RAJAWALI EMAS JILID 063

Burung itupun mulai menjadi marah sekali. Apalagi ketika ia melihat Kun Hong datang berlari-lari, dianggapnya bahwa tentu ia akan dikeroyok. Ia memekik keras dan menerjang Yok-mo dengan serbuan yang dahsyat sekali. 

Yok-mo juga kaget, tak menduga bahwa burung itu dapat melakukan serangan demikian hebatnya. Dalam kegugupannya melihat sepasang sayap berikut sepasang cakar dan sebuah paruh yang kuat dan runcing itu sekaligus menyerangnya, Yok-mo memutar tongkatnya, melindungi diri. Namun secara aneh sekali cakar kiri burung itu dapat menyelinap diantara gulungan sinar tongkatnya dan mencengkeram ke arah muka Yok-mo.

“Mati aku….!” 

Yok-mo berteriak kaget dan ia menjadi nekat. Ia menarik tongkatnya itu lalu ia tusukkan ke arah kaki berkuku runcing mengerikan yang hendak mencengkeram mukanya. Tepat sekali ujung tongkatnya menusuk telapak kaki burung itu, akan tetapi pada saat itu sayap kanan burung itu menghantam kepala dan pundaknya.

“Blukkk!” 

Tubuh Toat-beng Yok-mo terlempar jauh dan kakek ini roboh pingsan. Bukan main hebatnya hantaman sayap tadi yang akan dapat menghancurkan kepala seekor harimau. Burung itu menjerit-jerit kesakitan dan anehnya, kaki kirinya menjadi putih sekali seperti kaki mati. Dalam kesakitan itu ia menjadi makin marah dan segera ia melompat ke arah tubuh Yok-mo.

“Hee… jangan… dia sudah kalah, jangan kau serang lagi!” 

Kun Hong berteriak mencegah sambil menghadang diantara Yok-mo dan burung itu. Kebetulan sekali tadi tubuh Yok-mo terlempar ke arahnya sehingga ia dapat mendahului burung itu dan menghadang di tengah jalan sambil mengacungkan tabung bambu untuk menakuti.

Akan tetapi burung itu mana takut terhadap Kun Hong? Ia memekik keras dan menerjang. Sebelum Kun Hong tahu apa yang terjadi, ia merasa tubuhnya melayang ke atas dan kiranya baju di punggungnya telah dicengkeram oleh kaki-kanan burung itu dan dibawa terbang tinggi!

Dulu, di waktu ia dikerek oleh Li Eng keatas sebatang pohon tinggi, ia sudah ketakutan sekali, sekarang ia dibawa terbang jauh lebih tinggi lagi diatas pohon-pohon yang paling tinggi, bagaimana ia tidak akan ketakutan setengah mati? Melihat pohon-pohon di bawahnya makin lama makin kecil, Kun Hong berteriak-teriak.

“Heee… lepaskan aku… eh, jangan lepas jangan lepas! Kau… turunkanlah aku, burung yang baik….”



Akan tetapi jawaban burung itu hanya memekik-mekik marah dan kesakitan. Mendengar ini, Kun Hong teringat bahwa burung itu terluka kaki kirinya. Ia memandang dan melihat betapa kaki kiri burung itu berubah putih semua, seputih kukunya. Ia teringat akan tabung yang masih dipegangnya. Cepat ia membuka sumbat tabung itu dan berkata,



“Kau terluka tongkat Yok-mo, lekas kau minumlah sedikit darah katak putih di dalam tabung ini….”

Baru saja ia berkata demikian, ia melihat bayangan putih melompat keluar dari dalam tabung. Kun Hong kaget sekali sampai tabung kosong itu terlepas dari tangannya.

“Celaka… ia terlepas lagi…”

Akan tetapi burung itu segera berbunyi nyaring dan tubuhnya menyambar ke depan sampai Kun Hong merasa matanya berkunang karena tubuhnya sendiripun terbawa melayang cepat ke depan. 

Dengan paruhnya yang runcing dan terbuka lebar, burung itu mematuk katak yang melompat keluar dari dalam tabung tadi, kemudian langsung menelannya sehingga binatang kecil itu lenyap ke dalam perutnya!



Kembali ia melengking girang sampai berkali-kali dan tiba-tiba ia melepaskan cengkeramannya pada baju Kun Hong. Tentu saja setelah dilepaskan, tubuh pemuda ini melayang ke bawah dengan kecepatan yang membuat ia merasa makin ketakutan.

“Waah….!” teriaknya ketika makin lama makin cepatlah tubuhnya meluncur ke bawah, disambut pohon-pohon yang makin membesar dan kelihatan mengerikan sekali.





Tiba-tiba Kun Hong yang sudah setengah pingsan itu merasa tubuhnya terapung lagi ke atas, tertahan luncurannya ke bawah tadi. Kiranya burung itu sudah menangkapnya lagi dan mencengkeram bajunya dengan tepat. Kemudian perlahan-lahan burung itu melayang turun dan sesampainya diatas tanah ia melepaskan Kun Hong.

Kun Hong yang tadinya sudah ketakutan dan tidak mengharapkan akan dapat hidup lagi, serta merta memeluk burung itu.



“Kim-tiauw-heng (Kakak Rajawali Emas) yang baik, kau telah menolong nyawaku. Terima kasih!” Ia menjura ke depan burung itu seakan-akan ia berhadapan dengan seorang manusia!

Aneh sekali, burung itu mengeluarkan bunyi mencicit dan… segera berlutut dan mendekam di depan Kun Hong. Ketika pemuda ini dengan terheran-heran melihat dengan teliti, ternyata bahwa kaki kiri burung itu sudah pulih menjadi merah seperti sediakala. Ia menengok kekanan kiri mencari-cari, akan tetapi ternyata Toat-beng Yok-mo sudah lenyap bersama tongkat dan buntalan pakaiannya.

“Dia sudah dapat berjalan sendiri, kenapa selama ini menipu?” 

Gemas juga kalau ia teringat betapa setiap hari ia harus menggendong kakek itu yang sebetulnya malah lebih kuat dari padanya.

“Kim-tiauw-heng, kau datang dari manakah? Aku suka sekali kepadamu, kau baik dan mengenal budi orang, tidak seperti Toat-beng Yok-mo yang hati dan pikirannya penuh terisi kehendak jahat. Kim-tiauw-heng, kau tentu milik seorang gagah, siapakah pemilikmu dan dimana tempat tinggalmu?”



Burung itu mengeluarkan bunyi mencicit lagi, kemudian ia maju mendekati Kun Hong, dengan lehernya yang berbulu halus dan hangat itu ia membelai leher Kun Hong, kemudian ia berlutut dan menyelinapkan kepalanya di bawah kedua kaki pemuda itu dari belakang, Dengan begini Kun Hong duduk di atas punggungnya, lalu burung itu menggerakkan kedua sayapnya membawa Kun Hong terbang lagi!

“Heee… bagaimana ini…. aduh, aku bisa jatuh….!” 

Kun Hong panik lagi dan ketakutan. Akan tetapi karena burung itu terbang perlahan dan tubuhnya sama sekali tidak bergoyang, Kun Hong akhirnya dapat duduk dengan enak dan ia mulai menyesuaikan malah ia segera berpegang kepada kalung yang melingkari leher burung itu. 

Makin lama burung itu terbang makin tinggi, berputaran diatas hutan itu dan makin memuncak pula ketakutan Kun Hong. Akan tetapi segera ia tertarik oleh pemandangan di bawah dan tak terasa lagi mulutnya berseru kegirangan.

“Aduh… bagus sekali, alangkah indahnya pemandangan alam di bawah itu. Hee, hati-hati Kim-tiauw-heng, jangan sampai aku jatuh!”



Demikianlah, diantara rasa takut dan rasa girang dan kagum melihat keindahan pemandangan di bawah. Kun Hong tak berdaya membiarkan dirinya dibawa terbang oleh burung rajawali emas yang aneh itu.

Mudah saja menduga burung apakah yang telah membawa terbang Kun Hong itu. Memang dugaan Toat-beng Yok-mo tidak keliru bahwa di dunia ini tidak ada dicari keduanya burung seperti itu. Burung itu bukan lain adalah burung rajawali emas sakti, yang pernah kita kenal sebagai burung tunggangan Kwa Hong, juga burung yang secara tidak langsung menjadi guru dari Kwa Hong.

Seperti telah kita ketahui bahwa tujuh belas tahun yang lalu ketika Kwa Hong untuk penghabisan kali mendatangi Hoa-san-pai dan hendak membunuh Thio Ki, dia bertemu muka dengan ayahnya, Kwa Tin Siong sehingga hampir saja ia tewas karena membiarkan dirinya diserang oleh ayahnya yang marah itu. 

Burung rajawali emas menolongnya dan membawanya pergi, kembali ke tempat ia semula tinggal, yaitu di puncak Pegunungan Lu-liang-san. Semenjak itu, ia tidak berani lagi memperlihatkan mukanya di dunia ramai. Ketika ia pergi ke Hoa-san itu, iapun meninggalkan puteranya yang baru berusia setahun itu dalam asuhan seorang inang pengasuh yang ia dapatkan dari penduduk di kaki Gunung Lu-liang-san. Semenjak saat itu, Kwa Hong berdiam di Lu-liang-san, jauh dari keramaian dunia dan agaknya sudah tidak mau mengurus lagi persoalan duniawi.

Seluruh perhatiannya ia tumpahkan kepada puteranya yang ia beri nama Sin Lee. Betapapun juga, wanita ini belum juga dapat melupakan cinta kasih terhadap Beng San berikut perasaan iri hati dan cemburu terhadap wanita yang telah berhasil menjadi isteri kekasihnya itu. 

Oleh karena ini pula ia tekun mendidik puteranya itu yang semenjak kecil sudah ia latih dengan ilmu silat sehingga semenjak kecilnya Sin Lee menjadi seorang anak laki-laki yang bertubuh kuat dan bertenaga besar.

Sudah menjadi sifat pembawaan bahwa anak laki-laki lebih nakal daripada anak-anak perempuan karena anak laki-laki pada umumnya lebih bandel dan lebih berani. Kenakalan anak laki-laki dapat dikendalikan oleh perhatian orang tuanya yang mendidik dan menuntun agar kebandelan dan keberanian ini menjurus kepada kebenaran. 

Akan tetapi Kwa Hong yang seorang diri tanpa suami mendidik anaknya, hanya mencurahkan perhatian kepada ilmu silat saja, malah terlalu memanjakan puteranya. Hal inilah kiranya yang menjadi sebab sehingga Sin Lee menjadi seorang anak yang luar biasa nakalnya, luar biasa berani dan nekatnya. 

Tidak ada orang di dunia ini yang ditakutinya, dan satu-satunya orang yang kiranya akan ia takuti, yaitu ibunya, terlalu menyayangnya sehingga ia menjadi seorang anak yang tak kenal takut lagi.

Anak yang masih kecil ini kalau tidak bermain-main dengan burung rajawali emas, tentu pergi jauh ke bawah gunung dan bermain-main dengan anak-anak penduduk disitu. Dan sebentar saja semua anak takut kepadanya karena siapa yang tidak mau menuruti kehendaknya tentu dipukulnya. 

Bahkan setelah ia berusia sepuluh tahun, tak seorangpun laki-laki dewasa berani menentangnya. Kalau ada yang menentang, biar orang tua akan ia pukul. Mula-mula, ketika ia masih belum kuat benar, orang-orang itu takut mengganggunya karena takut kepada Toanio (Nyonya besar) yang tinggal di puncak. Setelah Sin Lee menjadi seorang anak yang benar-benar memiliki kepandaian silat yang hebat, orang-orang takut kepadanya karena memang takut dipukuli oleh anak yang luar biasa itu.

Sudah terlalu sering Sin Lee membuat gara-gara. Kalau tidak memukul orang tentu menyerang kampung lain yang belum dikenalnya, memaksa orang-orang kampung itu mengakui dia sebagai “jagoan cllik” yang tak terkalahkan! 

Pada suatu hari ia malah membikin ribut di sebuah kelenteng yang berada di kaki gunung sebelah timur. Kelenteng tua, ini hanya ditinggal oleh lima orang hwesio dan menjadi tempat sembahyang para penduduk kampung di sekitar kaki Gunung Lu-liang-san. 

Lima orang hwesio ini hidup dengan aman dan tenteram, setiap hari bekerja di ladang menanam sayur-sayuran untuk bahan makan mereka dan melayani setiap keperluan bersembahyang dari penduduk. Karena tidak ada pekerjaan lain, maka tanaman sayuran mereka terpelihara baik dan ladang sayuran hwesio-hwesio itu terkenal sebagai ladang sayuran yang paling subur dah menghasilkan sayur-sayuran pilihan.

Pada suatu hati yang cerah, seorang hwesio tinggi besar tengah bekerja di ladang sayur itu dengan wajah berseru gembira. Betapa tidak? Ladang itu ditumbuhi sayur bermacam-macam yang amat subur, juga buah labu yang sudah dekat masanya dipetik, besar-besar dan gemuk-gemuk menyenangkan. Hwesio itu bekerja mencabuti rumput liar yang mengganggu kesuburan tanaman.

Tiba-tiba serombongan anak-anak antara berusia sepuluh sampai tiga belas tahun, semua laki-laki, muncul dari lereng gunung. Jumlah mereka ada lima belas orang dan kelihatannya nakal-nakal. Setelah dekat dengan ladang itu, terdengar mereka berteriak-teriak, 

“Lo-suhu, minta labunya!” 

“Lo-suhu, berilah kami seorang satu!” 

Simpang siur anak-anak itu berteriak-teriak sambil tertawa-tawa. Hwesio tinggi besar itu bangkit berdiri menoleh dan dengan muka sabar ia tersenyum lalu menjawab,

“Belum waktunya, anak-anak. Labu-labu ini belum waktunya dipetik. Nanti apabila pinceng panen labu, tentu selebihnya pinceng bagi-bagikan kepada orang tua kalian, sudahlah, main-main kesana, jangan mengganggu pinceng sedang bekerja.”

Seperti telah diatur sebelumnya, anak-anak itu segera berteriak-teriak,
“Hwesio pelit!”

“Hwesio medit, kikir!”

Hwesio itu diam saja, tidak ambil peduli dan bekerja lagi mencabuti rumput-rumput liar. Anak-anak itu makin berani, malah ada yang memaki-makinya.

“Kalau malam babi-babi hutan mengambil labu kau diam saja, tapi kalau kami yang minta tidak diberi. Dasar hwesio busuk!” terdengar suara seorang anak.







Next>>

Postingan populer dari blog ini

RAJA PEDANG (BAGIAN PERTAMA SERIAL RAJA PEDANG)

RAJAWALI EMAS (BAGIAN KE-2 SERIAL RAJA PEDANG)

JAKA LOLA (BAGIAN KE-4 SERIAL RAJA PEDANG)