RAJAWALI EMAS JILID 061

Hati Kun Hong penuh kedukaan dan kemarahan. Sama sekali diluar dugaannya bahwa ayah bundanya, juga para tosu Hoa-san-pai yang setiap hari belajar tentang kebajikan, sekarang berubah menjadi pembunuh-pembunuh yang amat kejam menurut pendapatnya. Puluhan orang manusia dibunuh dipuncak Hoa-san.

“Aku tidak mau melihat mereka lagi, aku tidak sudi lagi kembali ke Hoa-san-pai!” demikian hatinya menjerit penuh kengerian ketika terbayang di depan matanya mayat-mayat manusia menggeletak tumpang-tindih itu. 

Celaka, pikirnya, ibunya dan semua tosu Hoa-san-pai tentu akan ditangkap dan dimasukkan penjara!

Biarpun ia tidak pernah belajar ilmu silat, namun Kun Hong memang pada dasarnya memiliki tubuh yang sehat kuat dan berkat kemauannya yang luar biasa kokoh kuatnya, ia tidak merasakan kelelahan kedua kakinya. Ia berlari terus menuruni puncak. Maksudnya hendak mencari dusun terdekat untuk menemui kepala dusun dan melaporkan tentang pertempuran di puncak itu, Biarlah yang berwajib yang mengurusnya, tapi ia tidak akan kembali kesana, pikirnya.

Tiba-tiba ia melihat orang berjalan terhuyung-huyung, mengeluh lalu roboh tak jauh dari tempat ia berdiri. Cepat Kun Hong lari menghampiri dan kagetlah ia ketika melihat bahwa orang itu bukah lain adalah Toat-beng Yok-mo, kakek bongkok yang tadi ia lihat mengamuk di Puncak Hoa-san.



Hatinya memang penuh welas asih, melihat kakek itu luka-luka di pundak dan lambung, mengucurkan darah, ia segera berlutut dan bertanya, 

“Toat-beng Yok-mo, kau kenapakah?” 

Kakek itu mengeluh dan membuka matanya, kelihatan kesakitan sekali. Ketika ia melihat Kun Hong, sekejap ia kelihatan kaget, akan tetapi kemudian terheran-heran.

“Lekas… tolong kau ambilkan bumbung (tabung bambu) dalam buntalanku di punggung ini… lekas… dan hati-hati, jangan menyentuh tanganku….” katanya dengan suara terengah-engah.

Kun Hong melihat kearah kedua tangan kakek itu dan bergidik ngeri. Kedua tangan kakek itu telah hitam seperti hangus terbakar dan teringatlah ia akan racun hebat yang mengakibatkan kematian tosu Hoa-san-pai dan kemudian karena dipegang oleh Bu Tosu mengakibatkan hal yang amat mengerikan.



Ingin Kun Hong lari pergi menjauhi kakek yang seperti iblis ini, akan tetapi melihat orang tua itu terluka dan berada dalam keadaan payah sekali, hatinya tidak tega. Ia lalu menurunkan bungkusan dari punggung kakek itu dan membukanya. Diantara bungkusan-bungkusan obat dan pakaian, ia mengambil sebatang bambu besar dan pendek yang disumbat kayu dan tabung itu diberi lubang untuk hawa, seperti tempat jengkerik akan tetapi tabung itu besar.

“Inikah bumbung itu?” tanyanya.

“Betul, buka sumbatnya dan keluarkan isinya. Hati-hati, katak putih hijau ini jangan sampai terlepas. Kau peganglah erat-erat!” 

Toat-beng Yok-mo berkata tergesa-gesa dan sinar kegembiraan terpancar keluar dari sepasang matanya yang tadi sayu dan penuh kegelisahan

“Katak?” 

Kun Hong terheran-heran sambil membuka sumbatnya dan tiba-tiba seekor katak yang besar dan berkulit seperti salju meloncat keluar dari tabung itu.

“Wah, terlepas….!” kata Kun Hong.

“Goblok kau! Celaka…, lekas tangkap jangan sampai hilang. Kalau dia hilang aku mati….!” 

Mendengar ucapan ini Kun Hong menjadi pucat, lalu ia mengejar katak itu sampai jatuh bangun. Ini urusan nyawa orang, pikirnya. Katak itu tidak begitu cepat gerakannya, akan tetapi selambat-lambatnya katak, pandai melompat sehingga tiap kali Kun Hong menubruk, katak itu melompat membuat pemuda itu terpaksa mengejar lagi dan menubruk lagi sampai jatuh bangun dan pakaiannya kotor semua. 





Akan tetapi akhirnya dapat juga ia menangkap katak itu. Biarpun pakaiannya kotor semua dan kedua lengannya babak-belur tertusuk duri, namun Kun Hong girang sekali karena dapat menangkap kembali katak itu yang segera dibawanya lari kepada Toat-beng Yok-mo.

“Sudah dapat kutangkap kembali, Yok-mo,” katanya girang.



Keadaan Toat-beng Yok-mo makin payah, napasnya terengah-engah. 
“Lekas… dekatkan mulutku katak itu….” 

Kedua tangan yang hangus itu dapat digerakkan lagi. Kun Hong mendekatkan katak itu ke mulut Yok-mo dengan heran karena tidak tahu apa yang dimaksudkan, akan tetapi alangkah herannya ketika ia melihat kakek itu membuka mulut dan… menggigit kaki belakang katak itu sampai mengucurkan darah yang lalu dihisap!

“Eh…, eh, kau makan katak hidup ini?” teriaknya heran dan mencoba untuk menarik katak itu. 

Akan tetapi tiba-tiba kaki Yok-mo bergerak menendang dan tubuh Kun Hong mencelat jauh. Pemuda ini merayap bangun dan bersungut-sungut.

“Kau memang jahat! Katak tidak berdosa kau gigit dan kau menendangku!” 

Akan tetapi ia melihat keanehan setelah kakek itu minum darah katak. Kedua tangannya yang tadinya hangus itu cepat sekali pulih kembali dan lenyaplah warna hitam tadi. Tak lama kemudian kakek itu mengambil katak dari mulutnya, memasukkannya kembali ke dalam tabung dan… tertidurlah kakek itu mengorok enak sekali!

Kun Hong adalah seorang yang cerdik. Melihat ini tahulah ia bahwa darah katak itu adalah obat yang amat mujarab bagi racun hitam. Ia ingin sekali bertanya karena merasa tertarik bukan main. Akan tetapi karena kakek itu tertidur nyenyak, ia tidak mau mengganggunya dan perhatiannya segera tertarik oleh tiga jilid kitab yang terletak di dalam bungkusan kakek itu yang masih terbuka.

Segera ia mendekati lalu mengambil buku-buku itu. Ternyata adalah kitab-kitab pengobatan. Kitab pertama berjudul “SELAKSA MACAM OBAT”, kitab kedua berjudul “SELAKSA MACAM CARA PENGOBATAN” dan yang ketiga berjudul “RAHASIA PEREDARAN DARAH DALAM TUBUH” 

Kun Hong adalah seorang kutu buku. Melihat kitab, sama dengan seorang kelaparan melihat roti. Dengan lahapnya ia lalu membuka kitab-kitab itu dan membacanya. Yang dibukanya adalah kitab rahasia tentang peredaran darah dalam tubuh.




Biarpun pusing kepalanya membaca huruf-huruf kuno dengan gambar tentang perjalanan darah disertai ribuan macam istilah yang asing baginya namun karena nafsunya membaca amat luar biasa, ia memaksa diri membaca terus.

Setengah hari Yok-mo tidur nyenyak dan setengah hari pula Kun Hong membaca kitab itu. Sekarang ia mengerti bahwa peredaran darah erat sekali hubungannya dengan pernapasan dan bahwa pernapasan menjadi sumber dari tenaga dalam di tubuh manusia.



Asyik sekali Kun Hong membaca dan mulai banyaklah hal-hal menarik dalam kitab itu terutama yang mengenai pengertian tentang keadaan tubuh yang berhubungan dengan cara pengobatan.

“Aduh… keparat…. pundak dan lambungku panas sekali….” 

Tiba-tiba suara ini membangunkannya dari alam mimpi yang amat menarik hati. Akan tetapi ia segera mengerti bahwa yang mengeluh itu adalah Toat-beng Yok-mo, maka ia tidak mempedulikan dan melanjutkan bacaannya.

“Uh… uhh… sakit dan panas… heee! Jangan baca kitab-kitabku!”

Kun Hong menutup buku itu dan meletakkannya dalam bungkusan, lalu menoleh. Kakek itu masih rebah telentang nampak lemah dan kesakitan. Ia cepat menghampiri.

“Bagaimana, Yok-mo? Sudah sembuhkah tanganmu?”

Tiba-tiba tangan kakek itu bergerak dan tahu-tahu pergelangan tangan Kun Hong sudah dicengkeram erat-erat. Pemuda ini merasa tangannya kesakitan, mencoba untuk melepaskan cengkeraman itu namun tak berhasil.

“Eh, kau ini ada apakah? Lepaskan tanganku!”

“Tak boleh kau membaca kitab-kitab-ku!”

“Baca saja apa salahnya, sih? Kalau kau tidak membolehkannya, akupun tidak memaksa. Hemm, tanganmu panas sekali, lepaskan aku.”

Yok-mo melepaskan pegangannya, mengeluh lagi dan berkata dengan napas sesak, 
“Luka-lukaku… mengakibatkan demam panas… lekas kau carikan daun pohon sari darah, akar buah ular dan cacing hitam….”

Kun Hong menjadi bingung. 
“Kemana aku mencari? Dan yang bagaimanakah macamnya daun dan akar serta cacing yang kau sebutkan itu?”

“Ah… benar juga… kau mana tahu? Celaka…, selain demam akupun… banyak kehilangan darah… ah, kau tolonglah aku, orang muda….”



Kun Hong merasa kasihan sekali. Ia meraba jidat kakek itu dan ternyata panas sekali. 
“Ah, Yok-mo, aku benar-benar ingin sekali menolongmu. Akan tetapi bagaimana caranya? Mencarikan obat-obat yang kau sebutkan tadi aku tentu mau, akan tetapi aku tidak tahu…”

“Tak usah mencari… kau antarkan saja aku… ke tempat tinggalku… disana terdapat segala obat yang kubutuhkan….”

“Mengantar kau kembali ke tempat tinggalmu? Tentu, boleh saja. Mari kuantar kau….” jawab Kun Hong cepat. 

Tentu saja pemuda yang berwatak jujur ini tidak tahu akan maksud kakek itu sebenarnya. Toat-beng Yok-mo maklum bahwa dalam keadaan terluka seperti sekarang ini, kalau sampai ia bertemu dengan musuh-musuhnya, dalam hal ini orang-orang Hoa-san-pai, tentu ia akan celaka dan tidak dapat melakukan perlawanan. Dengan membawa Kun Hong di dekatnya, ia dapat rnempergunakan pemuda ini sebagai jaminan untuk keselamatannya!

“Kau baik sekali… uhhh… uhhh….” Ia mencoba berdiri akan tetapi merasa pusing dan terguling kembali.

“Bagaimana? Apakah kau tidak bisa jalan….?” tanya Kun Hong kuatir dan penuh perasaan iba.

Sebagai seorang cerdik yang sudah banyak pengalaman, Toat-beng Yok-mo sudah dapat menyelami watak Kun Hong, maka kembali ia sengaja mengeluh dan mengaduh untuk memperdalam perasaan iba di hati pemuda itu. Kemudian dengan suara bisik-bisik seperti orang yang amat payah keadaannya ia berkata,

“Aku… aku tidak bisa jalan… berdiripun tidak kuat… ah, anak yang baik… kalau kau kasihan kepada aku orang tua… kau gendonglah aku….”

Kun Hong benar-benar sudah tergerak hatinya dan merasa amat kasihan kepada kakek itu. 

“Baiklah, Yok-mo, kau akan kugendong.” 

Ia lalu membungkus kembali bawaan kakek itu, mengikatnya di punggung Toat-beng Yok-mo, setelah itu lalu menggendong kakek ini di punggungnya sendiri dan berjalan ke arah yang ditunjuk oleh Toat-beng Yok-mo!







Next>>

Postingan populer dari blog ini

RAJA PEDANG (BAGIAN PERTAMA SERIAL RAJA PEDANG)

RAJAWALI EMAS (BAGIAN KE-2 SERIAL RAJA PEDANG)

JAKA LOLA (BAGIAN KE-4 SERIAL RAJA PEDANG)