RAJAWALI EMAS JILID 100

Orang itu menghampiri kamar kedua orang laki-laki tinggi besar tadi dan mengetuk perlahan, Pintu segera dibuka dan orang itu masuk, pintu kamar segera ditutup lagi. Kun Hong menjadi curiga sekali dan merasa tidak enak hatinya. Dua orang tinggi besar tadi selalu memandang ke arah kamar Si Pemuda, sekarang ada tamu yang demikian mencurigakan dan aneh, tentu mereka mempunyai niat yang tidak baik. 

Pikirannya berjalan cepat. Ia lalu mengatur bantalnya memanjang lalu diselimutinya seperti orang tidur berselimut, sedangkan dia sendiri lalu melompat turun dengan hati-hati, kemudian dengan menggunakan ilmunya meringankan tubuh ia melompat ke atas genteng.

Hatinya berdebar keras karena baru sekarang inilah ia mempergunakan ilmu yang dipelajarinya di puncak itu untuk melompat naik ke atas genteng dengan maksud mengintai kamar orang lain! 

Di puncak dahulu sudah biasa ia melompati jurang-jurang lebar, tentu saja meloncat ke atas genteng merupakan pekerjaan mudah baginya, akan tetapi karena tidak biasa, ia menjadi berdebar dan berhati-hati sekali. Cepat ia bersembunyi di belakang wuwungan rumah dan memasang telinga mendengarkan percakapan di dalam kamar dua orang laki-laki tinggi besar itu. Segera ia mendengar suara orang laki-iaki yang parau, agaknya suara orang yang baru datang tadi,

“Ji-Wi laote, Twako kita melarang kalian mengganggu pemuda yang hendak pergi ke Thai-san itu. Menurut Twako, kalau kita turun tangan disini, paling banyak hanya dapat merampas bekal dan pedangnya, sedangkan resikonya kalau sampai hal ini terdengar oleh Thai-san-pai, tentu mereka akan berhati-hati.”

“Hemm, habis, apa yang harus kita lakukan?” terdengar suara lain.

“Sekarang Twako sedang mengumpulkan semua saudara, malah kabarnya Ji-ko dan Sam-ko (Kakak ke Dua dan ke Tiga) juga datang, bersama Hui-liong Sam-heng-te yang bersedia membantu. Twako menyuruh aku datang memberi tahu Ji-wi (Kalian Berdua) untuk bersamaku sekarang juga datang kesana, mendengar petunjuk-petunjuk lebih jauh dan mengadakan perundingan.”

“Baiklah.”

Terdengar jendela dibuka dari dalam dan berturut-turut tiga sosok bayangan orang melesat keluar terus meloncat keatas genteng. Kun Hong bersembunyi cepat dan ia berhati-hati sekali, tidak segera memperlihatkan diri. Perbuatannya ini menolongnya karena ia melihat bayangan lain yang gerakannya cepat sekali berkelebat mengejar tiga sosok bayangan yang sudah berlari lebih dulu itu. Ia menahan napas. 

Untung ia tidak cepat-cepat muncul, kalau demikian halnya tentu orang keempat itu akan melihatnya. Ia merasa heran, menduga-duga siapakah adanya orang keempat itu yang seperti juga dia, melakukan pengintaian. Orang itu tidak terlihat mukanya, hanya bayangannya memperlihatkan tubuh yang ramping kecil. Karena ia tidak ingin dilihat orang, baik oleh tiga orang pertama maupun oleh orang keempat yang mengikuti tiga orang itu, Kun Hong sengaja berlari mengejar dari jauh.

Kurang lebih sejam mereka berkejaran di dalam gelap dan ternyata tiga orang itu memasuki sebuah kuil tua yang sudah rusak, terletak di luar kota dekat sebuah rawa yang sunyi. 

Kun Hong membiarkan pengintai di depannya itu melompat ke atas genteng lebih dulu, baru kemudian ia menyelinap diantara pohon-pohon di belakang kuil dan mencari tempat sembunyi dan pengintaian dari sebuah jendela yang sudah tidak dipakai dan rusak daun jendelanya.

Di dalam kuil itu terdapat ruangan yang luas dan kotor, akan tetapi sekarang disitu berkumpul beberapa orang mengelilingi meja bobrok, agaknya bekas meja sembahyang. 

Lima batang lilin menyala menerangi ruangan dan keadaan amat seram dengan beberapa patung rusak menghias pojok ruangan. Seorang penakut tentu akan menyangka mereka itu setan-setan yang berpesta-pora di dalam kuil tua itu. Karena ruangan itu cukup terang, Kun Hong dapat melihat wajah mereka itu.

Pertama-tama ia melihat wajah dua orang laki-laki tinggi besar yang berada di rumah penginapan. Dua orang laki-laki ini berusia empat puluh tahun. Orang ketiga yang duduk dekat mereka agaknya adalah orang yang menyusul ke rumah penginapan tadi, orangnya kecil kurus dengan muka ciut seperti tikus dan di punggungnya tergantung pedang, agaknya pedang pasangan karena kelihatan dua gagang pedang. 

Sekarang Kun Hong mencurahkan perhatian kepada orang-orang yang duduk di kepala meja. Seorang bertubuh pendek gemuk berperut besar berusia lima puluh tahun lebih akan tetapi mukanya segar kemerahan dan bundar seperti muka kanak-kanak, gerak-geriknya halus akan tetapi Kun Hong yang sudah membaca kitab-kitab ilmu pengobatan dari Yok-mo, tahu bahwa orang itu adalah seorang ahli Iwee-keh (tenaga dalam) yang lihai. 





Dari percakapan mereka, orang inilah yang dipanggil Twako (Kakak Tertua) tadi. Orang di sebelah kirinya adalah seorang yang usianya lebih tua, rambutnya sudah putih semua, tubuhnya sedang akan tetapi punggungnya agak bongkok, matanya juling, di punggungnya tampak gagang senjata ruyung. Orang ini disebut Ji-ko (Kakak ke Dua). Orang yang disebut Sam-ko (Kakak ke Tiga) oleh Si Muka Tikus adalah seorang yang masih muda, paling banyak tiga puluh lima tahun usianya, wajahnya tampan dan di pinggangnya kelihatan ruyung lemas semacam cambuk. 

Diam-diam Kun Hong heran dengan panggilan-panggilan mereka itu. Kakak kedua lebih tua daripada kakak tertua, sedangkan yang disebut kakak ketiga oleh Si Muka Tikus adalah seorang yang masih muda. Ia tidak tahu bahwa empat orang termasuk Si Muka Tikus ini adalah tokoh-tokoh terkenal di daerah selatan yang disebut Lam-thian Si-houw (Empat Harimau Dunia Selatan)!

Girang hati Kun Hong ketika ia mendengar Si Muka Tikus itu tiba-tiba memperkenalkan dua orang tinggi besar tadi dengan tiga orang yang duduk berendeng di sebelah kanan karena hal ini sama dengan memberi tahu kepadanya siapa adanya orang-orang itu.

Dari perkenalan itu ia tahu bahwa tiga orang yang berendeng sebelah kanan itulah yang tadi oleh Si Muka Tikus disebut Hui-liong Sam-heng-te (Tiga Kakak Beradik Si Naga Terbang). Adapun dua orang laki-laki tinggi besar yang bermalam di rumah penginapan itu adalah dua orang saudara she Kam, lengkapnya Kam Ki Hoat dan Kam Siong.

“Ji-wi Kam-laote,” antara lain Si Twako yang bermuka kanak-kanak itu berkata kepada kedua orang saudara Kam, “menurut keterangan Si-te (Adik keEmpat), Ji-wi (Kalian Berdua) hendak mengenyahkan seorang muda dari Thai-san-pai. Betulkah itu?”

“Betul sekali, karena dua pasang mata kami takkan salah melihat orang. Sungguhpun tldak jelas bagi kami siapa sebenarnya dia, namun yang sudah pasti sekali kami pernah melihat dia itu di Thai-san. Siapa tahu dia itu orang Thai-san-pai yang sengaja bertugas memata-matai gerakan kita, bukankah celaka kalau begitu? Kami rasa lebih baik turun tangan di jalan sebelum terlambat. Akan tetapi Twako menghendaki lain, habis bagaimana selanjutnya?”

Twako itu tersenyum. 
“Seorang muda dari Thai-san-pai memata-matai kita? Heh-heh, lucu kalau benar demikian. Apakah dia berkepala tiga berlengan enam?” 

Kun Hong yang mendengar pertanyaan ini bingung, tidak tahu maksudnya. Akan tetapi Kam Ki Hoat menjawab,

“Lagaknya seperti seorang pemuda kaya-raya yang ahli dalam bun (ilmu sastra) dan sedikit mengerti ilmu silat.”

“Akan tetapi aku sendiri sangsi apakah dia itu ada isinya.”

“Kalau begitu, mengapa harus takut dia dapat memata-matai kita? Jangan pedulikan bocah masih ingusan itu, Ji-wi Kam-laote. Sekarang dengarlah rencanaku yang tadi sudah kuberitahukan kepada Hui-liong Sam-heng-te. Dengan berpencar kita naik ke Thai-san, menggunakan kesempatan Thai-san-pai dibuka pendiriannya, kita mengaku orang-orang kang-ouw yang akan memberi selamat dan menghaturkan sekedar sumbangan atau barang perkenalan. Akan tetapi setelah tiba disana kita harus dapat berkumpul didekat meja penerimaan sumbangan dan hadiah. Seorang tokoh besar seperti orang she Tan itu, sudah pasti akan menerima barang-barang luar biasa dari para tokoh kang-ouw di empat penjuru. Nah, kalau saatnya tiba, mudah untuk kita sembilan orang menyikat barang-barang itu, tentu saja yang tidak berharga kita tinggalkan.”

“Twako, apakah kau sudah merasa yakin benar bahwa saat keributan itu pasti akan tiba?” Kam Ki Hoat bertanya ragu.

Si Twako ini tertawa lagi, mukanya menjadi makin bulat. 
“Siapa bilang takkan tiba? Aku yakin dan berani bertaruh memotong daun telinga! Saat ini sudah pasti akan dipergunakan oleh mereka yang telah dihina oleh Si Raja Pedang. Bahkan aku dapat menduga bahwa iblis-iblis empat penjuru akan muncul, berlumba untuk menjatuhkan Si Sombong yang hendak membentuk Thai-san-pai itu.”

Kun Hong yang mendengarkan semua ini mulai agak mengerti persoalannya. Ia dapat menduga bahwa orang-orang ini yang berjumlah sembilan dan terdiri dari tiga rombongan atau tiga golongan, adalah orang-orang jahat yang hendak merampok Thai-san-pai, mempergunakan kesempatan di waktu pertemuan itu kacau karena terjadinya keributan. 

Agaknya Tan Beng San yang amat dikagumi ayahnya, yang sudah seringkali ia dengar namanya, yang digelari orang Raja Pedang itu, telah menanam bibit permusuhan yang banyak sekali. Diam-diam Kun Hong mengerutkan keningnya. Andaikata sembilan orang yang berada di ruangan kuil bobrok ini mempunyai hati dendam terhadap Tan Beng San dan ingin membalasnya dengan cara bertempur, tentu ia takkan dapat berpihak sebelum tahu sebab-sebab permusuhannya. 

Akan tetapi sembilan orang ini hendak merampok benda-benda berharga. Hemm, kalau sudah begini tak perlu diselidiki lagi sebab-sebab permusuhan, karena jelas bahwa mereka ini bukanlah orang-orang baik. Aku harus dapat mendahului mereka, pikirnya, mendahului mereka naik ke Thai-san dan memberitahukan apa yang ia lihat ini kepada Tan Beng San. Kalau sudah diberi tahu tentu dapat berjaga-jaga dan kalau sembilan orang ini kelak naik ke Thai-san boleh diusir saja!

Baru saja ia hendak keluar dari tempat persembunyian dan pergi, tiba-tiba pengintai di depan itupun bergerak perlahan dan segera lari meninggalkan tempat itu. Kun Hong heran. Siapakah dia itu? Gerakannya demikian gesit dan ringan, sebentar saja lenyap. 

Ah, kiranya kalau tadi ia dapat mengikuti bayangan itu adalah karena bayangan itupun mengikuti Si Muka Tikus dan dua orang saudara Kam. Maka gerakan dan larinya juga tidak begitu cepat. Sekarang kembalinya karena tidak mengikuti orang-orang yang lebih rendah tingkatnya, ternyata bayangan ini dapat melesat seperti burung terbang cepatnya, membuat Kun Hong melongo dan makin kagum terheran-heran.

Hati-hati ia memasuki rumah penginapan, tersenyum melihat bantal guling yang diselimutinya masih tetap tidak berubah, lalu tidur lagi, pulas sampai pagi hari. Ia terbangun karena mendengar suara pemuda pesolek itu berteriak-teriak memanggil pelayan,

“Hee, pelayan, tulikah engkau? Lekas ambilkan air hangat, cepat! Aku hendak berangkat pagi-pagi!”

Kun Hong memang malam tadi berniat bangun dan berangkat pagi-pagi untuk mendahului orang-orang itu ke Thai-san, akan tetapi melihat pemuda itu ribut-ribut tanpa menghiraukan orang lain yang masih tidur, ia mendongkol dan berkata, 

“Benar-benar tak tahu adat! Apakah tidak melihat orang lain masih tidur?”

Pemuda itu hanya menoleh dan mencibirkan bibirnya mengejek, kemudian masuk lagi ke kamar tanpa mempedulikan Kun Hong. Dengan hati mengkal Kun Hong lalu berkemas, membersihkan mata dan membeli sarapan di warung depan rumah. Ketika ia kembali ke rumah penginapan untuk membayar, ia mendapat kenyataan bahwa pemuda yang menyebalkan hatinya itu telah berangkat.

“Hemmm, anak manja itu sudah pergi?” tanyanya kepada pelayan yang memberinya tempat bermalam.

Pelayan itu tertawa, mengangguk. 
“Anak orang kaya sudah biasa dimanja memang, Tuan Muda,” katanya. “Segala keinginannya harus terkabul.”

Pada saat itu Kun Hong melihat dua orang laki-laki tinggi besar semalam, yaitu Kam Ki Hoat dan Kam Siong, juga sudah siap dan dengan suara keras memanggil pelayan, mengadakan perhitungan lalu meninggalkan rumah penginapan itu tanpa menengok sedikitpun kepada Kun Hong. 

Pemuda ini kaget. Ah, sama sekali ia tidak mengira kalau merekapun sepagi itu berangkat. Lebih baik ia mengikuti mereka. Tidak akan terlambat kiranya mendahului mereka kelak di kaki Gunung Thai-san. Siapa tahu dengan mengikuti mereka secara diam-diam, ia akan dapat lebih banyak memberi keterangan penting kepada Paman Tan Beng San, demikian pikirnya. Dan siapa tahu kalau-kalau mereka yang memusuhi Raja Pedang ini, ada hubungannya dengan mereka yang menculik Li Eng dan Hui Cu.

Akan tetapi alangkah kaget dan kecewa hatinya ketika melihat betapa dua orang itu ternyata mempunyai dua ekor kuda yang dititipkan di dalam kandang kuda di belakang rumah penginapan dan sekarang mereka telah menunggang kuda dan membalap keluar. Mau rasanya Kun Hong menempeleng kepalanya sendiri. Mengapa ia tidak menduga akan hal ini?

Terpaksa ia melanjutkan perjalanan dengan bersungut-sungut. Tak mungkin ia harus berlari-lari mengejar dua ekor kuda itu. Hal ini tentu akan menimbulkan keheranan dan kecurigaan orang-orang yang melihatnya. Setelah ia keluar dari dusun itu, dan berada di tempat yang sunyi, barulah ia berani berlari cepat untuk sedapat mungkin menyusul dua orang penunggang kuda tadi.







Next>>

Postingan populer dari blog ini

RAJA PEDANG (BAGIAN PERTAMA SERIAL RAJA PEDANG)

RAJAWALI EMAS (BAGIAN KE-2 SERIAL RAJA PEDANG)

JAKA LOLA (BAGIAN KE-4 SERIAL RAJA PEDANG)