RAJAWALI EMAS JILID 081

Adapun Kun Hong yang bangun berdiri dan menonton dari pojok, maklum bahwa Li Eng dengan mudah akan dapat mengalahkan lawannya sedangkan Hui Cu juga seimbang kepandaiannya dengan lawan yang seorang lagi. 

Tanpa ia sadari Kun Hong sudah memiliki pengertian mendalam tentang ilmu silat dan terutama sekali Hoa-san Kiam-hoat pernah dibacanya sampai tamat. Ia juga melihat betapa gerakan-gerakan Li Eng amat berbeda dengan ilmu yang dibacanya, lebih ganas dan juga aneh. 

Sedangkan ilmu pedang yang dimainkan oleh Hui Cu adalah Hoa-san Kiam-hoat yang bercampur dengan ilmu pedang yang indah gerakan-gerakannya. Betapapun juga, melihat gerakan kaki gadis ini ia terheran-heran karena ia merasa pernah mengenal gerakan-gerakan ini. Tiada hentinya pemuda ini berseru penuh kekuatiran, 

“Li Eng! Hui Cu! Hati-hati jangan kalian membunuh orang!” 

Kun-Hong sama sekali tidak menguatirkan keselamatan dua orang keponakannya itu karena diluar kesadarannya ia telah dapat mengikuti pertandingan itu dan melakukan penilaian, akan tetapi ia amat kuatir kalau-kalau dua orang keponakannya itu melakukan pembunuhan, perbuatan yang amat dibenci-nya.

Pangeran Kian Bun Ti dengan mata berseri-seri memperhatikan dua orang gadis yang amat lihai itu, akan tetapi keningnya berkerut sebentar ketika ia menyaksikan sikap Kun Hong. Pikirnya, 

“Orang muda itu cerdik luar biasa, aneh dan baik budinya, tentu jujur dan setia. Akan tetapi sayang, hatinya lemah. Mana bisa aku memakai orang seperti ini?”

Biarpun wataknya jenaka dan nakal, namun entah bagaimana, Li Eng amat taat kepada pamannya atau lebih tepat lagi, ia tidak mau membikin marah atau susah kepada Kun Hong. Kalau menurut wataknya, orang yang jahat datang menyerang Pangeran ini patut ia bunuh kedua-duanya. 

Akan tetapi mendengar suara Kun Hong dan mengingat akan watak yang amat aneh dari pamannya ini, ia lalu memperhebat permainan sabuk suteranya sedangkan pedangnya hanya ia pakai untuk menangkis atau mengancam saja. Akhirnya lawannya tak dapat menahan lagi, terdengar bunyi “tar-tar-tar!” dengan nyaring bertubi-tubi dan orang itu memekik kesakitan, pedangnya terlepas dan ia meloncat tinggi lalu berjungkir-balik ke belakang. Muka, lengan dan leher luka-luka bekas cambukan sabuk sutera sedangkan beberapa bagian bajunya pecah-pecah.

“Si-te, lari!” teriaknya kepada temannya. 

Akan tetapi temannyapun amat bingung karena sedang didesak hebat oleh Hui Cu. Biarpun ia dapat mempertahankan diri, namun ia sama sekali tidak dapat mendesak gadis yang ilmu pedangnya indah dan lihai itu.

“Enci Cu, kata Paman tidak boleh dia dibunuh. Biarkan aku membagi hadiah kepadanya!” kata Li Eng sambil tertawa-tawa tanpa mengejar lawannya yang sudah kalah. 

Sebaliknya sabuk suteranya menyambar dan kini yang dijadikan bulan-bulanan adalah lawan Hui Cu. 

“Tar-tar-tar!” 

Orang inipun menjerit dan pedangnya terlepas, muka dan badannya babak-belur dimakan cambuk. Karena Hui Cu tidak menyerangnya lagi dan gadis nakal itu hanya mempergunakan sabuk sutera untuk menghajarnya, ia lalu melompat jauh mengikuti temannya yang sudah lari terlebih dulu, meloncat pagar taman dan menghilang.

“Hebat! Bagus sekali….!!” 

Pangeran Kian Bun Ti bertepuk tangan memuji sambil keluar dari belakang pilar, terus menghampiri Li Eng dan Hui Cu yang masih memegang pedang di tangan. Ia mengangguk-angguk dan berkata dengan wajah berseri,

“Nona berdua telah menyelamatkan nyawaku, entah dengan jalan apa aku dapat membalas budi kalian!”

Dua orang dara remaja itu hanya tersenyum dan wajah mereka juga berseri girang. Mereka tidak saja telah menolong tuan rumah yang amat ramah, akan tetapi lebih dari itu, telah menolong Pangeran, Pangeran Mahkota lagi! 





Akan tetapi Kun Hong mengerutkan kening! Perasaannya yang halus dan tajam dapat menangkap nada tersembunyi di dalam kata-kata itu tadi. Segera ia maju dan menjura kepada Pangeran Kian Bun Ti sambil berkata,

“Harap Pangeran jangan berkata demikian. Sudah semestinya kalau dua orang keponakan saya membela Pangeran dari penyerangan orang-orang jahat tadi. Dua orang keponakan saya tidak menanam budi dan Paduka tidak perlu berterima kasih.”

Pangeran Kian Bun Ti menatap pandang mata pemuda ini dan untuk sejenak keduanya berpandangan, seakan-akan hendak menjenguk isi hati masing-masing dan seperti orang “mengukur tenaga”, Pangeran itu hendak marah, dadanya sudah panas, akan tetapi ia menekan perasaannya lalu bertepuk tangan tiga kali. Sambil tersenyum ia berkata,

“Kegagahan dua orang Nona ini yang amat hebat sepatutnya dihormati dengan pesta dan perkenalan dengan para pembantuku.”

Selagi tiga orang muda itu terheran-heran dan tidak mengerti, dari pintu dalam tiba-tiba bermunculan beberapa orang, setelah berkumpul semua ternyata mereka berjumlah tujuh orang. 

Ada yang berpakaian seperti pendeta, ada yang bertubuh gagah tinggi besar, ada pula yang lemah-lembut, akan tetapi semua orang ini segera memberi hormat kepada Pangeran Mahkota dengan cara masing-masing. 

Melihat bahwa semua membawa senjata di pinggang atau di punggung, dapat diduga bahwa tujuh orang ini tentulah orang-orang yang pandai ilmu silat.

Pangeran Kian Bun Ti memperkenalkan tujuh orang pembantunya itu dan menyebut nama mereka, akan tetapi Kun Hong dan dua orang keponakannya tidak memperhatikan biarpun mereka menjura dengan hormat. Hati dua orang dara itu mulai tak senang karena pandang mata tujuh orang ini mengandung sikap kurang ajar.

“Ha-ha-ha, kalian lihatlah. Dua orang Nona inilah baru patut disebut pendekar wanita yang gagah perkasa dan cantik jelita! Pernahkah kalian melihat dua orang dara remaja sehebat ini? Dengan tangkas dan mudahnya mereka berdua berhasil mengusir dua orang jagoan lari tunggang-langgang!”

Seorang diantara mereka yang bertubuh tinggi besar bermuka hitam dan tadi diperkenalkan sebagai Souw Ki berjuluk Tiat-jiu Busu (Jagoan Tangan Besi), tersenyum ketika ia berkata, 

“Pilihan Paduka tepat sekali, Pangeran. Hamba menghaturkan selamat!”

“Ha-ha-ha! Benar-benar menggirangkan hati, Pangeran. Dengan adanya dua orang siuli (puteri-puteri istana) segagah ini, pinto dan teman-teman tidak akan begitu kuatir lagi apabila tidak sedang berada dekat Paduka!” 

Orang yang tertawa-tawa ini adalah seorang berpakaian pendeta tosu berambut panjang yang tadi diperkenalkan dengan nama Thian It Tosu. Ia mengelus-elus jenggotnya yang panjang pula sambil memandang kepada Li Eng dan Hui Cu dengan mata berkedip-kedip seperti seorang yang mengajak bermain mata. Bukan main sebalnya hati dua orang dara itu melihat kakek ini beraksi seperti monyet mencium terasi.

Sebelum Li Eng dan Hui Cu mengerluarkan suara untuk mengatakan kesebalan hati mereka, tiba-tiba terdengar suara berisik dan dari pintu yang menembus ke dalam gedung mungil itu berlari-larian keluar lima orang wanita muda yang cantik-cantik. 

Wanita-wanita ini masih muda, tidak akan lebih dari dua puluh lima tahun usianya dan pakaian mereka benar-benar membuat Li Eng dan Hui Cu memandang bengong. Pakaiannya itu mencolok sekali, terbuat dari sutera halus tipis sehingga samar-samar tampak pakaian dalam mereka yang berwarna-warni. Selain tipis membayang, juga amat ketat menempel pada tubuh mereka. 

Mereka ini rata-rata cantik jelita, ditambah dengan hiasan dan riasan pada muka dengan warna menghitam dan pemerah, kelima orang wanita muda ini semua memegang sebatang pedang terhunus yang mengkilap saking tajamnya! Munculnya lima orang wanita cantik berlenggang genit ini membuat tujuh orang tokoh jagoan itu tersenyum-senyum dan melirik-lirik. Sementara itu, Pangeran Kian Bun Ti segera menegur, juga dengan senyum,

“Eh-eh, kalian ini Lima Macan Cantik datang-datang membawa pedang telanjang mau apakah?”

Seorang yang agaknya tertua di antara mereka berlima, menjawab dengan sikap manja dan genit kepada Pangeran Mahkota itu, 

“Hamba berlima mendengar bahwa Paduka menerima dua orang baru yang dibanggakan berkepandaian tinggi. Karena selama ini kami berlima yang menjadi selir-selir pengawal, maka diterimanya selir pengawal baru, kami ingin sekali mengukur kepandaian mereka.” 

Setelah berkata demikian, dia dan empat orang temannya menoleh dan memandang kepada Li Eng dan Hui Cu dengan pandang mata tajam dan marah.

Pangeran Mahkota itu tertawa bergelak, juga tujuh orang pembantunya tertawa. Mengertilah mereka bahwa Lima Macan Cantik ini ternyata menjadi cemburu dan iri hati setelah mendengar perihal dua orang pendekar wanita itu.

“Ha-ha-ha, biarpun kalian cukup lihai, tak mungkin kalian dapat menangkan dua orang Nona perkasa ini.”

Kata-kata ini bagi lima orang wanita itu merupakan ijin, maka cepat mereka bergerak menghadapi Li Eng dan Hui Cu yang berdiri berdampingan dan yang memandang dan mendengarkan semua ini dengan kening berkerut. 

Ketika lima orang wanita yang indah-indah pakaiannya itu menghampiri mereka, keduanya juga balas memandang tajam penuh selidik. Mereka berdua harus mengakui bahwa lima orang ini benar-benar cantik dan bergaya lembut tapi angkuh seperti lagak puteri-puteri bangsawan. 

Setelah berdiri sejajar di depan dua orang gadis ini dengan pedang melintang di depan dada, yang tertua menudingkan telunjuk tangan kiri kepada mereka berdua sambil membentak,

“Dua bocah dari gunung, kalian mengandalkan apakah berani memikat perhatian Pangeran? Coba kalian hadapi pedang kami!”

Li Eng dan Hui Cu saling pandang. Gilakah perempuan ini? Siapa yang memikat perhatian Pangeran? Sementara itu, Kun Hong sudah melangkah maju dan menjura ke depan lima orang wanita itu.

“Ngo-wi Toanio (Nyonya Besar Berlima), harap sudi bersabar dan tidak salah duga. Dua orang keponakanku ini sama sekali tidak hendak memikat perhatian siapa-siapa dan kami percaya penuh bahwa Ngo-wi tentu paling cantik dan paling pandai. Dua orang keponakanku tidak berani melawan Ngo-wi….”

Li Eng dan Hui Cu tidak senang sekali mendengar kata-kata paman mereka yang amat merendah ini, akan tetapi lima orang wanita-wanita itu jelas kelihatan bangga dan juga girang. Akan tetapi, untuk menyatakan bahwa mereka berlima bukanlah wanita yang boleh dipermainkan, yang tertua segera menudingkan ujung pedangnya ke arah Kun Hong sambil membentak,

“Kau ini siucai jembel tak tahu aturan! Apa kau kira kami berlima ini adalah perempuan-perempuan sembarangan yang boleh diajak bicara oleh segala macam laki-laki seperti kau? Untuk dosamu ini seharusnya kupenggal kepalamu, akan tetapi karena Pangeran terkenal sebagai seorang besar yang budiman dan pengampun, biarlah kupotong telingamu yang kiri agar kau tahu bahwa kami tidak boleh dibuat main-main!” 

Setelah berkata demikian, pedang ditangannya berkelebat ke arah telinga kiri Kun Hong. Pemuda ini didalam hatinya terkejut sekali akan sikap yang berlebihan dari wanita-wanita ini. Terpaksa ia melangkah mundur terhuyung-huyung menurutkan gerak langkah ajaib. 

Wanita itu makin penasaran karena sabetannya luput, cepat ia melangkah maju dan mengayunkan pedangnya lagi kearah telinga kiri Kun Hong. Pemuda ini tetap terhuyung-huyung ke belakang dan sabetan-sabetan pedang itu tak pernah mengenai telinganya.

“Toanio, telinga adalah alat untuk mendengar, mana boleh dipotong?” kata Kun Hong, suaranya tetap tenang-tenang saja dan inilah yang lucu karena suaranya demikian tenang, akan tetapi ia terhuyung-huyung dan kelihatan gerak-geriknya seperti kebingungan. 

Memang, bagi yang tidak tahu, gerak langkah ajaib dari Kim-tiauw-kun memang merupakan gerakan orang ketakutan atau kebingungan. Maka tertawalah tujuh orang jagoan yang berdiri disitu.







Next>>

Postingan populer dari blog ini

RAJA PEDANG (BAGIAN PERTAMA SERIAL RAJA PEDANG)

RAJAWALI EMAS (BAGIAN KE-2 SERIAL RAJA PEDANG)

JAKA LOLA (BAGIAN KE-4 SERIAL RAJA PEDANG)