RAJAWALI EMAS JILID 067

Bukan main girangnya hati Kun Hong dan mulai saat itu ia selalu berlatih bersama burung rajawali emas. Orang yang menamakan dirinya Bu Beng Cu dan yang menyalin ilmu silat itu, sebenarnya adalah seorang sakti yang menyembunyikan dirinya di tempat ini karena merasa menyesal sekali akan pembunuhan-pembunuhan terhadap orang-orang jahat yang banyak ia lakukan. 

Bu Beng Cu ini telah mewarisi sebagian dari ilmu silat yang terdapat dalam kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng. Setelah tua dan menyesali perbuatannya, Bu Beng Cu membawa burung peliharaannya ke puncak Gunung Kepala Naga ini, menyembunyikan diri dan menuliskan sari dan pokok dari semua ilmu yang ia punyai. Kemudian ia meninggal dunia di tempat itu, hanya ditemani burungnya yang setia.

Tentu saja setelah majikannya meninggal, burung itu merasa kesepian dan akhirnya ia terbang dari tempat itu sampai ia berjumpa dengan Kwa Hong dan dipelihara oleh Kwa Hong. Betapapun juga, burung ini mempunyai perasaan atau naluri yang tajam. Agaknya ia maklum bahwa Kwa Hong dan kemudian puteranya Sin Lee, bukanlah orang yang memiliki budi luhur maka tidak ia bawa mengunjungi gua di puncak Gunung Kepala Naga itu. 

Baru setelah ia bertemu dengan Kun Hong, segera perasaan atau nalurinya menyatakan kepadanya bahwa pemuda inilah yang paling tepat untuk dihadapkan kepada peninggalan majikan tuanya.

Waktu satu setengah tahun bukanlah waktu lama untuk orang yang belajar. Akan tetapi, satu setengah tahun didalam gua di puncak gunung yang tak pernah dikunjungi manusia, benar-benar membuat Kun Hong berubah menjadi manusia lain! Tidak saja dalam ilmu langkah ajaib itu ia sudah hafal benar sehingga dalam latihan-latihannya, burung rajawali itu betapapun menyerangnya dengan hebat tak pernah dapat menyentuh ujung bajunya, akan tetapi juga dalam pengertiannya tentang pengobatan, membuat ia seakan-akan terbuka mata batinnya akan diri manusia. 

Dari pelajaran ini ia seakan-akan lebih mengenal dirinya sendiri, lebih mengenal manusia pada umumnya, tidak hanya lahiriah, akan tetapi mendalam sampai ke jalan darahnya, sampai kepada alat-alat terkecil dalam tubuh. 

Semua pengertian baru ini ia gabungkan dengan pelajaran yang banyak ia dapatkan dahulu tentang kebatinan, tentang kehidupan, sehingga pemuda yang baru berusia dua puluh tahun ini sekarang memiliki pandangan yang amat tajam tentang diri manusia.

Setelah ia hafal benar akan isi kitab Kim-tiauw-kun, barulah Kun Hong berani menghampiri pintu kamar kedua di dalam gua itu. Seperti pintu pertama, pintu kedua inipun terbuat dari batu yang tebal dan berat. 

Akan tetapi, alangkah jauh bedanya dengan satu setengah tahun yang lalu, dengan sekali dorong saja Kun Hong dapat membuka daun pintu yang tebal itu! Sama sekali ia tidak menjadi girang atau bangga dengan hal ini, karena sesungguhnya ia sudah tidak ingat lagi betapa dahulu tanpa bantuan rajawali emas, tak mungkin ia dapat membuka pintu ini. 

Semua ini adalah hasil dari latihannya dalam samadhi dan pernapasan, sesuai dengan petunjuk dalam kitab Kim-tiauw-kun itu. Tenaga dalamnya telah bangkit dan bergerak tanpa ia sadari. Hawa sakti dalam tubuh telah ada dalam diri tiap manusia, hanya saja hawa ini seakan-akan tertidur karena semenjak kecil sampai mati tua, sebagian besar manusia di dunia ini kerjanya hanya mengumbar hawa nafsunya belaka.

Kun Hong yang sudah mengangkat sebelah kaki untuk melangkah memasuki kamar kedua itu, tiba-tiba menahan kakinya karena mendengar burung rajawali yang berdiri di belakangnya mengeluarkan suara aneh sekali. Seakan-akan burung itu bersusah hati dan menangis. Ketika ia menengok ke belakang, burung itu menggeleng-gelengkan kepala beberapa kali lalu mencoba untuk menggigit baju Kun Hong dan menariknya mundur.

“Jangan Tiauw-ko. Bagaimanapun juga aku harus memasuki kamar ini, sesuai dengan petunjuk Locianpwe bahwa kalau aku hafal akan isi kitab, aku boleh masuk dan mengambil pedang. Bukan sekali-kali karena aku ingin sekali memiliki pedang, ah, bukan, Tiauw-ko. Bagiku, sebatang pedang apa artinya? Untuk apa pula? Hanya karena Locianpwe sudah memesan, mana aku berani membangkang?”

Setelah berkata demikian dan menghindarkan diri dari gigitan patuk burung itu, dengan tabah Kun Hong melangkah memasuki kamar yang agak gelap itu. Begitu masuk ia tertegun dan memandang dengan mata terbelalak ke depan.

Di ujung kamar itu terdapat sebuah kursi batu dan diatas kursi batu ini duduk sebuah… kerangka manusia! Tengkorak manusia ini masih utuh dan sepasang lubang bekas mata itu seakan-akan sedang memandang kepadanya. Tangan kanan kerangka ini mencengkeram sebatang pedang yang bersinar kemerahan.

Dari kaget Kun Hong berbalik menjadi terharu. Inikah kiranya Bu Beng Cu, gurunya yang meninggalkan kitab itu? Tanpa ragu-ragu lagi Kun Hong melangkah maju lagi dan menjatuhkan dirinya berlutut di depan kerangka itu.





“Locianpwe, alangkah buruknya nasibmu, sampai meninggalpun tidak ada yang menguburmu….”

Ia terpaksa menghentikan kata-katanya karena tiba-tiba lantai yang diinjaknya bergoyang-goyang keras. Cepat ia meloncat bangun dan tiba-tiba dari sebelah kanannya menyambar anak panah! 

Kun Hong cepat menggeser kakinya, menarik tubuh untuk menghindarkan diri dari ancaman maut itu. Akan tetapi terdengar lagi suara “ser-ser-ser!” dan banyak anak panah menyambarnya dari empat jurusan, sementara itu lantai masih bergoyang-goyang.

Kun Hong maklum bahwa keadaannya berbahaya sekali. Ia memusatkan pikiran dan kedua kakinya cepat bergerak-gerak dalam langkah ajaib, tubuhnya bergerak-gerak dalam Ilmu Silat Kim-tiauw-kun. Sedikitnya ada lima puluh batang anak panah yang terus-menerus menyambar, akan tetapi setelah pemuda ini melakukan gerak langkah ajaib, semua penyerangan itu sama sekali tidak menyentuhnya. Setelah anak panah habis menyambar, lantai berhenti sendiri dan yang terlihat hanyalah puluhan batang anak panah berserakan di atas lantai.

Kun Hong tidak mengerti apa maksudnya penyerangan itu, siapa yang menyerang dan mengapa lantai bergoyang-goyang, Akan tetapi karena ia memasuki kamar ini atas pesan Locianpwe untuk mengambil pedang, ia melangkah maju terus dengan hati-hati sekali. 

Dengan halus ia menarik pedang itu dari dalam tangan kerangka itu, akan tetapi alangkah kagetnya ketika tiba-tiba kerangka yang tadinya duduk itu menjadi runtuh dan terlepaslah tulang-tulang rangka itu berjatuhan keatas lantai pula. Tengkoraknya menggelinding sampai ke tengah kamar. Diantara tulang-tulang ini, melayang sehelai kain kuning yang ternyata ada tulisannya begini:

KALAU KAU TERLUKA ATAU MATI. TIDAK PATUT MENJADI PEWARIS KIM-TIAUW-KUN.



Setelah membawa tulisan itu, tersenyumlah Kun Hong. Kiranya semua itu merupakan ujian baginya. Locianpwe Bu Beng Cu yang aneh dan sakti ini telah mengatur sebelum tiba ajalnya, membuat semua alat rahasia itu agar setelah ia mati, ia masih dapat menguji calon muridnya, baik menguji pribudinya seperti yang terdapat dibawah meja sembahyang, juga menguji kepandaiannya setelah mempelajari ilmu silat itu. 

Benar-benar seorang manusia hebat. Pantas saja burung rajawali tadi seakan-akan hendak mencegahnya memasuki kamar, agaknya burung itu sudah tahu akan bahaya ujian ini dan hendak mencegahnya memasuki kamar itu.



Sebagai seorang yang memiliki pribudi luhur, tidak tegalah hati Kun Hong melihat kerangka orang sakti itu berserakan didalam kamar. Ia lalu mengumpulkan kerangka itu dan dengan khidmat dibawanya kerangka itu keluar, lalu digalinya lubang di ruangan depan menggunakan pedang itu lalu dikuburnya kerangka tadi. Selama ia melakukan semua ini, burung rajawali emas mengeluarkan suara keluhan seperti orang berkabung dan menangis!

Kun Hong lalu berkata kepada burung itu, 
“Tiauw-ko, sekarang sudah tiba waktunya aku harus pergi dari tempat ini. Kitab ini kutinggalkan di tempat semula karena aku sudah membaca semua isinya. Adapun pedang yang indah ini, karena telah diberikan kepadaku oleh mendiang Locianpwe, akan kubawa dan kuserahkan kepada Ayah yang amat suka akan pedang-pedang pusaka.”

Pemuda itu mengembalikan kitab Kim-tiauw-kun diatas meja sembahyang, sedangkan tiga buah kitab lain milik Yok-mo ia kantongi kembali karena ia hendak mengembalikan kitab itu kepada pemiliknya. 

Pedang indah itu ia masukkan ke dalam sarung pedang yang sederhana dan yang ia temukan juga di kamar kedua, lalu ia ikat di pinggang, ditutupi jubahnya. Pakaian pemuda ini sudah lapuk dan berlubang disana-sini, maklum sudah setahun setengah ia tidak pernah berganti pakaian.

Kim-tiauw agaknya maklum bahwa pemuda itu hendak pergi. Ia kelihatan berduka akan tetapi karena tak dapat bicara, ia hanya mengeluarkan suara mencicit seperti burung kecil.

“Nah, Tiauw-ko, tolonglah kau antarkan aku turun dari puncak ini,” kata Kun Hong setelah untuk penghabisan kali ia memberi hormat kepada kuburan kerangka Bu Beng Cu.

Burung itu lalu mendekam di depan Kun Hong. Pemuda ini segera meloncat ke atas punggungnya dan sekali lagi pemuda ini mengalami “terbang” di angkasa. Ia masih merasa ngeri seperti dulu, akan tetapi entah bagaimana, setelah satu setengah tahun ia melatih diri di gua itu, ia merasa hatinya lebih tenang dan tabah. Dengan gembira ia sekali lagi menyaksikan pemandangan alam yang amat luar biasa dilihat dari angkasa, dari atas punggung burung raksasa itu.




Akan tetapi, pengalaman hebat ini tidak lama ia rasakan karena burung itu segera melayang turun ke bawah kaki gunung, lalu hinggap diatas tanah. Ia mengeluarkan suara melengking yang tidak diketahui artinya oleh Kun Hong. Akan tetapi pemuda ini segera meloncat turun.

“Tiauw-ko, kenapa hanya sampai disini? Kalau bisa, tolong antarkan aku kembali ke Hoa-san.”

Burung itu kembali mengeluarkan suara melengking tinggi, lalu burung itu mengangguk di depan Kun Hong tiga kali, setelah itu ia pentang kedua sayapnya dan… terbang naik lagi ke puncak.

“Ah, jadi dia tidak mau ikut dan hendak kembali kesana? Baiklah, aku harus melanjutkan perjalanan ini dengan jalan kaki.” 

Kun Hong tidak menjadi kecewa, malah ia berterima kasih sekali kepada burung itu. Sebetulnya kalau boleh ia tidak ingin berpisah dari sahabatnya yang baik itu.

“Kim-tiauw-ko, terima kasih atas semua kebaikanmu!” ia berteriak kearah burung yang sudah terbang meninggi. 

Ia kaget dan terheran sendiri ketika suaranya itu mendatangkan gema di empat penjuru, amat nyaring teriakannya. Semua ini adalah berkat kemajuannya dalam latihan-latihan sehingga tanpa disadarinya, ia telah memiliki tenaga khi-kang yang tinggi,

Setelah burung itu lenyap, baru Kun Hong melanjutkan perjalanannya. Ia tidak mengenal jalan, maka ia jalan kemana saja yang ia rasa senang dengan harapan untuk tiba di sebuah dusun, berjumpa orang dan menanyakan jalan ke Hoa-san. 

Memang tadinya ia merasa tak senang kalau mengenang akan pembunuhan di Hoa-san dan tidak ada keinginan kembali, akan tetapi betapapun juga ia merasa rindu kepada orang tuanya dan ingin bertemu dengan mereka untuk menceritakan pengalamannya yang hebat.


*******






Next>>

Postingan populer dari blog ini

RAJA PEDANG (BAGIAN PERTAMA SERIAL RAJA PEDANG)

RAJAWALI EMAS (BAGIAN KE-2 SERIAL RAJA PEDANG)

JAKA LOLA (BAGIAN KE-4 SERIAL RAJA PEDANG)