RAJAWALI EMAS JILID 129

“Heh-heh, kau kelihatan terheran-heran. Gadis cilik, dahulunya aku seorang laki-laki yang tampan. Hemm, dibandingkan dengan ayahmu, aku jauh lebih tampan. Celaka, siluman betina Kwa Hong itu dengan rajawali emasnya mengubah aku menjadi begini. Heh-heh, disangkanya aku sudah mati. Hah, awas kau Kwa Hong iblis betina, akan datang pembalasanku….”

“Aku bertanding melawan Kwa Hong dan menjadi begini karena gara-gara Lee Giok, karena itu aku bersumpah, selain untuk membalas kepada ayahmu sekeluarga, juga kepada Kwa Hong dan Lee Giok. Sayang sampai sekarang belum kudapatkan kesempatan itu, ha-ha-ha, saat ini aku akan dapat memuaskan hatiku membalas kepada Beng San. Aku mendengar bahwa puteri dari Lee Giok berada di Thai-san sebagai tamu, aku cepat mencari akal untuk menangkapnya, untuk membalas kepada anaknya, menyiksanya seperti juga ibunya telah menyebabkan aku begini. Eh, kiranya bukan dia yang muncul melainkan kau, anak Beng San! Heh-heh-heh, jerat yang kupasang tidak berhasil menjerat kelinci seperti yang kuharapkan, malah lebih dari itu, ternyata telah menjerat seekor anak kijang. Heh-heh-heh, senang hatiku. Nah, kau sudah mendengar semua dan siap menerima siksa dariku? Heh-heh-heh-heh!”

Mengertilah sekarang Cui Bi mengapa muka penjahat bernama Giam Kin yang pernah ia dengar diceritakan ayahnya itu sekarang menjadi seperti iblis begini. Kiranya gara-gara Kwa Hong lagi. 

Ia mencoba untuk mengerahkan tenaga Iwee-kangnya membuka totokan pada lehernya, namun sia-sia belaka dan ini membuktikan bahwa orang ini memiliki kepandaian yang tinggi. Andaikata dia berhasil mengeluarkan pekik keras, tentu orang ini akan segera turun tangan pula. 

Cui Bi tidak takut mati, akan tetapi ngeri juga ia mendengar bahwa ia akan mengalami siksaan. Orang yang sudah bukan manusia lagi ini tentu mempunyai cara-cara yang amat keji untuk menyiksa, dan membunuh musuhnya. 

Giam Kin tertawa-tawa lagi lalu mengeluarkan sulingnya. Ketika suling itu mulai ditiup, tahulah Cui Bi, atau setidaknya dapatlah ia menduga siksaan apa yang akan ia hadapi. Dan dugaannya itu ternyata benar karena tak lama kemudian ia mendengar suara berisik, mendesis-desis dan menggelesernya tubuh banyak ular menuju ke tempat itu. 

Tak lama kemudian ia mencium bau amat amis dan kiranya ular-ular itu sudah dekat sekali. Giam Kin menghentikan tiupannya, mengeluarkan setangkai bunga berwarna kuning dan ular-ular itu berhenti bergerak, seakan-akan ketakutan melihat kembang kuning itu!

“Heh-heh-heh, bocah anak Beng San. Ular-ular itu akan menuruti segala perintahku. Sekali kuperintah, mereka akan menyerbu dan menggerogoti kulitmu yang halus dan dagingmu yang lunak sampai tinggal tulang-tulangmu saja. Heh-heh-heh, dalam waktu kurang dari satu jam, wajahmu yang cantik akan menjadi buruk, lebih buruk dari wajahku, rambutmu yang hitam panjang ini akan copot dari kepala, matamu yang bagus-bagus itu akan masuk ke perut ular. Hanya tulangmu yang tinggal, kau akan berubah menjadi kerangka dan ayah ibumu takkan mengenalmu lagi. Heh-heh-heh! Aku akan menikmati pertunjukan ini, melihat kau menggeliat-geliat kesakitan, melihat kau berkelahi dengan maut, melihat betapa hidungmu yang bagus itu akan digigit ular, kulitmu yang halus akan dibeset, dagingmu diperebutkan. Heh-heh-heh!”

Cui Bi sudah tak mendengarkan ini semua. Ia tahu sejak ular-ular itu datang bahwa nyawanya takkan dapat tertolong lagi. Ia tidak takut menghadapi kematian, tidak pula takut menghadapi siksaan akan tetapi pada saat ia berada ditepi jurang kematian itu, terbayanglah wajah tiga orang, yaitu wajah ibunya, wajah ayahnya dan wajah Kun Hong! Tak tertahankan lagi naik sedu-sedan di kerongkongannya dan beberapa titik air mata mengalir keatas pipinya.

“Heh-heh-heh, kau menangis? Heh-heh-heh-heh, bagus, menangislah. Aahhh, alangkah senangnya kalau aku bisa memperlihatkan ini kepada jahanam Beng San! Heh-heh, dia sendiri sekarang mungkin sudah mampus atau terluka hebat. Aahh, alangkah manisnya pembalasan dendam!”

Giam Kin berdiri, mundur dan kemudian duduk bersila dibawah pohon tak jauh dari situ. Ia menyimpan kembali kembang kuning itu dan mulai meniup sulingnya, matanya yang tinggal sebelah ltu bersinar-sinar memandang pertunjukkan di depannya yang akan segera dimulai. 

Suling ditiup, suaranya melengking tinggi mengalun sedih seperti ratap tangis yang keluar dari neraka, dan ular-ular itu mulai merayap maju, berlenggang-lenggok menggeliat-geliat merayap kearah Cui Bi yang masih menggeletak telentang.

“Mati Bukan soal, tapi melawan sebisanya adalah wajib,” pikir gadis ini. 

Ia mengerahkan seluruh tenaga Iwee-kang yang ada dalam tubuhnya, lalu tiba-tiba tubuhnya itu menggeliat dan melompat ke atas. Dengan meliukkan pinggangnya ia berhasil turun dalam keadaan berdiri. Badannya bergoyang-goyang, memang sukar untuk dapat melakukan hal itu dalam keadaan terbelenggu kaki tangannya dan diam-diam Giam Kin kagum sekali. Gin-kang yang diperlihatkan gadis itu betul-betul gin-kang tingkat tinggi.

Melihat ular-ular itu sudah mengurungnya dan jumlah mereka amat banyak sehingga sekelilingnya dalam jarak lima enam meter adalah ular belaka, Cui Bi maklum bahwa tak mungkin ia dapat melompati jarak itu keluar dari lingkaran barisan ular. Setelah ular-ular makin dekat dan siap menerjang kakinya, ia menggerakkan kedua tumit kakinya dan tubuhnya meloncat keatas, lalu dengan mengerahkan Iwee-kangnya ia turun lagi tepat mengarah kepala seekor ular besar.





“Krakkk!” 

Kepala ular itu hancur lebur oleh injakan kaki Cui Bi yang secepatnya telah meloncat lagi keatas dan turun menginjakkan kedua kakinya pada kepala seekor ular besar lainnya. 

Demikianlah, gadis yang luar biasa ini berkali-kali meloncat dan tiap kali turun tentu seekor ular mati dengan kepala remuk. Makin lama makin gembiralah Cui Bi karena biarpun ia maklum bahwa akhirnya ia akan roboh dan tewas, namun ia telah berhasil membunuh banyak calon-calon pembunuhnya.

Gembira sekali hati Giam Kin. Ia melihat betapa gadis itu makin lama makin menjadi lemah. Tiap kali meloncat dan tiap kali menginjak remuk kepala seekor ular, gadis itu mengerahkan Iwee-kang yang tidak kecil makan tenaganya sehingga setelah dua puluh ekor lebih ular yahg diinjaknya mati, gadis itu mulai mandi peluh dan gerakannya lambat. 

Akhirnya seekor ular berhasii membelit kakinya sehingga ketika Cui Bi melompat, ular itu terbawa naik. Gadis itu maklum bahwa sekali ular yang belang-belang kulitnya ini menggigit, akan robohlah dia terkena racun. Cepat ia menggerakkan kedua kakinya selagi meloncat itu, gerakannya cepat dan mengandung tenaga sehingga lilitan tubuh ular itu pada kakinya terlepas dan ular itu terlempar sampai sepuluh meter lebih jauhnya!

“Hebat….” 

Giam Kin memuji dan sulingnya makin meninggi lengkingnya dan hal ini agaknya membuat ular-ular itu makin ganas saja. 

Cui Bi kehabisan tenaga dan maklum bahwa belum tentu ia kuat meloncat lima kali lagi. Dan setelah ia tidak kuat meloncat, tentu ular-ular itu akan membelit kakinya merayap ke atas, menggigiti kakinya sampai ia roboh untuk dikeroyok dan diperlakukan seperti yang telah dibayangkan oleh Giam Kin tadi. 

Tapi baru saja meloncat tiga kali, ia sudah kehabisan tenaga dan injakannya tidak mematikan seekor ular. Ia sudah tidak kuat meloncat lagi dan sudah meramkan mata untuk menerima kematian yang amat mengerikan.

“Heh-heh-heh, ha-ha-ha, kini pertunjukan mulai….” 

Giam Kin tertawa terkekeh-kekeh, akan tetapi tiba-tiba suara ketawanya berhenti dan yang terdengar oleh telinga Cui Bi adalah teriakan orang, nyaring sekali,

“Bi-moi… lekas kau berloncatan lagi….! Loncat, pertahankan!”

Suara ini seakan-akan aliran listrik yang memberi kekuatan baru kepada Cui Bi, menyendal kembali harapannya untuk hidup yang tadi sudah terbang ke awang-awang. Sekuat tenaga ia meloncat keatas sebelum kakinya terbelit ular, sambil meloncat ia membuka kedua mata memandang.

“Hong-ko….!” didalam dadanya bergema teriakan hatinya ini karena ia masih belum dapat mengeluarkan suara sama sekali. 

Dilihatnya betapa pemuda itu dengan memegang dua batang obor kayu, menggunakan api obor itu untuk mengamuk dan menyerang barisan ular, menyerbu kearah tempatnya. 

Tak terasa lagi air mata bercucuran dikedua mata Cui Bi, saking girang dan terharunya. Namun, kekuatiran besar memenuhi hatinya kalau ia melihat Giam Kin masih duduk bersila di tempat tadi sambil memandang kearah Kun Hong dengan mata mengandung kemarahan, akan tetapi mulut mengejek.

Seperti binatang buas apa saja, ularpun amat takut terhadap api. Mereka yang kurang cepat menyingkir, sudah berkelojotan terkena serangan Kun Hong, ada pula yang mencoba menyerang pemuda itu, akan tetapi begitu tubuhnya tercium api, lalu berkelojotan, menggigit bagian badan sendiri yang termakan api saking panas dan sakitnya, yang lain-lain menyingkir ketakutan sehingga terbukalah jalan bagi Kun Hong untuk berlari ke arah Cui Bi.

“Kau pegang ini sebuah, Bi-moi!” teriak pula Kun Hong sambil menyerahkan obor yang tadi dipegang oleh tangan kanannya. 

Dengan penuh semangat Cui Bi mengacung-acungkan sepasang lengannya yang terbelenggu untuk memberi tahu bahwa tak mungkin ia melakukan apa yang diminta itu. Melihat ini Kun Hong cepat meletakkan sebuah obor ke bawah, mencabut Ang-hong-kiam dan membabat belenggu kaki dan tangan gadis itu. 

Ang-hong-kiam tajam bukan main dan tenaga dalam dari Kun Hong juga hebat, maka sekali babat saja putuslah semua belenggu dan terbebaslah Cui Bi. Setelah itu, dengan pedang dikempit untuk membebaskan tangan kanannya, Kun Hong yang maklum bahwa gadis ini tentu telah tertotok urat gagunya, menotok belakang leher dan menepuk punggung dua kali.

“Hong-ko….!” kali ini suara itu keluar dari mulut Cui Bi, disusul isak tangis saking girang dan terharunya.

Tiba-tiba Cui Bi merampas pedang dari tangan Kun Hong, matanya liar ketika membalikkan tubuh memandang kearah Giam Kin. Akan tetapi alangkah heran, terkejut dan marahnya ketika ia tidak melihat manusia iblis itu berada di tempat tadi, sudah tidak kelihatan bayangannya lagi.

“Kemana dia….??”

“Kau mencari siapa, Adik Bi?” tanya Kun Hong.

“Manusia iblis itu, Giam Kin si keparat, hendak kucincang hancur tubuhnya!”

“Ah, kau maksudkan pengemis buta sebelah yang meniup suling tadi? Aku sudah terheran-heran tadi mengapa ia bisa bermain suling sedangkan di depannya terjadi penyerangan ular-ular itu kepadamu, kenapa ia tidak turun tangan menolongmu.”

“Menolongku? Ah, Hong-ko dialah yang menyuruh ular-ular itu mengeroyokku. Dia itulah si iblis bernama Giam Kin memusuhi Ayah dan karenanya ia hendak membalas dendamnya melalui aku, dia sengaja mendatangkan ular-ular itu setelah menawanku secara licik din curang, dia hendak melihat ular-ular itu merobohkan aku, menggerogoti kulit dan dagingku, melihat aku berkelojotan melawan maut, melihat aku berubah menjadi rangka, tinggal tulang-tulang saja, ahh… Hong-ko….” Gadis itu menubruk, merangkul pundak Kun Hong dan menangis tersedu-sedu.

Kun Hong bergidik dan membiarkan gadis itu memuaskan perasaannya, membiarkan dia menangis sesenggukan. Memang inilah obat terbaik untuk menenangkan kembali perasaannya yang tertindih dan tercekam hebat oleh pengalaman yang demikian mengerikan. 

Baru saja gadis ini lolos dari lubang jarum, lolos dari cengkeraman maut yang sudah begitu pasti, dan diam-diam Kun Hong berterima kasih kepada Tuhan bahwa ia tidak tertambat datang. Terlambat beberapa menit lagi saja, bayangan ngeri dan seram seperti dikatakan gadis ini tadi pasti akan terjadi.

“Hong-ko… kau telah menolong nyawaku, Hong-ko….”

“Sudahlah, jangan dibesar-besarkan hal itu, Bi-moi,” jawab Kun Hong merendah, padahal hatinya merasa bahagia bukan main.

“Girang sekali hatiku kaulah yang berhasil menolongku, Hong-ko. Akhirnya kaulah orangnya yang berhasil merenggut aku dari cengkeraman maut maka sudah sepatutnya pula kalau aku menghambakan diri kepadamu selama hidupku.”

Tak terasa lagi, mendengar kesanggupan gadis ini, Kun Hong memeluk dan mendekap kepala orang yang disayang dan dicintanya itu rapat-rapat ke dadanya?

“Bi-moi… Bi-moi… semoga Tuhan memberkahi kita dan mengabulkan apa yang kita cita-citakan ini… ah, mari kita lekas menyusul ke tempat ayahmu. Tadi kulihat dia dikeroyok banyak orang jahat, dan ibumu serta Li Eng dan Hui Cu juga sudan menyusul kesana. Aku melihat kau ditawan orang dan dibawa lari, maka cepat aku mengejar. Sama sekali tidak kusangka bahwa orang itu adalah pengemis buta sebelah tadi, dan sama sekali tidak kuduga dia itulah yang bernama Giam Kin. Pernah aku mendengar dari ayahku, tentang orang itu….”







Next>>

Postingan populer dari blog ini

RAJA PEDANG (BAGIAN PERTAMA SERIAL RAJA PEDANG)

RAJAWALI EMAS (BAGIAN KE-2 SERIAL RAJA PEDANG)

JAKA LOLA (BAGIAN KE-4 SERIAL RAJA PEDANG)