RAJAWALI EMAS JILID 033
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Oleh
Epul Saepul Rohman
Di puncak sebuah bukit kecil yang ditumbuhi beberapa batang pohon raksasa terdapat sebuah rumah papan yang kecil menyendiri. Tak ada rumah lain dari puncak sampai ke kaki bukit kecuali pondok kecil itu. Sunyi sepi Sekelilingnya, namun harus diakui bahwa hawa udara amat sejuk dan pemandangan alam amat indahnya dari puncak itu. Di lereng dan kaki bukit tampak pohon-pohon kecil menghijau. Hanya di puncak itulah adanya beberapa pohon raksasa yang sudah tua dan amat besar lagi tinggi.
Seperti biasanya setiap hari, pada pagi hari itupun sunyi, seakan-akan tidak ada penghuninya. Akan tetapi kesunyian pagi itu tidak lama karena segera terdengar lapat-lapat suara tangisan seorang wanita, tangisan yang amat memilukan. Terisak-isak wanita itu menangis, kemudian terdengar keluhannya.
“Kau bunuhlah aku… bunuhlah aku… ah, alangkah keji hatimu, kau melebihi segala iblis… kau bunuhlah aku….!”
Lalu disusul suara laki-laki, suaranya halus tapi penuh ejekan.
“Kau selalu minta mati saja, sudah sebulan lebih permintaanmu tak lain hanya itu saja. Bosan aku mendengarnya. Bukankah sudah jelas bahwa aku amat sayang kepadamu, bahwa aku cinta kepadamu? Manis, apakah kau bosan tinggal di tempat sunyi ini? Apakah kau ingin ikut denganku merantau keutara? Disana indah sekali. Pernah kau menyaksikan gurun pasir?”
“Aku tidak inginkan apa-apa kecuali mati. Kau bunuh sajalah aku!” lagi-lagi suara wanita itu memohon.”
“Sudahlah, mari kau ikut keutara. Tentu kau senang dan kau akan melihat betapa besar cintaku kepadamu.”
Laki-laki itu tertawa dan tak lama kemudian tampaklah seorang laki-laki muda yang tampan keluar dari pondok itu, memondong seorang wanita muda cantik yang lemas tak berdaya, agaknya telah tertotok jalan darahnya.
Laki-laki muda itu bukan lain adalah Siauw-coa-ong Giam Kin, pemuda raja ular yang jahat itu. Adapun wanita yang bukan lain adalah Lee Giok atau Nyonya Thio Ki yang telah ditawan dan dilarikannya sebulan yang lalu, Lee Giok kelihatan pucat dan berduka sekali, akan tetapi ia tidak berdaya karena memang kalah kuat dan kalah tinggi kepandaiannya.
Setelah tiba di luar pondok, Lee Giok berkata sambil menarik napas panjang,
“Giam Kin, agaknya Thian sudah menakdirkan aku menjadi teman hidupmu. Sudahlah aku tidak akan membantah lagi dan aku mau ikut denganmu ke utara. Asal selama hidupku aku tidak akan bertemu dengan suamiku dan kau membawa ku ke tempat yang jauh, aku menurut.”
Giam Kin girang sekali dan memeluknya.
“Betulkah kata-katamu ini? Aha, bagus sekali, adikku yang tercinta. Mari kubawa kau kesorga diutara dan kita hidup bahagia. Ha-ha-ha!” Seperti orang gila Giam Kin memeluk nyonya muda itu sambil menari-nari.
“Hush, gila kau! Tak usah aku kau gendong-gendong terus seperti orang lumpuh, hayo lepaskan totokan pada tubuhku dan aku akan jalan sendiri di sisimu selama hidupku.”
Giam Kin sambil tersenyum-senyum dan menggoda-goda dengan ceriwis sekali lalu menurunkan Lee Giok dan menotok beberapa jalan darahnya lalu mengurut punggung nyonya muda yang cantik itu. Ia tidak takut membebaskan Lee Giok karena kalau Lee Giok melawan, dengan mudah ia akan dapat mengatasinya kembali.
Setelah terbebas dari totokan Lee Giok terhuyung-huyung lemas. Memang tubuhnya lemas sekali, terbawa oleh perihnya perasaannya yang ditahan-tahan. Ketika Giam Kim maju memeluknya untuk mencegahnya jatuh, ia berkata, suaranya halus mesra,
“Biarkan aku mengaso di bawah pohon ini dulu, aku… aku pening dan lesu sekali.”
Sambil memeluknya Giam Kin membawa Lee Giok ke bawah pohon raksasa dan mendudukkannya di atas akar pohon itu yang keluar dari dalam tanah seperti tubuh ular besar, Lee Giok menjatuhkan diri duduk disitu, ia lalu meramkan matanya mengumpulkan tenaga.
Ketika ia meramkan mata, terbayanglah wajah suaminya dan terbayang pula pengalamannya, ketika ia tertawan oleh Giam Kin. Hatinya seperti ditusuk-tusuk pisau rasanya dan tak tertahankan lagi kembali air matanya bercucuran turun.
“Ah, kekasihku, lagi-lagi kau menangis….” Giam Kin mendekat dan hendak merangkul leher Lee Giok.
Tiba-tiba Lee Giok menggerakkan kedua tangannya memukul ke depan sekuat tenaganya. Giam Kin memang sudah siap sedia karena orang yang cerdik ini mana mau percaya begitu saja akan sikap menyerah dari nyonya muda yang selalu berkeras membencinya ini? Cepat ia melompat mundur untuk menghindarkan diri dari penyerangan tiba-tiba ini. Lee Giok juga melompat berdiri dan memandang kepada Giam Kin penuh kebencian.
“Manusia iblis! Aku Lee Giok bersumpah takkan mau hidup sebelum menghancurkan kepalamu, membelah dadamu dan mencabut keluar isi dadamu!” teriaknya penuh kemarahan yang meluap-luap.
“Heh-heh, galaknya tapi malah lebih manis!” Giam Kim mengejek. “Kau perempuan tak tahu disayang orang! Aku ingin membikin kau bahagia dan ingin mencintamu selamanya. Kiranya kau seorang yang tidak punya jantung. Baiklah, aku akan menjadikan kau barang permainanku, kalau sudah bosan akan kulempar ke jurang biar menjadi makanan serigala!”
Lee Giok tidak sudi mendengarkan lagi, terus saja ia menerjang dengan kaki tangannya, mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya untuk membunuh manusia yang dibencinya ini, yang telah merusak hidupnya.
Namun, seperti beberapa kali yang sudah-sudah, kali inipun ia tidak berhasil mengalahkan Giam Kin yang memang amat lihai itu. Ia malah dipermainkan oleh Giam Kin yang mengelak kesana kemari, berloncatan sambil mengejek dan menggoda. Ia ingin membuat Lee Giok kelelahan lebih dulu untuk kemudian ditawan lagi dan dipermainkan.
Memang pada dasarnya hati Giam Kin memiliki kekejaman yang luar biasa, sudah bukan seperti manusia lagi. Hal ini tidak aneh kalau dipikir bahwa dia adalah murid tunggal dari manusia iblis Siauw-ong-kwi dan semenjak kecil sudah banyak melakukan kekejaman-kekejaman.
Tubuh Lee Giok masih amat lesu, maka dipermainkan oleh Giam Kin ia menjadi makin payah dan lemas. Namun dengan nekat nyonya muda ini menyerang terus mati-matian dengan tekad membunuh atau mati dalam pertempuran ini.
Tiba-tiba terdengar suara aneh diatas, suara melengking yang amat nyaring menggetarkan jantung. Kemudian dari puncak pohon raksasa dibawah mana dua orang itu sedang bertempur, melayang turun seekor burung raksasa yang…. berbulu kuning emas.
Di punggung burung itu duduk seorang wanita muda cantik yang sinar matanya tajam dan liar. Sebelah tangannya memegang sebuah cambuk berekor lima dimana terikat lima batang anak panah hijau. Di punggungnya tergantung sebuah pedang pusaka. Inilah Kwa Hong yang menunggang burung rajawali emas yang sakti itu.
“Hi-hi-hik, Giam Kin, kebetulan sekali! Tak usah aku mencarimu kau sekarang mengantar nyawa kepadaku!” kata Kwa Hong ketika ia mengenal isteri dari suhengnya, Thio Ki.
Akan tetapi ia tidak menegur Lee Giok yang tadi amat terdesak hebat oleh Giam Kin itu. Sinar kuning emas menyambar turun dan burung itu telah menerkam kearah kepala Giam Kin.
Bukan main kagetnya Giam Kin melihat penyerangan ini. Cepat ia melompat mundur dan membentak,
“Siapa kau?”
Bergidik juga ia melihat wanita cantik menunggang burung rajawali yang bermata liar itu, sementara itu Lee Giok segera mengenal Kwa Hong. Ia girang mendapat bala bantuan, akan tetapi juga heran dan kaget sekali menyaksikan keadaan Kwa Hong yang tidak wajar ini.
“Adik Hong….!” serunya.
Burung itu masih beterbangan berputar-putar diatas mereka. Kwa Hong berkata dengan suara mengejek,
“Lee Giok, tidak lekas lari menanti apalagi? Apa kau mengharapkan tertawan oleh lawanmu yang tampan ini? Heh-heh-heh, kau mau main gila di belakang suamimu, ya?”
Kalau ada halilintar menyambar kepalanya, kiranya Lee Giok takkan begitu kaget seperti ketika ia mendengar ejekan ini. Sejenak ia memandang dengan mata terbelalak kepada Kwa Hong yang duduk di punggung burung. Lalu terlihat olehnya, sepasang mata yang mengerikan itu. Lee Giok tertusuk hatinya, sambil terisak-isak ia lalu lari pergi dari situ, diikuti suara ketawa yang mengerikan dari Kwa Hong.
Dasar watak Giam Kin mata keranjang dan keji. Melihat nona cantik jelita di punggung burung itu, ia segera tertarik sekali hatinya. Ia sudah mengenal sekarang wanita muda yang duduk di punggung burung itu. Kwa Hong murid Hoa-san-pai yang cantik itu, yang dulu pernah membuat ia tergila-gila juga (baca Raja Pedang).
Karena dia sendiri seorang berwatak keji, maka sinar ganas dan liar pada sepasang mata Kwa Hong itu baginya malah mendatangkan perasaan menyenangkan, malah menjadikan Kwa Hong makin manis dalam pandang matanya. Pula ia memandang rendah kepada Kwa Hong, karena murid Hoa-san-pai saja sampai dimana sih kelihaiannya?
“Aha, kukira tadi siapa. Tidak tahunya adik manis dari Hoa-san-pai. Turunlah Nona manis dan mari bersenang-senang dengan aku. Boleh aku membonceng di punggung burungmu yang indah itu?”
Tiba-tiba sinar hijau menyambar, sebagai jawaban. Giam Kin tertawa mengejek akan tetapi segera ketawanya berubah seruan kaget ketika lima batang anak panah itu menyambar kepadanya dengan kecepatan yang amat luar biasa, seperti kilat menyambar, Ia menjatuhkan diri diatas tanah dan hanya dengan cara begini ia dapat menyelamatkan dirinya.
Celaka baginya, wanita yang duduk di punggung rajawali emas itu lihai bukan main. Burungnya menyambar-nyambar rendah dan anak panah-anak panah di ujung cambuk itu terus menyambar-nyambar dengan pukulan dahsyat sekali.
Giam Kin mencabut suling ularnya dan berusaha menangkis, akan tetapi baru dua kali menangkis saja sulingnya itu terlepas dari tangannya dan mencelat entah kemana. Demikian hebatnya tenaga pukulan Kwa Hong sampai-sampai dia sendiri tidak mampu menangkisnya.
Mulailah pengejaran yang mengerikan. Giam Kin lari kesana kemari, namun burung itu terus mengejar dan sinar hijau bersuitan di atas kepalanya. Giam Kin menjadi pucat sekali, keringat dingin bercucuran keluar. Ia menjatuhkan diri, bergulingan, tapi ke manapun juga ia selalu dikejar sinar hijau itu yang diikuti suara ketawa. Baru sekarang telinga Giam Kin mendengar suara ketawa yang mengerikan sekali, tidak semerdu tadi.
“Mampus kau….. hi-hi-hik, mampus kau…!”
Akibatnya Giam Kin yang belum sekali juga terkena anak panah itu, menjadi lemas saking lelah dan ketakutan. Gerakannya lambat dan tiba-tiba sepasang cakar burung yang kuat sekali mencengkeram tubuhnya bagian dada dan kepala.
Terdengar suara daging dan kulit dirobek-robek diiringi suara ketawa melengking tinggi dari Kwa Hong. Beberapa kali Giam Kin mengeluarkan pekik kesakitan dan ketakutan, kemudian hening kembali disitu.
Ketika burung rajawali yang ditunggangi Kwa Hong itu terbang lagi ke atas, dibawah pohon raksasa itu tertinggal tubuh Giam Kin yang tak bergerak dan dalam keadaan mengerikan sekali.
Pakaiannya robek-robek, dan penuh darah yang bercucuran dari dada dan mukanya yang juga sudah terobek-robek oleh cakar-cakar tajam tadi. Matanya sebelah kiri hancur, telinga kirinya juga lenyap, mulutnya robek lebar, dadanya terbeset kulitnya dan lengan kirinya dicengkeram sedemikian rupa oleh cakar rajawali sehingga semua urat-urat besarnya terputus dan lengan kiri itu kaku dengan jari-jari mencengkeram saking menahan sakit.
Matikah Giam Kin? Pada saat itu masih belum, karena terdengar rintihan perlahan dari dadanya. Tapi kalau orang menyaksikan keadaannya, tentu takkan dapat mengharapkan dia dapat hidup lagi.
Sementara itu, Lee Giok terus berlari cepat sambil menangis terisak-isak. Ia telah terlepas dari cengkeraman tangan Giam Kin. Akan tetapi apa gunanya? Lebih baik ia mati saja. Mana mungkin ia dapat menentang wajah suaminya lagi. Lebih baik dia mati daripada menanggung aib yang hebat. Lebih baik ia terjun ke dalam jurang yang curam.
Akan tetapi, apa pula artinya kalau ia mati tanpa ada yang mengetahuinya kelak? Tetap saja ia akan mati dalam keadaan menanggung malu. Lebih baik dia ke Hoa-san dan mati disana agar suaminya kelak tahu bahwa ia telah menebus aib itu dengan nyawanya.
Di Hoa-san ia harus mati, agar suaminya tahu bahwa sampai detik terakhir ia masih teringat kepada suaminya, masih ingin mendekatinya biarpun hanya dengan maksud mendekatkan arwahnya dengan Hoa-san! Selain itu, alangkah akan besar dosanya kalau ia mati membawa anak dalam kandungannya. Bukankah itu berarti ia akan membunuh anak itu?, Anaknya? Anak suaminya? Tidak, ia harus menanti, biarpun hatinya akan remuk-remuk. Harus menanti sampai anak dalam kandungannya yang sudah tiga bulan itu lahir.
Lee Giok berlari terus sampai akhirnya tubuhnya terguling menggeletak di tengah hutan saking tidak kuat lagi, saking lelahnya. Sambil merintih-rintih ia merangkak ke bawah pohon yang bersih, lalu membaringkan tubuh dan pikirannya melayang-layang. Hidupnya rusak oleh Giam Kin. Yang menjadi biang keladi adalah Kim-thouw Thian-li dan Hek-hwa Kui-bo. Semangatnya sebagai seorang gagah dalam diri Lee Giok bangkit ketika ia mengingat akan tiga orang ini.
Akan sia-sia belaka kalau ia mati sebelum ia mampu membalas, sebelum ia mampu melenyapkan tiga manusia iblis itu dari permukaan bumi. Kepandaiannya memang masih belum begitu tinggi untuk mengalahkan mereka, akan tetapi ia dapat memperdalam kepandaiannya.
Setelah tidur semalam di hutan itu, pada keesokan harinya Lee Giok melanjutkan perjalanannya dengan hati yang sudah mengambil dua buah keputusan, yaitu sebelum ia membunuh diri untuk mencuci noda pada dirinya, ia harus lebih dulu melahirkan anak dalam kandungannya, kemudian tugasnya yang kedua ialah membunuh tiga orang musuh besarnya itu!
Ia tidak boleh mati sekarang, ia malah harus kuat dan harus dapat memperdalam ilmunya. Pikiran inilah yang menyelamatkan nyawa Lee Giok dan dengan hati teguh nyonya muda ini melanjutkan perjalanannya menuju Hoa-san.
********
Next>>
Postingan populer dari blog ini
RAJA PEDANG (BAGIAN PERTAMA SERIAL RAJA PEDANG)
Oleh
Epul Saepul Rohman
JILID 01 JILID 02 JILID 03 JILID 04 JILID 05 JILID 06 JILID 07 JILID 08 JILID 09 JILID 10 JILID 11 JILID 12 JILID 13 JILID 14 JILID 15 JILID 16 JILID 17 JILID 18 JILID 19 JILID 20 JILID 21 JILID 22 JILID 23 JILID 24 JILID 25 JILID 26 JILID 27 JILID 28 JILID 29 JILID 30 JILID 31 JILID 32 JILID 33 JILID 34 JILID 35 JILID 36 JILID 37 JILID 38 JILID 39 JILID 40 JILID 41 JILID 42 JILID 43 JILID 44 JILID 45 JILID 46 JILID 47 JILID 48 JILID 49 JILID 50 JILID 51 JILID 52 JILID 53 JILID 54 JILID 55 JILID 56 JILID 57 JILID 58 JILID 59 JILID 60 JILID 61 JILID 62 JILID 63 JILID 64 JILID 65 JILID 66 JILID 67 JILID 68 JILID 69 JILID 70 JILID 71 JILID 72 JILID 73 JILID 74 JILID 75 JILID 76 JILID 77 JILID 78 JILID 79 JILID 80 JILID 81 JILID 82 JILID 83 JILID 84 JILID 85 JILID 86 JILID 87 JILID 88 JILID 89 JILID 90 JILID 91 JILID 92 JILID 93 JILID 94 JILID 95 JILID 96 JILID 97 JILID 98 JILID 99 JILID 100 JILID 101 J
RAJAWALI EMAS (BAGIAN KE-2 SERIAL RAJA PEDANG)
Oleh
Epul Saepul Rohman
SERI SEBELUMNY JILID 001 JILID 002 JILID 003 JILID 004 JILID 005 JILID 006 JILID 007 JILID 008 JILID 009 JILID 010 JILID 011 JILID 012 JILID 013 JILID 014 JILID 015 JILID 016 JILID 017 JILID 018 JILID 019 JILID 020 JILID 021 JILID 022 JILID 023 JILID 024 JILID 025 JILID 026 JILID 027 JILID 028 JILID 029 JILID 030 JILID 031 JILID 032 JILID 033 JILID 034 JILID 035 JILID 036 JILID 037 JILID 038 JILID 039 JILID 040 JILID 041 JILID 042 JILID 043 JILID 044 JILID 045 JILID 046 JILID 047 JILID 048 JILID 049 JILID 050 JILID 051 JILID 052 JILID 053 JILID 054 JILID 055 JILID 056 JILID 057 JILID 058 JILID 059 JILID 060 JILID 061 JILID 062 JILID 063 JILID 064 JILID 065 JILID 066 JILID 067 JILID 068 JILID 069 JILID 070 JILID 071 JILID 072 JILID 073 JILID 074 JILID 075 JILID 076 JILID 077 JILID 078 JILID 079 JILID 080 JILID 081 JILID 082 JILID 083 JILID 084 JILID 085 JILID 086 JILID 087 JILID 088 JILID 089 JILI
JAKA LOLA (BAGIAN KE-4 SERIAL RAJA PEDANG)
Oleh
Epul Saepul Rohman
SERI SEBELUMNYA JILID 001 JILID 002 JILID 003 JILID 004 JILID 005 JILID 006 JILID 007 JILID 008 JILID 009 JILID 010 JILID 011 JILID 012 JILID 013 JILID 014 JILID 015 JILID 016 JILID 017 JILID 018 JILID 019 JILID 020 JILID 021 JILID 022 JILID 023 JILID 024 JILID 025 JILID 026 JILID 027 JILID 028 JILID 029 JILID 030 JILID 031 JILID 032 JILID 033 JILID 034 JILID 035 JILID 036 JILID 037 JILID 038 JILID 039 JILID 040 JILID 041 JILID 042 JILID 043 JILID 044 JILID 045 JILID 046 JILID 047 JILID 048 JILID 049 JILID 050 JILID 051 JILID 052 JILID 053 JILID 054 JILID 055 JILID 056 JILID 057 JILID 058 JILID 059 JILID 060 JILID 061 JILID 062 JILID 063 JILID 064 JILID 065 JILID 066 JILID 067 JILID 068 JILID 069 JILID 070 JILID 071 JILID 072 JILID 073 JILID 074 JILID 075 JILID 076 JILID 077 JILID 078 JILID 079 JILID 080 JILID 081 JILID 082 JILID 083 JILID 084 JILID 085 JILID 086 JILID 087 JILID 088 JILID 089 JILID 090 JILID 091 JILID 092 JILID 093 JILID 094 JILID 095 JILID 096 JILID 097 JILID 098 JILI