RAJAWALI EMAS JILID 072

Lega hati Kun Hong. Betapapun juga, kakek ini adalah seorang cianpwe, tak mungkin mau menarik kembali janjinya atau melanggarnya. Dengan demikian berarti dia telah dapat membatalkan niat orang untuk membunuh. Tentang pendapatnya mengenai kebahagiaan, adalah menurut jalan pikirannya, sesuai pula dengan hati nuraninya yang disesuaikan dengan ilmu kebatinan yang ia baca dari kitab-kitab filsafat kuno.

“Menurut pendapatku, Locianpwe. Kebahagiaan hidup itu tidak dapat dikejar, karena bagaimanapun orang mengejar-ngejarnya, takkan mungkin dia dapat menemukannya. Bahagia tak dapat dicari-cari….”

“Apa kau kata? Kebahagiaan tak dapat dikejar, tak dapat dicari, kalau begitu kebahagiaan itu tidak ada? Jangan kau main-main!”

Berkerut kening Kun Hong, tanda bahwa dia sedang mempergunakan penjelasan tentang persoalan yang mengandung filsafat hidup dan sulit itu.

“Locianpwe, bukan maksudku mengatakan bahwa kebahagiaan itu tidak ada. Kebahagiaan memang ada. Akan tetapi jangan keliru menafsirkan apa sebetulnya kebahagiaan itu. Banyak sekali orang tertipu oleh kesenangan dan menganggap bahwa kesenangan itulah kebahagiaan. Yang dapat dikejar dan dapat dicari adalah kesenangan, bukan kebahagiaan. Adapun kesenangan itu bukan lain adalah pemuasan nafsu jasmani dan nafsu perasaan. Kesenangan duniawi adalah pemuasan kehendak yang terdorong oleh nafsu semata. Contohnya keinginan Locianpwe tadi hendak membunuh The Kok, bukan lain adalah karena dorongan kehendak memuaskan nafsu dendam dan andaikata hal itu terjadi, kiranya akan dapat merasai kesenangan karena nafsu dendam itu dipuaskan. Akan tetapi orang lupa bahwa kesenangan mempunyai saudara kembar yang bernama kesusahan. Dimana kesenangan berada, disitu akan muncul pula saudara kembarnya, yaitu kesusahan. 

Apabila orang, mencari kesenangan, memang dia akan mendapatkannya, namun sifat kesenangan hanyalah sementara saja. Rasa senang akan segera lenyap dan kalau sudah begitu, muncullah kesusahan dan ia akan kecewa karena segera ternyata bahwa kesenangan yang dicari-carinya itu setelah dapat ternyata tidaklah begitu menyenangkan, apalagi membahagiakan. Siapa mencari dia akan kecewa, karena yang dicarinya itu hanyalah kehendak dari nafsunya, bukanlah kebutuhan jiwanya,” 

Sampai berkeringat kening pemuda itu karena pengerahan otaknya yang diperas untuk menerangkan hal yang amat gawat ini. Akan tetapi hasilnya hebat, Muka kakek itu mula-mula membayangkan keharuan, kemudian matanya membelalak dan wajahnya berseri-seri.

“Aduh, kau hebat…, kau orang muda luar biasa… teruskanlah, teruskanlah uraianmu yang menarik ini. Kau bicara tentang kesenangan dunia, sekarang bagaimana dengan kebahagiaan yang ajaib itu? Aku sendiri telah tertipu dan mengacau-balaukan kesenangan dengan kebahagiaan. Orang muda yang hebat, apakah kebahagiaan itu dan mengapa tidak boleh dikejar dan dicari?”

“Locianpwe, maafkan kalau aku yang muda bodoh ini lancang berani bicara tentang hal yang pelik ini.”

“Tidak apa, tidak apa, teruskanlah….”

“Lebih dulu aku akan mengulangi sajak yang pernah kubaca, hasil karya seorang pujangga kuno yang tidak diketahui namanya, begini sajak itu:

Kebahagiaan seperti bayangan serasa tergenggam di jari tanpa bekas kau lari tak dikejar mendekati dikejar kau menjauhi memang kau bayanganku tak pernah berpisah dariku bagaimana orang dapat mengejar bayangan sendiri?

“Demikianlah, Locianpwe. Kebahagiaan adalah keadaan, memang ada, yaitu sudah ada dalam diri setiap mahluk, setiap yang mengejarnya dia tersesat jauh karena memang tidak dapat dan tidak semestinya dikejar. Kebahagiaan adalah keadaan jiwa seseorang yang sudah sadar akan keadaan hidupnya, yang sadar bahwa ada yang menghidupkannya. Kebahagiaan adalah keadaan jiwa seseorang yang tenang tenteram damai dan tahu bahwa segala sesuatu yang menimpa dirinya adalah kehendak Tuhan. Oleh karena itu ia dapat menerima dengan hati Ikhlas, tak dapat kecewa, tak dapat berduka, adanya hanya puas dan dapat menikmati kekuasaan Tuhan yang dilimpahkan atas dirinya, baik kekuasaan yang mendatangkan rasa tidak enak ataupun yang sebaliknya bagi badan dan pikiran. 

Hanya manusia yang sadar akan kekuasaan Tuhan, dapat menerima segala yang terjadi atas dirinya dengan penuh penyerahan, dengan tunduk, taat dan menganggap segala peristiwa, baik yang dianggap menyenangkan atau menyusahkan oleh badan dan pikiran serta perasaannya, sebagai berkah Tuhan, manusia seperti itulah yang berhasil menemukan kebahagiaan yang memang sudah berada dalam dirinya. Karena menghadapi keadaan yang bagaimanapun juga, ia akan tetap tenang, tenteram dan menerima dengan hati tulus ikhlas, dan kepercayaannya akan kekuasaan Tuhan takkan tergoyah. Nah, hanya sekian saja pendapatku, Locianpwe, sekali lagi maaf kalau kau anggap tidak cocok dengan pendapat Locianpwe.”

Kakek itu merangkul Kun Hong. 
“Ah, anak yang baik… kau telah membuka mataku yang buta! Kau benar sekali… anak yang baik, coba kau terangkan, kalau ada orang membunuh muridku, mengapa aku tidak boleh membunuhnya juga sebagai hukumannya?”





“Menurut pendapatku, pendirian itu keliru, Locianpwe. Locianpwe sendiri mengakui bahwa membunuh murid Locianpwe adalah perbuatan jahat, dan sudah menjadi anggapan umum bahwa membunuh sesama manusia adalah perbuatan jahat. Kalau kita sudah tahu bahwa membunuh itu jahat, mengapa justeru untuk menghadapi kejahatan membunuh kitapun harus berlaku jahat dan membunuh pula? Kalau sudah terjadi bunuh-membunuh, bagaimana kita dapat membedakan mana yang jahat mana yang baik, mana yang benar mana yang salah? 

Memang sudah menjadi kewajiban kita untuk menegakkan keadilan dan kebenaran, dan untuk itu manusia sudah mengadakan hukum bagi yang jahat. Kalau ada yang melakukan pembunuhan, tangkaplah dan hadapkan kepada yang berwajib yang mengurus tentang hukuman bagi si jahat dengan mengadakan pengadilan ciptaan manusia. 

Akan tetapi menghukumnya sendiri dengan jalan membunuh? Ah, Locianpwe, hendak kutanyakan kepada Locianpwe, apa perbedaannya dalam soal kejahatan antara pembunuhan yang dilakukan The Kok terhadap murid Locianpwe dengan pembunuhan yang akan dilakukan oleh Locianpwe terhadap The Kok?”

Kakek itu merenung sejenak. 
“Bedanya, karena kalau aku membunuhnya, aku mempunyai alasan untuk membalaskan sakit hati muridku.”

“Ah, Locianpwe, setiap orang manusia di dunia ini sudah pasti mempunyai alasan untuk perbuatannya. Ada akibat pasti bersebab. Apakah kiranya orang yang bernama The Kok itu ketika membunuh murid Locianpwe juga tidak mempunyai alasan? Kiraku pasti ada alasannya. Betapapun juga, dia bersalah besar ketika membunuh muridmu dan bagiku, dia telah melakukan perbuatan jahat. Kalau Locianpwe membunuhnya pula, apapun alasan yang Locianpwe ajukan, perbuatan membunuh itu tak dapat tidak juga termasuk perbuatan jahat. Dan kebahagiaan tidak mungkin dicapai dengan melalui perbuatan jahat. 

Di samping penyerahan akan kekuasaan Tuhan, juga setiap tindakan dalam hidup haruslah menjauhi kejahatan dan memupuk kebaikan sebanyak mungkin. Inilah yang dinamakan menyesuaikan diri dengan sifat alam. Adakah alam pernah menuntun sesuatu demi kesenangannya sendiri? Tidak pernah, alam dan segala isinya selalu memberi kebaikan kepada siapa saja tanpa pernah minta dan menuntut. Tuhan Maha Pengasih dan Penyayang, tiada yang dikecualikan, berkah-Nya melimpah-limpah seperti aliran Sungai Kuning yang tak pernah kering, akan tetapi, pernahkah Tuhan menuntut dan minta sesuatu dari kita? Alam merupakan cermin kecil dari sifat Maha Pengasih dan Penyayang itu. Lihatlah pohon berbuah itu, Locianpwe. Tanpa diminta ia memberikan segala-galanya, batangnya, daunnya, bunganya, buahnya kepada siapa saja yang membutuhkan.

Ia memberikan dengan segala keikhlasan tanpa diminta, segala kenikmatan kepada yang dapat menikmatinya. Akan tetapi, pernahkah pohon itu minta sesuatu, menuntut sesuatu dari siapapun juga? Ah, alangkah akan indahnya dunia ini kalau manusia dapat memetik pelajaran dari sikap pohon buah itu, dimana manusia hanya mengenal pemupukan kebaikan dari sifat alam tanpa menuntut kesenangan bagi diri sendiri.”

“Ah… kau betul, Anakku… kau betul sekali… ha-ha-ha-ha, Lui Bok, kau dijuluki orang Sin-eng-cu (Garuda Sakti), tapi kau goblok dan patut berguru kepada bocah ini!” 

Ia menepuk-nepuk kepalanya sendiri dan kelihatan girang sekali. 
“Eh orang muda, kau masih murid keponakanku sendiri, tapi aku patut menjadi muridmu. Siapakah namamu?”

“Aku bernama Kwa Kun Hong, Locianpwe. Aku banyak mengharapkan banyak petunjuk dari Locianpwe.”

“Heran sekali… kau menjadi pewaris kitab peninggalan suhengku, tapi kenapa kau tidak memiliki kepandaian silat sebaliknya malah menjadi ahli filsafat? Kun Hong, coba kau bersilat dari pelajaran dalam kitab yang kau hafal itu, hendak kulihat.”

Merah muka Kun Hong. 
“Ah, sesungguhnya Locianpwe, aku hanya menghafal saja akan tetapi aku tidak dapat bersilat.”

“Hee….?? Habis untuk apa kau menghafal kitab itu?”

“Menurut pendapatku, ilmu silat yang diwariskan dalam kitab Suhu itu, hanya untuk menjaga diri agar jangan sampai dicelakakan orang. Akan tetapi kalau hendak dipergunakan untuk memukul orang… ah, aku tidak sudi melakukannya, Locianpwe.”.

Kembali kakek itu melengak, lalu mengangguk-angguk. Tiba-tiba ia berseru, 
“Aku akan menyerangmu dan kalau kau terkena pukulanku, mungkin kau akan mati!” 

Cepat sekali, tidak sesuai dengan tubuhnya yang kelihatan lemah itu, kakek ini lalu maju memukul dengan pukulan kilat.

Kun Hong kaget sekali dan otomatis kedua kakinya melangkah dengan langkah ajaib yang ia pelajari dari kitab, kedua lengannya bergerak-gerak sebagai imbangan tubuhnya dan… pukulan itu tidak mengenai tubuhnya. Kakek itu mengeluarkan seruan aneh dan menyerang terus, makin lama makin cepat dan keras. Kun Hong terpaksa terus melangkah kesana kemari, langkah-langkahnya ganjil dan kacau, namun sampai sepuluh jurus kakek itu hanya memukul angin belaka.

Tiba-tiba ia berhenti dan bertepuk tangan.
“Bagus… bagus….! Inilah agaknya Kim-tiauw-kun yang dahulu hendak diciptakan oleh Suheng berdasarkan Im-yang bu-tek-cin-keng! Hebat… hebat!” Ia merangkul lagi Kun Hong diajak duduk di bawah pohon.

“Mana roti keringmu tadi? Keluarkan aku lapar sekali!”

Girang hati Kun Hong. Memang masih ada ia menyimpan roti kering dalam buntalannya, lalu ia mengeluarkan roti-roti kering itu dan memberikan kepada kakek aneh yang menyebut namanya Sin-eng-cu Lui Bok ini..

“Silakan makan, Locianpwe, tapi hanya roti kering yang keras dan tengik.”

“Heh-heh-heh, jangan kau merendah, Kun Hong. Rotimu begini empuk, harum, masih hangat dan di dalamnya diberi cacahan daging yang begini gurih, kau katakan roti kering tengik? Ha-ha-ha benar-benar kau merendah. Bukan main sedapnya roti ini!”

Tiba-tiba Kun Hong terbelalak matanya. Mimpikah dia? Roti kering yang tadinya keras dan memang agak tengik yang dipegangnya, sekarang kenapa sudah berubah sama sekali? Roti itu menjadi roti yang besar dan empuk, benar-benar masih hangat dan berbau harum malah ketika ia melihat bagian yang sudah ia gigit, tampak cacahan daging matang yang benar-benar gurih!

“Eh…, ini… ini… bagaimanakah ini? Mengapa bisa begini, Locianpwe….?” tanyanya gagap saking herannya.

“Ha-ha-ha! Biarpun kesenangan bukan termasuk kebahagiaan sejati, namun kesenanganpun anugerah Tuhan dan kita berhak menikmatinya, bukan? Nah, marilah kita menikmati roti yang enak ini!”

“Memang benar, Locianpwe. Tapi… tapi… bagaimana ini….? Kenapa roti keringku bisa berubah?”

“Tak usah tanya-tanya, nanti kuberi penjelasan. Makan dulu.” 

Keduanya lalu makan dan Kun Hong harus mengakui bahwa selama ini belum pernah ia makan roti seenak itu.

“Wah, habis makan roti tidak ada minuman. Kalau saja ada arak baik disini, alangkah sedapnya.”

Melihat kakek itu agaknya kesereten (Bhs. Jawa=makanan mengganjal di kerongkongan), Kun Hong menjadi kasihan dan segera ia berlari mencari air mancur dan menyendok air menggunakan daun yang lebar. Dibawanya air itu ke bawah pohon.

“Heh-heh-heh, kau betul-betul hebat. Orang ingin minum arak kau datang membawa arak wangi dalam cawan perak. Ha-ha-ha!”

“Ah, Locianpwe, hanya air biasa dalam daun, mana ada arak?” 

Kun Hong tertawa dan memandang daun di tangannya yang penuh air. Akan tetapi tiba-tiba ia berteriak kaget dan heran karena yang berada di tangannya benar-benar adalah arak dalam cawan perak yang indah.

“Eh, bagaimana pula ini….? Locianpwe, apakah aku sudah gila? Ataukah aku sedang mimpi….??” teriaknya terkejut.







Next>>

Postingan populer dari blog ini

RAJA PEDANG (BAGIAN PERTAMA SERIAL RAJA PEDANG)

RAJAWALI EMAS (BAGIAN KE-2 SERIAL RAJA PEDANG)

JAKA LOLA (BAGIAN KE-4 SERIAL RAJA PEDANG)