RAJAWALI EMAS JILID 106

“Wah, jangan tanya tentang kepandaiannya. Ilmu silatnya hebat sekali. Dialah satu-satunya orang yang paling pandai tentang ilmu silat Hoa-san-pai pada saat ini.”

Cui Bi melengak, suaranya tidak main-main lagi ketika bertanya, 
“Aneh sekali, Twako. Bukankah ayahmu yang terpandai?”

Kun Hong menggeleng kepala. 
“Bukan, yang terpandai adalah ayah bunda Li Eng itulah. Mereka telah bertemu dengan Sukong Lian Ti Tojin yang telah memiliki dan mewarisi ilmu silat Hoa-san-pai yang aseli dan mengangkat mereka sebagai murid. Li Eng mewarisinya dari ayah bundanya. Lihainya bukan main. Kau akan kalah segala-galanya dengan dia.”

Aneh benar. Pemuda itu kelihatan penasaran. 
“Hemm, hemm… ingin aku bertemu dengannya dan mencoba-coba!” 

Ketika ia menoleh dan bertemu pandang dengan Kun Hong yang memandang tajam penuh selidik, ia tersenyum lagi, lenyap wajah bersungguh-sungguh tadi dan ia bertanya,

“Dan bagaimana dengan… Nona Hui Cu, saudara seperguruanku itu? Apakah dia juga cantik dan pandai? Seperti… bunga apakah dia?”

“Dia? Hemm, dia seperti bunga seruni, alim pendiam, serius dan pandangannya jauh, pikirannya luas dan cerdik. Tentang ilmu silat, dia kalah oleh Li Eng, akan tetapi diapun lihai karena selain menerima pelajaran ilmu silat Hoa-sai-pai, diapun mempelajari ilmu pedang dari ibunya.”

“Hee, kalau begitu ilmu pedangnya tentu sama dengan ilmu pedang Subo (Ibu Guru). Wah-wah-wah, dan kau selama ini melakukan perjalanan dengan dua orang bidadari? Hemm, kau pamannya, tapi masih begini muda… agaknya kau dan mereka tidak banyak selisih usianya, bukan?”

“Hush, kau bicara apa? Aku bukan laki-laki seperti kau!”

“Betulkah?” Cui Bi mengerling dengan sikap menggoda dan tidak percaya.

“Sudahlah. Hatiku gelisah mengingat nasib mereka, kau hanya bicara main-main saja.”

Agaknya pemuda itu baru ingat akan hal ini. 
“Ah, betul juga. Hayo kita cepat-cepat pergi ke Thai-san menjumpai Suhu, kalau Suhu turun tangan, jangankan baru Song-bun-kwi, biar ada sepuluh Song-bun-kwi tak perlu takut lagi!”

Mereka lalu berjalan meninggalkan tempat itu, diam-diam Kun Hong mendapat kesan aneh akan diri pemuda di sampingnya ini. Sombong, sudah jelas. Ucapan terakhir tentang suhunya saja amat sombong. Binal, seperti kuda liar. Gembira dan jenaka, hampir sama dengan Li Eng. Kadang-kadang mendatangkan rasa suka, kadang-kadang menimbulkan kegemasan yang luar biasa. Pemuda aneh, pikirnya. 

Akan tetapi Pamannya Tan Beng San itu, kabarnya adalah seorang Raja Pedang, seorang sakti. Seorang sakti tentu aneh dan tidak mengherankan kalau muridnyapun aneh. Hanya saja, masih begini muda….!

Mereka berhenti istirahat di sebuah hutan. Hari itu amat terik. Sudah tiga hari mereka melakukan perjalanan dan selalu bermalam di hutan. Malam tadi tak dapat tidur karena banyak sekali nyamuk di hutan itu. Karena kurang tidur, hari ini baru berjalan setengah hari saja mereka sudah lelah dan beristirahat disitu. 

Namun kegembiraan dan kejenakaan Cui Bi banyak menolong menggembirakan suasana. Pandai benar pemuda ini bicara, ada saja yang dipercakapkan. Pandai pula dia memancing-mancing sehingga banyak Kun Hong bercerita tentang dirinya, walaupun ia berhasil menyembunyikan segala kepandaian silat yang pernah dipelajarinya.

Tentu saja Kun Hong tak dapat menyembunyikan kenyataan bahwa sedikit banyak ia mengerti ilmu silat. 

“Aku hanya mempelajari teorinya, tidak suka mempelajari prakteknya. Ayah tidak membolehkan,” demikian katanya.

“Hong-ko, betul-betulkah kau sama sekali tidak bisa mainkan ilmu silat?” sambil duduk mengaso dibawah pohon yang teduh, pemuda itu bertanya.

Kun Hong hanya menggeleng kepala, menguap dan menyandarkan tubuhnya pada batang pohon, mencoba untuk tidur. Melihat kawannya ini lelah benar, Cui Bi tidak mau mengganggu lebih jauh dan iapun menyandarkan tubuhnya pada batang pohon yang berdekatan.

Kun Hong pura-pura merasa ragu, akan tetapi agaknya sinar matanya yang sudah terang dan sama sekali tidak mengandung kemarahan itu dapat dilihat oleh pemuda tadi, buktinya dengan jelas tampak muka yang tampan itu menjadi berseri.





Angin semilir menggerakkan daun-daun pohon menimbulkan suara yang berirama dan mendatangkan hawa yang nyaman, membuat kedua orang muda itu terkantuk-kantuk dan tidur ayam. Mendadak terdengar suara keras,

“Nah, inilah mereka!”

Kun Hong dan Cui Bi terkejut dan membuka mata. Tiba-tiba melayang sebuah benda didekat kedua orang muda itu, terdengar ledakan keras dan asap tebal memenuhi tempat itu.

“Celaka, Hong-ko… awas….” terdengar suara Cui Bi dan selanjutnya sunyi. 

Kun Hong mencium bau yang amat harum menyengat hidung, cepat ia menekan hawa murni dari pusar keatas mendorong keluar asap yang sedikit memasuki dadanya, kemudian dengan pengerahan tenaga murni ini ia dapat menahan napas dan terhuyung-huyung menghampiri Cui Bi. 

Dilihatnya Cui Bi bergerak lemah, merangkak hendak pergi dari daerah berasap. Melihat keadaan pemuda itu, Kun Hong cepat menangkap tangannya dan diseret, dibawa lari ke tempat bersih. Untung bahwa asap itu sebentar saja lenyap, terbawa angin yang bertiup agak kencang. Akan tetapi dengan lemas Cui Bi menjatuhkan tubuhnya diatas tanah ketika Kun Hong melepaskan tangannya.

Kun Hong tidak apa-apa, dan ia amat kuatir melihat keadaan Cui Bi yang agaknya jatuh pingsan itu. Ia berdiri dan menoleh ke belakang. Alangkah kagetnya ketika ia melihat tiga orang berdiri disitu. 

Seorang adalah Kang Houw, orang tertua dari Lam-thian Si-houw yang gemuk pendek bermuka kanak-kanak, orang kedua adalah seorang hwesio tinggi kurus berkepala gundul licin dan beralis tebal sampai hampir menutupi kedua matanya, dan orang ketiga adalah…. Toat-beng Yok-mo sendiri!

Kun Hong menjadi gelisah dan gugup. Jelas bahwa kedatangan tiga orang ini tidak akan mendatangkan kebaikan, buktinya datang-datang mereka menyerang dengan obat peledak dengan racun memabukkan, sehingga Cui Bi yang boleh ia harapkan akan dapat melawan mereka ini sekarang pingsan dan tidak berdaya. 

Tentu saja Kun Hong tidak tahu bahwa Cui Bi hanya sebentar saja nanar. llmu Iwee-kang pemuda ini juga sudah tinggi sekali, maka sebentar saja ia dapat mendorong asap beracun itu dari tubuhnya, keluar dan ia sudah tidak apa-apa lagi. Hanya tadi karena keheranan melihat Kun Hong juga tidak apa-apa dan bahkan dapat menolongnya, timbul keinginan hati pemuda ini untuk mencoba Kun Hong yang berkali-kali menyatakan tidak ada kepandaian. Ia sengaja pura-pura pingsan sambil diam-diam siap sedia melindungi Kun Hong. Ingin ia melihat bagaimana Kun Hong akan menghadapi tiga orang lawan berat ini.

“Susiok, (Paman Guru), inilah pemuda Thai-san-pai itu. Lebih baik kubinasakan saja agar jangan berkepanjangan!” 

Kata Si Muka Kanak-kanak kepada hwesio itu. Tertegun hati Kun Hong mendengar bahwa hwesio itu masih paman guru Kang Houw. Murid keponakannya saja sudah demikian lihai, apalagi paman gurunya. Dan disitu masih ada Toat-beng Yok-mo yang dia ketahui bagaimana jahat wataknya. Namun melihat bahwa paman gurunya itu adalah seorang pendeta Buddha, timbul harapannya.

“Jangan main bunuh!” Kun Hong berseru sambil mengangkat tangannya keatas. “Lo-suhu, katakanlah kepada murid keponakanmu itu bahwa membunuh dilarang dalam agama.”

Akan tetapi hwesio itu tersenyum menyeringai memperlihatkan deretan gigi kuning, malah mengangguk kearah Kang Houw. Si Gendut ini lalu meloloskan sabuk yang merupakan cambuk senjatanya, melompat kearah Cui Bi.

“He, tidak boleh kau membunuh dia! Selama aku masih hidup dan berada disini, tidak boleh kau membunuh orang! Lo-suhu, kau seorang hwesio bukankah membunuh orang itu bertentangan keras dengan pelajaran agamamu?”

Melihat dengan nekat Kun Hong menghadangnya, Kang Houw menjadi marah.
“Kau ini kutu busuk jembel, mau apa petentang-petenteng? Lebih baik kau kubunuh lebih dulu agar jangan banyak rewel!”

”Hemm, Kang Houw, alangkah jahat kau! Apa kau kira aku takut kepadamu? Lihat baik-baik, aku Kwa Kun Hong berjanji takkan lari dan sanggup menerima pukulanmu seratus kali. Bagaimana? Kalau aku lari atau mampus sebelum kau pukul seratus kali, barulah kau boleh mengganggu temanku ini.”

Diam-diam Cui Bi memaki pemuda yang dianggapnya tolol dan gila itu. Andaikata berkepandaian juga, mana dapat menahan pukulan seorang ahli Iwee-kang sampai seratus kali? 

Kalau saja tidak ingat bahwa pemuda itu berbuat demikian, penuh keberanian dan pengorbanan, untuk melindunginya, tentu ia sudah meloncat bangun dan memaki kebodohannya. Diam-diam pemuda ini mengintai dan siap untuk menolong kalau Kun Hong terancam bahaya. Ia tidak segera turun tangan karena ingin benar ia melihat apa yang akan dilakukan Kun Hong selanjutnya sebagai akibat dari tantangan yang tak masuk di akal terhadap Kang Houw yang lihai itu.

Orang she Kang itu tertawa bergelak sampai tubuhnya yang gendut itu bergerak-gerak semua. 

“Ha-ha-ha! Betulkah janjimu ini? Aku akan menggebukmu dengan cambukku ini seratus kali dan kau takkan lari dan menerima begitu saja?”

“Siapa akan membohongimu? Kau boleh menggebuk terus-menerus sampai seratus kali jangan berhenti.”

“Bagus, kalau kau mampus, dagingmu akan hancur lebur, tak usah ribut dikubur lagi. Kalau sampai seratus kali kau benar-benar tidak apa-apa, biarlah aku Kang Houw mengaku kalah dan berlutut seratus kali kepadamu. Ha-ha-ha!”

“Mulailah, dan hitung baik-baik!” kata Kun Hong, suaranya tiba-tiba berubah aneh seperti suara yang datang dari angkasa, bergema kuat membuat Toat-beng Yok-mo dan hwesio itu saling pandang dan nampak kaget, bahkan Cui Bi juga terkejut sekali mendengar suara ini. Ia teringat bahwa ketika pemuda itu mula-mula muncul di hutan tiga hari yang lalu, juga pernah bersuara seperti itu.

“Awas, lihat cambuk. Satuuu….!” 

Disusul bunyi “tarrr!” keras sekali. Cui Bi sudah siap melompat, akan tetapi alangkah herannya ketika ia melihat Kun Hong betul-betul tidak bergeming dari tempatnya dan anehnya… cambuk itu bukan digebukkan kepada kepala Kun Hong, melainkan kepada sebuah batu besar di sebelah kiri pemuda itu.

“Duaa… tarrrt!” 

Kang Houw mencambuk lagi, kelihatannya penasaran dan marah sekali. Debu-debu batu beterbangan terkena hantaman cambuk yang digerakkan tenaga Iwee-kang raksasa itu. 

“Tigaaa… tarrr!”

Kang Houw mencambuk terus sambil menghitung, peluh membasahi jidatnya sedangkan Kun Hong enak-enak berdiri, bahkan dengan tenang ia meninggalkan tempat itu, berjalan menghampiri Toat-beng Yok-mo dan hwesio itu yang berdiri terlongo-longo menyaksikan peristiwa luar biasa ini. 

Cui Bi lupa akan peranannya berpura-pura pingsan tadi, ia bangun dan duduk bengong menyaksikan betapa Kang Houw menggebuki batu sambil menghitung-terus!

“Yok-mo, kau juga mencari aku mau apakah?” Kun Hoing bertanya tenang-tenang saja kepada Yok-mo.

Sejenak kakek ini bingung, memandang kepada Kun Hong lalu menoleh kepada Kang Houw, sampai lama berganti-ganti ia memandang. Kemudian ia terbatuk-batuk dan berkata, 

“Orang muda yang aneh, aku datang hendak bertanya apakah kau telah membaca habis tiga buah kitabku yang kau kembalikan itu?”

“Tentu saja! Bukankah dahulu kau sendiri yang memberi ijin kepadaku untuk membacanya?” jawab Kun Hong sewajarnya, karena memang ia tidak membohong.

“Hemm, kalau begitu kau harus mampus. Tak seorangpun boleh mempelajari ilmuku.”

“Nanti dulu, Yok-mo. Mampus ya mampus, biarlah aku bicara dulu dengan Lo-suhu ini. Lo-suhu, kau sebagai paman dari Kang Houw, apakah kau juga bermaksud membunuh aku?”







Next>>

Postingan populer dari blog ini

RAJA PEDANG (BAGIAN PERTAMA SERIAL RAJA PEDANG)

RAJAWALI EMAS (BAGIAN KE-2 SERIAL RAJA PEDANG)

JAKA LOLA (BAGIAN KE-4 SERIAL RAJA PEDANG)