RAJAWALI EMAS JILID 105

Kun Hong merasa dadanya mengembung. Mungkin kalau orang lain yang bersikap begini, ia akan merendahkan diri, lahir batin. Akan tetapi terhadap pemuda ini, benar-benar sikapnya membuat ia merasa bangga. 

“Betul, Kwa Tin Siong adalah ayahku, karena itu aku hendak menjumpai Paman Tan Beng San di Thai-san.”

Pemuda itu makin panik. 
“Jadi kau… kau hendak mengadukan aku kepada… kepada pamanmu itu?”

“Hemm, kau maksud gurumu? Bukankah kau ini anak murid Thai-san-pai dan kau menjadi murid Paman Tan Beng San?”

“Betul,” suara pemuda itu sekarang terdengar perlahan dan lemah, mukanya menunduk. “Kau akan mengadu kepada Suhu tentang apa?”

“Tentang apa? Tentang kesombonganmu, tentang sikapmu terhadap aku, tentang….” 

Tanpa terasa Kun Hong mengusap kedua pipinya, seakan-akan masih terasa gaplokan pada pipinya. Pemuda itu mengangkat muka memandang.

“Ah, kau mau mengadukan bahwa aku telah menampar pipimu?”

“Hemmm, mungkin juga. Dan tentang kesombonganmu tidak mau membagi kamar, tentang sikapmu yang takabur. Tak patut kau menjadi murid seorang pendekar perkasa seperti Paman Tan Beng San.”

“Apakah kau pernah bertemu dengan dia?”

“Belum, akan tetapi kalau Paman mendengar bahwa aku anak Kwa Tin Siong, kiraku dia akan percaya.”

Hening sejenak, pemuda itu duduk diatas rumput, tangannya mencabuti rumput, nampak bingung sehingga diam-diam Kun Hong tersenyum dan puas. Rasakan kau sekarang anak manja. Kau ketakutan sekarang! Kemudian pemuda itu mengangkat mukanya memandang Kun Hong, berkata perlahan dan dengan memohon,

“Kuharap kau tidak akan menceritakan hal begini kepada Suhu!”

Kun Hong tersenyum mengejek kepalanya dikedikkan, bukan main girang hatinya akan kemenangan ini.

“Mengapa tidak? Orang seperti kau ini patut diberi hajaran, biar kulihat nanti betapa Paman Tan Beng San akan memaki, mungkin memukulmu. Ha-ha-ha!” Kun Hong membereskan bungkusan, siap untuk melanjutkan perjalanan.

“Kakak yang baik…, jangan kau adukan aku….”

Makin girang hati Kun Hong. Ia mencibirkan bibirnya, membuang muka seperti orang tak peduli. Namun aneh sekali, dadanya berdebar saking girangnya. Huh, baru sekarang kau menyebutku kakak yang baik, pikirnya. Heran bukan main akan dirinya sendiri. Kenapa sekarang kebenciannya terhadap pemuda itu lenyap seperti awan tipis dihembus angin? Akan tetapi mulutnya hanya mendengus,

“Huhh….!”

“Kakak yang baik, aku… aku minta maaf kepadamu. Kalau kau suka, nih… kau boleh tampar pipiku sebagai pembalasan….”

Kun Hong menoleh dan melihat pemuda itu mengajukan mukanya, memberikan pipinya yang putih halus itu untuk ditampar. Kembali ia menjadi heran. Kalau tadinya ia ingin sekali menampar muka bocah ini, sekarang mendadak ia menjadi tidak tega dan penyesalan serta permohonan maaf bocah ini sudah lebih dari cukup, sudah menebus sakit hatinya, habislah yang sudah-sudah, tak teringat lagi.

“Aku bukan orang yang suka menampar muka orang!” Ia masih memaksa diri berkata ketus,

Pemuda itu memandang penuh pertanyaan. 
“Jadi… kau masih hendak melaporkan aku….?”

“Hemmm….” 

Kun Hong pura-pura merasa ragu, akan tetapi agaknya sinar matanya yang sudah terang dan sama sekali tidak mengandung kemarahan itu dapat dilihat oleh pemuda tadi, buktinya dengan jelas tampak muka yang tampan itu menjadi berseri.





“Twako (Kakak) yang baik, kau benar-benar sudi memaafkan aku? Tidak mendendam lagi?”

“Hemmm, aku bukanlah orang yang suka menaruh dendam dan tentang maaf, eh… sebetulnya, eh… tidak ada apa-apa yang harus dimaafkan.” 

Kun Hong memaki dirinya sendiri. Mengapa hati ini begini lemah? Hemm, keenakan benar bocah ini!

Pemuda itu dengan girang lalu menyambar tangan Kun Hong, akan tetapi segera dilepaskannya kembali, seperti sikap seorang anak kecil yang kegirangan akan tetapi malu-malu. 

“Ah, Twako yang baik, terima kasih. Kau tentu takkan melaporkan aku kepada… Suhu, bukan?”

Mau tak mau tertawa juga Kun Hong, biarpun tertawa ditahan. Sikap bocah ini mengingatkan ia akan sikap Li Eng. Hemm, setelah dilihat dari dekat, pemuda ini benar-benar masih bocah. Heran sekali, sedemikian tinggi ilmu silatnya.

“Tidak, siapa hendak melapor? Aku bukan seorang yang panjang mulut.”

“Aduh, terima kasih. Kau berjanji?”

“Janji!”

“Sumpah?”

Kun Hong cemberut. 
“Janji seorang laki-laki lebih berharga dari nyawa. Selama hidup aku tak pernah bersumpah!”

“Ah, Twako, harap jangan marah. Aku percaya kepadamu!” 

Tiba-tiba ia melompat keatas dan kelihatan girang sekali, wajahnya berseri-seri, matanya yang amat tajam itu bersinar-sinar. Kun Hong melongo. Bukan main tampannya anak ini, pikirnya. Tak mungkin orang bisa benci kepadanya. Akan tetapi kenapa sebelum ini ia amat benci, ya amat membencinya sehingga suka ia memukulnya? Ia benar-benar tidak mengerti.

“Eh, kau tadi bilang siapa namamu, Twako?”

“Aku tidak pernah bilang siapa namaku.”

“Ah, ya. Aku yang lupa. Siapa sih namamu, Twako? Kau tentu she Kwa, dan namamu siapa?”

“Hemm, kau lebih muda. Kau harus memperkenalkan lebih dulu.” 

Pemuda itu tertawa. Makin tampan wajahnya kalau tertawa. 
“Namaku Cui Bi. Nah, sekarang katakan, siapa namamu, Twako?”

“Namaku Kun Hong.”

“Kwa Kun Hong. Hemm, kalau begitu kau kupanggil Hong-ko (Kakak Hong).”

Sejenak mereka diam. Nama pemuda itu tidak menarik perhatian Kun Hong, yang tertarik oleh gerak-gerik pemuda yang lincah jenaka dan gembira ini.

“Hong-ko, kedua orang keponakanmu itu lenyap. Kemanakah mereka?”

“Siapa tahu mereka dimana? Yang menculik mereka adalah Song-bun-kwi, aku mendengar sendiri iblis itu mengaku didepan para pengawal istana. Karena itu aku hendak minta pertolongan Paman Tan Beng San untuk menolong mereka.”

Pemuda itu nampak terkejut sekali. 
“Song-bun-kwi….? Ah, sudah kuduga….! Celaka, dia itu lihai sekali… apakah kau betul-betul telah bertemu dengan Song-bun-kwi?”

“Siapa membohong padamu? Aku melihat sendiri Song-bun-kwi mengaku didepan para pengawal istana, di tempat kediaman Ngo-lian-kauw, kemudian Song-bun-kwi dikeroyok oleh para pengawal, dibantu oleh Toat-beng Yok-mo dan Ngo-lian-kauwcu. Song-bun-kwi lari menyeret aku, lalu ia bertemu dengan iblis yang bernama Siauw-ong-kwi, mereka bertempur dan aku lari lalu… bertemu dengan kau.”

Cui Bi pemuda itu menggeleng-geleng kepala, nampak keheranan sekali. 
“Aneh, benar, Hong-ko. Kau putera Ketua Hoa-san-pai, tapi tidak pandai silat. Kau tidak pandai silat, akan tetapi bertemu dengan tokoh-tokoh jahat seperti Song-bun-kwi, Toat-beng Yok-mo, Ngo-lian-kauwcu dan lain-lain. Hebat!” 

Pemuda ini menggeleng-geleng kepalanya dan mulutnya tiada hentinya mengeluarkan bunyi “ck-ck-ck” tanda bahwa ia benar-benar keheranan.

Kun Hong tiada hentinya memandangi wajah pemuda ini, makin dipandang makin ia kagum. Pemuda ini benar-benar tampan dan lincah. Ah, alangkah cocoknya dengan Li Eng!

“Hong-ko, apakah selama ini kau melakukan perjalanan dengan dua orang keponakanmu itu? Siapa sih mereka itu? Siapa nama mereka? Aku ingin sekali berkenalan dengan mereka.”

Kembali terasa tidak enak di hati Kun Hong. Teringat ia akan sikap pemuda ini yang agaknya mata keranjang! Hemm, perlu diperkenalkan agar pemuda ini tahu anak siapa mereka itu sehingga tidak akan berani main-main.

“Yang seorang bernama Kui Li Eng, anak Paman Kui Lok dan Bibi Thio Bwee. Seorang lagi bernama Thio Hui Cu, anak Paman Thio Ki dan Bibi Lee Giok.”

Wajah Cui Bi makin berseri, 
“Kau maksudkan Bibi Lee Giok? Bukankah itu bibi guruku, murid dari Sukong Cia Hui Gan?”

“Betul, karena itu kau tidak boleh main-main.”

Cui Bi mengerling dan memainkan bibirnya, setengah tersenyum ketika ia berkata, agaknya sengaja memanas-manasi hati, 

“Hong-ko, apakah… apakah mereka itu… eh, cantik jelita?”

Merah wajah Kun Hong dan kembali hatinya tak sedap rasanya. Ia memandang tajam dan membentak, 

“Kau tanya-tanya mau apa sih?”

Cui Bi tertawa. 
“Ah, tanya saja apa salahnya? Hong-ko, kau mengadakan perjalanan bertiga saja dengan mereka. Hemmm, senang sekali, ya?”

“Kau bilang apa??” Kun Hong mendelik marah.

“Hissss, jangan marah, Twako. Aku hanya main-main. Kok gampang sekali marah. Pemarah benar kau, ya?”

“Siapa suruh kau bercakap-cakap tidak karuan?”

“Twako, bukanlah menggirangkan hati kalau mendengar bahwa aku mempunyai saudara-saudara seperguruan? Mareka itu, apalagi… Nona Hui Cu. itu, terhitung masih saudara seperguruanku karena iapun cucu murid dari kakek guruku, bukan? Nah, sudah sepatutnya kalau aku ingin mendengar tentang diri rnereka. Katakanlah, apakah mereka itu cantik? Bagaimana kepandaian mereka?”

Diam-diam Kun Hong harus membenarkan kata-kata ini. Pula, bocah masih sebegini kecil, masih kekanak-kanakan, masa mempunyai pikiran yang bukan-bukan?

“Tunggu saja, kalau kau sudah bertemu dengan Li Eng. Hemmm, pasti kau takkan bisa bicara main-main. Kau akan kalah bicara dengan dia.”

“Cantik benarkah dia?”

“Cantik, seperti bidadari, seperti… Seperti bunga mawar hutan.”

Cui Bi tertawa geli. 
“Aha, kiranya kau amat romantis, Twako. Pandai mengambil perumpamaan. Mengapa kau bilang dia seperti bunga mawar hutan?”

Merah wajah Kun Hong. Bocah ini benar-benar menggemaskan, kadang-kadang kalah ia bicara dengannya, selalu kena goda. Benar-benar harus bertemu dengan Li Eng, baru tahu rasa kau, pikirnya.

“Dia tidak hanya cantik, tapi jenaka, gembira, lincah dan pandai bicara, sifat-sifat liar menarik yang ada pada bunga mawar hutan.”

“Aih-aih… hebat sekali. Dan kepandaiannya?”







Next>>

Postingan populer dari blog ini

RAJA PEDANG (BAGIAN PERTAMA SERIAL RAJA PEDANG)

RAJAWALI EMAS (BAGIAN KE-2 SERIAL RAJA PEDANG)

JAKA LOLA (BAGIAN KE-4 SERIAL RAJA PEDANG)