RAJAWALI EMAS JILID 137

“Berikan dia padaku! Dia pembunuh muridku!” teriaknya dengan suara parau.

Akan tetapi, kembali orang-orang tercengang karena tanpa mereka lihat datangnya, tahu-tahu Ketua Thai-san-pai sudah berdiri disitu pula menghadapi Hek-hwa Kui-bo. Beng San berdiri tegak dengan sepasang mata berkilat-kilat, lalu berkata kepada Hek-hwa Kui-bo,

“Kui-bo, pertemuan ini kuadakan dengan peraturan dan kesopanan. Kalau kau mempunyai penasaran tunggulah giliranmu, harap jangan mengacau. Mundurlah!” 

Sinar mata Beng San berkilat seperti halilintar menyambar sehingga Hek-hwa Kui-bo gentar juga menghadapi sikap musuh lamanya ini. Ia meragu. Ia tahu betul bahwa orang ini telah terluka hebat dalam pengeroyokan kemarin dulu, akan tetapi mengapa sekarang masih dapat meloncat seperti terbang saja cepatnya? Untuk menutupi kegugupannya, ia tertawa,

“Hi-hik, Beng San, betul juga katamu. Baiklah aku menanti giliranku.” 

Sambil tertawa-tawa ia lalu melayang turun dan sekejap mata saja ia sudah lenyap entah kemana. Juga Beng San dengan tenang meloncat turun dan kembali ke tempat duduknya. 

Semua tamu menahan napas, terhadap tokoh seperti Hek-hwa Kui-bo tentu saja tak seorangpun berani mentertawai. Keadaan makin tegang setelah mereka ketahui bahwa ternyata tempat itu dihadiri pula oleh tamu-tamu tak kelihatan sehebat Hek-hwa Kui-bo. Siapa tahu masih banyak lagi tokoh-tokoh aneh seperti ini. Karena nenek itu tidak kelihatan lagi, maka perhatian para tamu dialihkan kembali ke atas panggung, kepada tosu Ngo-lian-kauw dan pemuda yang mengaku putera Ketua Thai-san-pai itu. Tosu itu memandang rendah kepada Sin Lee, lalu berkata,

“Menjawab pertanyaanmu tadi, orang muda, pinto datang ini boleh dibilang atas nama pribadi, juga boleh disebut mewakili Ngo-lian-kauw, apalagi mendengar tadi bahwa ketua kami tewas di tanganmu. Sebagai pengawal istana akupun mempunyai urusan, yaitu mengejar larinya tiga orang buronan dari kota raja!” 

Tosu itu dengan mata tajam memandang kearah tiga anak murid Hoa-san-pai yang duduk di rombongan tuan rumah.

“Kalau yang kau maksud dengan ketuamu itu adalah Kim-thouw Thian-li, aku Tan Sin Lee tak merasa telah membunuhnya. Akan tetapi kalau toh ia mampus oleh pukulanku, hal itupun aku tidak menyesal karena itu berarti bahwa aku telah melenyapkan seorang jahat, Tentang kau mengejar buronan bukanlah urusanku. Nah, kalau memang kau hendak membalas sakit hati ketuamu, kau majulah!”

Thian It Tosu memang sudah mendengar bahwa Ketua Ngo-lian-kauw tewas dalam tangan beberapa orang muda akan tetapi ia tidak tahu siapakah pembunuhnya. Tadi Hek-hwa Kui-bo muncul dan menerangkan bahwa pemuda ini adalah pembunuh ketuanya, maka tentu saja ia menjadi marah dan ingin membalas dendam. Ia tidak berani memandang rendah lagi karena kalau pemuda ini mampu merobohkan Kim-thouw thian-li berarti dia tentu lihai sekali.

Apalagi kalau diingat bahwa pemuda ini adalah putera Ketua Thai-san-pai. Tosu ini lalu melolos keluar sebatang pedang dengan tangan kanan sedangkan tangan kirinya mencabut hiasan rambutnya yang berupa lima bunga teratai itu. 

Hiasan rambut ini terbuat dari benda berwarna putih, merupakan lima buah kembang yang atasnya tertutup rapi berbentuk runcing, dan sekarang gagangnya dipegang oleh tangan kiri tosu itu. 

Mengingat akan nasehat ayahnya tadi, Sin Lee bersikap waspada dan tidak berani memandang remeh kepada hiasan rambut ini yang melihat ukuran dan bentuknya, bukanlah merupakan senjata yang baik. 

Sambil mengeluarkan teriakan keras tosu itu menyerangnya dengan pedang, namun Sin Lee cepat mengelak sedangkan pedangnya sendiri lalu menukik dari atas kiri menusuk pundak lawan.

Thian It Tosu terkejut dan maklum bahwa lawannya ini biarpun masih muda ternyata memiliki gerakan cepat dan ilmu pedang yang aneh namun berbahaya sekali. Iapun segera bertempur seru, makin lama makin cepat. Baru belasan jurus saja Thian It Tosu maklum bahwa ilmu pedang pemuda itu benar-benar luar biasa dan ia sudah terdesak hebat. Tiba-tiba tangan kirinya telah menjepit sebuah kembang buatan itu dan melesatlah jarum-jarum halus ke arah lawannya.

Sin Lee mengeluarkan suara melengking tinggi dan tubuhnya mendadak mencelat ke atas, demikian cepat gerakannya seperti gerakan seekor burung dan semua senjata rahasia halus yang tak dapat dilihat mata itu lewat di bawah kakinya.





Dari atas Sin Lee membalas, pedangnya meluncur turun menyerang kepala tosu itu. Hal ini benar-benar tak pernah diduga oleh Thian It Tosu yang tadinya mengharapkan penyerangannya akan berhasil, siapa duga bahwa orang yang diserang secara mendadak itu malah menyerang dari atas. 

Terpaksa untuk menyelamatkan dirinya karena menangkis sudah tidak ada waktu lagi, tosu ini membanting tubuh ke belakang dan bergulingan menjauhi kejaran pedang lawan. Ia meloncat bangun dan kini ibu jari dan telunjuknya menjepit bunga teratai kedua. 

Terdengar suara ledakan kecil dan dari tangan kirinya itu menyambar asap hitam ke arah muka Sin Lee. Pemuda ini tidak kurang waspada, cepat ia melompat ke samping, cukup jauh agar tidak terkena pengaruh asap beracun itu, sambil menahan napas lalu meniup kearah asap itu sehingga buyar!

“Tosu curang!” 

Sin Lee berseru keras dan pedangnya kini berkelebatan seperti kilat mencari korban. Ia sedikitpun tidak memberi kesempatan kepada tosu itu untuk mempergunakan senjata rahasianya lagi, malah ia mengincar tangan kiri yang memegang bunga-bungaan itu, yang dianggapnya lebih berbahaya daripada pedang di tangan kanan. 

Thian It Tosu berusaha melawan, namun akhirnya ia berteriak keras ketika ujung pedang Sin Lee mengancam pergelangan tangan atau jari-jari tangan kirinya. Terpaksa ia menarik tangannya, tapi terdengar suara “crakk!” dan hiasan rambut itu kini tinggal gagangnya saja yang berada di tangannya.

Sin Lee mengeluarkan suara menghina dan kakinya menendang bunga-bungaan itu ke bawah panggung.

“Nah, marilah kita bertanding pedang secara laki-laki, tidak main curang!” seru Sin Lee, perlahan-lahan maju menghampiri tosu yang berdiri dengan muka pucat itu.

Akan tetapi Thian It Tosu tidak segera menggerakkan pedangnya. Ia hanya berdiri tegak, mukanya pucat, matanya terbelalak memandang lawan, bibirnya komat-kamit.

“Hayo, majulah, apakah kau takut?” 

Sin Lee mengejek sambil menggerak-gerakkan pedangnya, siap menanti penyerangan lawannya. Akan tetapi tosu itu tetap tidak bergerak, dan mulutnya tetap bergerak-gerak. Orang lain tidak ada yang mendengar suaranya, namun tiba-tiba Sin Lee mendengar suara yang seakan-akan datang dari dasar bumi suara yang penuh kekuasaan, penuh pengaruh, yang berbisik-bisik dan mendesis-desis,

“Sin Lee, pandang baik-baik pinto siapa! Pinto adalah pendeta, kau takkan menang melawan pinto, baru melihat saja kau sudah pening, tenagamu lemah, pikiranmu kacau….” 

Ucapan ini diulang-ulang. Mula-mula Sin Lee hendak mentertawakannya, akan tetapi ia mulai bingung dan gugup karena tiba-tiba ia merasa kepalanya pening.

Pada saat itu Thian It Tosu sudah menyerangnya dan ia cepat menangkis, akan tetapi benar-benar ia makin gelisah karena tenaganya serasa amat lemah kepalanya makin pening dan pikirannya menjadi kacau-balau, malah mulai agak ketakutan! 

Samar-samar Sin Lee teringat akan nasihat ayahnya bahwa tosu ini adajah seorang ahli sihir, ia mengerahkan semangat hendak melawan, namun ternyata ia telah masuk dalam perangkap dan telah terpengaruh sehingga usahanya sia-sia belaka karena pikirannya sudah kacau. 

Para penonton terheran-heran betapa sekarang tosu itu melakukan penyerangan dengan pedangnya sedangkan Sin Lee hanya menangkis dengan terhuyung-huyung seperti orang mabuk.

Beng San duduk menegang di kursinya, dahinya berkerut, alisnya bergerak-gerak, sinar matanya berkilat. Ia dapat menduga apa yang terjadi dan siap untuk menolong puteranya jika terancam bahaya maut.

Pada saat itu Kun Hong berlari-lari ke bawah panggung, setelah dekat panggung ia menggunakan tangannya menggebrak-gebrak panggung sambil berkata nyaring,

“He, pendeta murtad! pendeta penuh dosa, pendeta nyeleweng!”

Orang-orang mulai tertawa menyaksikan sikap pemuda ini dan Thian It Tosu yang sudah mulai gembira melihat hasil ilmu hitamnya, kini terpecah perhatiannya dan marah sekali.

Ketika mendapat kesempatan, Selagi Sin Lee terhuyung-huyung, ia menyambar ke pinggir panggung dan menggunakan pedangnya membacok tangan Kun Hong yang mengebrak-gebrak papan. Tentu saja Kun Hong menarik tangannya akan tetapi ia berpura-pura menjerit,

“Aduh-aduh, pendeta kejam kau!” 

Dan pada saat pandang mata Thian It tojin yang penuh kemarahan itu sedetik bertemu dengan pandang matanya Kun Hong mengerahkan ilmu sihirnya dan ia berkata,

“Kau pendeta murtad, tak patut menggunakan segala ilmu hitam. Kau patut dihukum pukul kepala sepuluh kali” Setelah berkata demikian Kun Hong lari kembali ke tempat duduknya.

Tiba-tiba semua tamu terbelalak memandang kejadian yang amat aneh di panggung. Setelah tosu itu menghentikan serangan-serangannya, Sin Lee masih terhuyung-huyung dan tosu itu kini berteriak-teriak,

“Benar sekali, pinto patut dihukum pukul kepala sepuluh kali” 

Dan tangan kirinya segera bekerja menampar muka dan kepalanya sendiri dengan keras. Terdengar suara “plak-plak-plak” berkali-kali dan muka itu menjadi bengkak-bengkak!

Sin Lee agaknya sudah sadar kembali. Pemuda ini cepat berdiri tegak dan untuk sejenak ia mengumpulkan hawa murni di tubuhnya sehingga pikirannya jernih kembali, tenaganya pulih dan kini ia memandang terheran-heran kepada lawannya yang sedang penuh semangat menghantami kepalanya sendiri itu.

Tiba-tiba berkelebat bayangan dan Hek-hwa Kui-bo sudah berdiri di atas panggung. 
“Memalukan saja, pergi!” tangannya bergerak dan tubuh Thian It Tosu terlempar ke bawah panggung. 

Tosu itu roboh dan berbareng dengan jatuhnya itu agaknya iapun sadar kembali. Dengan bingung ia bangkit berdiri, memandang bingung kekanan kiri lalu… angkat kaki lari dari tempat itu. 

Beberapa orang tamu yang masih melongo lalu membuat tanda dengan telunjuk dimiringkan ke depan kening, yaitu tanda orang yang miring otaknya. Meraka ini mengira bahwa tosu itu tentu seorang yang berotak miring! 

Akan tetapi karena peristiwa itu sudah lewat dan di atas panggung berdiri seorang tokoh yang ditakuti, yaitu Hek-hwa Kui-bo, para tamu yang Sekarang menjadi penonton memandang dengan penuh ketegangan. Semua orang tahu bahwa tentu sekarang akan terjadi pertandingan yang luar biasa hebatnya.

Hek-hwa Kui-bo dengan muka yang merah dan mata mendelik sudah menghadapi Sin Lee, pedang berkilauan di tangan kanan sedangkan tangan kirinya memegang sehelai sabuk beraneka warna.

“Orang muda, kau telah menewaskan muridku. Akan tetapi kau mengatakan bahwa kau adalah anak dari Tang Beng San. Hemmm, jangan kau mencoba mengunakan nama Ketua Thai-san-pai untuk menggertak orang. Aku tahu benar bahwa Cia Li Cu isteri Tan Beng San hanya mempunyai seorang anak perempuan, bagaimana kau bisa mengaku dia sebagai ayahmu? Siapakah ibumu?”

Beng San di tempat duduknya meremas jari-jari tangannya sendiri, hatinya mengharap agar Sin Lee tidak usah menjawab pertanyaan ini. Akan tetapi dengan sikap gagah Sin Lee menjawab, suaranya nyaring,

“Hek-hwa Kui-bo, kau kira aku tidak tahu akan isi hatimu. Kau sendiri sudah tahu siapa ibuku, akan tetapi kau sengaja mengajukan pertanyaan ini di tempat umum, tentu dengan maksud keji di hatimu yang memang tidak bersih itu. Akan tetapi aku Tan Sin Lee sebagai seorang laki-laki sejati tidak akan menyembunyikan dan tidak akan malu mengaku bahwa ayahku adalah Tan Beng San Ketua Thai-San-pai sedangkan ibuku adalah Kwa Hong anak murid Hoa-san-pai! Nah, aku sudah mengaku, kau mau bilang apa?” 

Suara pemuda itu nyaring dan pada saat itu wajah Beng San sebentar pucat sebentar merah. Ia merasa terpukul, menoleh kepada isterinya dan berbisik,

“Dia lebih jantan daripadaku… dia lebih jantan dan gagah….”







Next>>

Postingan populer dari blog ini

RAJA PEDANG (BAGIAN PERTAMA SERIAL RAJA PEDANG)

RAJAWALI EMAS (BAGIAN KE-2 SERIAL RAJA PEDANG)

JAKA LOLA (BAGIAN KE-4 SERIAL RAJA PEDANG)