesali perbuatan sendiri tapi agaknya Thian masih belum sudi mengampuni dosa-dosaku. Buktinya, hari ini aku dihadapkan dengan engkau! Aku masih mempunyai tugas terakhir, menolong nama baik Hoa-san-pai. Agaknya inilah penebusan dosaku… ha-ha-ha-ha, hukum karma….!!”



Wajahnya berubah lagi dan sepasang matanya menyambar seperti kilat ketika ia membentak, 

“Kwa Hong, kau berhadapan dengan supekmu. Hayo lekas berlutut minta ampun dan mengakui dosamu!”



Suaranya seperti halilintar menyambar dan selagi Kwa Hong terpengaruh oleh bentakan hebat ini tiba-tiba secepat kilat tangan kakek itu bergerak merampas pedang. Kwa Hong kaget dan biarpun serangan itu mendadak sekali namun kedua kakinya yang bergerak aneh seperti kaki burung dapat membuat ia mengelak. 

Sayang sekali, lengan tangan kakek itu setelah tidak berhasil merampas pedang masih terus bergerak mulur (memanjang) dan tahu-tahu pedang Hoa-san-pai telah dapat dirampas oleh Lian Ti Tojin!

“Ha-ha-ha, po-kiam ini memang seharusnya di tanganku….” 





Kakek itu bergelak akan tetapi suara ketawanya berhenti ketika tiba-tiba tubuhnya terlempar ke samping dan terhuyung-huyung. Ternyata Koai Atong dengan gerakan “sayap rajawali” telah menyerangnya dan membuatnya terhuyung-huyung. 

Begitu hebatnya serangan Koai Atong ini. Di lain pihak, Koai Atong yang tadi marah sekali melihat orang itu berani merampas pedang dari tangan Kwa Hong, juga kaget dan kagum melihat kakek yang hampir mati saking tuanya itu hanya terhuyung-huyung dan tidak roboh terkena pukulannya Jing-tok-ciang yang ampuh.



Lian Ti Tojin marah dan cepat memasang kuda-kuda, kemudian dua orang aneh itu saling serang dengan hebat. Kwa Hong memandang dengan muka pucat, apalagi ketika Lian Ti Tojin tiba-tiba dapat memisahkan diri dari Koai Atong dan dengan pedang pusaka di tangan melakukan penyerangan hebat sekali kepadanya. 

Serangan ini hebat bukan main, sinar pedang sampai menjadi panjang seperti pelangi dan sepasang mata Kwa Hong silau karenanya. Bahkan Koai Atong sendiri tidak berdaya melihat Kwa Hong terancam bahaya maut.

Pedang pusaka Hoa-san-pai yang ampuh di tangan Lian Ti Tojin yang lihai itu berkelebat menyambar kearah tenggorokan Kwa Hong, agaknya takkan dapat dihindarkan lagi oleh Kwa Hong.

“Traaaangggg!!” 

Bunga api muncrat menyilaukan mata. Lian Ti Tojin berteriak kaget dan heran. Pedang pusaka Hoa-san-pai itu terlepas dari pegangannya yang terasa sakit dan sebelum pedang itu jatuh ke atas tanah, Kwa Hong sudah menyambar dan memegangnya. 

Di depan kakek ini berdiri seorang laki-laki muda yang tampan dan gagah yang memegang sebatang pedang yang kini sudah buntung karena beradu dengan pedang pusaka Hoa-san-pai tadi!



Kakek sakti itu kaget dan maklum bahwa ia berhadapan dengan seorang yang biarpun masih muda namun memiliki kepandaian tinggi. Agaknya pemuda inilah yang tadi bernyanyi melawan pengaruh suaranya. Akan tetapi sebelum ia sempat menegur, Koai Atong sudah menerjangnya dengan hebat. 

Terpaksa Lian Ti Tojin mengelak dan melayani Koai Atong dan kembali dua orang aneh ini bertempur hebat. Pertempuran kini lebih hebat dan seru daripada tadi karena Lian Ti Tojin tidak memegang pedang lagi.

Sementara itu, Kwa Hong dengan pedang pusaka di tangan, berdiri memandang laki-laki yang telah menolongnya dari ancaman maut tadi, wajahnya pucat, air matanya mengalir turun membasahi kedua pipinya. Sinar matanya penuh kasih mesra, penuh harap bercampur kekuatiran, bibirnya menggigil tanpa dapat mengeluarkan suara. 

Adapun laki-laki muda itu berdiri mematung memandang Kwa Hong, sinar matanya penuh iba hati dan juga penyesalan, anehnya, wajahnya yang tampan dengan kulit muka yang tadinya putih sehat itu perlahan-lahan mulai berubah kehijauan!



Siapakah pemuda ini? Bukan lain orang, dia ini adalah Tang Beng San, pemuda yang menggemparkan dunia persilatan ketika beberapa bulan yang lalu ia secara tidak resmi merebut gelar kejuaraan ilmu pedang dan berhak disebut Raja Pedang! 

Tan Beng San inilah yang menjadi biang keladi sehingga timbul peristiwa hebat di Hoa-san-pai, karena sesungguhnya dia inilah yang menghancurkan kalbu dan mematahkan hati Kwa Hong. 

Kwa Hong mencintanya sepenuh jiwa raganya dan diantara mereka telah ada hubungan yang sungguhpun terjadi bukan atas kehendak mereka melainkan karena pengaruh racun yang hebat, namun hubungan itulah yang mengakibatkan Kwa Hong mengandung! 

Dan, seperti kita telah baca dalam cerita Raja Pedang, Beng San tidak bersedia menjadi suami Kwa Hong karena memang dia telah mencinta orang lain yaitu, Kwee Bi Goat puteri tunggal Song-bun-kwi Kwee Lun.



Melihat adanya seorang tosu Hoa-san-pai tua yang muncul pula di belakang Beng San, dapat diduga bagaimana Raja Pedang ini bisa sampai di tempat ini. Tak lain adalah tosu Hoa-san-pai lalu lari minta bantuan kepada Beng San di Min-san. Disana ia menuturkan segala peristiwa yang terjadi di Hoa-san-pai. 

Mendengar penuturan itu, Beng San menjadi marah dan berduka sekali. Hubungannya dengan Hoa-san-pai amat baik dan ia amat sayang kepada Lian Bu Tojin, maka mendengar bahwa kakek ini dibunuh oleh Kwa Hong dan Koai Atong, ia menjadi berduka sekali.

Apalagi yang membunuhnya adalah Kwa Hong! Kini begitu berhadapan dengan Kwa Hong, Beng San memandang penuh keharuan hatinya dan diam-diam ia harus mengakui bahwa sebetulnya dialah yang membuat gadis Hoa-san-pai ini menjadi begini. 

Dua orang muda ini saling pandang tanpa menghiraukan Koai Atong yang bertempur mati-matian melawan Lian Ti Tojin, juga tidak pedulikan para tosu Hoa-san-pai yang baru sekarang berani muncul dari tempat sembunyi mereka semenjak munculnya Lian Ti Tojin yang mereka takuti.

“San-ko….” akhirnya Kwa Hong dapat mengeluarkan kata-kata dengan suara setengah berbisik dan air matanya masih menitik turun, “Akhirnya kau… kau datang kepadaku….? Kau datang menyelamatkan nyawaku… dan kau hendak menerima diriku… hendak membawa aku pergi….? Begitukah, San-ko….?” 

Pertanyaan terakhir ini diucapkan penuh harapan, mengiris hati Beng San dan hanya dengan pengerahan batin yang amat kuat saja Beng San dapat menahan air matanya supaya tidak membasahi mata.

Beberapa kali Beng San menelan ludah menahan gelora hatinya, kemudian ia dapat mengatasi perasaannya dan menarik muka marah lalu berkata, suaranya penuh teguran.

“Hong-moi, kenapa kau lakukan semua ini? kenapa kau mengajak Koai Atong membunuh Lian Bu Tojin dan mengacau Hoa-san-pai? Kenapa kau menggila dan merampas kedudukan Ketua Hoa-san-pai, malah membunuh banyak sekali orang gagah? Kulihat lima orang tosu Bu-tong-pai yang terkenal gagah dan budiman juga sudah kau bunuh. Hong-moi, kenapa kau tersesat begini jauh? Kedatanganku ini untuk mencegah kau melanjutkan kegilaan ini!”

“Ohhh….!” 

Kwa Hong terhuyung mundur tiga langkah dengan muka membayangkan hati yang perih seperti ditusuk jarum beracun. Kemudian setelah menghapus air matanya, ia maju lagi, wajahnya berubah beringas dan marah. Matanya bersinar-sinar penuh api dan bentaknya,

“Kaulah orang pertama yang ingin sekali aku membunuhnya!” 

Secepat kilat ia menggerakkan pedang pusaka Hoa-san-pai di tangannya, sedangkan tangan kirinya juga menggerakkan cambuk dengan ilmu panah hijau itu kearah Beng San. Gerakannya dahsyat, penuh kemarahan dan kebencian, gerakan maut mencari korban.

Namun, kali ini serangan Kwa Hong yang dahsyat dan keji itu tidak berhasil. Kali ini ia menghadapi seorang yang telah mewarisi ilmu silat sakti, seorang yang telah menguasai ilmu silat Im-yang Sin-kiam-sut ciptaan Pendekar Bu Pun Su ratusan tahun yang lalu. 

Apalagi karena dalam mempelajari gerakan-gerakan rajawali emas, baru beberapa bulan saja Kwa Hong melatih diri, maka boleh dibilang kepandaiannya dalam ilmu yang mujijat ini belum masak benar. Mana bisa dia menghadapi serangan raja pedang seperti Beng San? 

Begitu orang muda itu menggerakkan tubuh dan kedua kaki tangannya bersilat, tahu-tahu pedang pusaka Hoa-san-pai itu sudah terampas olehnya dan cambuk dengan lima anak panah itu terlepas dari pegangan Kwa Hong. 

Kwa Hong berdiri lemas, mukanya makin pucat ketika ia berhadapan dengan Beng San yang kini sudah berdiri di depannya memegang pedang Hoa-san Po-kiam dengan kedua kaki tegak terpentang dan pandang mata tajam penuh kemarahan.

“Hong-moi, sekali lagi kuperingatkan kau. Bertobatlah dan Jangan teruskan perbuatan-perbuatanmu yang keji dan jahat!”

Tiba-tiba Kwa Hong membanting-banting kaki dan menangis tersedu-sedu. Melihat sikap itu, makin hancur hati Beng San. Kenal betul ia akan sifat Kwa Hong ini, masih sama dengan dulu, kalau jengkel membanting-banting kaki.

“Aku memang tidak kuat melawanmu. Hayo… Beng San… kau boleh bunuh aku… mari, kau teruskan pedang itu ke perutku ini… ya ke perut ini, biar mati sekalian… anak kita… uhu-hu-hu….”







Next>>

Postingan populer dari blog ini

RAJA PEDANG (BAGIAN PERTAMA SERIAL RAJA PEDANG)

RAJAWALI EMAS (BAGIAN KE-2 SERIAL RAJA PEDANG)

JAKA LOLA (BAGIAN KE-4 SERIAL RAJA PEDANG)