RAJAWALI EMAS JILID 086

“Taijin, saya ingin bicara terus terang, kalau menyinggung harap Taijin suka maafkan atau hukum, terserah, Setelah melihat keadaan di dalam istana-istana kerajaan, melihat kerajaan, melihat pembesar-pembesar istana, selaksa kali saya lebih suka menjadi ketua pengemis jembel daripada menjadi pembesar di istana! Menjadi ketua pengemis setidaknya masih mengingat akan nasib para pengemis, biarpun tampaknya hina namun merupakan pekerjaan mulia. Akan tetapi sebaliknya, orang-orang yang menyebut diri sendiri pembesar, yang hidup bergelimang dengan kemewahan, kemuliaan, dan kesenangan, apakah jasa mereka terhadap rakyat jelata? Pembesar-pembesar seperti Taijin ini, yang amat banyak jumlahnya di kota raja, pernahkah memikirkan nasib si kecil? Pernahkah mimpi bahwa kalau Taijin sedang tidur nyenyak didalam gedung istana indah, ratusan ribu rakyat di gunung-gunung kedinginan karena dinding gubuk bobrok dan atap daun bocor? Kalau Taijin sedang makan masakan kota raja yang enak dan lezat, ingatkah akan ratusan ribu rakyat yang mengerang kelaparan, bahkan ada yang mati karena perutnya kosong? Kalau setiap pagi dan sore berganti pakaian-pakaian indah dan mempersolek diri seperti Tuan Muda ini, pernahkah ingat akan ratusan ribu rakyat yang telanjang dan kedinginan? Padahal…” 

Sampai disini Kun Hong menarik napas panjang, lalu disambungnya lebih bersemangat lagi,

“padahal kalau tidak ada rakyat, takkan ada raja, takkan ada pembesar seperti Taijin ini, takkan ada istana-istana indah ini. Hemmm, sudah banyak kubaca tentang manusia-manusia yang menyebut diri sendiri pemimpin dan pembesar seperti Taijin dan sebangsanya. Diwaktu perang? Ah, ada rakyat yang maju! Diwaktu banjir? Musim kering panjang? Ada rakyat yang menanggulangi. Tapi kalau sudah mabuk penghidupan mewah dan enak rakyat dilupakan!”

Saking kaget, heran dan kagumnya, wajah Tan-taijin berubah-ubah dan wajah pemuda tampan itu kini menjadi merah sekali. Melihat wajah pembesar itu, Kun Hong makin bersemangat.

“Ah, Taijin terheran? Ha-ha, aku berani bertaruh bahwa orang seperti Taijin ini tak pernah keluar dari kota raja, setiap hari hanya mencium bau masakan sedap, melihat wanita cantik dan memakai pakaian indah. Coba Taijin tengok ke dusun-dusun, ke gunung-gunung, ke pinggir-pinggir laut, tengoklah kehidupan rakyat kecil disana. Mungkin Taijin akan terbuka mata dan tidak berani lagi menari-nari diatas kemelaratan rakyat, berlaku sewenang-wenang, menangkap orang-orang tak berdosa, merampas gadis-gadis begitu saja…”

“Tutup mulutmu! Kau tak tahu dengan siapa kau bicara!” 

Tiba-tiba pemuda tampan itu melompat maju dan “plak! Plak!” kedua pipi Kun Hong ditamparnya kanan kiri. Mata pemuda tampan itu berapi-api, marah sekali ia rupanya.

“Jangan, Tan-ji….! Mundurlah… betapapun juga, dia bicara tentang kenyataan, tentang kebenaran dan keadilan!”

“Tapi ia kurang ajar, Pek-hu. Ah, muak perutku melihatnya!” 

Pemuda tampan itu dengan marah lalu meninggalkan ruangan. Tan-taijin lalu bangkit dari bangkunya dan maju melepaskan belenggu tangan Kun Hong. Pemuda ini tidak merasa girang atau heran, hanya mengangkat kedua tangan mengusap kedua pipinya yang masih ada tanda lima jari merah bekas ditampar tadi. Panas tamparan tadi, tapi lebih panas lagi hatinya.

“Huh, laki-laki macam apa dia? pesolek dan galak, seperti banci saja!” gerutu Kun Hong dengan hati mengkal. 

Tan-taijin tersenyum ketika berkata,
“Kau maafkanlah dia, dia itu masih seperti anak kecil saja, Kwa-sicu, semua omonganmu tadi memang tepat, akan tetapi kau hanya tahu ekor tak melihat kepalanya, tahu satu tidak tahu dua. Kau mengaku dari Hoa-san dan she Kwa, sebetulnya kau masih ada hubungan apakah dengan Ketua Hoa-san-pai, Kwa Tin Siong Tai-hiap?”

“Saya… anaknya….” jawab Kun Hong agak gagap, sama sekali tidak mengira bahwa agaknya pembesar ini mengenal ayahnya.

“Ha-ha-ha, sudah kuduga!” kata Tan-taijin girang, kemudian ia mengelus jenggot dan menarik napas panjang. “Kau bersemangat seperti ayahmu. Hemm, tapi sebagai putra Ketua Hoa-san-pai, bagaimana kau tidak pandai ilmu silat? Tapi, hal itu bukan urusanku. Sekarang tentang dua orang gadis itu, kau bilang mereka itu adalah keponakanmu. Kalau begitu….” Pembesar itu mengingat-ingat, “apakah mereka itu keturunan dari Saudara Thio Ki ataukah Saudara Kui Lok!”

Makin heranlah Kun Hong. Kiranya pembesar ini banyak mengenal keluarga Hoa-san-pai!

“Dugaan Taijin tidak keliru, Li Eng adalah puteri Paman Kui Lok, sedangkan Hui Cu adalah puteri Paman Thio Ki,” katanya cepat dan kini ia mulai memperhatikan wajah yang tampan dan gagah dari pembesar bertubuh raksasa itu.





Bukan main kagetnya hati Tan-taijin. 
“Ah, aku harus cepat membebaskan mereka! Kwa Kun Hong, ketahuilah, aku adalah sahabat baik dari ayahmu dan semua orang Hoa-san-pai, bahkan sahabat seperjuangan. Sekarang terpaksa kau berdiam dulu dalam kamar tahanan, aku perlu pergi ke Istana Kembang membebaskan dua orang gadis itu.” 

Kun Hong girang sekali akan tetapi sebelum ia sempat menyatakan terima kasihnya, pembesar itu menepuk tangan dan masuklah beberapa orang pengawal.

“Antarkan kembali pemuda ini ke dalam kamar tahanan, akan tetapi jangan dibelenggu dan perlakukan sebagai tamuku!” 

Para pengawal itu memberi hormat dan dengan halus Kun Hong digandeng pergi dari ruangan itu. Dengan sudut matanya Kun Hong berusaha mencari pemuda tampan yang tadi menampar pipinya, akan tetapi tidak terlihat dan diam-diam ia berjanji kelak akan membalas tamparan ini. Baru kali ini bisa timbul dendam di hati Kun Hong, suatu hal yang baginya sendiri teramat aneh.

Tergesa-gesa Tan-taijin malam hari itu juga pergi menuju ke Istana Kembang dengan maksud membebaskan Li Eng dan Hui Cu dari tahanan. Ia kuatir sekali kalau-kalau kedatangannya terlambat. Kalau sampai dua orang gadis itu diganggu oleh Pangeran, hal ini akan mempunyai akibat yang hebat sekali. 

Mereka adalah putera-puteri tokoh Hoa-san-pai, kalau terjadi hal ini berarti Pangeran telah menodai nama baik Hoa-san-pai. Tidak saja pihak Hoa-san-pai tentu takkan dapat menerimanya, bahkan dunia kang-ouw akan geger karenanya, terutama sekali saudara angkatnya, Si Raja Pedang Tan Beng San yang mempunyai hubungan erat dengan Hoa-san-pai, tentu akan menyesal bukan main, paling perlu ia membebaskan dua orang gadis itu dulu, baru pada keesokan harinya ia boleh bicara dengan Pangeran Mahkota. 

Kalau ia menceritakan keadaan yang sebenarnya dan tentang jasa-jasa Hoa-san-pai, kiranya Pangeran takkan menyesal dengan dibebaskannya dua orang gadis itu. Andaikata Pangeran tetap menyesal, ia dapat mempergunakan pengaruh Kaisar untuk meredakannya atau kalau perlu, demi kepentingan ini, ia rela mengundurkan diri, kembali ke dusun. 

Kata-kata Kun Hong tadi membangkitkan semangatnya, membuat ia terkenang akan keadaan dahulu dan diam-diam ia harus mengaku bahwa selama bertahun-tahun ia hidup di istana, memang hampir terlupa olehnya bahwa rakyat hingga sekarang masih banyak yang menderita!

Akan tetapi, setibanya ia di Istana Kembang, ternyata kedatangannya telah terlambat! Bukan terjadi seperti yang ia kuatirkan. Pangeran Mahkota tidak sempat mengganggu dua orang gadis itu karena belum datang malam itu, masih di istana. Akan tetapi terjadi lain hal yang hebat, yaitu, dua orang gadis itu telah berhasil melarikan diri dan seluruh penghuni Istana Kembang itu, dua orang selir Pangeran yang bertugas membujuk dua orang gadis itu, empat orang pelayan wanita yang bertugas melayani, dan lima orang perajurit pengawal yang tinggi juga kepandaiannya, semua telah tewas! 

Dua orang gadis Hoa-san-pai itu lenyap dan sebelas orang manusia terbunuh. Istana Kembang yang indah, yang biasanya menjadi tempat peristirahatan Pangeran, sekarang menjadi tempat menyeramkan dengan darah berceceran dan mayat bergelimpangan!

Tan-taijin kaget sekali, membanting-banting kedua kaki. Ia menyesal mengapa Pangeran begitu gegabah, bermain kasar terhadap murid-murid Hoa-san-pai, juga ia menyesal sekali mengapa dua orang gadis itu setelah berhasil melarikan diri, berlaku begini ganas dan kejam? Cepat ia melakukan pemeriksaan dan sebentar saja para jagoan dari istana berdatangan ketika mendengar peristiwa hebat itu. Sebetulnya apakah yang telah terjadi?

Seperti telah kita ketahui, karena sama sekali tidak menyangka akan diserang dan juga karena memang kepandaian Ang-moko dan Bong-lokai amat tinggi, Li Eng dan Hui Cu secara tiba-tiba tertotok roboh dan mereka ini sama sekali tidak melawan ketika dibawa ke dalam Istana Kembang dan ditahan di dalam sebuah kamar yang indah dan mewah. 

Sebelum meninggalkan dua orang gadis tawanan ini kepada dua orang selir Pangeran yang diserahi tugas untuk membujuk halus, lebih dulu mengikat tangan nona itu agar kalau nanti kembali dari totokan, takkan mengamuk. Kemudian para jagoan meninggalkan Istana Kembang untuk memberi laporan kepada Pangeran yang tadi pulang terlebih dulu. 

Pada malam hari itu, selagi Tan-taijin memeriksa Kun Hong dan Pangeran Mahkota dengan girang mendengarkan laporan para jagoannya bahwa dua orang dara remaja yang dirindukannya itu telah tertawan, terjadilah hal yang hebat di Istana Kembang itu. 

Sesosok bayangan berjalan lambat memasuki pekarangan istana itu. Orang ini sudah tua, tubuhnya tinggi besar dan kokoh kekar, jalannya sempoyongan dan tenggorokannya mengeluarkan suara meringik-ringik atau merintih-rintih seperti orang menangis. Akan tetapi mulutnya terdengar menggerutu, 

“Anak murid Hoa-san-pai? Ha, anak murid Hoa-san-pai….”

Lima orang perajurit pengawal yang bertugas menjaga Istana Kembang di malam itu, terheran-heran melihat datangnya seorang kakek berpakaian putih disitu. Mereka mengira bahwa tentulah seorang pengemis gila, maka seorang diantaranya segera membentak,

“Hee! Kakek gila, keluar kau”

Akan tetapi kakek berpakaian putih ini seperti tidak mendengar bentakannya, terus melanjutkan perjalanannya melewati pekarangan menuju ke pintu depan. Tentu saja lima orang pengawal itu menjadi marah dan juga curiga. Dengan gerakan cepat mereka melompat dan tahu-tahu mereka sudah berdiri menghadang di depan kakek itu.

“He, Kakek! Apa kehendakmu dan siapa kau?” tegur seorang diantara mereka dengan sikap mengancam.

Kakek itu tetap tidak mengacuhkan mereka, memandangpun tidak, hanya menggumam, 

“Anak murid Hoa-san-pai…”

Lima orang itu makin curiga dan mereka sudah meraba gagang golok dan pedang. Jangan-jangan orang ini adalah teman gadis-gadis yang ditahan dan hendak merampasnya, pikir mereka.

“Siapa kau? Jangan main-main disini, orang gila. Keluar atau kau akan merasakan tajamnya golokku!” seru seorang diantara mereka sambil mencabut goloknya. empat orang yang lain juga sudah mencabut senjata masing-masing.

Namun kakek itu agaknya benar-benar gila. Ringik tangis di tenggorokannya masih terdengar terus dan bibirnya tiada hentinya berkata, 

“Serahkan padaku anak murid Hoa-san-pai….” 

Sementara itu kedua kakinya masih terus melangkah ke arah pintu, agaknya hendak memaksa memasuki istana itu.

“Orang gila sudah bosan hidup!” teriak para pengawal marah dan berbareng mereka menggerakkan senjata, ada yang menusuk paha, ada yang membacok pundak, pendeknya mereka hendak merobohkan kakek itu tanpa membunuhnya. 

Akan tetapi semua bacokan itu mengenai angin belaka, padahal kakek itu kelihatannya tidak mengelak sama sekali! Para pengawal itu terkejut bukan main dan mereka sadar bahwa orang gila ini bukanlah orang sembarangan. Namun kesadaran mereka terlambat karena dengan sekali renggut saja kakek itu telah mencabut sebatang pohon bunga di depan istana, tercabut berikut akar-akarnya pohon sebesar paha orang itu, kemudian tanpa banyak cakap lagi ia menghajar lima orang pengawal dengan pohon ini! 

Lima orang pengawal itu mencoba sedapat mungkin untuk menangkis atau mengelak, meloncat kesana kemari, namun sia-sia belaka, Tak sampai lima menit mereka semua telah roboh dengan kepala pecah dan tulang-tulang patah tanpa nyawa lagi!

Setelah merobohkan lima orang ini, kakek gila tadi melemparkan batang pohon secara sembarangan, lalu berjalan terus dengan langkah lebar ke pintu. Pintu itu terpalang dari depan, namun sekali dorong daun pintu yang tebal itu terbuka, palangnya patah-patah dan sambil mengomel panjang pendek dan ringik tangis masih terdengar, kakek ini melangkah masuk.

Dua orang pelayan wanita muncul dengan kaget dari dalam. Mereka menjerit ngeri ketika melihat seorang kakek aneh berjalan masuk dan daun pintu telah roboh dan pecah. Kakek itu agaknya marah mendengar jeritan mereka. Tangannya bergerak kearah mereka dan pelayan itu roboh terjungkal, mati tanpa dapat bersambat lagi. Lalu kakek ini melangkah terus.






Next>>

Postingan populer dari blog ini

RAJA PEDANG (BAGIAN PERTAMA SERIAL RAJA PEDANG)

RAJAWALI EMAS (BAGIAN KE-2 SERIAL RAJA PEDANG)

JAKA LOLA (BAGIAN KE-4 SERIAL RAJA PEDANG)