RAJAWALI EMAS JILID 024

Pertanyaan macam inilah yang menjadi pantangan bagi Li Cu. Semenjak kecil ia dididik berjiwa satria yang tidak pernah mengenal artinya takut, apalagi kalau hal itu dikemukakan oleh orang lain. Ia menggertak gigi dan membentak,

“Siapa takut? Biarlah hari ini aku Cia Li Cu mengadu nyawa dengan kalian tiga orang tua bangka tak tahu malu!” 

Setelah berkata demikian, cepat ia mainkan jurus-jurus Sian-li Kiam-sut yang amat indah dan hebat dan sengaja ia mainkan jurus pertahanan saja untuk menyelamatkan dirinya.

“Ha-ha-ha, Nona Cia yang gagah, kami sama sekali tidak menghendaki nyawamu, hanya terpaksa menahanmu disini,” demikianlah kata Lui Cai. “Ji-wi-sute, mari kita tangkap dia tanpa melukainya, kalau kita tidak bisa melakukan itu percuma kita menjadi Ho-hai Sam-ong!”

Hal ini memang jauh lebih mudah diucapkan daripada dilaksanakan. Mengalahkan Li Cu tanpa melukainya merupakan hal yang bukan main sukarnya, seperti orang hendak menangkap burung walet tanpa memanahnya roboh. 

Gerakan Li Cu selain gesit dan ringan juga ilmu pedangnya amat sukar diikuti, gerakannya aneh dan sinar pedangnya bergulung-gulung melindungi seluruh tubuhnya sehingga andaikata turun hujan, takkan ada setetespun air hujan dapat membasahi tubuhnya!

Namun harus diakui bahwa Li Cu terdesak hebat. Gadis ini merasa seakan-akan menghadapi benteng baja yang amat kokoh kuat dan dari benteng baja itu bertubi-tubi datang penyerangan yang amat berbahaya. Dia sama sekali tidak diberi kesempatan menyerang dan dipaksa untuk terus-menerus mempertahankan dirinya. 

Delapan puluh jurus lebih telah lewat dan perlahan-lahan Li Cu merasa kepalanya pening. Dia harus memperhatikan gerakan tiga macam senjata lawan dan hal ini membuat ia pening dan berkunang matanya,

“Huh, hanya begini sajakah kegagahan Ho-hai Sam-ong?”

“Lepas senjata!” 

Lui Cai dan Thio Ek Sui membentak keras dan berbareng senjata mereka, dayung baja dan ruyung yang berat itu menyambar dari kanan kiri untuk memukul runtuh pedang Li Cu yang agak terlambat gerakannya karena matanya berkunang-kunang.

“Tranggg… tranggg….!” 

Ruyung dan dayung patah menjadi dua terkena Liong-cu-kiam, akan tetapi pedang itu sendiri terlepas dari pegangan Li Cu karena telapak tangannya pecah oleh benturan senjata tadi dan kini Liong-cu-kiam meluncur dan menancap ke atas dek perahu. 

Pada saat itu juga, tambang yang digerakkan oleh Kiang Hun secara hebat itu telah datang membelit-belit tubuh Li Cu sehingga gadis itu tak dapat berkutik lagi. Namun, gadis itu biarpun seluruh tubuhnya terlibat tambang yang amat kuat, ia masih terus berdiri tegak dengan kepala dikedikkan dan sepasang mata bintangnya memancarkan cahaya berapi-api.

“Kalian tua bangka-tua bangka dengan pengeroyokan telah dapat mengalahkan aku. Sekarang aku telah tertangkap, mau bunuh boleh lekas bunuh!” bentaknya gagah.

“Ha-ha, kau benar-benar gagah perkasa Nona. Tapi kami tidak bermaksud membunuhmu, hanya ingin menahanmu untuk memaksa tunanganmu berunding dengan kami!” kata Lui Cai Si Bajul Besar.

“Sam-ong harap jangan gegabah. Lebih baik bocah liar ini dibunuh dan mayatnya dilempar ke sungai. Kalau ditahan dan sampai tersusul oleh bocah siluman Tan Beng San, bisa-bisa kalian mengalami hari naas!” kata Hek-hwa Kui-bo.

Tiga orang itu mengerutkan keningnya ketika menoleh ke arah pembicara ini. 
“Kui-bo, siapa itu Tan Beng San yang kau pakai menakut-nakuti kami?”

Hek-hwa Kui-bo tersenyum mengejek. 
“Hemm, kalian boleh tidak takut terhadap bocah liar ini atau terhadap ayahnya sekalipun. Akan tetapi jangan main-main kalau menghadapi Tan Beng San adik Tan Beng Kui itu, dialah sesungguhnya Raja Pedang di dunia ini yang memiliki Ilmu Pedang Im-yang Sin-kiam-sut.”





Tiga orang itu saling pandang, kemudian tertawa bersama. 
“Adik Tan Beng Kui? Masih adakah orang muda begitu hebat? Boleh…. boleh, kebetulan sekali, biarkan dia datang pula agar lebih enak kita bicara dengan Tan Beng Kui kelak. Ha-ha-ha!” 

Setelah berkata demikian Lui Cai memberi perintah kepada sutenya, yaitu Kiang Hun untuk melepaskan ikatan tambang pada tubuh Li Cu. Dia sendiri mengambil pedang Liong-cu-kiam dan disimpannya.

Tiga orang yang berani melepaskan kembali Li Cu begitu saja terang memandang rendah kepada gadis ini setelah terampas pedangnya. Li Cu sendiri juga tidak gegabah untuk mengamuk lagi setelah Liong-cu-kiam terampas. Ia cukup cerdik untuk tidak berlaku sembrono.

“Asal kau tidak memberontak, kami tidak merasa perlu untuk mengikat atau menotok jalan darahmu,” kata Lui Cai. “Juga kami harap selama kau menjadi tamu, kau tidak akan membikin ribut dan bertengkar dengan Hek-hwa Kui-bo dan muridnya.”

Li Cu menjatuhkan diri duduk di atas bangku. Ia merasa tidak berdaya dan jengkel sekali. Baru kali ini ia dibikin tidak berdaya oleh orang lain tanpa mampu melampiaskan kemendongkolan hatinya.

“Ho-hai Sam-ong, jangan berlaku rahasia. Kalian menahanku sebetulnya dengan maksud apakah?” tanyanya berani.

“Sama sekali bukan dengan maksud buruk,” kata Lui Cai sambil menggeleng-geleng kepala. “Nanti kita bicarakan sambil kita makan.”

Ia lalu memberi perintah kepada para anak buah bajak yang berada di perahu itu untuk menyiapkan hidangan. Meja besar diatur penuh hidangan untuk enam orang, yaitu pihak tuan rumah tiga orang dan para tamu tiga orang pula. 

Baik Hek-hwa Kui-bo dan muridnya maupun Li cu diperlakukan dengan sikap hormat dan baik sehingga bagi mereka ini tidak ada kesempatan untuk merasa kurang senang. Sementara itu, tanpa terasa karena besarnya perahu itu sejak tadi meluncur mengikuti aliran air, ditambah kecepatannya dengan layar yang berkembang.

Tanpa sungkan-sungkan Li Cu makan dan minum hidangan yang serba lezat itu sambil mendengarkan penuturan Lui Cai Si Bajul Besi yang menjadi orang tertua diantara Ho-hai Sam-ong.

“Kalau dibicarakan membikin orang menjadi tak enak makan tak nyenyak tidur saking penasaran,” demikian Si Baju Besi mulai penuturannya. 

Selanjutnya ia bercerita demikian. Ketika rakyat memberontak terhadap Pemerintah Mongol tidak hanya para orang gagah di dunia kang-ouw yang ikut berjuang di samping rakyat kecil. Akan tetapi juga banyak diantara mereka yang tergolong tokoh-tokoh dunia hitam (penjahat) juga bangkit semangat patriotnya dan ikut pula berjuang mati-matian. 

Diantara mereka ini yang paling hebat dan gigih perjuangannya adalah Ho-hai Sam-ong inilah. Merekalah yang banyak berjasa dalam penyeberangan para pejuang, dengan pengiriman ransum bagi para pejuang dan banyak pula pihak musuh mereka hancurkan di sepanjang lembah Sungai Huang-ho. Malah dalam perjuangannya ini, tidak hanya Ho-hai Sam-ong kehilangan banyak anak buah yang gugur, bahkan Lui Cai dan Thio Ek Sui kehillangan putera mereka yang ikut gugur dalam perjuangan itu.

Akan tetapi, setelah perjuangan berhasil, mereka menjadi kecewa. Memang, tak dapat disangkal lagi bahwa manusia-manusia yang bukan patriot sejati, ikut berjuang karena mempunyai pamrih (ambisi) mempunyai pengharapan agar kalau perjuangan itu berhasil, dia tidak dilupakan dan diberi jasa sebanyaknya. 

Demikian pula dengan Ho-hai Sam-ong. Mereka seakan-akan dilupakan, malah ketika mereka menonjolkan jasa, para pembesar baru di kota raja tidak mau menerima, malah mencurigai mereka yang berasal dari golongan bajak.

“Ciu Goan Ciang seorang serakah tak kenal kawan seperjuangan!” demikianlah Lui Cai menutup ceritanya. “Setelah perjuangan berhasil dan dia menduduki singgasana menjadi kaisar, ia lupa bahwa tanpa bantuan orang-orang lain tak mungkin ia dapat mengalahkan orang-orang Mongol. Dia tidak menghargai jasa orang lain, malah berusaha melenyapkan semua tokoh pejuang yang ia anggap saingannya dalam memperebutkan kedudukan tinggi. Siapakah tidak penasaran?”

Li Cu yang mendengarkan cerita ini sebenarnya tidak merasa aneh karena dia sendiri sering kali berada di kota raja dan cerita tentang perebutan pahala antara para tokoh pejuang ini sudah dia ketahui. Memang banyak bekas pejuang tidak puas dengan sikap Goan Ciang dan banyak yang iri hati sehingga setelah mereka semua berhasil menumbangkan kekuasaan Mongol dari tanah air, sekarang diantara mereka sendiri timbul perebutan dan permusuhan.

“Kalau kalian merasa penasaran kepada kaisar baru, mengapa menahan aku? Apa hubunganku dengan segala macam perebutan kekuasaan dan saling menonjolkan pahala itu?” tanya Li Cu heran, juga penasaran.

Lui Cai menarik napas panjang. 
“Sudah kukatakan tadi bahwa yang merasa tidak puas terhadap Ciu Goan Ciang adalah banyak sekali. Sayangnya, perasaan mereka ini membangkitkan pemberontakan menyendiri sehingga terjadi permusuhan dan perpecahan. Diantara saingan kami itu adalah Pangeran Lu Siauw Ong yang kelihatannya paling besar keinginan hatinya untuk merampas singgasana dari tangan kaisar baru. Bagi kami, sama sekali tidak mempunyai keinginan menjadi kaisar, kami hanya ingin menghukum Ciu Goan Ciang yang tidak menghargai jasa orang. Nah, kau tahu sekarang. Suhengmu itu adalah orang kepercayaan Lu Siauw Ong, malah kini menjadi tangan kanannya. Sudah beberapa kali kami hendak mengajak Lu Siauw Ong bekerja sama untuk menggulingkan Ciu Goan Ciang akan tetapi mereka itu, terutama suhengmu, memandang rendah kepada kami. Sekarang, kebetulan kau menjadi tamu kami, hendak kami lihat apakah Tan Beng Kui masih hendak berkeras kepala dan terlaiu angkuh!”

Mendengar ini, hati Li Cu serasa tertusuk karena ia segera terkenang akan nasibnya. Agaknya tiga orang kepala bajak ini juga masih belum tahu betul apa yang baru-baru ini terjadi. 

Ia masih dianggap tunangan Beng Kui sehingga kini ia dijadikan tawanan untuk memancing datangnya Beng Kui agar suka diajak bersekutu oleh Sam-ong ini. Teringatlah ia betapa Beng Kui telah mengkhianatinya dalam ikatan jodoh mereka. Tan Beng Kui tidak saja menjadi pembantu dan tangan kanan Lu Siauw Ong, malah sekarang telah menjadi mantunya! 

Ya, Tan Beng Kui suhengnya dan tunangannya itu setelah selesai perjuangan juga terserang demam ambisi, setelah dekat dengan Pangeran Lu Siauw Ong dan diberi janji-janji kedudukan tinggi, menjadi mabok. Malah akhirnya, demi untuk mencapai cita-cita ambisinya, Beng Kui meninggalkannya, memutuskan ikatan jodoh dengannya dan suka dikawinkan dengan Lu-siocia, puteri Lu Siauw Ong! 

Inilah yang membuat hati Li Cu hancur dan gadis ini lalu minggat dari kota raja, tidak mau pulang ke Thai-san dan merantau dengan hati hancur sehingga ia tiba di tempat tinggal sucinya, Lee Giok. Tadinya ia hendak mengeluh dan mengadukan nasibnya yang buruk kepada Lee Giok itu, siapa kira Lee Giok sendiri sedang ditimpa malapetaka sekeluarga sehingga dia yang ingin menolong sekarang akibatnya malah tertawan oleh Ho-hai Sam-ong dan dipergunakan untuk memancing datangnya Tan Beng Kui! Ah, kalau nasib sedang mempermainkan orang.

Ia pun tidak mau banyak cakap lagi, malah diam-diam ia hendak melihat apa yang akan menjadi reaksi dari pihak Tan Beng Kui kalau mendengar bahwa dia menjadi tawanan Ho-hai Sam-ong. 

Sementara itu ia mendengar betapa tiga orang kepala bajak itu membujuk-bujuk Hek-hwa Kui-bo dan Kim-thouw Thian-li untuk membantu usaha mereka dan betapa guru dan murid itu menyanggupi. Tapi ia tidak pedulikan itu semua dan perahu terus meluncur cepat.


********




U

Postingan populer dari blog ini

RAJA PEDANG (BAGIAN PERTAMA SERIAL RAJA PEDANG)

RAJAWALI EMAS (BAGIAN KE-2 SERIAL RAJA PEDANG)

JAKA LOLA (BAGIAN KE-4 SERIAL RAJA PEDANG)