RAJAWALI EMAS JILID 048

“Ayah… bagaimana….?” 

Matanya meragu dan ia memandang ke arah pintu kamarnya, agaknya ingin menjenguk keluar.

“Sudah beres, sudah kuurus pemakamannya.”

Li Cu menarik napas panjang, hatinya menjerit-jerit namun air matanya sudah kering. 
“Berapa lama aku rebah disini…?”

“Kau terserang demam, Nona. Sembilan hari sembilan malam kau dalam keadaan tidak sadar. Karena itulah aku lancang mewakilimu mengurus pemakaman ayahmu.”

Li Cu bergerak hendak duduk. Melihat kelemahan gadis itu, Beng San cepat membantunya. Ia merasa kasihan sekali dan cepat ia menghibur, 

“Harap kau kuatkan hatimu. Nona. Ingatlah bahwa mati hidup seorang manusia berada di tangan Tuhan. Apabila Tuhan menghendaki kematian seseorang, ada saja yang menjadi lantarannya. Ayahmu tewas sebagai seorang gagah perkasa, mati dikeroyok tokoh-tokoh besar dalam melindungi… aku yang tak berharga….”

“Tidak! Bukan melindungi kau, melainkan membela aku!” Cepat Li Cu membantah.

“Apa bedanya, Nona? Membela engkau karena kau berusaha melindungi aku.”

“Kau merawatku terus-menerus selama aku sakit?” cepat Li Cu memotong omongan Beng San, mukanya yang tadinya pucat menjadi agak merah.

Beng San mengangguk dan memandang dengan mata penuh perasaan. 
“Nona Cia, apa artinya perawatan sembilan hari kalau dibandingkan dengan perawatanmu selama hampir dua tahun? Kau amat mulia, kau mengorbankan….”

“Kau dalam sakit, kau kehilangan ingatan!” Li Cu cepat memotong, mukanya kini menjadi merah sekali. “Siapa lagi kalau bukan aku yang akan merawatmu? Kau pun sudah beberapa kali menyelamatkan nyawaku, sudah sepatutnya aku membalas kebaikanmu.”

Dengan keras kepala Beng San melanjutkan setelah menggeleng kepala untuk menyangkal alasan Li Cu yang lemah itu. 

“Kau mengorbankan dirimu, mengorbankan nama baik ayahmu. Dalam gilaku aku menganggap kau isteriku, menganggap kau Bi Goat. Namun… kau menerima semua itu, kau malah memaksa ayahmu membawaku kesini mengorbankan segalanya untuk aku, malah berusaha membuat tempat perlindungan yang aman untukku. Li Cu… Nona Cia… mengapa kau lakukan semua itu?”



Li Cu menunduk, menyembunyikan mukanya di belakang bantal yang diangkatnya. Suaranya terdengar lirih bertanya,



“Semua itu bohong. Kau yang kehilangan ingatan bagaimana kau bisa tahu itu semua? Bohong….”

“Aku mendengar percakapanmu dengan Beng Kui pada saat aku sadar. Kemudian aku mendengar penuturan saudara-saudara yang berada disini, dan ketika kau sakit, kau mengigau….”

Cepat bantal itu diturunkan dan sepasang mata itu memandangnya penuh pertanyaan. Wajah itu merah dan tidak tampak lagi bahwa gadis ini habis sakit kecuali tubuhnya yang agak kurus itu.



“Beng San….” terhenti kata-kata Li Cu ketika ia teringat betapa janggal panggilan ini yang begitu saja keluar dari bibirnya dengan suara mesra.

“Ya….? Kau hendak bilang apakah, Nona….?”

Makin gugup Li Cu. Biasanya, ketika belum sembuh, Beng San selalu menyebutnya “isteriku” sehingga ia sudah biasa benar dengan sebutan itu. Sekarang, orang yang telah ia anggap sebagai suaminya dalam batin itu, menyebutnya nona!





“… andaikata benar semua itu…, tapi waktu itu keadaanmu dalam lupa ingatan. Kau mau tinggal disini karena… karena kau mengira bahwa aku Bi Goat, kau mengira bahwa aku isterimu yang sudah meninggal dunia itu….” ia berhenti lagi.

“Betul, Nona. Lalu bagaimana?” Beng San bertanya tenang dan sabar,



“…. sekarang kau sudah sembuh…, kau sudah mendapatkan kembali ingatanmu… kau tahu bahwa aku bukan isterimu Bi Goat… kau tahu bahwa aku hanya seorang gadis yatim piatu sebatang kara…” 

Sampai disini ia terisak dan menutup mukanya dengan bantal. Beng San tidak berkata apa-apa hanya menanti dengan sabar.

“…. aku… aku bukan apa-apamu… tak berhak menahanmu… kau tentu akan pergi dari sini.” Tiba-tiba ia menurunkan bantalnya dan dengan mata basah ia bertanya, “Mengapa kau masih belum juga pergi dari sini? Aku bukan Bi Goat!”

Wajah Beng San tiba-tiba menjadi pucat dan matanya membayangkan kegelisahan besar. 

“Tapi… tapi kau… isteriku…”

Li Cu menggigit bibirnya, bukan main jengahnya. Ia merasa malu sekali kalau teringat akan semua perbuatannya itu. Tapi ia harus membela diri, tak mungkin ia mengaku begitu saja bahwa ia mencinta Beng San. Ia harus mencari alasan mengapa ia berbuat demikian, untuk membela diri.

“Isterimu adalah Bi Goat….”

“Tapi….. bukankah hampir dua tahun kau mengaku sebagai isteriku….?”

Li Cu membuang muka. 
“Karena kau menganggap aku Bi Goat. Aku harus merawatmu dan karenanya tiada lain jalan kecuali membiarkan kau menganggap aku isterimu Bi Goat. Sekarang kau sudah sembuh, sudah sadar dan ingat bahwa aku bukanlah isterimu Bi Goat, bahwa aku bukan apa-apamu dan kau boleh pergi meninggalkanku sekarang juga!” 

Beng San merasa tubuhnya lemas, seakan-akan dilolos semua urat-urat dari tubuhnya. Jantungnya terasa ringan kosong, perasaannya hampa. Ah, mengapa aku tidak tahu diri, pikirnya. Sudah terang bahwa Li Cu melakukan semua itu karena hanya hendak membalas budi pertolongannya karena kasihan, apalagi?



Tak mungkin gadis seperti Li Cu bisa cinta kepadanya, seorang laki-laki yang menjadi hina namanya karena urusannya dengan Kwa Hong, seorang duda yang sudah mempunyai anak. Dua malah anaknya, satu anak Kwa Hong, kedua anak Bi Goat. Mana sudi Li Cu kepadanya?

“…ah… maaf… maaf…. sungguh aku tak tahu diri….” bagaikan mimpi kedua kakinya bergerak menuju ke pintu kamar, dengan langkah limbung seperti orang mabuk arak ia keluar dari kamar itu. 

Jiwanya menjerit-jerit, musnah semua harapannya untuk dapat hidup mengenyam kebahagiaan. Hanya sekelumit harapan untuk hidup baru setelah ditinggal Bi Goat. Li Cu, Li Cu….. Jerit hatinya, tak kuat aku berpisah dari sisimu!

Ia tidak melihat betapa dari atas pembaringan Li Cu memandangnya dengan wajah pucat pula dan sepasang mata itu mengucurkan air mata yang jatuh berderai membasahi kedua pipinya.



Tak tahu ia betapa gadis itu turun perlahan-lahan dari pembaringan dan berjalan pula mengikutinya keluar dari kamar itu. Tak tahu pula betapa jiwa Li Cu menjerit-jerit minta ia kembali pula. Jeritan jiwa menggetar-getar penuh kekuatan gaib. Seakan-akan terasa oleh kedua orang muda itu. 

Dalam detik itu juga terjadilah peluapan rasa melalui bibir dan gerakan masing-masing. Pada saat itu pula Li Cu menjatuhkan diri berlutut. Berbareng pula jerit mereka keluar dari lubuk hati melalui bibir-bibir yang bergetar.

“Li Cu, tak kuat aku berpisah dari sisimu….!”

“Beng San, kembalilah Beng San….!” 

Keduanya terpaku kaget oleh suara masing-masing dan setelah pengertian mereka dapat menangkap apa yang diucapkan oleh yang lain, Beng San segera berlari maju dengan kedua lengan terbuka diterima oleh Li Cu dengan kedua lengan terbuka pula. Beng San menjatuhkan diri berlutut dan kedua orang itu saling berdekapan sambil berlutut, tak kuasa mengeluarkan suara kecuali isak dan sedu.

Sunyi senyap saat itu, sunyi yang membahagiakan hati masing-masing yang merasa seakan-akan baru saja mereka mendapatkan kembali semangat mereka yang hampir hilang. Sampai lama mereka berpelukan tanpa mengeluarkan suara. Akhirnya terdengar Li Cu berkata tanpa mengangkat mukanya yang bersembunyi di dada Beng San.

“Tapi… kau hanya mencinta Bi Goat…”

“Itu dahulu, Li Cu. Setelah ia meninggal… kaulah orang yang menggantikannya… lebih daripada itu malah… kau mulia, setia, penuh pengorbanan. Ah… alangkah mulianya engkau… aku cinta kepadamu, Li Cu dan aku tidak kuat untuk berpisah dari sisimu.”

“Beng San….” Li Cu menangis penuh kebahagiaan dan keharuan.

“Li Cu… cintakah kau kepadaku? Dan bersediakah kau menjadi isteriku?”

“Masih perlukah kau bertanya, Beng San? Di waktu kau sakit dan hilang ingatan, aku sudah suka menjadi isterimu walaupun hanya sebutan belaka. Apalagi sekarang setelah engkau sembuh. Tentang cinta… belum pernah selama hidupku aku mencinta orang seperti cintaku kepadamu.”

“Li Cu, dewiku sayang….”

Hening lagi sejenak dan keduanya terbenam dalam lautan madu, mabok oleh kemesraan asmara yang bergelora dalam hati masing-masing.

“Beng San, orang bilang kau mata keranjang. Betulkah?”

Beng San tersenyum ditahan. 
“Memang aku mata keranjang. Akan tetapi, bidadari dari kahyangan sekalipun belum tentu dapat menggerakkan hatiku. Hanya engkaulah yang membuat aku lupa segala, melihat engkau aku jadi mata keranjang! Ah, andaikata ada seribu engkau, aku akan sanggup untuk mencinta semua!”

“Ah, kau memang mata keranjang!” tegur Li Cu manja.

“Bertemu dengan seorang dewi seperti engkau, Li Cu, siapa orangnya takkan mencinta? Siapa orangnya takkan jatuh hati? Kau cantik jelita melebihi bidadari kahyangan, kau setia dan gagah perkasa, pendekar wanita sejati, kau berbudi mulia seperti Kwan Im, kau dewi pujaan hatiku, cinta kasihmu suci murni semoga
aku dapat mengimbanginya….” Beng San merayu.

“Iihh, kau selain mata keranjang juga…. ceriwis!”


********






Next>>

Postingan populer dari blog ini

RAJA PEDANG (BAGIAN PERTAMA SERIAL RAJA PEDANG)

RAJAWALI EMAS (BAGIAN KE-2 SERIAL RAJA PEDANG)

JAKA LOLA (BAGIAN KE-4 SERIAL RAJA PEDANG)