RAJAWALI EMAS JILID 078

Semenjak pemberontak-pernberontak dibasmi belasan tahun yang lalu keadaan di kota raja aman dan tenteram. Namun hal ini hanya berjalan beberapa tahun saja karena kini timbullah persaingan baru yang lebih ganas. Persaingan antara putera-putera Kaisar termasuk keluarganya yang tentu saja merindukan singgasana untuk menggantikan Kaisar yang sudah tua. Mulailah para pangeran itu saling bermusuhan dalam usaha mereka menarik hati Kaisar agar mereka dijadikan calon pengganti Kaisar.

Demikian hebat persaingan ini yang kadang-kadang tidak dilakukan secara diam-diam melainkan secara terbuka, sehingga masing-masing mempunyai jagoan-jagoan sendiri. Persaingan mencapai puncaknya ketika putera mahkota, yaitu putera sulung dari Kaisar, telah tewas menjadi korban persaingan itu. Tak seorangpun tahu siapa pembunuhnya dan dengan apa dibunuhnya. Namun ahli silat tinggi maklum bahwa putera mahkota ini dibunuh oleh seorang ahli silat yang memiliki kepandaian luar biasa.

Seperti juga halnya dengan kaisar-kaisar lain atau hampir semua pemimpin dan pembesar yang menduduki kemuliaan dan memegang kekuasaan, Kaisar Tai-itsu juga mempunyai banyak isteri sehingga anaknyapun banyak pula. Hal ini membingungkan hatinya siapakah yang harus ia pilih menjadi putera mahkota setelah putera sulungnya meninggal dunia. 

Kaisar maklum akan persaingan dan permusuhan diantara putera-puteranya, selir-selirnya dan keluarganya. Maka karena Kaisarpun dapat menduga bahwa putera sulungnya itu terbunuh orang, ia menjatuhkan pilihannya kepada anak dari putera sulungnya itu yang bernama Hui Ti atau Kian Bun Ti menjadi pengganti putera mahkota. Hui Ti atau Kian Bun Ti ini adalah cucu Kaisar.

Pada waktu itu Kian Bun Ti ini telah menjadi seorang pemuda yang tampan dan cerdik bukan main. Ia maklum akan bahaya kedudukannya, maklum bahwa banyak paman-paman pangeran lain merasa iri hati akan kedudukannya. Maka dengan amat pandainya Kian Bun Ti mendekati Kaisar, berhasil menguasai hati dan kasih sayang kakeknya ini. 

Adalah atas bujukan pemuda cerdik inilah maka seorang pamannya yang dianggap paling berbahaya, yaitu Pangeran Yung Lo yang jujur dan keras, oleh Kaisar dihalau dari kota raja, diberi tugas pertahanan diutara, di kota raja lama, Peking. 

Memang pada waktu itu tiada hentinya bangsa Morngol, Mancu, dan lain-lain suku bangsa dari utara selalu berusaha menyerang Kerajaan Beng yang baru ini. Pangeran Yung Lo tentu saja mentaati perintah dan berangkatlah dia keutara menjalankan tugas berat ini.

Biarpun telah berhasil menghalau saingannya yang paling berbahaya, namun Kian Bun Ti masih belum lega karena ia maklum bahwa yang melihat kepadanya dengan mata penuh dengki masih banyak sekali. Maka iapun lalu mengumpulkan orang-orang pandai untuk menjaga dirinya, bahkan dia sendiri mempelajari ilmu silat. 

Disamping kesukaannya mendekati ahli-ahli silat dan jagoan-jagoan, Pangeran yang masih muda inipun terkenal sebagai seorang yang tak boleh melihat wanita cantik. Entah berapa banyaknya wanita-wanita cantik dan muda, jatuh hati dan menjadi korbannya, tertarik oleh ketampanannya atau kedudukannya maupun harta bendanya. Memang wanita manakah yang takkan tertarik oleh seorang pemuda yang tampan, cerdik, malah seorang pangeran calon kaisar pula?

Didalam usahanya untuk menguasai keadaan dunia kang-ouw, Pangeran ini tidak segan-segan untuk mempergunakan perkumpulan-perkumpulan seperti Hek-kai-pang (Pengemis Hitam) dari mana ia bisa mendapatkan sumber berita tentang gerakan orang-orang kang-ouw sehingga ia dapat tahu siapa yang menjadi jagoan-jagoan baru dari para saingannya.

Pangeran Kian Bun Ti menjadi tertarik sekali ketika ia menerima laporan dari beberapa orang anggauta perkumpulan pengemis yang menjadi kaki tangan dan penyelidiknya tentang dua orang gadis cantik jelita anak murid Hoa-san-pai yang menggegerkan pertemuan dari Hwa-i Kai-pang. 

Pangeran ini tidak hanya tertarik oleh kecantikan dua orang dara remaja itu, melainkan terutama sekali tertarik oleh cerita tentang kehebatan ilmu silat mereka. Diam-diam ia mempunyai maksud hati yang baik sekali, maksud hati yang menjadi perpaduan dari seleranya terhadap dara ayu dan kebutuhannya akan pengawal yang lihai. Cepat ia memanggil beberapa orang kepercayaannya dan membagi-bagi perintah.

Sementara itu, Kun Hong dan dua orang dara remaja telah memasuki kota raja dengan gembira. Tiga orang muda yang semenjak kecilnya bertempat tinggal di pegunungan yang sunyi ini sekarang berjalan perlahan diatas jalan raya dengan mata terbelalak dan mulut tiada hentinya mengeluarkan seruan-seruan kagum dan memuji ketika mereka menyaksikan gedung-gedung terukir indah dl sepanjang jalan.

Apalagi Li Eng yang amat lincah itu, ia amat bergembira dan berlari kekanan kiri mendekati setiap penglihatan yang baru dan asing baginya. Setiap ada bangunan indah dan besar ia berdiri terlongong di depannya, dan benda-benda yang diperdagangkan di sepanjang jalan dalam toko-toko pun tak lepas dari perhatiannya. 

Hui Cu yang lebih pendiam dan alim hanya merupakan pengikut saja dan biarpun gadis ini juga amat kagum dan terheran-heran, namun ia dapat menekan perasaannya dan hanya tampak bibirnya yang kecil mungil mengulum senyum dan sepasang matanya bersinar-sinar menambah indah wajah yang berseri itu.





Pada waktu itu, orang-orang wanita berada diatas jalan raya bukanlah hal aneh. Banyak wanita berjalan diatas jalan raya, akan tetapi semua itu, adalah wanita-wanita pekerja kasar dan pedagang kecil, pendeknya wanita yang agak tua atau yang agak buruk rupa. 

Puteri-puteri bangsawan yang cantik-cantik hanya menampakkan diri diatas jalan raya dalam kendaraan tertutup. Memang ada kalanya wanita-wanita kang-ouw, anak-anak penjual obat keliling memperlihatkan ilmu silat pasaran, tampak berjalan-jalan namun hal ini jarang terjadi. 

Oleh karena itu, ketika dua orang dara remaja ini memasuki kota raja, di sepanjang jalan mereka menjadi tontonan orang, terutama laki-laki muda dan tua yang tidak hanya mengagumi kecantikan dua orang gadis itu, akan tetapi terutama sekali mengagumi sikap mereka berdua yang begitu bebas. 

Dua orang gadis ini mudah saja menimbulkan dugaan bahwa mereka adalah gadis-gadis kang-ouw yang berkepandaian silat, terbukti dari pedang yang tergantung di pinggang mereka. Mudah juga diduga bahwa mereka berdua tentulah memiliki ilmu silat yang lihai, kalau tidak demikian, bagaimana dua orang gadis remaja yang begitu cantik jelita bisa melakukan perjalanan dengan aman dan selamat sampai ke kota raja?

Kecantikan mereka yang luar biasa itu tentu akan menjadi sebab kemalangan mereka, tentu mereka telah ditahan dan diambil oleh orang-orang jahat. Karena dugaan inilah maka biarpun banyak mata laki-laki melotot dan mulut tersenyum-senyum, sejauh itu belum ada yang berani sembrono mengeluarkan kata-kata teguran atau godaan.

Yang mengherankan banyak orang adalah Kun Hong, Pemuda ini pakaiannya seperti seorang siucai, seorang terpelajar, akan tetapi pakaian itu sudah lapuk sehingga menimbulkan dugaan bahwa dia tentulah seorang terpelajar yang tidak lulus ujian dan jatuh miskin seperti banyak terdapat pada masa itu. 

Yang mengherankan orang, mengapa seorang siucai miskin seperti ini berjalan bersama dua orang dara remaja kang-ouw? Biasanya gadis-gadis kang-ouw yang cantik seperti ini tentu melakukan perjalanan dengan laki-laki yang hebat pula yang luar biasa, aneh, atau yang gagah perkasa. 

Kenapa sekarang pengiringnya hanya seorang siucai jembel yang hanya tersenyum-senyum, berjalan perlahan seperti kehabisan tenaga? Lebih-lebih herannya orang-orang yang dekat dengan mereka ketika mendengar Li Eng dengan lincahnya menyebut siucai muda itu “paman”. Heran sekali, usianya sepantar mengapa disebut paman?

Kalau dua orang dara itu mengagumi keindahan, ukir-ukiran, bangunan, benda-benda aneh yang diperdagangkan orang, apalagi melihat sutera-sutera beraneka warna yang halus dan mahal, adalah Kun Hong kembang-kempis hidungnya dan berkeruyukan perutnya karena mencium bau masakan yang gurih dan sedap keluar dari banyak rumah makan di sepanjang jalan. 

Bau sedap dari bau masakan daging, bawang dan bumbu-bumbu menusuk hidungnya, membuat semua itu tidak seindah mangkok berisi masakan yang mengebul panas-panas diatas meja! Akan tetapi pemuda ini menekan seleranya, maklum bahwa tak mungkin ia dapat membeli masakan-masakan yang mahal itu.

Kalau Li Eng tidak ada perhatian lain kecuali terhadap barang-barang indah dan bangunan-bangunan megah yang tak pernah dilihatnya itu, adalah Hui Cu yang pendiam dan selalu tanpa diketahui orang lain memperhatikan pamannya, segera dapat menduga bahwa pamannya itu merasa lapar dan ingin makan. Ia lalu menyentuh tangan Li Eng dan berbisik di dekat telinganya. Li Eng tersenyum, menoleh kepada Kun Hong yang tidak tahu apa yang dibicarakan antara dua orang gadis itu.

“Paman Hong, apakah kau lapar dan ingin makan?” tiba-tiba Li Eng yang tak pernah menaruh hati sungkan-sungkan itu bertanya.

“Apa….? Betul… eh, tidak apa….” 

Kun Hong gagap karena pertanyaan yang tiba-tiba itu memang cocok sekali dengan pikirannya.

Li Eng segera menyambar tangannya dan digandeng menuju ke sebuah rumah makan. 
“Kalau lapar kenapa diam saja? Disini banyak rumah makan, boleh kita pilih masakan yang enak!”

“Hush, jangan main-main.” Kun Hong menahan. “Aku tidak punya uang, mana berani masuk ke rumah makan?”

“Untuk apa uang? Kita tak usah beli, bisa minta,” kata lagi Li Eng.

“Ihh, memalukan!” Kun Hong mencela.

Li Eng tertawa ditahan. 
“Hi-hik, kau lihat, Enci Hui Cu! Tidakkah aneh bukan main paman kita ini? Paman Hong, kau ini seorang kai-ong (raja pengemis) kok malu minta-minta?”

Digoda begini oleh Li Eng, gemas juga hati Kun Hong. 
“Sudah jangan terlalu menggoda orang kau, bocah nakal. Kujewer telingamu nanti!”

Li Eng hanya tertawa manja dan Hui Cu berkata, 
“Susiok, harap jangan kuatir, kami membawa bekal uang dan andaikata kurang, aku masih mempunyai gelang emas, dapat kita jual.” 

Berbeda dengan Li Eng, suara nona ini sungguh-sungguh dan sama sekali tidak bermain-main.

“Nah, punya keponakan yang begini mencintai seperti Enci Cu, kau takut apa, Susiok?” 

Lagi-lagi Li Eng menggoda dan kali ini ia benar-benar menerima cubitan, bukan dari Kun Hong, melainkan dari Hui Cu sehingga ia menjerit mengaduh-aduh. Wajah Kun Hong sama merahnya dengan wajah Hui Cu. Ia merasa tidak enak sekali dengan godaan Li Eng itu, maka ia segera berkata dengan lagak seorang tua, 

“Sudahlah, ditengah jalan jangan bergurau-gurau. Tidak patut dilihat orang!” 

Kemudian ditambahnya, 
“Kalau memang kalian membawa uang, mari kita makan di rumah makan itu.”

Tiga orang muda ini memasuki rumah makan yang besar dan mewah, juga kelihatan menarik sekali karena pintu, jendela dan meja bangkunya dicat merah dan kuning. Melihat tiga orang muda ini memasuki rumah makan, pelayan kepala menyambutnya sendiri, terbungkuk-bungkuk menyambut dengan seluruh muka bulat itu tersenyum lebar. 

“Silakan… silakan Sam-wi (Tuan Bertiga) masuk. Selamat datang dan silakan Sam-wi takkan kecewa memasuki rumah makan kami yang tersohor di seluruh negeri!”

Kalau Li Eng dan Hui Cu menerima sambutan yang amat menghormati ini dengan anggukan kepala angkuh, adalah Kun Hong yang menjadi sibuk membalas penghormatan orang. Ia melihat pelayan kepala ini orangnya gemuk, pakaiannya bersih dan rapi sekali, maka ketika ia melirik ke arah pakaiannya sendiri, ia menjadi malu dan sungkan. Pakaiannya lapuk dan kotor seperti pakaian jembel, bagaimana ia merasa enak hati menerima sambutan penghormatan sedemikian dari pengurus rumah makan ini?

Setelah ketiganya memilih sebuah meja di sudut dan mengambil tempat duduk, pelayan kepala ini seperti seekor burung kakatua nyerocos terus,

“Sam-wi hendak menikmati apa? Arak wangi dari selatan, arak buah dari Tung-to, atau arak ketan dari pantai? Kami ada masakan-masakan istimewa, khusus untuk Sam-wi. Daging naga di tim, jantung hati burung sorga goreng setengah matang, kepala burung Hong dipanggang bumbu merah, kaki gajah masak sayur, buntut singa masak jamur, atau masih banyak macamnya.”

Tiga orang itu saling pandang, Li Eng dan Hui Cu hanya tersenyum-senyum untuk menutupi perasaan malu karena semua nama masakan itu merupakan nama asing dan baru bagi mereka. 

Akan tetapi Kun Hong tanpa menyembunyikan keheranannya, mendengarkan dengan mata terbelalak dan mulut melongo. Tidak main-mainkah pelayan ini? Bagaimana orang bisa memasak daging naga, jantung burung sorga, burung Hong, gajah, singa dan lain-lain itu? Dia sampai menjadi bingung dan tak dapat memilih. Bagaimana ia harus memilih antara masakan yang memang selama hidupnya baru kali ini ia dengar namanya itu?







Next>>

Postingan populer dari blog ini

RAJA PEDANG (BAGIAN PERTAMA SERIAL RAJA PEDANG)

RAJAWALI EMAS (BAGIAN KE-2 SERIAL RAJA PEDANG)

JAKA LOLA (BAGIAN KE-4 SERIAL RAJA PEDANG)