RAJAWALI EMAS JILID 070

“Kau keparat, kau menuduh yang bukan-bukan. Apakah kau mengajak berkelahi?” Sun-lokai sudah tak dapat menahan kemarahannya lagi.

“Berkelahi atau apa saja masa aku takut?” 

Coa-lokai juga marah. Dua orang ini sudah saling berhadapan dan saling mendekat, siap hendak menggunakan kekerasan.

“Coa-lokai, Sun-lokai, sudahlah. Tak perlu ribut-ribut!” Hwa-i Lo-kai berseru untuk melerai mereka.

“Biarlah, Lo-kai, biar kuberi hajaran kepada si Bongkok ini!” Coa-lokai berkata keras.

“Pengemis busuk, kaulah yang akan mampus di tanganku!” 

Sun-lokai yang tidak pandai bicara itu mendengus. Adapun para anggauta Hwa-i Kai-pang yang berada disitu memang sudah terpecah-pecah dalam pemilihan ketua, ada yang pro Coa-lokai, ada yang pro Sun-lokai. 

Melihat dua orang jagoan mereka itu sudah saling berhadapan, mereka menjadi tegang dan terdengar seruan-seruan kedua pihak untuk memberi semangat kepada jagoan mereka. Keadaan menjadi berisik sekali sehingga suara Hwa-i Lo-kai hendak mencegah pertarungan itu tidak terdengar nyata. 

Dua orang pengemis tua itu sekarang sudah saling serang. Mula-mula Sun-lokai yang membuka serangan. Dia seorang ahli Cu-see-ciang, yaitu kedua tangannya telah digembleng dan diperkeras dengan latihan mencacah pasir panas. Ia bersilat dengan kedua tangan terbuka, dengan jari-jari lurus dan ibu jari ditekuk kedalam sehingga kedua tangannya itu seakan-akan sepasang golok yang diserangkan dengan bacokan atau tusukan maut. 

Dilain pihak, Coa-lokai adalah seorang ahli gwa-kang, tenaganya seperti gajah, gerakannya tenang. Kalau sambaran tangan Sun-lokai seperti sambaran golok yang tajam, adalah sambaran kepalan tangan Coa-lokai yang besar itu seperti sambaran toya baja yang keras dan berat.

Keduanya adalah ahli-ahli silat yang kemudian mendapat latihan dari Hwa-i Lo-kai, maka biarpun mereka memiliki keistimewaan masing-masing, boleh dibilang tingkat mereka seimbang. Para pengemis yang menonton pertempuran ini menjadi tegang dan gembira, dari sana sini terdengar seruan-seruan memihak.

Hwa-i Lo-kai menjadi bingung, Tentu saja mudah baginya untuk datang memisah, akan tetapi apa gunanya? Sekali mereka menanam bibit kebencian satu kepada yang lain, hal itu takkan mudah dipadamkan. Biarlah mereka menentukan siapa yang lebih kuat, malah ini merupakan saringan pula untuk memilih seorang ketua baru. 

Ia hanya berdiri dengan kedua lengan di belakang, namun siap setiap saat apabila seorang diantara kedua pembantunya itu terancam bahaya maut, tentu ia akan turun tangan mencegah.

Pada saat dua orang itu sedang saling gempur dengan ramainya, tiba-tiba dari jauh terdengar orang berteriak-teriak nyaring menusuk telinga semua orang.



“Heii… dua orang pengemis tua saling tempur memperebutkan apa sih?”

Karena suara ini hebat dan nyaring semua orang menengok, bahkan Coa-lokai dan Sun-lokai juga otomatis berhenti untuk melihat siapa orangnya yang berteriak demikian nyaringnya itu. 

Dari jauh tampak dua orang berjalan menuju ke tempat itu Yang di depan adalah seorang pemuda tampan yang pakaiannya sama lapuknya dengan pakaiannya para pengemis sungguhpun potongan pakaian itu seperti pakaian seorang pemuda terpelajar. Pemuda inilah yang berteriak sambil melambai-lambaikan tangannya tidak keruan seperti orang gendeng.



Adapun orang yang berjalan di sampingnya, agak terbelakang, adalah seorang kakek tua sekali, terbongkok-bongkok jalannya, pakaiannya juga compang-camping, dengan tangan memegang tongkat yang diperlukannya untuk membantu ia berjalan.

Siapakah dua orang ini? Pemuda itu bukan lain orang adalah Kwa Kun Hong! Seperti kita ketahui, pemuda ini telah turun dari puncak Bukit Kepala Naga, kenapa dia bisa berada disini dan datang bersama seorang kakek pengemis tua renta itu? 





Baiklah kita mengikuti perjalanannya sebentar semenjak pemuda ini meninggalkan Bukit Kepala Naga dan sampai ke tempat ini, yaitu di kaki Pegunungan Ta-pie-san, pusat dari perkumpulan Hwa-i Kai-pang.

Telah dituturkan di bagian depan betapa Kun Hong meninggalkan Bukit Kepala Naga dengan maksud mencari dusun untuk bertanya kepada orang ini dimana arah perjalanan menuju ke Hoa-san.



Memang tak lama kemudian ia bertemu dengan penduduk dusun, akan tetapi penduduk dusun yang jarang meninggalkan kampung halaman itu, mana ada yang tahu tentang Hoa-san? Keterangan yang didapat oleh Kun Hong sama sekali tidak mendekatkannya dengan tempat tinggalnya, malah membuat ia tersesat makin jauh dari Hoa-san. 

Akhirnya ia mendengar bahwa ia sudah tiba di daerah kota raja selatan (Nan-king). Ia tertegun ketika mendengar dari orang yang mengetahui bahwa ia salah jalan dan malah menjauhi Hoa-san. 

Akan tetapi sebaliknya ia gembira ketika mendengar bahwa ia telah berada di kota raja. Setelah ia berada di tempat yang dekat dengan kota raja, apa salahnya untuk sekalian melihat-lihat keadaan kota raja? Sudah lama ia mendengar tentang kota raja yang hanya dapat ia lihat dalam alam mimpi saja. Sekarang, tanpa disengaja ia mendekati kota raja, sudah tentu ia tidak akan melewatkan kesempatan sebaik ini.



Ketika Kun Hong melanjutkan perjalanannya menuju ke kota raja, ia melalui Pegunungan Tapie-san. Setelah turun naik lereng bukit, ia merasa lelah dan mengaso dibawah sebatang pohon besar yang tumbuh di lereng gunung. 

Pemandangan indah, hawa amat nyaman. Kun Hong lalu menuruni jurang kecil dimana terdapat air terjun yang kecil akan tetapi amat jernih airnya. Dengan sedap dan segar ia minum air itu, lalu mencuci muka, tangan, dan kakinya. Setelah merasa tubuhnya segar kembali, perutnya menggeliat minta isi. Kun Hong kembali ke bawah pohon dan mengeluarkan bekalnya roti kering yang ia terima dari seorang hwesio sebuah kelenteng tua yang amat baik hati, dimana ia semalam menginap.

Terpaksa ia menunda tangannya yang sudah mengantar roti kering ke mulutnya, ia kaget dan terheran-heran mengapa di tempat sesunyi itu terdengar suara orang. Orang itu bicara dengan keras suaranya terbawa angin, sayup-sayup sampai tidak dapat ia tangkap artinya.



Akan tetapi kenapa tidak pernah ada suara lain yang menjawabnya? Biasanya orang bercakap-cakap tentu sedikitnya membutuhkan dua orang. Suara itu makin jelas dan kini tertangkap oleh telinga Kun Hong, suara orang mencari sesuatu!

“Ah, dimanakah dia? Haaa, boleh jadi inilah! Ya betul, inilah agaknya yang kucari-cari puluhan tahun sampai sampai saat ini. Tak salah lagi…, tapi betulkah ini dia? Jangan-jangan aku salah duga kecele lagi….”

Tergerak hati Kun Hong. Suara agak menggetar, dan dapat diduga pembicaranya tentu seorang yang sudah tua. Ia menyimpan kembali roti keringnya, berdiri dan berjalan menuju arah suara tadi. 

Setelah ia melalui sebuah gundukan batu karang, tampaklah olehnya seorang kakek berpakaian compang-camping, berdiri dengan tongkat tertekan tangan seakan-akan tongkat itulah yang membantu ia berdiri, tangan kiri ditaruh melintang di kening untuk melindungi kedua mata tuanya dari sinar matahari, dan menoleh kian kemari memandangi tamasya alam di bawah gunung. Ataukah sedang mencari sesuatu?

Segera timbul welas dalam hati Kun Hong melihat kakek yang amat tua ini. Tubuhnya kurus, tinggal kulit dan tulang, pakaiannya sudah tak patut disebut pakaian lagi, hanya robekan-robekan kain menutupi tubuh disana-sini, sepatunya sudah bolong sehingga tampak beberapa buah jari kaki tersembul keluar dari pinggir sepatu. 

Aduh kasihan, pikir Kun Hong. Sudah begini tua mengapa pergi susah payah ke gunung yang tidak mudah dilalui jalannya? Begitu kurus, tentu sudah berhari-hari tidak makan.

“Kakek yang baik, kau sudah begini tua dan lemah mengapa sampai di tempat seperti ini? Kau sedang mencari apakah, Kek?” tanyanya sambil maju mendekat.

“Ya, aku memang mencari sesuatu,” jawab kakek itu tanpa menoleh kepada si penanya.

“Mencari apakah yang hilang? Dimana hilangnya? Biarlah kubantu kau mencarinya,” kata Kun Hong dengan ramah dan dengan suara mengandung hiburan yang membesarkan hati.

“Heh… tidak ada yang hilang… tapi sudah puluhan tahun aku mencarinya….” tiba-tiba ia menoleh dan terkejutlah Kun Hong ketika bertemu pandang dengan sepasang mata yang luar biasa tajamnya seakan-akan menembus sampai ke dalam dadanya. 

Tak kuat Kun Hong menatap sepasang mata yang hebat itu, terpaksa ia menundukkan pandang matanya.

“Kau bilang kau hendak bantu aku mencarinya? Huh, betulkah itu? Aku yang sudah puluhan tahun mencari belum juga bertemu. Tapi… hemmm, mungkin sekali ini aku akan dapat bertemu dengannya!” Kata-kata ini penuh semangat dan kakek itu berdongak memandang ke atas.

Otomatis Kun Hong juga mendongakkan kepalanya, akan tetapi diatas sana tidak ada apa-apa, kecuali mega-mega putih berarak di angkasa. Celaka, pikirnya, kasihan benar kakek ini, agaknya dia sudah miring otaknya! Kun Hong menggeleng-geleng kepalanya, lalu memegang tangan kakek itu, menuntunnya perlahan menuju ke bawah pohon.

“Kakek yang baik, marilah kita beristirahat di tempat yang teduh sana, aku mempunyai beberapa potong roti kering, marilah kita makah bersama,” bujuknya.

Kakek itu sejenak memandang kepadanya dengan heran tapi menurut saja ketika dituntun ke bawah pohon. Malah ia segera ikut Kun Hong duduk di bawah pohon itu dan menerima pemberian roti kering dari Kun Hong yang dimakannya lambat-lambat.

“Orang muda, jarang ada orang semacam kau ini di jaman yang sulit ini… hemm, senang juga bertemu dengan orang macam kau di tempat sunyi.”

Kun Hong memandang penuh perhatian dan sekarang ia merasa yakin bahwa tak mungkin kakek ini miring otaknya. Mungkin hanya karena berwatak aneh saja maka kelihatan seperti orang tidak waras pikirannya.

“Aku pun merasa gembira dapat berjumpa dengan kau disini kakek yang baik. Sebetulnya, siapakah yang kau cari itu? Benda ataukah manusia? Aku akan merasa girang kalau kau segera dapat bertemu dengannya, Kek.”







Next>>

Postingan populer dari blog ini

RAJA PEDANG (BAGIAN PERTAMA SERIAL RAJA PEDANG)

RAJAWALI EMAS (BAGIAN KE-2 SERIAL RAJA PEDANG)

JAKA LOLA (BAGIAN KE-4 SERIAL RAJA PEDANG)