RAJAWALI EMAS JILID 126

Akan tetapi gerakannya yang menarik kembali pedang dan melompat mundur ini dipergunakan oleh musuh-musuhnya untuk mendesak.

“Dukk!” 

Sebatang anak panah hijau di tangan Kwa Hong menghantam dadanya, membuat Beng San terhuyung-huyung ke belakang. Ia masih sempat melindungi leher dan kepalanya dari cengkeraman Tok Kak Hwesio dan hantaman ujung lengan baju Siauw-ong-kwi, namun dalam keadaan terhuyung-huyung itu, ia tidak mampu mengelak dari hantaman ujung selampai Hek-hwa Kui-bo yang mengenai pundak dekat leher, menotok jalan darah. 

Beng San mengerahkan tenaga melawan totokan ini, namun karena hantaman pada dadanya oleh anak panah Kwa Hong tadi melumpuhkan sebagian tenaganya, maka totokan ini masih membawa pengaruh hebat, ia menjadi pening dan muntahkan darah segar. 

Pada saat yang amat berbahaya itu, datang lagi dorongan pukulan Pak-thian Locu yang mengakibatkan angin pukulan mendorong dadanya. Beng San tak dapat menahan dan roboh telentang. Baiknya tubuhnya memang kuat sekali maka ketika terjengkang ini ia menahan napas dan menyalurkan hawa murni dalam tubuh untuk melawan pengaruh tiga pukulan hebat itu, pada dada, pundak dekat leher dan ulu hati. Sekali lagi ia muntahkan darah segar, wajahnya menjadi pucat dan ia melompat sambil memutar pedangnya sekaligus menangkis hujan senjata.

“Curang….!” serunya, kini kemarahan membuat uap putih mengebul keluar dari ubun-ubun kepalanya. 

Kemarahan membuat gerakannya seperti seekor naga terbang, ia menerjang maju dan terdengar Hek-hwa Kui-bo menjerit sambil melompat mundur, selampainya putus terbabat pedang dan lengannya masih tergores ujung pedang sehingga mengeluarkan darah. Juga para pengeroyok lain terpaksa melangkah mundur setindak saking hebatnya daya serang Beng San ini. Beng San hendak melompat kearah Giam Kin lagi, akan tetapi para pengeroyoknya sudah menghalanginya pula.

“Giam Kin, lepaskan anakku! Lepaskan dan aku akan menyerah!” bentak Beng San suaranya menggeledek.

“Ha-ha-ha, jangan lepaskan, orang ini harus dibikin mampus bersama anaknya!” tiba-tiba terdengar suara keras dan tahu-tahu Song-bun-kwi telah muncul disitu bersama Kong Bu.

Datang-datang kakek ini menerjang sambil menggerakkan pedangnya yang mengaung hebat, menggunakan Ilmu Silat Pedang Yang-sin Kiam-sut yang ganas. Melihat datangnya Song-bun-kwi, para pengeroyok timbul kembali semangat mereka dan pengeroyokan makin hebat.

“Hi-hik, dasar dosamu sudah bertumpuk-tumpuk, Beng San!” Kwa Hong bersorak dan kembali ia menganjurkan puteranya, “Sin Lee, hayo kau ambil bagian dalam pesta ini!”

Akan tetapi Sin Lee berdiri tegak dengan wajah pucat, mata membelalak dan tubuh gemetar. Muak ia melihat pengeroyokan itu dan makin lama makin bangga dan kagumlah ia menyaksikan sepak terjang orang yang menjadi ayahnya ini.

Adapun Kong Bu ketika sampai di tempat itu, juga berdiri mematung dengan mata seakan-akan mengeluarkan api. Ia tidak peduli mellhat kakeknya sudah menyerang mati-matian dan melihat jalannya pertempuran dengan hati tidak karuan. Sedih ia melihat orang yang menjadi ayahnya itu dikeroyok sedemikian rupa, mau membela, ia segan kepada kakeknya.

Biarpun telah terluka ditiga tempat dan pengeroyoknya bertambah seorang sehebat Song-bun-kwi, namun permainan pedang Im-yang Sin-kiam-sut dari Beng San benar-benar hebat sekali sehingga ia dapat melindungi tubuhnya dari hujan senjata itu. Akan tetapi, kembali terdengar suara Giam Kin tertawa,

“Ha-ha-ha, Beng San, lihatlah Kau masih mau melawan terus? Lihat ini anakmu!” 

Setelah berkata demikian, tangan kirinya yang berupa cakar mengerikan itu bergerak dan “brettt” baju luar yang dipakai Cui Bi terobek lebar, memperlihatkan baju dalamnya yang berwarna merah muda.

Gelap rasanya mata Beng San. 
“Giam Kin keparat….! Lepaskan anakku….” 





Karena perasaannya tertusuk, gerakannya agak terlambat dan pedang Song-bun-kwi yang tadinya menusuk pusarnya itu kurang cepat ia elakkan sehingga pahanya tertusuk pedang. Beng San menggulingkan tubuhnya ke belakang, Sinar pedangnya berkelebat menjaga diri dan ketika ia melompat bangun lagi darah bercucuran dari paha kanannya. 

Ia terpincang-pincang, darah mengucur banyak sekali, namun pedangnya masih dimainkan rapi menghalau setiap senjata yang hendak merenggut nyawanya. Tapi ia tidak mampu balas menyerang karena perhatiannya terbagi untuk mengawasi keadaan Cui Bi yang sama sekali tidak berdaya dalam tangan manusia iblis itu.

“Ha-ha-ha, Beng San, kau takkan dapat melepaskan dirimu. Kau boleh mati dengan mata melek karena anakmu ini takkan dapat bebas pula. Ha-ha-ha!” 

Suara ketawa Giam Kin bergema di hutan itu ketika ia memanggul tubuh Cui Bi dan lari pergi dari situ.

“Lepaskan anakku!” 

Beng San menjerit, tangan kirinya menyambar sebuah batu kecil dan dilemparkannya ke arah Giam Kin. Hebat lemparan ini, karena tubuh Giam Kin segera terguling, akan tetapi sambil tertawa-tawa manusia iblis itu bangun lagi dan lari terus memanggul tubuh Cui Bi.

“Kau mau bawa kemana anakku?” 

Beng San memekik lagi, akan tetapi tiba-tiba sebuah pukulan ujung lengan baju Siauw-ong-kwi tepat mengenai kaki kirinya, membuat ia terguling roboh, ia berusaha bangun akan tetapi tidak mampu karena uratnya di dekat lutut terpukul hebat. Terpaksa Beng San sambil duduk karena kakinya lumpuh, menahan datangnya semua senjata dengan cara memutar pedangnya secara luar biasa sekali. 

Namun, dalam keadaan seperti itu tentu saja ia tidak mampu melawan tujuh orang lihai itu yang seakan-akan berlumba hendak berdulu-duluan mencabut nyawanya. Pundaknya tertusuk pedang lagi dan lengan kirinya juga dihantam tongkat hitam Yok-mo, membuat lengan kirinya juga lumpuh.

Pada saat itu, terdengar teriakan menyeramkan, sesosok bayangan menyerbu ke dalam pengeroyokan itu dan tahu-tahu tubuh Beng San sudah dipondong orang yang memutar-mutar pedangnya menghadapi para pengeroyok. Orang ini bukan lain adalah Kong Bu! Beng San yang dipondong juga masih mainkan pedangnya untuk menangkis hujan senjata.

“Anakku… anak Bi Goat… akhirnya kau… menolongku….?” terengah-engah Beng San berkata, air mata menitik turun dari matanya.

“Kong-bu, gilakah kau?” seru Song-bun-kwi dan cepat kakek ini menggerakkan pedang menangkis tongkat hitam Yok-mo yang hampir mengenai kepala cucunya.

“Kakek, biarlah aku mati membela ayahku yang jauh lebih gagah daripada kamu sekalian!” teriak Kong Bu, matanya mengeluarkan cahaya berapi, pipinya basah oleh beberapa butir air mata yang menitik turun.

“Ha-ha-ha, Song-bun-kwi tua bangka gila, cucumu sendiri mengkhianati kau!” Yok-mo mengejek dan bersama yang lain-lain mereka lalu menerjang Kong Bu.

Sekali lagi terdengar teriakan melengking yang tinggi dan nyaring, dan Sin Lee sekarang memutar pedang membantu Kong Bu!

“Sin Lee, mundurlah kau!” Kwa Hong menjerit.

“Tidak, Ibu. Aku tidak suka melihat ini semua! Ayah seorang gagah perkasa, patut kubela dengan taruhan nyawa! Majulah, kalau perlu aku akan melawan kau sendiri!”

Kwa Hong menjerit dan menangis, menarik kembali senjatanya. Pada saat itu, Yok-mo, Tok Kak Hwesio, Siauw-ong-kwi, Hek-hwa Kui-bo dan Pak-thian Locu yang menjadi marah sekali lalu menerjang dua orang muda yang dengan semangat tinggi melindungi Beng San, orang yang menjadi ayah mereka tapi yang harus mereka benci dan musuhi itu.

“Sin Lee… terima kasih… ah, Thian Yang Maha Adil… aku rela mati sekarang….” kata Beng San, akan tetapi tubuhnya menjadi lemas dan ia menjadi pingsan dalam pondongan Kong Bu.

Betapapun lihainya Kong Bu dan Sin Lee menghadapi pengeroyokan lima orang tokoh besar itu mereka menjadi repot sekali. Apalagi Kong Bu yang harus memondong tubuh ayahnya sehingga pada saat itu ketika ia menangkis sambaran pedang Hek-hwa Kui-bo yang membuat lengannya terasa kesemutan, ia tidak dapat menghindar lagi dari pukulan mendorong yang dilakukan oleh kakek tua renta, Pak-thian Locu.

“Berani kau menyerang cucuku?” Tiba-tiba Song-bun-kwi meloncat maju dan menangkis pukulan ini.

“Dukkk!!” 

Hebat sekali pertemuan dua lengan orang sakti ini, akan tetapi akibatnya Song-bun-kwi terdorong mundur tiga langkah sedangkan kakek tua itu hanya bergoyang-goyang saja tubuhnya. Kaget bukan main Song-bun-kwi, sedangkan Siauw-ong-kwi tertawa-tawa,

“Ha-ha-ha, Song-bun-kwi manusia iblis! Baru sekarang kau bertemu tanding, perkenalkan dia adalah twa-suhengku Pak-thian Locu,”

“Aih-aihh, kiranya setan tua bangkotan dari Utara. Jangan takabur aku Song-bun-kwi selamanya tidak pernah takut, baik kepadamu atau kepada twa-suhengmu yang mau mampus ini!” serentak Song-bun-kwi menerjang kakek itu dengan pedangnya dan terjadilah pertandingan hebat.

Sementara itu, melihat betapa Sin Lee kerepotan dikeroyok Yok-mo, Tok Kak Hwesio dan sekarang Hek-hwa Kui bo juga menerjang Sin Lee karena Song-bun-kwi sudah dihadapi Pak-thian Locu sedangkan Kong Bu diserang Siauw-ong-kwi, Kwa Hong mengeluarkan suara melengking dengan marah sekali ia menyerbu untuk menolong puteranya!

Makin hebatlah pertempuran itu. Akan tetapi, Song-bun-kwi perlahan-lahan terdesak oleh Pak-thian Locu yang luar biasa. Kong Bu yang memondong tubuh Beng San juga repot menghadapi Siauw-ong-kwi, sedangkan Sin Lee biarpun dibantu ibunya, tetap saja terkurung hebat oleh Toat-beng Yok-mo, Tok Kak Hwesio, dan Hek-hwa Kui-bo.







Next>>

Postingan populer dari blog ini

RAJA PEDANG (BAGIAN PERTAMA SERIAL RAJA PEDANG)

RAJAWALI EMAS (BAGIAN KE-2 SERIAL RAJA PEDANG)

JAKA LOLA (BAGIAN KE-4 SERIAL RAJA PEDANG)