RAJAWALI EMAS JILID 147

“Kau harus kembali, harus, kataku!” 

Sin Lee membentak dan maju mendorong Kun Hong untuk memaksa pemuda itu kembali ke ruangan. Akan tetapi sekali mengelak serangan itu luput dan Kun Hong sudah melewati tubuh Sin Lee terus berjalan pergi.

“Kun Hong, tunggu dulu!” tiba-tiba Kong Bu sudah menghadangnya, malah dengan pedang di tangan, sikapnya mengancam!

“Kau mau apa, Kong Bu?” suara Kun Hong mengerikan, suara tanpa irama, seperti suara dari balik lubang kubur.

“Kun Hong, tidak ingatkah kau akan sumpahmu dahulu? Bahwa kau mencinta Adik Bi dan bersedia mengorbankan nyawa untuknya? Kenapa sekarang kau malah hendak menghancurkan kebahagiaannya dan meninggalkannya?”

“Aku tetap cinta padanya, aku tetap bersedia mengorbankan segalanya untuknya. Kong Bu, tak tahukah kau bahwa pengorbanan yang kulakukan ini lebih berat daripada berkorban nyawa?” 

Kini suara itu bercampur sedu-sedan dan di kedua pipi Kun Hong tampak air mata bercucuran.

“Tidak, kau harus kembali dan minta Bi-moi dari tangan Ayah. Jangan pedulikan pandangan orang lain, kalau pihak Kun-lun-pai marah serahkan saja kepadaku!” bentak Kong Bu.

Kun Hong menggeleng kepala. 
“Kau keliru. Aku tidak mau demi cinta kasihku, demi kebahagiaanku, harus mengorbankan hal yang lebih penting lagi. Tidak, Kong Bu, kau kembalilah.”

“Aku akan memaksamu!” 

Kong Bu mengayun pedangnya. Tapi sekali melejit Kun Hong mengelak dan menyentil dengan jari telunjuknya yang tepat mengenai pergelangan tangan Kong Bu, membuat pemuda ini hampir saja melepaskan pedangnya, sementara itu Kun Hong sudah melewatinya.

“Hong-ko… tunggu….! Hong-ko….!” 

Cui Bi berlari-lari mengejar Kun Hong. Gadis ini tadi melihat sendiri betapa kedua orang kakak tirinya membujuk-bujuk, malah dengan kekerasan, namun semuanya tidak berhasil. Maka ia sendiri lalu berlari mengejar.

Mendengar suara kekasihnya ini, Kun Hong berhenti, seakan-akan kedua kakinya terpaku di tanah, tak dapat digerakkan lagi. Ia berhenti berdiri tegak tanpa menoleh, bahkan iapun tidak menunduk ketika Cui Bi sudah berlutut lagi di depannya sambil menangis.

“Hong-ko… demi Tuhan, Hong-ko… jangan tinggalkan aku. Aku… aku takkan kuat menahan, Hong-ko… aku takkan dapat hidup kalau harus berpisah denganmu dan menikah dengan orang lain… Hong-ko, kau kasihanilah diriku….”

Kun Hong meramkan mata, bertunduk pula ia tidak berani. Ia tahu bahwa sekali ia memandang wajah Cui Bi yang amat dikasihi itu, kekerasan hatinya akan hancur dan ia akan melupakan kesopanan, melupakan aturan, melupakan nama dan kehormatan, dan hanya akan memuaskan cinta kasih dan kebahagiaan perasaan hatinya sendiri. Maka seperti orang dalam mimpi ia meramkan mata dan bibirnya berulang-ulang berbisik,

“Tidak, Bi-moi… tidak… tidak… tidak….”

Tiba-tiba ia mendengar keluhan panjang. 
“Hong-ko….!” suara Cui Bi ini sedemikian anehnya dan ia mendengar gadis itu roboh. 

Kun Hong membuka mata-nya dan… ia terbelalak, menjerit,
“Tidak… ah, tidak… jangan, Bi-moi… aduh, Bi-moi….!!” 

Ia menubruk ke depan, menubruk tubuh yang masih hangat itu, yang sudah telentang dengan pedang menembus dada, dengan mata masih terbuka memandangnya penuh permohohan, dengan bibir masih berkomat-kamit memanggil namanya, berbisik-bisik, 

“Hong-ko… Hong-ko…”





“Cui Bi….! Dewiku! Cui Bi, kekasihku… ah, Cui Bi….!” 

Kun Hong menjerit-jerit dan mendekap kepala gadis itu ke dadanya sambil menangis dan memanggil-manggil.

Darah mengalir keluar dari dada dan punggung gadis itu, membasahi baju Kun Hong. Ketika ia memandang melalui air matanya ia melihat Cui Bi tersenyum puas dan bahagia, bibirnya bergerak, 

“Hong-ko, aku cinta padamu….” 

Dan ucapan ini merupakan hembusan napas terakhir. Gadis jelita itu mati dalam pelukan kekasihnya, mati dalam keadaan bahagia, terbukti dari bibir yang tersenyum itu.

Orang-orang dalam ruangan itu berlari-lari memburu keluar. Segera terdengar pekik dan jerit memilukan, Li Cu menubruk ke depan, merampas tubuh anaknya dari pelukan Kun Hong, akan tetapi pemuda itu tidak memberikannya.

“Biar dia kupondong….” katanya sambil berdiri, memondong tubuh itu sambil berjalan lambat-lambat kembali ke ruangan tadi. 

Langkahnya satu-satu, kaku, matanya memandang lurus ke depan seperti mata patung, mukanya yang tadi dipergunakan untuk mencium dan mendekap gadis itu penuh air mata bercampur darah, tubuh Cui Bi terkulai dalam pondongannya, rambut gadis itu terlepas dan terurai ke bawah, kedua kakinya yang masih lemas tergantung dan bergerak-gerak ketika Kun Hong membawanya berjalan ke ruangan.

Li Cu menjerit-jerit, masih mencoba merampas mayat anaknya. Beng San memegang lengannya dan merangkulnya, menuntunnya ke dalam ruangan itu, tapi Li Cu masih menjerit-jerit.

“Dia anakku….! Kembalikan anakku….! Ah, mana anakku? Ya Tuhan, Kun Hong, kau telah membunuh anakku. Aduhai, Cui Bi… Cui Bi anakku sayang…. kenapa menjadi begini? Kun Hong, kau… kau membunuh Cui Bi. Ah, Cui Bi, biji mataku… Cui Bi bangunlah, anakku.” 

Beng San merangkul isterinya. 
“Tenang, kuatkan hatimu….” ia menghibur.

“Tenang bagaimana? Menguatkan hati bagaimana? Aku kehilangan biji mataku dan harus tenang? Ya, dia lebih berharga daripada biji mataku!” 

Nyonya itu menangis lagi sambil menjerit-jerit, membuat semua orang terharu dan terutama sekali Li Eng dan Hui Cu, Lee Giok dan Thio Bwee. Lee Giok yang masih adik seperguruan Li Cu merangkul sucinya itu dan membujuk-bujuk sambil menangis. 

Hui Cu dan Li Eng memeluki mayat Cui Bi yang oleh Kun Hong sudah diletakkan diatas bangku panjang. Sin Lee dan Kong Bu berdiri mematung, pucat dan juga dari kedua mata mereka runtuh beberapa butir air mata. Hanya Song-bun-kwi terus menerus menenggak arak, agaknya untuk menguatkan hatinya yang hampir lumer menyaksikan semua itu.

Kun Hong telah membaringkan tubuh Cui Bi diatas bangku, lalu berlutut di depan Li Cu. 
“Bibi, memang aku yang menyebabkan kematian Bi-moi. Kau kehilangan biji mata, Bibi? Ah, akupun kehilangan, kehilangan matahari hidupku. Bibi, aku tidak dapat mengganti seorang Cui Bi kepadamu, akan tetapi aku sanggup mengganti dengan biji mata pula, apa artinya biji mata bagiku kalau aku tak dapat melihat matahari lagi. Terimalah ini, Bibi, biji mataku….” 

Sebelum orang lain dapat menduga apa yang hendak dilakukan, Kun Hong menggerakkan jari tengah dan jari telunjuk tangan kanannya, ditusukkan ke matanya dan di lain saat dua biji matanya telah ia korek keluar dan berada di telapak tangannya yang sekarang diangsurkan kepada Li Cu.

Semua orang berteriak tertahan. Kun Hong masih berlutut tegak dengan tangan kanan diangsurkan dan diatas telapak tangan itu terdapat dua butir mata yang berlumuran darah. Adapun mukanya yang pucat itu sekarang menjadi mengerikan sekali. Darah bercucuran keluar dari kedua matanya yang sudah berlubang.

Li Cu memandang dengan mata terbelalak, 
“Kau… kau… aduh, Kun Hong…!” 

Li Cu memeluk pemuda itu yang terguling dan pingsan! Beng San menarik isterinya perlahan, lalu menyerahkan kepada Lee Giok, minta supaya diajak ke dalam.

Kwa-Tin-Siong dengan muka pucat memegangi lengan isterinya yang menjerit-jerit sekarang, sebentar memandang kepada puteranya yang menggeletak dengan muka berlumur darah, lalu tidak kuat dia dan membuang muka, memandang lagi dan kalau tidak dipegangi suaminya tentu ia sudah menubruk anaknya itu.

Wajah Kwa Tin Siong seperti Beng San berdiri di depannya, kedua orang ini berpandangan, penuh pengertian, penuh sesal, penuh kedukaan dan akhirnya Beng San lalu membungkuk memondong tubuh Kun Hong yang pingsan itu, dibawa ke dalam untuk dirawat. 

Sunyi di ruangan itu, hanya isak tangis yang terdengar, bahkan kini Song-bun-kwi yang tadinya minum terus-menerus sekarang menjatuhkan muka keatas meja, menutupi muka dengan kedua lengan dan menangis seperti anak kecil, memanggil-manggil nama isterinya, dan nama anaknya, Bi Goat, yang sudah meninggal.

Betapapun janggalnya, namun bukanlah hal yang aneh atau tak mungkin terjadi apabila kita melihat seorang yang menurut penilaian kita adalah seorang baik, namun mengalami nasib yang amat menyedihkan. Semua ini adalah kehendak Tuhan dan hal ini merupakan rahasia bagi manusia. 

Adakalanya, kalau Tuhan menghendaki, seorang yang hidupnya terkenal jahat dapat mengalami hidup yang serba menyenangkan, sebaliknya seorang yang hidupnya terkenal baik dapat mengalami hidup yang sengsara. Tampaknya tidak adil, akan tetapi sesungguhnya bukan demikian. Ada sebab-sebab tertentu yang menjadi rahasia Tuhan, dan Tuhan tetap Maha Adil, Betapapun ganjilnya, manusia wajib menerima, karena baik yang menyenangkan maupun yang sebaliknya, kesemuanya itu tetap adalah karunia Tuhan.

Setelah jenazah Cui Bi dimakamkan, Kun Hong tetap dirawat di Thai-san-pai sampai sembuh. Matanya menjadi buta, tak berbiji lagi. Beng San sendiri yang merawatnya, malah di samping merawatnya, Beng San membisiki semua rahasia Ilmu Silat Im-yang Kun-hoat kepada orang muda melatihnya mempergunakan telinga bagai pengganti mata.

Kwa Tin Siong dan isterinya serta semua tokoh Hoa-san-pai, termasuk Li Eng dan Hui Cu, telah kembail ke Hoa-san setelah mendapat janji dari Beng San bahwa lain waktu Ketua Thai-san-pai ini akan mengunjungi Hoa-san-pai untuk membicarakan tentang perjodohan kedua puteranya dengan Hui Cu dan Li Eng. Dengan penuh keharuan Liem Sian Hwa memeluk anaknya yang sudah buta itu, minta supaya kalau sudah sembuh anaknya akan segera kembali ke Hoa-san-pai.

Di samping Beng San yang tekun merawat Kun Hong, juga Song-bun-kwi seringkali mengajak pemuda itu bercakap-cakap, bergurau dan malah pada suatu hari Song-bun-kwi memberi hadiah sebatang tongkat kepada Kun Hong. Ketika Kun Hong menerima dan memeriksa dengan rabaan tangannya, ternyata tongkat itu bukan sembarang tongkat untuk membantunya mencari jalan, melainkan tongkat yang di dalamnya tersimpan pedang Ang-hong-kiam, pedangnya. Ternyata oleh kakek sakti itu, pedang Ang-hong-Kiam telah diberi sarung pedang berupa tongkat!

Beberapa bulan kemudian, dikala Hoa-san-pai merayakan pesta pernikahan yang amat meriah dari Hui Cu dan Li Eng yang menikah dengan Sin Lee dan Kong Bu, Kun Hong juga hadir. Pada malam harinya, malam yang amat bahagia bagi dua pasang pengantin itu, orang-orang mencari Kun Hong akan tetapi orang muda buta ini tidak nampak bayangannya.

Kalau kita menengok jauh ke lereng Bukit Hoa-san-pai, akan terlihatlah bayangan orang buta itu berjalan perlahan, dibantu tongkat pedangnya, meninggalkan Hoa-san, berjalan di bawah cahaya bulan purnama, mulutnya tersenyum-senyum seakan-akan ia ikut merasakan kebahagiaan dua pasang mempelai yang merupakan orang-orang yang amat disayangnya.

Sampai disini tamatlah cerita Rajawali Emas ini, dan tiada aral melintang, pengarang cerita ini Kho Ping Hoo, akan menyusun sebuah cerita baru yang berjudul “PENDEKAR BUTA”. 

Apakah Pendekar Buta ini Kwa Kun Hong adanya, dan apakah kita akan dibawa jumpa dengan tokoh-tokoh cerita ini, baiklah kita tunggu terbitnya PENDEKAR BUTA dan klta buktikan sendiri.


TAMAT


Postingan populer dari blog ini

RAJA PEDANG (BAGIAN PERTAMA SERIAL RAJA PEDANG)

RAJAWALI EMAS (BAGIAN KE-2 SERIAL RAJA PEDANG)

JAKA LOLA (BAGIAN KE-4 SERIAL RAJA PEDANG)