RAJAWALI EMAS JILID 019

Setelah sore terganti malam, keadaan di rumah Thio Ki makin sunyi lagi. Memang rumah ini agak jauh dari tetangga dan mempunyai pekarangan yang luas. Apalagi suami isteri yang berjaga-jaga di ruangan dalam itu, Lampu-lampu penerangan di luar rumah dipasang semua, terang benderang, akan tetapi disebelah dalam, di ruangan itu, sengaja digelapkan. Inilah siasat Lee Giok agar mereka dapat melihat kedatangan musuh tanpa diketahui oleh musuh itu.

Waktu merayap agak keras, menggerakkan daun-daun pohon, mengeluarkan bunyi yang terdengar amat mengerikan bagi orang-orang yang berada dalam cekaman ketegangan itu. Keduanya tidak dapat melihat apa-apa, biarpun mereka mengintai dari lubang-lubang diantara pintu keluar, keadaan sunyi saja, namun mereka memasang telinga baik-baik. 

Setiap bunyi harus terdengar oleh mereka dan ini penting sekali bagi ahli-ahli silat. Kadang-kadang telinga dapat mendahului mata dan telingalah yang menyelamatkan nyawa, kadang-kadang. Keadaan di ruangan itu begitu sunyi sehingga andaikata ada jarum jatuh, tentu akan terdengar oleh mereka.

Beberapa kali terdengar suara orang atau kaki kuda dari jauh, hanya sayup sampai terbawa angin lalu, Thio Ki memandang bayangan isterinya didalam gelap dan bangkitlah kasih sayangnya yang besar. Ngeri ia kalau memikirkan bagaimana mereka nanti harus menghadapi musuh yang lihai. Bagaimana kalau sampai dia atau isterinya tewas? 

Terharu hatinya memikirkan dan tak terasa pula ia menjamah tangan isterinya dengan mesra dan penuh kasih. Agaknya Lee Giok merasai ini, maka cepat-cepat mengibaskan tangan suaminya. Dalam keadaan seperti itu Lee Giok tidak mau memperlihatkan perasaan lemah, apalagi seluruh panca indera harus dipusatkan untuk memperhatikan keadaan di luar.

“Ssttt, dengar.. baik-baik….” bisiknya rnemperingatkan suaminya.

“Srrtt-srttt!” Suami isteri itu menghunus pedang, digenggam erat-erat dan berdiri siap siaga. Mereka mendengar langkah kaki yang amat ringan datang dari depan!

“Jaga kanan kiri pintu….” bisik lagi Lee Giok. 

Thio Ki maklum akan maksud isterinya dan ia lalu berdiri di sebelah kiri pintu sedangkan isterinya menjaga di sebelah kanan. Menurut rencana Lee Giok, musuh itu biar mendobrak pintu kalau bisa melalui lantai penuh paku, kemudian menerima sambaran anak panah dan diterjang oleh mereka berdua dari kanan kiri. Biarpun musuh lebih pandai, kiranya takkan dapat menyelamatkan diri kalau dihujani serangan seperti ini.

Suara langkah kaki yang ringan itu makin lama makin dekat, berhenti di depan pintu dimana telah disebar paku-paku oleh Lee Giok. Keadaan makin tegang dan makin sunyi setelah langkah kaki itu berhenti dan tak terdengar lagi Lee Giok yang biasanya tabah dan sudah biasa menghadapi saat-saat tegang ketika ia masih menjadi pejuang dahulu, kini mau tidak mau mengeluarkan keringat dingin.



Apalagi Thio Ki yang memang sudah merasa gelisah sekali. Tubuhnya menggigil dan setiap saat ia bisa kalap, meloncat dan menerjang siapa saja yang muncul disaat itu. Senjata-senjata rahasia sudah siap di tangan kedua orang ini.

Tiba-tiba terdengar suara perlahan di luar pintu, suara wanita yang bicara seorang diri setengah berbisik,



“Aneh sekali… diluar terang mengapa di dalam gelap dan sunyi? Pergikah orang-orangnya? Dan paku-paku ini….” Suara itu berhenti sebentar lalu terdengar ia memanggil,

“Enci Lee Giok….! Enci Lee Giok! Suci (Kakak Seperguruan)….!”

Lega bukan main hati Lee Giok setelah mengenal suara ini, seakan-akan ia merasa batu besar yang menindih dadanya dilepaskan.

“Sumoi (Adik Seperguruan)… kaukah itu, Sumoi….??” tanpa disadari, suaranya mengandung isak.

“Suci Lee Giok, kau kenapakah? Ah, tentu terjadi sesuatu yang hebat… jangan takut, Suci, aku datang….” Terdengar orang bergerak di luar pintu.



“Nanti dulu, Sumoi… jangan masuk…!” teriak Lee Giok akan tetapi terlambat. 

Pintu telah didorong dari luar sehingga terbuka dan palangnya patah. Pada saat itu anak panah rahasia yang dipasang Lee Giok melesat ke depan, tiga batang banyaknya.





“Sumoi….!” Lee Giok menjerit.

Dari luar berkelebat bayangan merah, bukan main cepatnya dan gesitnya gerakannya dan bagaikan seekor burung walet menyambar kupu-kupu, bayangan itu menyambar tiga batang anak panah itu dan di lain saat ia telah meloncat masuk ke dalam ruangan, tiga batang anak panah sudah berada di tangannya. 

Dari sinar lampu yang menyorot masuk ke dalam ruangan melalui pintu yang terbuka, tampaklah orang itu. la seorang gadis cantik jelita berpakaian merah. Pakaiannya yang merah warnanya itu berpotongan ringkas dan membuat ia selain nampak cantik juga gagah sekali.



Di belakang punggungnya tergantung sebatang pedang yang gagangnya dihias ronce-ronce dari benang kuning. Juga pengikai rambut, ikat pinggang, dan sepatunya berwarna seperti warna ronce-ronce pedangnya. Kulit mukanya putih halus dan manis bentuknya, rambutnya hitam panjang, sepasang mata yang indah bentuknya itu bersinar-sinar dan bening seperti mata “burung hong”, hidung dan mulutnya bagaikan bunga-bunga yang memperindah taman sari wajahnya. Kesemuanya itu menjadikan dia seorang gadis berwajah ayu.

Siapakah gadis jelita ini? Dia bukan lain adalah puteri tunggal dari Bu-tek Kiam-ong (Raja Pedang Tiada Bandingan) Cia Hui Gan, benama Cia Li Cu. la telah mewarisi ilmu silat ayahnya Bahkan telah mewarisi Ilmu Pedang Sian-li Kiam-sut (Ilmu Pedang Bidadari) yang bukan main indah dan lihainya. 

Karena kepandaiannya dan kecantikannya inilah maka akhir-akhir ini Cia Li Cu mendapat julukan Thai-San Sian-li (Dewi Gunung Thai-san) karena memang ayahnya tinggal di Gunung Thai-san. 

Seperti pernah kita ketahui, apalagi sudah jelas diceritakan dalam Raja Pedang, gadis jelita ini dipertunangkan dengan suhengnya`sendiri, yaitu Tan Beng Kui, Kakak dari Tan Beng San.



Dapat dibayangkan betapa lega dan girangnya hati Lee Giok melihat kedatangan sumoinya yang rnemiliki kepandaian amat tinggi itu. Saking girang dan terharunya ia segera menubruk, memeluk dan menciumi sumoinya sambil menangis!

“Eh-eh-eh… ada apakah Suci? Ci-hu (Kakak Ipar), ada apakah….?” tanyanya berganti-ganti kepada Lee Giok dan Thio Ki. “Dan kenapa gelap amat disini? Pasanglah pelita….”

Thio Ki ragu-ragu, belum berani menyalakan lampu, akan tetapi Lee Giok diantara isaknya berkata, 

“Setelah Sumoi berada disini, kita takut apa lagi? Hayo pasang lampunya.”

Thio Ki segera menyalakan lampu dan sebentar saja ruangan itu menjadi terang. Li Cu makin heran melihat keadaan suci dan cihunya begitu tegang, malah di dalam rumah telah melakukan persiapan seperti itu seakan-akan sedang menghadapi musuh yang amat hebat.



la sudah berpengalaman dan tentu saja tanpa diceritakan lagi ia sudah dapat menduga bahwa sucinya menghadapi ancaman musuh. Sebetulnya Li Cu sendiri ketika datang, membawa hati yang sakit oleh urusan pribadinya, akan tetapi begitu melihat keadaan Lee Giok, urusan sendiri dilupakan dan ia menjadi marah sekali.

“Suci, katakan siapa yang berani kurang ajar mengancam keselamatanmu, katakan! Aku yang akan menghadapinya!”

Lee Giok menarik napas panjang, lalu menuntun tangan Li Cu diajak ke dalam kamar. Thio Ki maklum bahwa isterinya hendak memperlihatkan tulisan darah anjing itu, maka iapun ikut masuk. 

Tanpa berkata apa-apa Lee Giok menuding ke arah coretan merah di tembok itu. Li Cu memandang dan sepasang matanya yang indah berkilat.

“Keparat betul! Alangkah sombongnya. Binatang mana yang berani berbuat begini? la menghinamu, berarti menghinaku dan menghina ayah. Biarkan dia datang, Suci, kita lawan dan bikin mampus Si Sombong!” Li Cu menjadi merah kedua pipinya saking marahnya.

“Memang akupun tadi siap hendak melawannya, Sumoi. Dan alangkah senang hatiku melihat kau datang, kau tahu… mereka itu lihai sekali!” 

Lee Giok lalu menceritakan apa yang telah terjadi dan juga dugaannya bahwa penjahat itu tentu lebih dari seorang, Juga dugaannya bahwa agaknya yang akan mengganggu Itu tentulah Kim-thouw Thian-li dan mungkin juga bersama gurunya, Hek-hwa Kui-bo. 

Li Cu mengangguk-angguk, mengerti mengapa sucinya menduga demikian. Ia tahu bahwa dahulu sucinya ini mencinta mendiang Kwee Sin, adapun Kim-touw Thian-li adalah kekasih Kwee Sin. Selain permusuhan karena cemburu ini, juga memang Kim-thouw Thian-li dahulunya adalah kaki tangan pemerintah Mongol, sebaliknya Lee Giok adalah seorang pejuang,

“Kalau betul mereka yang datang, kau dan cihu bersama sama hadapilah Ngo-lian-kauwcu (Ketua Ngo-lian-kauw) itu, biar aku yang menghadapi Hek-hwa Kui-bo!” kata
Li Cu dengan gagah dan bersemangat.

Kembali mereka melakukan penjagaan. Akan tetapi sekarang keadaan suami isteri itu tidak sekuatir tadi, biarpun ketegangan masih tetap ada didalam hati mereka. Juga ruangan dimana mereka berjaga itu tidak digelapkan. 

Dalam keadaan sunyi ini teringatlah Li Cu kembali akan keadaan dirinya sendiri dan wajahnya yang ayu itu menjadi murung. Baiknya Lee Giok terlalu tegang hatinya sehingga tidak melihat keadaan sumoinya ini.

Menjelang tengah malam. Keadaan amat sunyi. Tiba-tiba terdengar suara ayam berkeok lalu sunyi lagi. Lee Giok bangkit dari tempat duduknya wajahnya tegang. Ia saling pandang dengan suaminya dan dapat menduga bahwa tentu ada orang mengganggu binatang peliharaan mereka itu. Lee Giok memandang Li Cu dan pandang matanya mengisyaratkan bahwa agaknya musuh yang ditunggu-tunggu sudah datang!

Lee Giok dan Thio Ki sudah berdiri dengan tangan di gagang pedang masing-masing. Hanya Li Cu yang masih duduk, sikapnya tenang. Tiba-tiba terdengar lagi suara ayam berkeok beberapa kali, lalu sunyi. 

Suami isteri itu menggerakkan tangan kanan mencabut pedang, tangan kiri siap di kantong piauw dan mata mereka memandang ke arah pintu yang sudah ditutup lagi. Li Cu masih seperti tadi, duduk dengan tenang seperti orang melamun. Agaknya ia masih tenggelam dalam lamunan duka tentang dirinya sendiri.

Ketegangan suami isteri itu memuncak ketika di dalam kesunyian itu tiba-tiba terdengar suara ketawa dari jauh, setelah suara ketawa berhenti lalu terdengar suara suling ditiup perlahan. Mendengar suara suling ini, Lee Giok memegang tangan sumoinya yang masih duduk dan berbisik,

“Sumoi, bukankah itu si iblis Giam Kin?”

Li Cu berdiri dan berkata, 
“Hemmm, makin banyak iblis makin baik, biar kita basmi mereka agar dunia terbebas dari genggaman mereka!”

Suara ketawa makin lama makin dekat dan jelas terdengar bahwa suara itu adalah suara ketawa wanita, kemudian setibanya di depan rumah suara itu berhenti. Suara suling juga berhenti, keadaan sunyi sebentar lalu terdengar suara berisik mendesis-desis. 

Tiga orang yang berada di dalam rumah siap siaga, hanya Li Cu yang belum juga mencabut pedang. Memang bagi seorang ahli pedang seperti dia tidak mau sembarangan mencabut pedang kalau tidak perlu.

“Brakkkk!” 

Tiba-tiba pintu depan pecah terbuka dan dari luar terdengar lagi suara suling lapat-lapat. Yang membuat tiga orang muda itu kaget adalah ratusan ekor ular besar kecil yang masuk ke rumah seperti banjir. Belasan ekor sudah memasuki ruangan itu melalui pintu.

Lee Giok dan Thio Ki kaget sekali, akan tetapi tiba-tiba berkelebat sinar menyilaukan dan belasan ular itu sudah putus menjadi dua potong oleh sambaran pedang di tangan Li Cu. 

Sungguh hebat gerakan ini dan mengerikan sekali ular-ular yang sudah putus menjadi dua masih berkelojotan itu. Dari luar masih membanjir terus ular-ular besar kecil, merayap melalui bangkai ular-ular yang sudah sekarat. 

Kini Lee Giok dan Thio Ki sudah hilang kagetnya. Semangat mereka bangkit oleh gerakan Li Cu tadi, maka merekapun menyerbu ke depan dan membabati ular-ular dengan pedang mereka.







Next>>

Postingan populer dari blog ini

RAJA PEDANG (BAGIAN PERTAMA SERIAL RAJA PEDANG)

RAJAWALI EMAS (BAGIAN KE-2 SERIAL RAJA PEDANG)

JAKA LOLA (BAGIAN KE-4 SERIAL RAJA PEDANG)