RAJAWALI EMAS JILID 109

Kong Bu berlari cepat keluar masuk hutan. Bayangan Li Eng terbayang-bayang di pelupuk mata, tak mau lenyap biarpun ia berusaha mengusirnya. Ah, anak murid Hoa-san-pai, mengapa harus diingat-ingatnya? Tapi senyumnya, sinar mata yang indah itu… ah! 

Tiba-tiba ia berhenti merenung memandangi daun-daun di depannya. Hatinya serasa kosong, sunyi. Aneh sekali, sekelilingnya tampak sunyi tak berarti, alangkah bedanya dengan perasaan ketika ia masih diseret-seret tadi. Ia menepuk kepala sendiri. 

“Bodoh kau! Dia benci dan tak suka kepadamu, kau musuhnya, kenapa dipikir-pikir? Tolol celaka!” Dan ia lalu lari lagi cepat-cepat.

Mendadak ia melihat bayangan berkelebat di sebelahnya dan terdengar suara orang berseru,

“Sahabat, berhenti dulu!”

Kong Bu tidak lari secepat ia bisa, akan tetapi cukup cepat sehingga gerakan bayangan yang menyusulnya itu cukup membuat ia terkejut dan maklum bahwa orang ini memiliki ilmu lari yang hebat juga. Ia berhenti dan memandang. 

Seorang pemuda, masih amat muda, tampan sekali, berdiri di depannya. Mata yang tajam memandangnya penuh selidik. Pakaian pemuda ini amat indah dan rapi, kuku-kuku tangannya terpelihara baik-baik, segalanya begitu bersih sedangkan dia sendiri begini kotor. Kong Bu menghela napas.

“Kau siapa dan mau apa menahan perjalananku?” tanyanya, suaranya penuh kecurigaan dan ketidak senangan. 

Memang hatinya sedang risau, sedang tak senang karena ia tidak puas dengan keadaan hatinya sendiri.

“Apakah Song-bun-kwi itu kakekmu?” pemuda tampan yang bukan lain adalah Cui Bi itu bertanya.

“Tak perlu aku sembunyikan hal itu. Benar, Song-bun-kwi adalah kakekku. Kau siapa dan mau apa?”

“Dan orang tuamu… apakah mendiang ibumu bernama Kwee Bi Goat dan ayahmu bernama Tan Beng San?” Pemuda tampan itu bertanya terus tanpa mempedulikan pertanyaan Kong Bu.

Kong Bu terkejut sekali. 
“Bagaimana kau bisa tahu?”

“Tak peduli bagaimana aku bisa tahu. Cucu Song-bun-kwi, cabutlah pedangmu, hendak kulihat sampai dimana kelihaian cucu dari Song-bun-kwi!” setelah berkata demikian, Cui Bi menggerakkan tangan kanannya dan “srattt!” pedangnya telah berada di tangan.

Kong Bu membelalakkan matanya, membusungkan dadanya yang bidang. 
“Sombong kau! Tanpa sebab kau menantangku, kau kira aku takut kepadamu?”

Dengan marah iapun lalu mencabut pedangnya. Diam-diam ia bersyukur bahwa Li Eng gadis liar itu tidak merampas pedangnya ketika gadis itu menawannya.

Cui Bi tersenyum mengejek, 
“Hendak kukenal dengan ilmu pedangmu. Lihat pedangku!” 

Tanpa banyak rewel lagi pemuda tampan ini lalu menggerakkan pedangnya menusuk.
Melihat datangnya tusukan yang cepat dan kuat seperti kilat menyambar, Kong Bu terkejut. Itulah gerakan yang hebat dan ia tidak berani memandang ringan. Cepat ditangkisnya sepenuh tenaga.

“Trangggg!” 

Bunga api berpijar dan Cui Bi merasa tangannya tergetar. Diam-diam ia memuji tenaga dari pemuda gagah itu. Akan tetapi ia tidak memberi hati dan segera bersilat pedang dengan amat cepat dan indahnya. 

Kong Bu kagum sekali. Amat indah gerakan-gerakan ilmu pedang ini, lagipula cepat dan berbahaya. Ujung pedang itu berkembang menjadi banyak, dan setiap bayangan ujung pedang mengarah jalan darah yang penting. Iapun berseru keras dan tanpa ragu-ragu lagi lalu mainkan ilmu pedang yang paling ia andalkan, yaitu warisan dari kakeknya, Ilmu Pedang Yang-sin Kiam-hoat. 

Kun Hong pura-pura merasa ragu, akan tetapi agaknya sinar matanya yang sudah terang dan sama sekali tidak mengandung kemarahan itu dapat dilihat oleh pemuda tadi, buktinya dengan jelas tampak muka yang tampan itu menjadi berseri.





Sampai mengaung-ngaung suara pedangnya memecah udara, menimbulkan angin di sekeliling tubuhnya, pedangnya berubah menjadi sinar bergulung-gulung yang hendak menelan lawan.

“Yang-sin Kiam-hoat! Bagus, keluarkan semua kepandaianmu!” seru Cui Bi sambil menangkis dan balas menyerang tak kalah hebatnya. 

Sekali lagi Kong Bu terkejut. Pemuda tampan itu tidak hanya segera mengenal ilmu pedangnya yang jarang dikenal orang-orang kang-ouw itu, bahkan sekaligus dapat mengimbanginya, agaknya mengenal pula jurus-jurus Yang-sin Kiam-hoat. Heran benar, semuda ini sudah begitu lihai, siapa dia? Namun pikiran ini tidak lama mengganggunya karena ia harus mencurahkan seluruh kepandaiannya untuk menghadapi lawan yang benar-benar berat ini.

Begitu cepat gerakan kedua orang muda itu sehingga tubuh mereka lenyap terbungkus gulungan pedang mereka yang saling membelit. Makin lama Kong Bu makin terheran-heran. Tidak saja semua jurus Yang-sin Kiam-sut yang ia mainkan itu dapat dihindarkan oleh lawan, malah setiap jurusnya tertindih oleh tangkisan Yang-sin Kiam-sut juga yang disusul serangan jurus-jurus yang asing baginya, tapi merupakan kebalikan dari Yang-sin Kiam-sut. 

Sama sekali ia tidak pernah mimpi bahwa pemuda tampan ini ternyata memiliki Ilmu Pedang Im-yang Sin-kiam-sut, jadi artinya kalau ia hanya mengenal setengahnya, pemuda itu telah mengenal selengkapnya! Tentu saja ia kalah angin dan segera terdesak hebat.

Namun, Kong Bu adalah seorang anak gemblengan yang semenjak kecil sudah digembleng secara hebat oleh Song-bun kwi. Tidak hanya Yang-sin Kiam-hoat yang ia warisi, melainkan semua kepandaian kakeknya yang banyak sekali macamnya. Selain ini, dalam hal tenaga, ternyata Kong Bu lebih menang setingkat sehingga mengandalkan kesemuanya ini, ia masih dapat mempertahankan diri dan sengaja ia hendak mengadu pedang untuk memukul jatuh pedang lawan.

Siapa kira, pemuda tampan itu walaupun usianya lebih muda darinya, ternyata memiliki kecerdikan tinggi. Buktinya, pemuda tampan itu sama sekali tidak mau mengadu pedang karena agaknya maklum bahwa tenaganya kalah besar. Ia mengandalkan kegesitan di samping kelihaian llmu pedangnya untuk terus mendesak hebat.

Yang membuat Kong Bu terheran-heran, setelah tiga ratus jurus lebih mereka bertempur, mulailah ia merasa bahwa andaikata pemuda tampan itu menghendaki, ia tentu sudah terkena sasaran pedang lawan. Anehnya, pemuda tampan itu agaknya tidak bertempur sungguh-sungguh, atau setidaknya, tidak mempunyai maksud buruk untuk merobohkannya, lebih tepat disebut menguji kepandaiannya. 

Hal ini malah mendatangkan rasa penasaran di hatinya karena ia merasa terhina dan dipermainkan. Sambil mengeluarkan lengking meninggi seperti orang menjerit menangis, Kong Bu memutar pedangnya dan melakukan tekanan-tekanan dengan serangan maut! 

“Wah, ganas… ganas…!” 

Cui Bi berseru karena ia merasa tergetar jantungnya mendengar lengking yang dikeluarkan dengan pengerahan tenaga khi-kang dan Iwee-kang ini. Ia harus mengempos semangat dan hawa murni di tubuhnya agar jangan terpengaruh.

Memang hebat sekali Kong Bu. Setelah mengeluarkah lengking yang aneh ini, tenaga serangannya seakan-akan menjadi jauh lebih kuat dan biarpun tadi ia sudah terdesak hebat terkurung oleh ilmu pedang lawan yang amat luar biasa itu, sekarang ia dapat mengimbangi lagi permainan lawan, Cui Bi merasa betapa dalam jarak satu meter jauhnya, pedang lawannya itu sudah mengeluarkan tenaga pukulan yang kuat!

Lima ratus jurus telah lewat, dan kedua orang muda itu sudah mulai berkeringat. Tiba-tiba Cui Bi membentak nyaring, pedangnya berkelebat dengan gerakan bergelombang, sukar sekali ditangkis dan tahu-tahu sudah menyambar ke arah pusar Kong Bu. 

Kong Bu berseru keras saking kagetnya, melihat betapa pedang lawan yang sedianya sudah menusuk lambung itu tiba-tiba menyeleweng dan “bret!” ujung bajunya yang terbabat putus. Saking kagetnya melihat pedang itu tadi hendak menusuk lambungnya, ia mengerahkan seluruh tenaga, menangkis dari bawah ke atas dan, 

“tranggg!” 

Cui Bi menjerit lirih, pedangnya terlepas dari pegangan, melayang keatas. Bagaikan seekor burung walet, pemuda tampan ini sudah meloncat keatas dan dilain detik pedangnya yang “terbang” tadi sudah ditangkapnya kembali.

Kini mereka berhadapan, saling pandang, pedang melintang di tangan. Diam-diam Kong Bu harus mengakui dalam hatinya bahwa ia sudah kalah. Bahwa lawannya telah memperlihatkan kelebihannya dan sekaligus membuktikan bahwa lawan ini tidak bermaksud jahat. Kalau demikian halnya tentu ia telah roboh dengan pusar tertusuk pedang.

Cui Bi memandang tajam, matanya bersinar-sinar wajahnya berseri-seri, lalu ia menyimpan kembali pedangnya. 

“Kau… kau hebat, patut menjadi putera Raja Pedang di Thai-san!” katanya.

Merah sekali wajah Kong Bu. Iapun menyarungkan pedangnya, menarik napas panjang beberapa kali. 

“Lebarnya dunia tak dapat diukur, dalamnya lautan sukar dijajaki, kepandaian manusia sukar dibatasi. Sahabat aku benar-benar takluk kepadamu, belum pernah seumur hidupku aku bertemu dengan tandingan seperti kau. Siapakah kau dan apa maksudmu menahanku dan mengajakku main-main seperti ini?”

“Kau… kau puteranya… kenapa kau memusuhi orang-prang Hoa-san-pai, dan…. dan kenapa kau tidak mencari ayahmu…” Cui Bi berkata perlahan, suaranya gemetar.

Kong Bu terheran. Ia menduga-duga siapa adanya pemuda aneh ini. Akan tetapi ia tidak dapat mengirakannya.

“Untuk apa kau bertanya-tanya? Apa pedulimu dengan urusanku?”

“Ada hubungannya erat sekali dan aku ingin sekali tahu. Ah… agaknya kau tidak berani mengaku,” 

Cui Bi menarik napas panjang. Memang ia cerdik. Begitu bertemu ia sudah dapat menduga bahwa pemuda gagah ini tentu memiliki jiwa gagah juga, dan biasanya orang yang menghargai kegagahan, paling pantang kalau disebut “tidak berani”. Maka sengaja ia mengatakan demikian untuk membakar hati orang. Akalnya berhasil baik. Kong Bu menjadi merah mukanya, matanya terbelalak mendelik dan suaranya menggeledek,

“Siapa tidak berani? Bocah, jangan kau sombong. Biarpun harus kuakui bahwa kepandaianmu hebat sekali, namun aku belum mampus ditanganmu dan sewaktu-waktu takkan mundur menghadapi kau atau siapapun juga. Kau bilang aku tidak berani mengaku? Baik dengarlah! Ibuku meninggal karena seorang anak perempuan Hoa-san-pai, karena itulah maka semua perempuan murid Hoa-san-pai kumusuhi! Nah, tahukah kau sekarang?”

“Hemm, kau tentu maksudkan perempuan Hoa-san-pai bernama Kwa Hong itu, bukan? Sayangnya kau ngawur dan membabi buta, sampai-sampai dua orang gadis yang tidak ikut apa-apa kau ganggu juga. Hemm, kau tersesat. Kenapa kau tidak mencari ayahmu di Thai-san?”

Kong Bu tercengang. Bagaimana bocah ini mengetahui segalanya? Ingin ia balas bertanya, akan tetapi karena tidak mau dianggap “tidak berani” ia mengaku, 

“Ayahku Tan Beng San di Thai-san adalah seorang laki-laki yang telah menghancurkan penghidupan mendiang ibuku. Dia tergila-gila kepada perempuan Hoa-san-pai siluman betina itu. Mengapa aku harus mencarinya? Huh, aku malah ingin bertemu untuk menantangnya bertempur, untuk membalaskan sakit hati ibuku!”

Tiba-tiba Cui Bi membentak marah, 
“Jangan mengacau! Kau agaknya sudah dirusak oleh kebohongan dan fitnahan-fitnahan Song-bun-kwi. Kau menurutkan nafsu yang dikobarkan oleh kakekmu yang jahat itu. Kau mau tahu duduknya perkara yang betul? Nah dengarlah aku bercerita.” 

Cui Bi lalu duduk diatas sebuah akar pohon yang menonjol keluar dari pohon. Kong Bu tidak peduli, tetap berdiri dan memandang penuh curiga. Bocah ini tahu banyak sekali, entah apa kehendaknya, akan tetapi karena ingin tahu ia diam saja, mendengarkan.







Next>>

Postingan populer dari blog ini

RAJA PEDANG (BAGIAN PERTAMA SERIAL RAJA PEDANG)

RAJAWALI EMAS (BAGIAN KE-2 SERIAL RAJA PEDANG)

JAKA LOLA (BAGIAN KE-4 SERIAL RAJA PEDANG)