RAJAWALI EMAS JILID 080

Akan tetapi Kun Hong, apalagi Li Eng juga Hui Cu, tidak mengerti akan bisikan ini, dan hanya memberi hormat seperti biasa mereka memberi hormat kepada orang lain yang sebaya usianya, yaitu dengan membungkuk dan mengangkat kedua tangan ke dada. 

Orang muda itu cepat bangkit dari duduknya dan gerakannya cepat sekali sehingga Hui Cu dan Li Eng segera dapat menduga bahwa orang itu tentu memiliki kepandaian ilmu silat yang lumayan juga. Setelah berhadapan, ternyata bahwa orang muda itu lebih berwajah gagah daripada tampan. Terutama sepasang matanya membuat orang tak berani menentang pandang matanya lama-lama, penuh wibawa dan gerak-geriknya agung dan hal ini mungkin ia biasakan untuk disesuaikan dengan kedudukannya, putera mahkota! 

Inilah dia Kian Bun Ti, putera mahkota yang sebetulnya adalah cucu dari Kaisar, putera dari mendiang Putera Mahkota atau putera sulung dari Kaisar.

Berdebar keras hati Li Eng dan Hui Cu ketika melihat betapa sepasang mata yang agak lebar itu memandang kepada mereka penuh perhatian, lalu terpancar sinar kagum dari mata itu sebelum mulutnya tersenyum dan suaranya terdengar ramah,

“Ah, Tai-hiap yang menjadi Sin-kai Pangcu (Ketua Perkumpulan pengemis baru) dan kedua Li-hiap (Pendekar Wanita)! Girang sekali hatiku Sam-wi suka datang bercakap-cakap!” 

Ia melangkah maju dan pandang matanya bergantian menelan wajah Li Eng dan Hui Cu. Kemudian ia menoleh kepada pelayan dan berkata dengan suara yang jauh berbeda, yaitu suara memerintah yang berpengaruh dan angker.

“Sediakan arak Sian-ciu (Arak Dewa) dan daging kering, kemudian enyahlah dari sini, beri tahu para cianpwe, supaya menunggu dan tidak boleh menghadap sebelum dipanggil!”

Pelayan-pelayan itu sambil merangkak mengundurkan diri dan tak lama kemudian mereka datang membawa hidangan yang diminta, lalu mengundurkan diri lagi. Pangeran Kian Bun Ti dengan ramah lalu mempersilakan tiga orang muda itu mengambil tempat duduk di dekat empang. Sikapnya yang ramah, budi bahasanya yang manis mengusir rasa sungkan dari tiga orang itu. Malah Li Eng dengan cepat menguasai kembali kelincahan dan kebebasannya.

“Aduh, indahnya ikan-ikan ini…. Enci Cu, kau lihat yang di sudut itu… yang disana itu… hi-hi, seperti ada jenggotnya!” Ia menarik tangan Hui Cu dan menuding-nuding dengan telunjuknya yang kecil runcing.

Pangeran Kian Bun Ti memandang kagum kepada dua orang gadis itu, terutama kepada Li Eng. Ia mendengar bahwa dua orang gadis itu memiliki kepandaian ilmu silat yang hebat. Tadi begitu bertemu, ia sudah heran bukan main karena sama sekali di luar dugaannya bahwa dua orang wanita kang-ouw yang menjadi “Jagoan” ternyata adalah dua orang dara remaja yang begini manis cantik jelita dengan bentuk tubuh yang tidak kalah oleh puteri-puteri istana. 

Apalagi sekarang, melihat mereka tertawa-tawa senang melihat ikan-ikan dengan sikap bebas dan sewajarnya, jauh bedanya dengan sikap puteri-puteri istana atau selir-selirnya, benar-benar menggugah rasa sayang di hati Pangeran ini. 

Akan tetapi diam-diam ia meragukan dan sangsi apakah benar-benar dua orang dara remaja jelita ini memiliki kepandaian ilmu silat yang tinggi? Rasa-rasanya tidak mungkin kalau melihat kehalusan sifat mereka dan usia mereka yang masih amat muda, Pangeran mahkota ini lalu mengalihkan perhatiannya kepada Kun Hong. Seorang pemuda sederhana yang halus budi dan bersikap sopan, begitu penilaiannya. 

Akan tetapi ketika Pangeran ini mengajak tamunya bicara tentang ketata-negaraan, ia kecewa karena ternyata bahwa pemuda aneh yang telah dipilih sebagai ketua baru dari perkumpulan Hwa-i Kai-pang yang baru itu, ternyata sama sekali buta politik kenegaraan dan kata-katanya penuh mengandung inti dari filsafat dan kebatinan sebagai penuntun manusia ke arah kebajikan. 

Hemm, orang muda yang berbakat menjadi pendeta, pikirnya kecewa. Orang seperti ini sama sekali tiada gunanya bagiku, demikian Pangeran Mahkota itu berkata kepada dirinya sendiri. Perhatiannya lalu diarahkan kembali kepada Li Eng dan Hui Cu yang masih mengagumi keindahan kembang-kembang, ikan-ikan dan arca serta ukiran indah yang menghias. taman,

“Pangcu, apakah kedua orang Li-hiap itu benar-benar keponakanmu? Kau masih begini muda, tidak akan jauh selisihnya usiamu dengan mereka, bagaimana bisa menjadi paman mereka?” akhirnya Pangeran itu bertanya kepada Kun Hong. 

Pemuda ini sebetulnya merasa kurang enak mendapat sebutan pangcu itu, akan tetapi karena memang kenyataannya ia sudah menerima kedudukan ketua Hwa-i Kai-pang, ia tidak dapat membantah.





Mendengar pertanyaan ini, Kun Hong tersenyum.
“Bukan keponakan dalam hubungan keluarga, Pangeran, melainkan dalam hubungan perguruan. Ayah saya adalah supek (uwa guru) dari ayah ibu mereka, oleh karena itulah maka saya terhitung sebagai paman guru mereka.” 

Pangeran Mahkota itu mengangguk-angguk. 
“Kalau begitu, Pangcu sebagai putera Ketua Hoa-san-pai dan sebagai paman dari kedua orang li-hiap ini, tentu memiliki ilmu silat yang tinggi sekali.”

Li Eng dan Hui Cu yang kini sudah duduk kembali di dekat Kun Hong, menahan senyum mereka mendengar ucapan ini. Kun Hong sendiri menjadi merah mukanya ketika ia menjawab,

“Ah, saya seorang yang bodoh mana tahu akan ilmu silat? Ayah dan Ibupun melarang saya belajar ilmu silat semenjak kecil. Berbeda dengan kedua orang keponakanku ini, sedikit-sedikit mereka mengerti ilmu silat, Pangeran.”

Pangeran Kian Bun Ti memandang kepada dua orang dara itu. Li Eng menentang pandang mata itu dengan sinar mata terbuka dan berani, sebaliknya, Hui Cu hanya membalas tenang-tenang kemudian menundukkan pandang matanya.

“Alangkah senangnya memiliki kepandaian siiat tinggi seperti Ji-wi Siocia ini dan alangkah akan merasa aman di hati kalau mempunyai teman seperti Ji-wi Li-hiap,” demikian kata Pangeran itu penuh kekaguman dan sepasang matanya memancarkan cahaya ganjil.

Namun Li Eng masih terlalu muda dan tidak ada pengalaman sehingga pandang mata seperti ini dianggapnya bukan apa-apa. Hui Cu lebih tajam dan perasa sehingga gadis ini berdebar-debar dan tidak berani lagi menentang pandang mata Pangeran muda itu.

“Ah, Pangeran terlalu memuji!” Li Eng malah berani membantah. “Sedikit ilmu silat seperti yang kami miliki ini apakah artinya dibandingkan dengan keadaan Pangeran? Tinggal di tempat begini indah, terjaga oleh penjaga yang kuat, tidak ada setanpun berani mengganggu!”

“Ha-ha-ha, Nona pintar sekali bicara!” Pangeran itu gelak terbahak. “Kau sama sekali tidak tahu betapa kedudukan seorang pangeran tidaklah seenak orang sangka. Bahaya selalu mengancam dari kanan kiri, nyawa selalu dalam bahaya. Karena itulah tadi aku mengatakan betapa akan senang dan amannya kalau dapat selalu berteman dengan Nona berdua yang pandai ilmu silat dan yang tentu akan dapat menghalau setiap orang jahat yang datang hendak mengambil nyawaku!”

Kun Hong mengerutkan keningnya, di dalam hatinya ia tidak senang mendengar ucapan yang mengandung maksud hati seorang pria terhadap wanita ini. Namun ia tidak mau sembarangan mengeluarkan ketidak senangannya, apalagi karena Li Eng dan Hui Cu agaknya sama sekali tidak dapat menangkap maksud sebenarnya yang bersembunyi di balik pujian-pujian Pangeran itu.

Pada saat itu terdengar bentakan keras, 
“Hendak kami lihat siapa akan dapat membelamu, Pangeran! Kematianmu sudah di depan mata, siaplah!” 

Dan tahu-tahu dua orang laki-laki setengah tua dengan gerakan ringan dan cepat sekali telah melayang ke tempat itu, masing-masing tangan mereka memegang sebatang pedang dan langsung mereka itu menerjang Pangeran Kian Bun Ti.

“Celaka….!” Pangeran itu menjadi pucat dan ketakutan.

“Bangsat hina jangan menjual lagak!” tiba-tiba tampak bayangan berkelebat dan Li Eng sudah melompat ke depan, diikuti oleh Hui Cu yang juga sudah mencabut pedangnya. 

Terdengar suara nyaring ketika dua pasang pedang itu bertemu di udara dan dua orang laki-kaki itu berteriak kaget sambil melangkah mundur satu tindak.

“Li Eng, Hui Cu, jangan membunuh orang!” Kun Hong dalam kagetnya berteriak kepada dua orang keponakannya itu.

Sementara itu, dua orang itu sudah menerjang maju, sekarang sasaran mereka bukanlah Pangeran Kian Bun Ti yang sudah lari bersembunyi di belakang pilar. Penyerang yang seorang, bertubuh pendek berkepala besar, dilayani oleh Hui Cu karena Li Eng sudah mendahuluinya menerjang orang ke dua kurus kering berusia lima puluh tahun lebih, 

Li Eng yang bermata tajam, begitu melihat gerakan dua orang ini ketika menyerang Pangeran tadi segera dapat tahu bahwa orang kedua yang kurus kering inilah yang terlihai diantara keduanya maka ia mendahului Hui Cu memapaki orang ini.

Memang tidak salah dugaan Li Eng. Orang kurus kering itu selain lihai dan cepat ilmu pedangnya, juga memiliki tenaga Iwee-kang yang tinggi sehingga pedang di tangannya itu tergetar-getar mengeluarkan hawa pukulan yang dahsyat. Pedangnya berkelebat seperti burung elang menyambar-nyambar menjadi gulungan sinar putih, tangan kirinya tidak hanya dipergunakan untuk mengimbangi gerakan pedang di tangan kanan, malah kadang-kadang masih membantu serangan pedang dengan melancarkan pukulan-pukulan dengan telapak tangan yang mengandung tenaga dalam yang berhawa panas! Pendeknya, orang ini adalah ahli silat kelas tinggi yang hanya dapat digolongkan dengan tingkat para busu pengawal pribadi kaisar. 

Namun kali ini ia ketemu batunya dalam menghadapi Li Eng. Dengan jurus-jurus gerakan Tian-mo Po-in (Payung Kilat Menyapu Awan) dari Hoa-san-pai gadis ini memapaki gulungan sinar pedang lawannya sehingga gulungan sinar pedang itu menjadi buyar dan kacau. Adapun pukulan-pukulan lawan dengan tangan kirinya itu dapat ia elakkan dengan mengandalkan kegesitannya.

“Eh, kenapa gerakan Tian-mo Po-in begini hebat?” tiba-tiba laki-laki itu berseru keras. “Jurus ini adalah jurus Hoa-san Kiam-hoat yang paling hebat, tapi kenapa begini aneh? Ayaaa!” 

Ia berseru makin kaget ketika pedang gadis itu hampir saja menusuk lehernya kalau ia tidak lekas-lekas membuang diri ke belakang. Aneh sekali sikap lawan ini, pikir Li Eng. Agaknya mengenal baik ilmu pedang Hoa-san-pai, akan tetapi mengapa berkata keras-keras seperti hendak memberitahukan kepada seseorang? Dengan gemas Li Eng lalu merubah ilmu pedangnya dan menyerang dengan dahsyat. Kembali orang itu berteriak keras sambil memutar pedang untuk menjaga diri.

“Eh, Hoa-san Kiam-hoat mengapa begini ganas? Kau campur dengan ilmu pedang dari manakah? Kau murid siapa?”

Panas juga perut Li Eng mendengar betapa orang ini agaknya mengenal baik ilmu pedangnya. Sambil mengirim tusukan bertubi-tubi ia berseru, 

“Orang macam kau perlu apa bicara tentang ilmu silat Hoa-san-pai? Kalau memang gagah, kau hadapi ini!” 

Tiba-tiba sinar hitam berkelebat dari tangan kirinya dan ternyata Li Eng sudah mengeluarkan sabuk sutera hitamnya dan kini pedang dan sutera hitam itu menyambar-nyambar dahsyat sekali, mengurung lawan itu dari segala penjuru! 

Orang itu lagi-lagi mengeluarkan seruan kaget, masih mencoba untuk menyebutkan satu demi satu semua jurus yang dimainkan Li Eng, akan tetapi akhirnya ia tidak dapat membuka mulut lagi karena sibuk menghadapi serangan yang membuat ia harus memeras tenaga dan kepandaian untuk melindungi tubuhnya.

Sementara itu, lawan yang menghadapi Hui Cu juga berteriak-teriak, 
“Bocah ini ilmu pedangnya Hoa-san Kiam-hoat tidak berapa tinggi, akan tetapi ilmu pedang apa ini yang begini indah?”

“Tak usah banyak mulut, terimalah ini!” 

Hui Cu membentak dan menyerang lebih hebat lagi. Namun orang itu ternyata memiliki kepandaian yang tinggi juga sehingga ia mampu menangkis dan membalas. Malah ia masih terus berkata keras-keras,

“Eh, mengingatkan aku akan ilmu pedang dari Bu-tek Kiam-ong! He, bocah, kau pernah apa dengan Bu-tek Kiam-ong Cia Hui Gan?”

Disebutnya nama guru ibunya itu, Hui Cu kaget juga akan tetapi tanpa menjawab ia menyerang terus bertubi-tubi dengan ilmu pedangnya yang amat indah.

“Hebat… hebat….!” 

Orang itu lagi-lagi memuji dan terpaksa berlaku hati-hati karena menghadapi dara remaja yang lihai ini ia maklum tak boleh bersikap sembrono.







Next>>

Postingan populer dari blog ini

RAJA PEDANG (BAGIAN PERTAMA SERIAL RAJA PEDANG)

RAJAWALI EMAS (BAGIAN KE-2 SERIAL RAJA PEDANG)

JAKA LOLA (BAGIAN KE-4 SERIAL RAJA PEDANG)