RAJAWALI EMAS JILID 087

“Anak murid Hoa-san-pai, mana anak murid Hoa-san-pai?” demikian terdengar ia bicara perlahan. 

Semua pintu kamar dibukanya dan ia mencari terus sampai ke kamar di sebelah belakang.

Pada saat itu, dua orang selir Pangeran dengan lagak genit dan centil sekali tengah membujuk Li Eng dan Hui Cu yang terbelenggu diatas pembaringan. Mereka membujuk-bujuk agar supaya dua orang gadis itu menurut saja menjadi selir Pangeran, malah tanpa malu-malu lagi dua orang wanita yang sudah tidak mengenal lagi kesusilaan ini menceritakan hal-hal yang tak patut didengar telinga sopan, memuji-muji Pangeran yang muda dan tampan itu dan betapa senangnya menjadi selirnya. 

Mula-mula Li Eng dan Hui Cu memaki-maki, akan tetapi lama-lama mereka lelah sendiri dan meramkan mata, sama sekali tidak mau melihat atau mendengar lagi. Kalau saja tangan mereka tidak terbelenggu, pasti sekali pukul mereka merobohkan dua orang yang tak tahu malu ini. Sementara itu, dua orang pelayan wanita juga berada di dalam kamar untuk melayani dua orang selir tadi.

Tiba-tiba pintu kamar itu terdorong dari luar, terbuka dan masuklah Si Kakek tadi. Dua orang selir Pangeran itu bukanlah wanita-wanita lemah, mereka melompat dan menyambar pedang masing-masing.

“Siapa kau….?” 

Belum habis gema suara ini, dua orang selir itu telah terlempar dan kepala mereka terbentur tembok, pecah dan tewaslah mereka. Diam-diam kaget sekali hati Li Eng dan Hui Cu melihat betapa dengan gerakan kedua tangannya, kakek ini melakukan pukulan jarak jauh yang mampu membinasakan dua orang selir itu. 

Adapun dua orang pelayan yang menjadi ketakutan segera menjerit-jerit. Akan tetapi dua kali tendangan menamatkan hidup mereka. Sekaligus kakek ini telah membunuh empat orang di dalam kamar itu, dua orang di luar kamar dan lima orang di luar rumah. Kemudian ia menghampiri Li Eng dan Hui Cu, memandang sejenak lalu terdengar ia berkata,

“Anak murid Hoa-san-pai….?” 

Li Eng dari Hui Cu tidak tahu siapa kakek ini dan apa gerangan maksudnya dengan perbuatannya yang mengerikan itu, tidak tahu pula apa maksudnya bertanya tentang anak murid Hoa-san-pai. Akan tetapi karena dapat menduga bahwa kakek itu tentulah seorang tokoh luar biasa di dunia kang-ouw dan tentu mengenal baik Hoa-san-pai, Li Eng yang lebih tabah itu menjawab,

“Benar, Locianpwe, kami berdua adalah murid Hoa-san-pai….” 

Tiba-tiba kakek itu menggerakkan kedua tangan dan dilain saat tubuh Li Eng dan Hui Cu telah dipanggulnya di kanan kiri atas pundaknya, kemudian bagaikan terbang ia berlari keluar dari istana yang penghuninya telah dibunuhnya semua itu!

Ketika kota raja geger dan pintu pintu gerbang kota raja sudah ditutup dan dijaga keras, kakek ini telah lama meninggalkan kota raja dengan memanggul dua tubuh gadis itu. Ia berlari terus secepat angin menembus gelap malam dan menjelang tengah malam tibalah ia di sebuah hutan, langsung memasuki hutan itu dan menuju ke sebuah kelenteng kuno yang sudah kosong.

Ia masuk di ruangan belakang kelenteng itu yang ternyata bersih. Melihat betapa di dalam gelap ia dapat bergerak leluasa, dapat diduga bahwa ia sudah hafal akan tempat ini. Sambil meringik-ringik terus ia melepaskan dua tubuh dara itu ke atas lantai secara kasar, mulutnya tiada hentinya berbisik.

”Anak murid Hoa-san-pai… hemm, anak murid Hoa-san-pai…”

Li Eng dan Hui Cu sudah terbebas dari totokan dan kini mereka berusaha melepaskan belenggu yang mengikat kedua tangan mereka. Tentu saja mereka dapat menggerakkan kaki dan andaikata menghadapi seorang biasa saja, dengan kaki mereka dua orang dara perkasa ini sanggup merobohkannya. 

Akan tetapi kini mereka menghadapi seorang kakek aneh yang saktl, tentu saja mereka tidak berani berlaku sembrono menyerang dengan kaki saja! Mereka mendapat kenyataan bahwa lantai itu licin dan bersih, dan mereka menduga-duga apa yang akan dilakukan oleh kakek itu terhadap diri mereka, tiba-tiba terdengar bunyi benda-benda nyaring dan terjadilah api. 

Tak lama kemudian ruangan itu menjadi terang oleh sebatang lilin yang dipasang oleh kakek itu diatas sebuah meja sembahyang yang sudah butut. Ngeri juga hati dua orang gadis itu melihat wajah kakek yang tua dan menyeramkan tadi tersinar cahaya lilin. Kakek itu kini tertawa terkekeh-kekeh sambil memandang mereka.





“Heh-heh-heh-heh! Anak-anak murid Hoa-san-pai! Muda-muda dan cantik, tapi semua anak murid Hoa-san-pai genit-genit, cabul dan tidak tahu malu!”

“Kakek tua bangka gila!” 

Li Eng tak dapat menahan kemarahannya mendengar kata-kata yang amat menghina nama baik Hoa-san-pai ini. 

“Mulutmu kotor, kau manusia ataukah iblis? Kami orang-orang Hoa-san-pai selalu memegang tinggi kesopanan dan pribudi kebijaksanaan, jangan sembarangan kau menuduh!”

Kakek itu tertegun kaget mendengar suara ini dan melihat sikap Li Eng yang berani. Akan tetapi hanya sebentar karena ia terkekeh kembali.

‘”Heh-heh-heh! Sama saja semua. Kelihatannya memang sopan-sopan, lagaknya seperti pendekar-pendekar, akan tetapi begitu dekat laki-laki lalu menjadi cabul. Mempunyai anak diluar pernikahan, coba bilang, apakah itu tidak cabul dan tak tahu malu?”

“Keparat! tua bangka! Lepaskan belenggu ini dan mari kita bertanding untuk membela pendirian kita. Kau akan mampus di tanganku untuk menebus ucapanmu yang menghina Hoa-san-pai!” kata pula Li Eng.

“Heh-heh-heh, hendak kulihat kau akan mampu berbuat apa nanti. Tapi nanti, kau harus mengalami penghinaan lebih dulu. Semua wanita Hoa-san-pai harus mengalami penghinaan, sesuai dengan watak Hoa-san-pai yang hina” Ucapan ini disusul gerakan tangannya menyambar ke arah tubuh Li Eng.

“Brettt!” 

Baju yang menempel di tubuh Li Eng bagian atas hancur berkeping-keping dan bertaburan seperti daun-daun kering tertiup angin, Li Eng menjerit dan cepat menggunakan kaki menggulingkan tubuh sehingga yang hancur hanya pakaian bagian pundak dan leher saja, akan tetapi cukup banyak sehingga membuat tubuh atasnya setengah telanjang. 

Mula-mula ia memaki-maki marah, akan tetapi makiannya berubah menjadi jerit mengerikan ketika ia melihat kakek itu mendekatinya dengan muka seperti iblis dan dari pandangan matanya jelas tampak nafsu untuk menghina, untuk membikin malu dan merendahkan dua orang gadis itu. 

Sementara itu, Hui Cu sudah bangkit berdiri dan memandang dengan muka pucat. Gadis ini belum diganggu, mungkin karena sejak tadi ia diam saja, tidak seperti Li Eng yang memaki-maki sehingga agaknya kemarahan kakek aneh itu ditumpahkan kepada Li Eng semua.

Melihat kakek itu seperti gila, Li Eng menjadi nekat. Ia maklum bahwa akan sia-sia membujuk kakek ini agar tidak melakukan hal-hal yang tidak patut. Ketika kakek itu bergerak maju hendak mencengkeramnya, Li Eng secepat kilat mengangkat kaki kanan menendang. 

Tendangannya hebat dan cepat, yang diarah adalah pusar tempat yang paling berbahaya. Namun, sambil terkekeh-kekeh kakek itu menangkis ke bawah dengan tangan kiri sedangkan tangan kanannya menjangkau ke depan.

Li Eng membuang dirinya ke belakang, bergulingan untuk menghindarkan diri dari serangan kakek itu. 

“Heh-heh-heh, anak murid Hoa-san-pai, kau hendak lari kemana?” katanya sambil mengejar terus. 

Pada saat itu, dari belakangnya menyanbar angin tendangan Hui Cu yang tidak bisa berdiam diri saja melihat Li Eng terancam. Namun tubuh Hui Cu malah terpental dan gadis ini roboh terguling ketika tangan yang amat kuat menangkis kakinya.

“Enci Cu, lari….!” tiba-tiba lilin diatas meja padam, ternyata Li Eng telah mempergunakan kesempatan ketika Hui Cu menyerang kakek itu tadi untuk melompat ke dekat meja dan meniup padam lilin di atas meja, kemudian ia berteriak mengajak Hui Cu lari. 

Hui Cu maklum bahwa usaha itu tidak banyak harapannya, namun itulah jalan satu-satunya, yakni mencoba untuk melarikan diri ke dalam hutan yang lebat itu. Iapun lalu meloncat berdiri dan secepat kilat ia lari menerobos pintu, keluar kelenteng. 

Dua orang gadis itu lari tersaruk-saruk, dan jatuh bangun di dalam gelap, akan tetapi akhirnya mereka sampai juga diluar kelenteng dan ternyata keadaan disitu tidak segelap di dalam karena bulan sudah muncul.

Namun, alangkah mendongkol, gelisah dan kecewanya mereka ketika mereka tiba diluar kelenteng, kakek tadi sudah berada disitu pula, berdiri tegak sambil terkekeh-kekeh mengejek. Entah kapan kakek itu keluar, dan hal ini saja menambah bukti betapa saktinya kakek aneh yang seperti orang gila ini.

“Locianpwe, harap kau jangan menganggu kami,” tiba-tiba Hui Cu yang sejak tadi diam saja kini mengeluarkan suara, menurutkan pikirannya yang mendapatkan sebuah akal. “Kami sedang dalam perjalanan menuju ke Thai-san untuk memberi hormat kepada paman kami Raja Pedang Tan Beng San. Harap kau orang tua memandang muka Paman Tan Beng San dan suka membebaskan kami berdua!” 

Hui Cu mendapatkan akal ini untuk membawa nama Tan Beng San yang tentu saja dikenal semua tokoh persilatan, agar kakek itu menjadi sungkan dan mundur.
Siapa kira, mendengar kata-kata ini kakek itu menjadi makin menggila. Ia membanting-banting kakinya dan berteriak,

“Tan Beng San si keparat jahanam? Mana dia biar kuhancurkan kepalanya, seperti ini!”

Ia menghantam kekiri dan sebatang pohon sebesar paha orang segera tumbang dengan sekali pukul. Kemudian ia terkekeh-kekeh lebih menyeramkan. 

“Kau keponakan Tan Beng San? Heh-heh-heh kebetulan sekali, kau harus merasai bagaimana dihina dan disakiti orang!” kalau tadi ia menumpahkan kemarahannya kepada Li Eng yang memaki-makinya kini ia mulai menubruk ke arah Hui Cu. 

Gadis ini terkejut dan mengelak kekiri, akan tetapi karena kedua tangannya terbelenggu, ia terhuyung-huyung, dan cengkeraman kakek itu mengenai tali rambutnya sehingga rambutnya terlepas, terurai keatas pundaknya.

Sambil terkekeh-kekeh kakek itu menubruk lagi namun kini Li Eng maju menolong Hui Cu, mengirim tendangan berantai dari belakang. Betapapun lihainya gadis ini, dengan kedua tangan terbelenggu ke belakang, keseimbangan tubuhnya sukar diatur maka tendangan berantai yang mestinya cepat dan dahsyat itu menjadi kurang daya serangnya. 

Apalagi yang diserang adalah seorang kakek yang sakti. Dengan sedikit miringkan tubuhnya dan membabat dengan tangan kiri, tubuh Li Eng kena dibikin terpelanting dan untuk sekian kalinya gadis ini rebah mencium tanah!

Kakek itu kini melangkah perlahan mendekati Hui Cu yang sudah berdiri dengan tubuh gemetar saking lelah dan gelisahnya. Ia sudah mengambil keputusan nekat, kalau tidak dapat menghindarkan diri dari kakek gila ini, ia akan menyerang dengan kepalanya untuk membunuh atau terbunuh! 

Pada saat yang amat berbahaya bagi Hui Cu ini, tiba-tiba berkelebat bayangan hitam disusul bentakan keras. 

“Kakek jahat, pergilah!” Bayangan itu menyambar ke arah kakek itu. 

“Dukk!” dua tangan bertemu dan keduanya terhuyung ke belakang, disusul seruan kaget bayangan itu dan seruan heran Si Kakek tadi. 

Agaknya pertemuan kedua tangan itu membuat mereka kaget karena ternyata bahwa lawan amatlah tangguh. Kembali bayangan itu dengan gerakan yang cepat sekali menyambar, tangan kiri menghantam akan tetapi segera disusul tangan kanan yang memukul sedangkan tangan kanan kiri ditarik pulang.

“Plak! Plak!” 

Kembali keduanya terhuyung hampir roboh karena telah saling bertukar pukulan. Pukulan bayangan itu mengenai sasaran tetapi pada saat yang sama Si Kakek berhasil pula memukulnya! 

Bayangan itu disamping kekagetannya, marah. Terdengar ia mengeluarkan bunyi melengking keras lalu tubuhnya berkelebat menyerang kakek itu dengan dahsyat sekali. Kakek itupun tidak tinggal diam, menggereng dan menyambut serangan ini, malah kemudian kakek ini mengeluarkan suara melengking juga seperti orang menangis.







Next>>

Postingan populer dari blog ini

RAJA PEDANG (BAGIAN PERTAMA SERIAL RAJA PEDANG)

RAJAWALI EMAS (BAGIAN KE-2 SERIAL RAJA PEDANG)

JAKA LOLA (BAGIAN KE-4 SERIAL RAJA PEDANG)