RAJAWALI EMAS JILID 107

Hwesio itu nampak bingung. Sudah beberapa kali pemuda ini menyindirnya tentang pelajaran Agama Buddha. Memang, pada waktu itu banyak penjahat yang mencukur rambut masuk menjadi hwesio agar terbebas dari pengejaran yang berwajib. Juga selain ini, dengan menjadi hwesio mereka lebih leluasa melakukan kejahatan sambil memperdalam ilmu silat yang banyak dimiliki para hwesio. Hwesio ini adalah seorang diantara mereka itu.

“Pinceng (aku) datang untuk menangkap pemuda Thai-san-pai itu, tidak ada urusan denganmu. Lebih baik kau lekas pergi dari sini, jangan mencampuri urusan pinceng.”

“Hemm, enak saja kau bicara, Lo-suhu. Sebetulnya, biarpun kau berjubah hwesio dan kepala gundul, namun isi hatimu tiada bedanya dengan orang sebangsa Kang Houw. Sebetulnya aku tidak sudi melayani orang palsu seperti engkau, juga aku tidak sudi berurusan dengan Yok-mo yang wataknya plin-plan ini. Akan tetapi karena kalian sudah datang, yang seorang hendak membunuh aku, seorang lagi hendak membunuh temanku. Padahal termanku itu tak dapat melawan dan akulah yang melindunginya. Nah, kalian berdua majulah berbareng, kalau malu seorang demi seorang, aku tidak sudi melayani, seorang saja kurang berharga bagiku. Hayo, majulah kalau memang berani melawan aku!” 

Setelah berkata demikian, Kun Hong mencabut pedang Ang-hong-kiam dari balik bajunya.

Cui Bi diam-diam memperhatikan dan ingin sekali ia melihat apakah betul-betul Kun Hong seorang ahli pedang seperti yang ia sangka. Akan tetapi hampir saja ia terkekeh geli melihat cara Kun Hong memegang pedang, seperti seorang pemotong kambing memegang golok penyembelihan atau seperti seorang tukang mencacah bakso memegang goloknya. Juga Yok-mo dan hwesio itu saling pandang dengan ragu-ragu. Gilakah pemuda ini?

“Hayo maju, boleh kalian rasai ilmu pedangku! Lihat, pedang pusaka ini akan membereskan kalian dengan mudah saja. Ha-ha!”

“Bocah edan, apakah kau betul-betul sudah bosan hidup?” Hwesio itu membentak.

“Kun Hong, kau pernah menggendongku. Kalau kau suka minta ampun dan bersumpah takkan mengingat lagi isi kitab-kitabku, biarlah kuampuni jiwamu dan hanya mengambil sepuluh buah jari tanganmu agar kau tidak melanggar janji,” kata Toat-beng Yok-mo.

Bergidik Kun Hong. Benar-benar dua orang ini iblis-iblis yang tak patut disebut manusia lagi. Ia menyimpan kembali pedangnya dengan hati-hati. Lalu ia menepuk kedua telapak tangannya. 

“Hemm, kalau aku menggunakan pedang, tentu darah kalian tercecer dan akan menjadi sialan bagiku kalau sampai terkena darah kalian berdua. Hanya aku akan membagi-bagi tempilingan kepadamu, majulah dua ekor iblis tua!”

Toat-beng Yok-mo adalah tokoh besar yang jarang bandingannya, juga hwesio itu yang bernama Tok Kak Hwesio, merupakan tokoh besar yang lihai sekali ilmunya, apalagi ilmunya Kauw-jiauw-kang (Cengkeraman Tangan Monyet) sukar sekali dilawan, biar oleh lawan bersenjata sekalipun. Sekarang bocah yang lagaknya seperti orang berotak miring ini menantang mereka berdua maju bersama. Alangkah gilanya. Penghinaan yang tiada taranya.

“Yok-mo, bukan kita akan mengeroyok, tapi marilah kita berlumba, siapa yang lebih dulu mematahkan batang leher bocah ini, dialah yang menang!”

“Heh-heh-heh, bagus, Tok Kak Hwe-sio, mari mulai!”

Dua orang kakek itu menubruk ke depan, seperti orang-orang menubruk swike (Katak Hijau) saja, berlumba. Akan tetapi tiba-tiba pemuda itu lenyap dari depan mereka. Keduanya bingung dan Kun Hong sudah tertawa di belakang mereka.

“He, aku disini!”

Keduanya membalik dan secepat kilat menerjang maju, mempergunakan pukulan-pukulan yang mematikan. Diam-diam Cui Bi menonton dengan mata terbelalak. Sekali lagi ia melihat Kun Hong terhuyung-huyung ke samping, kedua lengan berkembang, tubuh berputaran dengan pantat ditarik-tarik keatas seperti lagak burung hendak terbang. Lucu sekali gerakannya, akan tetapi anehnya, sekali lagi serangan kedua orang tokoh besar itu mengenai angin!

“Hayo serang terus… serang terus, aku membalas, awas. Heeiiiitt, ayaaa… awas, kanan… kiri… muka… belakang….!”

Cui Bi sekarang bangun berdiri. Bukan hanya matanya yang terbuka lebar melotot, malah mulutnya yang kecil itu juga terbuka lebar-lebar. Ia berdiri seperti patung saking herannya. Ia melihat Kun Hong berjalan melenggang tenang dan enak sekali keluar dari kalangan pertempuran dan dua orang jago tua itu kini saling serang dengan hebatnya!

Kun Hong pura-pura merasa ragu, akan tetapi agaknya sinar matanya yang sudah terang dan sama sekali tidak mengandung kemarahan itu dapat dilihat oleh pemuda tadi, buktinya dengan jelas tampak muka yang tampan itu menjadi berseri.





“Eh, kau berdiri dengan mulut terbuka lebar seperti itu, bagaimana kalau ada lalat masuk?”

Buru-buru Cui Bi menutup mulutnya dan ia seperti baru sadar dari mimpi. Saking heran dan bingungnya, ia merasa bulu tengkuknya berdiri dan ia menurut saja ketika Kun Hong menarik tangannya dan mengajaknya lari dari tempat itu.

Sekali lagi ia menengok dan memandang tajam. Gila betul! Apakah dia sudah gila sehingga pandang matanya kacau? Ataukah mereka bertiga itu yang gila? Ia masih melihat Kang Houw menggebuki batu yang sudah setengah hancur sambil menghitung, 

“Lima puluh empat… tarrr!” dan melihat Yok-mo bersama hwesio itu terengah-engah dan mati-matian saling gebuk, saling jotos! Sekali lagi ia mengkirik, lalu tak menoleh lagi, menurut saja diseret oleh Kun Hong.

Hari telah mulai gelap ketika keduanya berhenti dan memasuki sebuah kuil kosong diluar sebuah kampung kecil. Dengan napas terengah-engah, aneh sekali, bukan karena lelah melainkan saking ngeri dan seremnya, Cui Bi menjatuhkan diri diatas lantai yang kasar dan kotor, memandang Kun Hong.

“Eh, kenapa kau memandangku begini rupa? Laote (Adik), kulihat kau tadi sudah berdiri. Kau tidak pingsan lagi, kenapa kau tidak segera mempergunakan kepandaianmu memberi hajaran kepada mereka?” tanya Kun Hong, diam-diam merasa tidak enak karena ilmu yang ia pergunakan itu membuat pemuda ini terheran-heran dan ia sibuk mencari alasan untuk menyembunyikan kepandaiannya.

“Hong-ko… apa yang kau lakukan tadi? Mimpikah aku? Bagaimana mereka itu bisa… bisa….”

“Bisa apa?”

“Bisa begitu… ah, ngeri aku melihatnya. Apakah tiba-tiba Kang Houw itu sudah menjadi gila, memukuli batu seperti itu? Dan kenapa pula Yok-mo malah bertempur sendiri dengan hwesio itu?”

“Ha-ha-ha, apanya yang aneh? Laote, agaknya kau tadi pingsan, kau tidak mendengar jelas percakapan kami. Aku menantang dia supaya mencambuki batu seratus kali, kalau batu itu dapat habis aku mengaku kalah. Adapun Yok-mo dan hwesio itu, mereka berkelahi karena berebutan untuk membunuh aku. Mereka tidak mau saling mengalah, hendak berlumba untuk membunuhku. Memang untungku, juga untungmu, bisa terlepas dari tangan orang-orang jahat itu.”

Cui Bi memandang tajam, tentu saja ia tidak dapat mempercayai keterangan ini. Akan tetapi kalau tidak begitu, habis apa sebabnya terjadi peristiwa yang begitu aneh? Ia benar-benar tidak mengerti.

“Hong-ko, apakah benar-benar kau tidak pandai bersilat? Apakah kau bukannya tengah berpura-pura padahal kau telah mewarisi semua kepandaian ayahmu?”

Kun Hong tersenyum. 
“Laote, sudah kuceritakan bahwa Ayah tidak suka aku belajar silat, bagaimana aku bisa mewarisi kepandaiannya? Tentu saja aku tahu banyak tentang Hoa-san Kun-hoat karena aku telah membaca semua kitab-kitabnya.”

Cui Bi benar-benar tidak mengerti bagaimana orang bisa membaca kitab pelajaran ilmu silat tanpa melatihnya. Apa gunanya? Dan pemuda ini… benar-benar mengherankan. Dikatakan pandai silat, gerakan-gerakannya tadi ketika berhadapan dengan lawan begitu kaku dan kacau, jelas membayangkan bahwa ia memang tidak pandai bersilat. 

Akan tetapi, dikatakan tak pandai, mengapa sikapnya demikian tabah dan berani, malah dapat menyelamatkan diri dari ancaman tokoh-tokoh seperti Song-bun-kwi, Toat-beng Yok-mo, dan yang lain-lain secara begitu aneh!

Malam hari itu mereka bermalam didalam kuil kosong, memilih tempat yang agak bersih disebelah belakang. Cui Bi mengeluarkan roti kering yang dibelinya di dalam dusun yang mereka lewati tadi, lalu membaginya dengan Kun Hong. 

Mereka makan roti kering dan minum air dari sumur yang berada dibelakang kuil, Kemudian mereka merebahkan diri, Cui Bi diatas meja sembahyang yang sudah tidak ada isinya apa-apa lagi, Kun Hong menemukan bangku panjang dan berbaring disitu.

Malam itu tidak terjadi sesuatu yang penting. Akan tetapi pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali dua orang muda itu mendengar suara orang di depan kuil. Kun Hong dan Cui Bi saling pandang ketika mendengar suara seorang laki-laki, suara yang keras dan nyaring penuh nada mengejek,

“Heeei, semalam suntuk kau nekat berjalan terus setelah pagi malah berhenti! Agaknya sudah tidak waras otakmu!”

Terdengar jawaban nyaring, akan tetapi ketus, 
“Tutup mulut! Kau tawananku, ingatkah? Aku hendak berbuat apa yang kusuka, kau tak berhak membuka mulut mencampuri urusanku, mengerti?”

Kun Hong mendengar suara ini seketika berseri wajahnya. Ia hendak menyerbu keluar, Cui Bi yang melihat gerakannya, cepat menangkap lengan tangan Kun Hong dan menaruh telunjuk pada bibirnya, minta temannya itu supaya jangan berisik.

“Dia itu… dia itu Li Eng….” bisik Kun Hong dekat telinga Cui Bi, akan tetapi segera ia menjauhkan mukanya dan bergidik karena mencium bau harum dari sekitar telinga itu. Alangkah pesoleknya laki-laki ini, memakai minyak segala!

Cui Bi nampak terkejut, akan tetapi ia tetap memberi isyarat supaya temannya tidak membuat gaduh dan mereka akan mengintai dulu. Berindap-indap mereka keluar dan mengintai ke ruangan depan. 

Kun Hong menuruti kehendak temannya karena iapun lalu ingat bahwa mungkin Li Eng datang bersama musuh-musuh tangguh, juga ia ingin tahu siapakah laki-laki yang bicara dengan Li Eng itu.

Betul juga dugaan Kun Hong, Memang yang datang sepagi itu di kuil ini adalah Li Eng dan tawanannya. Seperti telah kita ketahui, karena mempergunakan kesempatan selagi Kong Bu pemuda yang menawannya itu berusaha menyedot keluar racun dari luka di kakinya, Li Eng memukul roboh Kong Bu dan balas menawannya. 

Tentu saja Li Eng tidak sudi memanggul tubuh Kong Bu yang sengaja membalasnya dengan sikap ketus dan melawan, sehingga terpaksa gadis ini yang sudah membelenggu kaki Kong Bu, lalu mengikatnya dengan akar dan menyeretnya sepanjang jalan!

Li Eng cukup cerdik untuk mengambil jalan yang sunyi melalui hutan-hutan dan gunung-gunung. Sewaktu-waktu kalau terpaksa melalui dusun-dusun, ia berhenti dan melanjutkan perjalanan di waktu malan. Ia tidak mau dijadikan tontonan karena tentu saja mereka menjadi perhatian orang. Mana ada seorang gadis melakukan perjalanan dengan menyeret seorang laki-laki yang terbelenggu?

Demikianlah, pagi hari itu ia tiba di kuil tua. Semalam suntuk ia telah berjalan sambil menyeret tubuh Kong Bu, lelahnya dan ngantuknya bukan main, maka ia lalu berhenti dan mengambil keputusan untuk beristirahat dan tidur di kuil tua ini. Tentu saja ia sama sekali tidak penah mengira bahwa pamannya berada di belakang kuil dan bahwa sekarang “Paman Hong” itu sedang mengintainya.

Jalan masuk ke dalam kuil itu melalui anak tangga, lumayan juga tingginya, ada satu setengah meter.

“Hayo bangkit, kita masuk ke kuil! Tak mau aku orang yang lewat di depan ini melihat kita.” Li Eng membentak sambil menarik-narik ujung tali akar yang kuat itu.

Kong Bu masih rebah telentang diatas tanah. Pemuda ini sudah tidak karuan lagi macamnya. Mukanya kotor penuh debu, rambutnya awut-awutan dan pakaiannya dibagian punggung sudah habis, robek-robek ketika tubuhnya terseret. Akan tetapi hebatnya, tiada sedikitpun kulit tubuhnya yang rusak biarpun gadis itu menyeretnya sepanjang hari.

Mendengar perintah Li Eng, Kong Bu tersenyum dan memandang dengan mata bersinar-sinar penuh ejekan, 

“Memang aku ingin sekali orang-orang melihat kita. Biar mereka melihat dengan mata kepala sendiri betapa liar dan buasnya gadis murid Hoa-san-pai. Ha, kau benar-benar hendak mempropagandakan kebusukan Hoa-san-pai di depan umum. Seorang gadis menyeret-nyeret tawanannya seperti seekor binatang, di dunia ini mana ada keganasan melebihi ini? Huh, anak murid Hoa-san-pai, memang betul kata-kata Kakek. Anak murid Hoa-san-pait terutama yang perempuan, jahat seperti siluman.”

“Tutup mulutmu!” Li Eng memekik marah. “Kau yang jahat, kau yang seperti iblis, kau yang palsu, Setelah menjadi tawananku, kau sengaja tidak mau menurut, tidak mau jalan mengikuti, Habis kalau tidak menyeretmu bagaimana aku bisa membawamu ke Thai-san? Dasar kau licik dan jahat.”







Next

Postingan populer dari blog ini

RAJA PEDANG (BAGIAN PERTAMA SERIAL RAJA PEDANG)

RAJAWALI EMAS (BAGIAN KE-2 SERIAL RAJA PEDANG)

JAKA LOLA (BAGIAN KE-4 SERIAL RAJA PEDANG)