RAJAWALI EMAS JILID 068

Sudah menjadi kenyataan semenjak dunia berkembang, di dalam hidup menderita sengsara, manusia akan mencari Tuhan karena sudah kehabisan akal dan tidak berdaya untuk memperbaiki hidupnya yang penuh penderitaan itu. Berpalinglah manusia yang menderita sengsara, mencari-cari Kekuasaan Tertinggi yang tadinya terlupa olehnya dikala ia tidak berada dalam penderitaan hidup. 

Sebaliknya, diwaktu menikmati hidup penuh kesenangan dan kecukupan, manusia sama sekali lupa akan Tuhannya, lupa bahwa segala kesenangan yang dapat ia rasa pada hakekatnya adalah rahmat dari Tuhan. Manusia dalam mabuk kesenangan menjadi sombong, mabuk kemenangan dan kemuliaan duniawi, merasa seakan-akan semua hasil gemilang itu adalah hasil kepandaiannya sendiri. 

Manusia yang sedang ditimpa kesengsaraan suka mencari kesalahan sendiri yang menyebabkan ia menderita, suka mengakui kesalahannya dan bertobat, berjanji takkan mengulangi perbuatannya yang sesat. 

Sebaliknya, di dalam mabuk kemuliaan, manusia hanya bisa menyalahkan orang lain mengira bahwa dirinya sendiri yang benar dan karena kebenarannya itulah maka ia dapat hidup dalam kemuliaan.

Alangkah bodohnya manusia, alangkah pelupa dan mudah mabuk oleh kesenangan duniawi! Lupa sudah bahwa segala apa yang dipisah-pisahkan manusia dan diberi istilah kesenangan atau kesengsaraan itu adalah sesuatu yang sifatnya sementara belaka. 

Baik kesenangan dan kesengsaraan yang sebetulnya bukanlah merupakan sifat dari sesuatu keadaan, melainkan lebih merupakan pendapat menurut selera seorang, takkan abadi dan tidak merupakan hal yang sementara terasa, malahan umurnya amat pendek, sependek umur manusia di dunia ini.

Baik mereka yang mabuk kemenangan diwaktu usahanya berhasil gemilang, maupun mereka yang putus asa dan nelangsa di waktu mengalami derita kekalahan, mereka ini adalah manusia-manusia yang bodoh dan mau membiarkan dirinya diombang-ambingkan dan dipermainkan oleh perasaannya sendiri. 

Bahagialah orang yang selalu berpegang kepada kebenaran, yang selalu waspada akan langkah hidupnya sendiri agar tidak menyeleweng dari kebenaran, dan dalam pada itu selalu mendasarkan segala sesuatu yang menimpa dirinya, baik itu menyenangkan badan maupun sebaliknya, sebagai kehendak daripada Tuhan seru sekalian alam, Tuhan yang menentukan segalanya, yang tak dapat diubah oleh kekuasaan manapun juga di dunia ini.

Jika diadakan perbandingan, jauh lebih bahagia mereka yang tertimpa kesengsaraan hidup dan membuat mereka berpaling mencari Tuhannya, daripada mereka yang hidup bergelimang dalam kemewahan dan membuat mereka lupa akan Tuhannya.

Demikian pula dengan Kaisar dan para pembesar Kerajaan Beng. Pada mulanya, dalam perjuangan rnereka mengusir penjajahan Mongol dari tanah air, mereka berpegang kepada kebenaran jiwa, mereka penuh oleh sifat patriotisme, sepak terjang dalam perjuangan hanya didasarkan untuk membebaskan rakyat dari belenggu penjajahan. Dalam keadaan seperti itu mereka yakin sepenuhnya akan kebenaran mereka, dan yakin bahwa manusia dalam kebenaran sepak terjang hidupnya selalu akan diridhoi oleh Tuhan Yang Maha Kuasa. 

Namun, sungguh menyedihkan, setelah usaha perjuangan mereka berhasil, terjadilah hal yang agaknya merupakan penyakit turunan bagi manusia. Terjadilah perebutan kemuliaan. Lebih menyedihkan lagi, setelah mereka yang berhasil dalam perebutan ini menduduki tempat tinggi dan mengenyam kemuliaan, mereka lalu mabuk!

Banyak diantara pembesar, sampai Kaisar sendiri, yang dahulunya terkenal sebagai pejuang-pejuang patriotik, setelah mendapat kemuliaan dan kebesaran, lalu lupa akan kebenaran. Mereka dirangsang oleh nafsu-nafsu mereka sendiri. Ada yang tamak akan harta benda, kerjanya hanya mengumpulkan harta dengan jalan yang tidak halal, melakukan korupsi besar-besaran tanpa menghiraukan sedikitpun nasib rakyat jelata yang dahulunya mereka bela dengan perjuangan mati-matian. 

Ada yang menurutkan nafsu binatang saja, tanpa mengenal malu mengumpulkan wanita-wanita muda dan cantik untuk mereka jadikan alat pengumbar nafsu. Banyaklah macamnya maksiat yang dilakukan oleh orang-orang mabuk kemulian duniawi ini.

Akibat dari semua ini, pemerintah yang dipimpin oleh bangsa sendiri tetap saja tidak dapat mengangkat rakyat jelata dari kemiskinan dan kesengsaraan hidup. Tetap saja rakyat yang dijadikan sapi perahan, diperas keringat dan darahnya oleh pemimpin-pemimpin kecil, dilain pihak pemimpin-pemimpin kecil ini diperas oleh atasan mereka, dan si atasan ini diperas lagi oleh atasannya yang lebih tinggi kedudukannya. Sogok dan fitnah merajalela dan kebenaran yang berlaku bukanlah kebenaran sejati karena siapa yang beruang, dialah yang menang.

Semenjak penjajah Mongol terusir dan Ciu Goan Ciang menjadi kaisar, rakyat tetap saja masih menderita. Penyerbuan-penyerbuan yang dilakukan oleh bangsa Mongol dari utara, pemberontak-pemberontak dari suku bangsa kecil di barat dan utara, gangguan bajak-bajak laut bangsa Jepang, menambah beban hidup rakyat yang sudah menderita.





Seperti tercatat dalam sejarah, dimana tidak atau belum ada kemakmuran dalam kehidupan rakyat jelata, disitu tentulah muncul rasa penasaran, dan kembali yang kuat merajalela dan pada umumnya lalu berlakulah hukum rimba, siapa kuat dia menang. Orang-orang jahat bermunculan, mengganas sewenang-wenang karena pembesar-pembesar dan alat-alat pemerintah hanya rnengurus isi kantongnya sendiri. 

Karena banyaknya orang-orang jahat, maka disana-sini timbullah kelompok-kelompok atau gerombolan-gerombolan yang mempunyai wilayah sendiri-sendiri. Dan hal ini tentu saja mengakibatkan permusuhan dan persaingan diantara golongan ini.

Syukurlah bahwa masih banyak terdapat orang-orang gagah yang tidak sudi ikut memperebutkan kedudukan dan kemuliaan untuk diri sendiri. Banyak diantara para bekas pejuang yang masih terbuka mata batinnya, dapat melihat betapa tersesatnya mereka yang mabuk kemuliaan itu, dan mereka orang-orang gagah sejati ini tetap hidup diantara rakyat jelata, tidak segan-segan untuk mencari nafkah dengan pekerjaan kasar, bahkan ada yang hidup hanya mengandalkan belas kasihan orang! 

Makin lama makin banyaklah orang-orang yang hidupnya seperti pengemis. Sudah tentu saja sebagian besar diantara mereka ini adalah orang-orang malas dan karena makin lama jumlahnya makin banyak mulailah orang jahat mengincar mereka yang dianggap sebagai golongan tersendiri yang bukan tidak kuat. Dimasukinyalah kelompok ini dan didirikan perkumpulan-perkumpulan pengemis! 

Celakanya, kai-pang (perkumpulan pengemis) ini dibentuk atas prakarsa orang-orang yang memang jahat sehingga pendirian ini sama sekali bukan diadakan untuk usaha perbaikan nasib orang-orang gelandangan itu, sama sekali bukan. 

Memang, ada juga manfaatnya bagi keadaan hidup para pengemis ini, namun dengan cara yang tiada bedanya dengan penjahat. Dengan adanya perkumpulan-perkumpulan ini, para pengemis lalu diharuskan mentaati peraturan perkumpulan, hasil mengemis harus dikumpulkan dan tidak boleh dipakai sendiri, sebaliknya soal makan mereka dijamin oleh perkumpulan. 

Melihat para pengemis yang bergabung ini, tidak ada yang berani menolak permintaan mereka, karena hal ini bisa mengakibatkan si penolak itu celaka, dianiaya dan dirampok hartanya! 

Jadi tegasnya, cara para pengemis dari kai-pang-kai-pang itu bekerja hanya tampaknya saja mengulurkan tangan minta sedekah, akan tetapi pada hakekatnya sama dengan perampok yang datang mengacungkan golok!

Mula-mula memang penduduk setiap kota dan para pembesar dan petugas, berusaha membasmi kai-pang-kai-pang ini. Akan tetapi, karena para pengemis itu sudah bercampuran dengan para penjahat yang merasa lebih aman bersembunyi diantara kaum jembel itu, usaha ini sia-sia belaka. 

Apalagi setelah organisasi pengemis itu makin meluas sehingga di setiap tempat ada cabangnya, kemudian para pengurus pengemis terdiri dari ahli-ahli silat yang berkepandaian tinggi, petugas-petugas keamanan menjadi tak berdaya.

Seperti dikatakan tadi, syukur bahwa tidak semua manusia di dunia ini berpikiran cepat dan berwatak remeh. Orang-orang gagah yang melihat adanya gejala-gejala tak baik ini, yang berarti akan menambahi beban rakyat jelata karena pemerasan para perampok-perampok berpakaian pengemis ini, segera turun tangan. 

Ada yang secara langsung mempergunakan kekerasan menentang para kai-pang ini. Namun akhirnya mereka itu dikeroyok dan kalah, malah ada yang tewas. Ada yang menentang secara diam-diam, menanti saat baik, kemudian mereka ini malah memasuki kai-pang-kai-pang itu, menjadi anggauta dengan maksud untuk membelokkan kejahatan para pengemis kearah kebaikan. 

Demikianlah, jangan kira bahwa semua anggauta kai-pang itu jahat karena di dalamnya banyak terdapat orang-orang gagah yang senantiasa menanti saat baik untuk menggulingkan kedudukan ketua masing-masing sehingga jika pimpinan terjatuh kedalam tangan orang-orang yang tidak jahat ini, sudah tentu perkumpulan itu akan dibawa kejalan benar.

Karena hai ini terjadi selama penjajah jatuh, jadi dua puluh tahunan, maka sekarang sudah banyaklah perkumpulan pengemis yang dipimpin oleh ketua-ketua yang baik sehingga perkumpulan ini benar-benar merupakan perkumpulan untuk memperbaiki nasib para anggauta. 

Didalam kai-pang yang bersih ini diadakan latihan-latihan semacam sekolah, dimana para anggautanya diajar untuk memiliki sesuatu kepandaian tertentu, misalnya pertukangan dan lain-lain. Sesudah itu mereka itu diharuskan mencari pekerjaan sebagai sumber nafkah dan setelah mendapatkan pekerjaan sudah tentu mereka ini tidak lagi diperbolehkan mengemis dan tidak lagi menjadi anggauta biarpun masih ada hubungan persaudaraan. 

Nah, demikianlah keadaan diwaktu itu, disatu pihak kai-pang-kai-pang yang dipimpin oleh orang-orang jahat masih mengganas, dilain pihak ada kai-pang-kai-pang yang bersih sehingga terkenallah sebutan Pek-kai-pang (Perkumpulan Pengemis Putih) dan Hek-kai-pang (Perkumpulan Pengemis Hitam). 

Sudah tentu Pek-kai-pang adalah golongan yang baik sedangkan Hek-kai-pang golongan yang jahat. Dan karena ada dua golongan yang berlainan sifatnya, tak dapat dicegah lagi adanya persaingan dan permusuhan diantara dua golongan ini sehingga sering kali terjadi pertempuran-pertempuran dan pertumpahan-perturnpahan darah.

Di antara Pek-kai-pang, yang paling terkenal dan kuat adalah perkumpulan pengemis Hwa I Kai-pang (Perkumpulan Pengemis Baju Kembang). Perkumpulan pengemis ini memiliki anak buah paling banyak dan karena ketuanya seorang yang memiliki kepandaian tinggi dan pengurusnya juga mendapat latihan ilmu silat tinggi, maka banyak kai-pang lain yang tunduk kepada Hwa-i Kai-pang. 

Pusat perkumpulan ini di kaki Gunung Ta-pie-san, sebelah barat kota raja Nan-king. Adapun ketuanya adalah seorang kakek gagah perkasa yang usianya sudah tua sekali namun memiliki kepandaian yang hebat. 

Kakek pengemis ini tidak pernah memperkenalkan namanya, dan hanya mengaku berjuluk Hwa-i Lo-kai (Pengemis Tua Berbaju Kembang). Setelah para pengemis berkali-kali ditolong oleh kakek ini yang berkepandaian tinggi, maka ia lalu diangkat menjadi ketua dan perkumpulan yang dipimpinnya lalu diberi nama Hwa-i Kai-pang. Semua anggauta Hwa-i Kai-pang selalu memakai baju berkembang, biarpun sudah lapuk atau penuh tambalan!

Pada suatu hari terjadilah berita yang menggemparkan “dunia pengemis” itu. Pengemis mana yang takkan kaget mendengar berita bahwa Ketua Hwa-i Kai-pang hendak mengundurkan diri dan dipusat perkumpulan itu hendak diadakan pemilihan pengurus baru? 

Hal itu menjadi bahan percakapan yang ramai, tidak saja diantara para pengemis, bahkan boleh dibilang juga diantara para orang gagah di dunia kang-ouw karena sebagai perkumpulan besar, Hwa-i Kai-pang mengundang para orang gagah untuk menjadi saksi dalam pemilihan ketua baru ini.

Menjelang datangnya hari pemilihan ketua, keadaan disekitar kaki Gunung Ta-pie-san menjadi ramai. Banyak tokoh-tokoh perkumpulan pengemis dari daerah lain datang dengan pakaian mereka yang beraneka ragam dan macam. Kalau melihat banyak pengemis dari berbagai aliran berkumpul di tempat yang luas itu, benar-benar mereka itu seperti bukan pengemis-pengemis, melainkan anak buah dari pasukan-pasukan! 

Biarpun pakaian mereka itu tambal-tambalan, ada pula yang sudah lapuk, namun warnanya seragam. Ada yang serba hitam, ada yang serba merah, ada yang putih, hijau, biru dan banyak lagi macam warnanya. 

Para anggauta Hwa-i Kai-pang tentu saja berbaju kembang semua! Mereka yang sudah datang bertanya-tanya mengapa Hwa-i Lo-kai hendak mengundurkan diri dan mencari penggantinya. Akan tetapi tak seorangpun dapat menjawab pertanyaan ini, bahkan para anggauta Hwa-i Kai-pang sendiri tidak ada yang dapat memberi keterangan.

Hwa-i Kai-pang atau Perkumpulan Pengemis Baju Kembang pada waktu itu sudah merupakan perkumpulan yang besar, mungkin terbesar diantara perkumpulan pengemis yang ada di daerah itu. Malah dapat dikatakan bahwa perkumpulan ini paling makmur, memiliki rumah pertemuan yang besar dengan perabot-perabot rumah yang lengkap, mempunyai ruangan tempat para pengemis cilik belajar sesuatu pekerjaan dan lain-lain. 

Hal ini adalah karena sepak terjang perkumpulan ini yang betul-betul merupakan perkumpulan sosial hendak memberi bimbingan kepada kaum gelandangan itu agar dapat hidup lebih baik dan terangkat nasibnya, telah menarik hati banyak dermawan yang banyak memberi sumbangan-sumbangan kepada Hwa-i Kai-pang.







Next>>

Postingan populer dari blog ini

RAJA PEDANG (BAGIAN PERTAMA SERIAL RAJA PEDANG)

RAJAWALI EMAS (BAGIAN KE-2 SERIAL RAJA PEDANG)

JAKA LOLA (BAGIAN KE-4 SERIAL RAJA PEDANG)